And So It Goes | Chapter 7

Jun 02, 2010 20:23

Title: And So It Goes
Author: Angel
Genre: Love, Romance
Rating: T / PG-15
Theme: Yaoi / Non-yaoi
Casts: Takaki Yuya, OC (Ishihara Aya), dan beberapa nama yang sudah dikenal.
Discl.: They're not mine. I owned the plot.
Summary: Takaki Yuya, hidupnya berubah setelah bertemu Ishihara Aya. <-- failed at summary :/

Prologue
Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 6


“Aya?”

Tidak ada jawaban.

Tidak perlu penjelasan lebih lanjut, aku tahu Aya pergi dari sini.

/CHAPTER SEVEN/
Kutarik keitai-ku. Mencari nama itu dengan cepat. Aya, Aya, Aya. Hah! Segera kutekan tombol hijau, menyambungkan jaringan teleponku dengan nomornya.

TERSAMBUNG!

Belum ada yang mengangkat.

Kemana dia? Pergi begitu saja. Ah! Cepat, cepat, Aya! Cepat angkat!!!

“Moshi-mo…” Suara perempuan!

“Aya! Kau dimana? Kenapa menghilang dari rumahku? Aya, jawab! Kau dimana,” tanyaku panik. Jantungku hampir meloncat keluar dibuatnya.

“Takaki-kun, Wataru desu. Aya-san sedang bersamaku disini, di rumah sakit. Maaf kalau dia membuatmu panik. Semalam Aya-san kesini sendirian.”

Wataru-san? Aya…

“Di rumah sakit?” tanyaku lagi.

“Hai.”

“Baiklah, aku akan segera kesana untuk menjemput Aya. Suruh dia tunggu aku disana, Wataru-san.”

Tidak lama, sambungan telepon terputus. Ya, Tuhan. Sungguh, aku bisa panik setengah mati kalau tadi telepon Aya tidak bisa dihubungi.

Tanpa permisi, aku berjalan ke rumah sakit, dengan tujuan menjemput Aya.

Pembunuhan. Aku yakin sekali Ibu Aya tewas terbunuh. Perut itu berdarah dan kemarin kulihat beberapa orang polisi berdiskusi diluar rumah sambil membawa sebuah barang bukti… pisau. Ya, Ibu Aya tewas ditusuk pisau oleh seseorang. Misterius sekali. Bahkan Wataru-san tidak tahu apa yang terjadi pada Ishihara Megu sebelum Aya pulang sekolah. Tubuh kaku itu tergeletak tak berdaya di samping tempat tidur kamar Aya.

Mengapa harus di kamar Aya?

Dan dimanakah suaminya? Kenapa dia tidak muncul bahkan ketika istrinya tewas terbunuh? Ah, aku yakin sekali ini kejadian yang disengaja. Entahlah, perasaanku mengatakan begitu.

Tanpa sadar, ternyata kakiku sudah sampai di rumah sakit. Udara disekitarnya menyambutku. Seolah berusaha menenangkanku dari kekhawatiranku tentang Aya.

Dia sedang disana. Tertidur dengan pulas di pundak wanita pelayan setia di keluarganya. Selang beberapa kursi, ada supir keluarga Ishihara, Nabe-san. Mereka duduk di depan ruang jenazah. Entah menunggu apa.

Penasaran tingkat tinggi. Sampai hari ini, Ishihara Masao belum juga menunjukkan batang hidungnya. Dimana dia? Tidak mungkin kan seorang yang kau cintai benar meninggal dengan mengenaskan, dan kau sama sekali tidak muncul untuk sekedar melihat wajahnya. Ah, ini aneh.

Kakiku melangkah mendekati Aya yang masih tertidur dengan damai di sisi Wataru-san. Wanita itu menundukkan kepalanya sambil memberikan senyum kepadaku. Tangannya lalu menyentuh pundah Aya pelan, berusaha membangunkan gadis itu. Berbisik sesuatu, mungkin memberitahu keberadaanku karena setelah itu mata Aya pelan-pelan terbuka. Mengerjap-ngerjap, berusaha melihat siapa yang berdiri disebelahnya.

“Pulanglah, Aya-san. Istirahat dulu, mandi dulu, makan dulu, nanti baru kesini lagi ya. Takaki-san sudah menjemputmu,” ujar Wataru-san.

Tetapi Aya tidak bereaksi. Malah menundukkan wajahnya.

“Tidak, Wataru-san. Lebih baik Aya pulang ke rumahnya. Nabe-san, kau bisa membawa Aya pulang sekarang?” tanyaku.

Nabe-san, mengangguk lalu berdiri. Wataru-san memberikan lengan lemah Aya ke tangan Nabe-san. Mereka berdua begitu memperhatikan Aya dengan perhatian melimpah yang membuat gadis itu tidak perlu khawatir akan keselamatannya jika ada dua orang itu di sekitarnya. Aku iri kepada mereka yang bisa menjaga Aya.

Gadis itu berjalan bersama Nabe-san. Ketika melewatiku, tangan Aya tiba-tiba menggenggam erat lenganku. Matanya tertuju telak ke dalam mataku.

“Mama... Dia sudah di kremasi tadi malam…” Mata itu, air mata tergenang. Masih tertampung dengan sempurna dan aku tahu usaha Aya untuk tetap menjaga air matanya agar tidak jatuh membasahi pipinya.

Tidak bisa. Aku tidak bisa berkata apa-apa kecuali mengangguk. Kemudian tanganku merenguh tubuhnya. Membiarkan dia menangis di dalam dekapan dadaku. Membiarkan dia meluapkan segala kesedihannya. Jika itu bisa menenangkannya kembali. Ah, biarlah. Hanya ini yang bisa aku lakukan.

“Aku mau pulang bersama Yuya,” bisiknya pelan.

*

Sudah rapi. Aya sudah selesai menghabiskan sarapannya yang terlambat. Ditemani olehku dan Ibu. Dan sepertinya Ibu mengerti. Setelah seorang pelayan keluarga kami membersihkan meja makan, Ibu meninggalkan aku dan Aya berdua di ruang makan. Gadisku menatap kosong tempat buah yang kosong.

Aku meletakkan tanganku di telapak tangannya, lagi, menautkan tangan kami berdua.

“Yuya maaf…” Aya menatap mataku. Hampir menangis. Lagi.

“Kenapa kau pergi tiba-tiba?” Aku berusaha meredam amarahku. Aku tidak boleh emosi disaat seperti ini. “Tidak usah menangis.” Aku mengusap pipinya.

Aya melepaskan genggaman tanganku.

“Semalam, seseorang meneleponku. Dia bilang, Mama sudah di kremasi. Aku… Aku ingin bertemu Mama! Aku tidak mau! Dan dia bilang… Papa yang memerintahkannya. Aku bertemu Papa, tetapi dia langsung pergi. Tidak berbicara apa-apa, langsung pergi meninggalkan aku, Wataru-san, dan Nabe-san.” Singkat, tetapi aku mengerti.

“Siapa? Siapa yang memberitahumu?” tanyaku.

“Namanya, Makoto Hiro.”

Mataku terbelalak mendengar nama itu.

“Yuya? Kenapa?”

Aku segera memegang kedua pundaknya. “Dengar, Aya. Jika nanti kau bertemu dia atau dia menghubungi atau apapun yang berhubungan dengan dia, cepat beritahu aku, ya.”

Aya mengangguk. “Um… Tapi kenapa, Yuya? Dia… Yuya kenal dia?”

“Dia… Keluarganya yang membunuh Ayahku.”

Aya kaget. Mulutnya terbuka, menunjukkan dia bahkan tidak bisa berkata apa-apa. Aku memalingkan wajahku. Lalu, tangannya menyentuh pipiku. Dingin bercampur hangat. Tenang. Dalam keheningan ini, aku tahu apa yang ingin dia katakan.

“Yuya… Jangan sedih ya.”

Ah, bodohnya aku! Harusnya aku yang menenangkan dia, bukan dia yang harusnya malah prihatin kepadaku. Mataku lalu menatap wajahnya, tersenyum simpul.

“Aku baik-baik saja.”

Keitai Aya bergetar. Aya melihat penelepon yang masuk, nomornya tidak tercantum di phonebook keitai-nya. Dahi Aya mengkerut dan kepalanya menengok ke arahku sebentar. Lalu aku mengisyaratkannya untuk mengangkat telepon itu.

“Hai. Moshi-mosh…” Kata-katanya seperti terputus di tengah jalan. “Hai. Ini dari siapa? Ma-Makoto-san?!”

Terkejut.

Aya cepat-cepat memalingkan wajahnya kepadaku. Aku mengisyaratkannya untuk me-loudspeaker pembicaraannya dengan Hiro.

“Ada apa, Aya-san? Kau kaget? Haha. Tenang saja.” Suara itu seperti mengejek. Brengsek, kutukku dalam hati. “Aku tahu, kau sedang bersama kekasihmu yang berandalan itu bukan? Nikmatilah waktumu, Aya-san.”

“Maksudmu?” tanya Aya.

“Nanti kau akan tahu. Oh ya. Aku menghubungimu hanya karena ingin memberitahumu satu hal. Ya, cukup satu hal saja, Aya-san. Dan mungkin ini seharusnya menjadi teka-teki yang misterius, tapi ah… aku sudah tidak sabar ingin memberitahumu. Oh, bagaimana kalau kita bertemu saja ya. Ini penting lho. Ajak juga kekasihmu yang sialan itu. Aku akan mengirimkan alamat tempat janjian kita. Ku tunggu kalian setengah jam lagi.”

KLIK.

Terputus.

Aku langsung menarik tangan Aya. Membawanya pergi ke taman dekat sekolah Aya, tempat yang Hiro beritahukan kepada Aya. Kami meninggalkan rumah lalu berangkat ke tempat itu dengan taxi. Aku sadar betul, yang aku lakukan ini terlalu gegabah. Menemui anak pembunuh ayahku berdua saja, dengan pacarku.

Pasti Hikaru, Kouta, Kei, dan Daiki akan memarahiku habis-habisan karena aku membawa Aya ‘mendekati’ Hiro.

*

Seseorang berdiri disana. Di taman yang sepi itu. Benar-benar tidak ada siapa pun disana, kecuali satu orang. Berkemeja putih formal dengan celana panjang hitam. Jaket kulit hitam terpasang dengan sempurna di tubuhnya. Dia berbalik ketika menyadari langkah kaki kami berhenti tepat beberapa meter dari tubuhnya yang tegap sempurna. Wajah itu… Hiro. Seringaian liciknya. Aku sungguh membenci wajah itu. Tanganku semakin erat menggenggam tangan Aya.

Perlahan ku renggangkan genggaman tangaku, mengisyaratkan Aya untuk tidak ikut mendekati Hiro. Ku langkahkan kakiku satu langkah mendekati dia, penerus generasi pembunuh.

“Aku tidak memangsa keluarga Ishihara, Takaki-san. Tenang saja, gadismu itu tidak akan terluka walaupun kau membawanya mendekatiku.”

“Apa yang ingin kau katakan?” kataku tanpa menghiraukan kata-katanya.

Mulutnya terbuka. “Yang membunuh Ishihara Megu adalah…”

Inikah jawabannya? “…Ishihara Masao…”

APA?!

Dia tersenyum licik. “…Ayahmu, Aya-san.”

Benarkah?!

Aku menengok ke tempat Aya berdiri. Dahinya berkerut. Masih mempertanyakan kebenarnnya. Sama-sama meragukan pernyataan anak pembunuh itu.

Dia membunuh istrinya sendiri? Benarkah? Mungkinkah?!

“Terkejut? Dan kau tau, Aya-san, mengapa ayahmu setega itu sampai membunuh istrinya sendiri? Jawabannya, karena pacarmu ini. Takaki Yuya!”

APA?! Apa lagi ini?!

“Aku?” Dia gila! “Apa maksudmu?!”

Seseorang turun dari mobil. Pakaiannya berantakan, lecek sana sini, rambutnya pun tidak beraturan lagi, dan wajah kusut itu… Ishihara-san! Dia… benar-benar berbeda jauh dari Ishihara-san yang aku temui beberapa bulan lalu. Ayah Aya, dia sudah berubah.

“PAPA!” seru Aya dari belakangku. Tubuhnya mendekatiku.

“Kau!” Tangan itu menunjuk telak ke tengah wajahku. “Jika kau tidak pernah bertemu anakku, aku tidak akan membunuh istriku sendiri.”

Aku tidak bisa berkata apa-apa. Bibir ini kelu seketika.

“Papa…” Suara itu melemah.

Kemudian tiba-tiba terdengar derap langkah berlari beberapa orang dari belakangku. Aku segera berbalik dan terlambat…

“AYA!” Kakiku secara otomatis hendak berlari mengejar mereka, tetapi dua pasang tangan segera mengunci posisiku.

Mereka terlalu cepat menangkap Aya. Aya dibawa masuk kedalam mobil sedan hitam yang tadi dinaiki Ishihara-san.

Aku mendongak dan melihat sepasang mata merah yang penuh oleh amarah. Tangan itu tanpa bisa aku perhitungkan langsung merobohkan tubuhku dengan sekali pukul telak di ulu hati-ku.

Dengan amarah yang berkobar, Ishihara-san berusaha menghabisi aku dengan pukulan tangannya sendiri. Sudut mataku menangkap senyum licik Hiro di pinggir sana sambil menghisap rokoknya. Tangan itu masih terus menghujani wajahku dengan pukulan telaknya. Keras dan kuat. Aku tidak bisa menghentikannya. Dan aku rasakan, perlahan pipiku, sudut bibirku, pelipisku… panas, seolah membengkak, dan… cairan hangat merah mengalir keluar dari kulitku.

“Kau! Kalau saja Aya tidak bertemu denganmu, aku tidak akan pernah membunuh istriku! Kau! Keluargamu terkutuk! Harusnya kau yang berada di kamar jenazah itu, Takaki! Bukan salah satu dari keluargaku! Harusnya kemarin kau yang kehabisan darah! Harusnya aku berhasil membunuhmu sebelum istriku tahu tentang apa rencanaku terhadapmu, Takaki! Jika kau dan keluargamu mati, usaha ini akan lancar! Tidak akan ada yang bisa mengganggu usaha keluarga Ishihara dan Makoto! Kau… Kau harus membayarnya, Takaki! Kau harus mati! DAN SELURUH KELUARGAMU!!!”

Tinju itu masih menerjangku bertubi-tubi tanpa terkontrol.

Aku… aku harap aku benar-benar sudah mati rasa sekarang. Tidak sadarkan diri.

Sayup-sayup masih kudengar… “Tetapi sepertinya kami tidak bisa membunuhmu. Bayarlah dengan cara lain. Tunggu tagihannya.”

Makoto Hiro, bagiku… kau yang paling terkutuk!

*

Keluarga Ishihara dan Makoto bergabung untuk menjalankan kembali usaha kotor tersembunyi di perusahaan mereka. Mereka ingin membunuh Ibuku, atau salah satu dari keluarga Takaki, atau malah seluruh keluargaku agar kami tidak bisa melaporkan perbuatan mereka ke polisi. Padahal, seluruh keluargaku sudah berjanji tidak akan mencampuri urusan bisnis mereka. Apapun yang mereka lakukan, keluarga kami tidak akan ikut campur! Mengapa Makoto tidak bisa memercayai kami?!

Mungkin Ishihara Megu tahu bahwa keluargaku dalam bahaya, maka ia berusaha menghubungiku dengan mencari tahu nomor telepon rumah keluargaku di kamar Aya. Tetapi belum sempat telepon itu tersambung, Ishihara Masao sudah menusuk perut istrinya sampai kehabisan darah dan mati. Itu asumsiku. Asumsi di saat otak kecilku ini meradang kesakitan tetapi masih berusaha menyusun alur kejadian yang terjadi di keluarga Ishihara. Sampai akhirnya aku tergeletak tak sadarkan diri di taman sepi itu, tanpa seorang pun menolongku.

Aku berjalan menuju rumahku ketika senja menjemput. Aku memasuki pagar rumah disambut oleh keheningan yang seolah abadi. Luka ini entah sudah mengering atau malah bercampur dengan peluhku. Aku sudah tidak peduli.

Lunglai. Kakiku rasanya ingin aku amputasi sendiri. Sudah tidak kuat.

Ketika aku masuk ke dalam rumah, yang aku lihat tidak biasa. Ibu yang sedang menangis sambil mengelus wajah seseorang di sebelahnya. Ah itu Yuma. Yuma yang sedang duduk beserta perban-perban putih di wajahnya. Yuma, pulang?

“Yuma…?” panggilku pelan. Dia hanya melirikku sinis. Sinis atau tidak peduli, aku tidak tahu.

Di sebelah kiri, Yui dengan suaminya yang terlihat sangat bingung. Yui memegang peralatan P3K sambil mengobati kaki Yuma yang juga terluka. Ada apa dengan adikku? Yuma tidak sepertiku yang suka berkelahi. Dan apalagi Yuma baru pulang dari New Zealand, tempat sekolahnya. Tidak mungkin dia terlibat perkelahian sampai separah ini.

Sampai seseorang mendekatiku. Yuu. Suaminya duduk di sebelah Ibu, berusaha menenangkan tangisan Ibu.

“Kau!” teriak Yuu tepat di depan wajahku. “Kau benar-benar…!! Kau memang yang paling merepotkan, Yuya! Kau keterlaluan! Aku tidak tahu lagi sampai kapan Ibu harus terus menangis karena perbuatanmu! Dan entah siapa lagi yang akan menjadi korban dari perbuatanmu! Hari ini Yuma, besok... Siapa lagi, hah?! Siapa lagi, Yuya?!”

Aku tidak mengerti.

“Yuma pulang ke rumah dengan wajah seperti ini, itu karena kau! Keluarga Makoto ‘menyambut’ Yuma yang baru pulang sampai wajahnya babak belur seperti itu! Dan kau sekarang muncul dengan wajah babak belur juga! Apa sih maumu?!! Sampai kapan kau mau menjadi pemicu perkelahian?! Aku sudah mengingatkanmu agar tidak mencari masalah dengan keluarga itu, tetapi kau masih saja keras kepala! Yuya, kau ini… merepotkan!!!” seru Yuu.

Tangan itu hampir menampar pipiku. Aku menunggu…

“Ah, ya… tidak heran kaulah yang paling merepotkan di keluarga ini...” Aku lihat Yuu hampir menitikkan air mata. Tetapi kata-katanya sepertinya belum selesai. “Kau memang bukan berasal dari keluarga ini!”

“Yuu, hentikan!” seru Yui. Dia terisak.

Apa maksudnya?

“Biar saja! Biar dia tahu! Memang ini sudah saatnya dia tahu kalau dia itu bukan dari keluarga Takaki! Dia bukan anak Ayah dan Ibu! Dia bukan saudara kandung kita! Dia itu… ANAK PUNGUT!”

Time freeze.

Kembali membeku.

“PERGI! PERGI DARI SINI!” Yuu mengusirku. “Kau hanya membawa masalah bagi keluarga ini! Biarkan kami hidup tenang. Kau… PERGI!!”

Aku… bukan berasal dari keluarga Takaki? Aku… bukan bagian dari mereka? Aku… orang asing. Aku memang harus pergi.

Aku berbalik. Pertama, menuruti perkataan Yuu. Kedua, berusaha menutupi air mata yang membasahi pipiku.

Lihat, tidak ada yang menahan langkahku. Tidak Yui, tidak juga Ibu. Mereka memang sudah tidak menginginkanku. Seharusnya aku pergi dari rumah itu sejak lama. Ah, bodohnya aku.

Masih melangkah dengan sisa-sisa tenagaku.

Kutarik keitai-ku. Mengetikkan mail secepat yang aku bisa. Untuk Daiki, aku memberitahunya bahwa aku akan ke rumahnya.

*

Aku sedang berdiri di depan sebuah ruangan di sebuah kondominium sederhana.

Tadi, ketika aku datang ke rumah keluarga Arioka, ibu Daiki menyambutku dengan limpahan perhatiannya. Daiki lalu membawaku ke kamarnya. Ada Kouta, Hikaru, dan Kei. Kuceritakan kejadian yang terjadi di rumahku. Bahwa aku hanya anak pungut dan aku sudah diusir keluar dari rumah keluarga Takaki.

Teman-temanku menawarkan rumah mereka untuk menjadi tempat berlindungku sementara waktu. Tetapi, aku menolak. Sampai ibu Daiki memberikan sebuah kunci kamar.

“Bawalah kunci ini. Ini kunci kamar di sebuah kondominium tidak jauh dari sekolahmu. Itu milikku sampai saat ini dan kamar itu kosong. Kamar itu tadinya ingin aku kontrakkan, tetapi… sudahlah. Itu untukmu saja, Takaki-kun.”

“Tidak. Aku akan membayar biaya kontraknya. Terimakasih atas bantuanmu, Arioka-san. Hontou ni arigatou.” Aku membungkuk.

Dan kini, disini aku berdiri.

Aku memasuki ruangan itu. Kecil, tetapi cukup untuk menjadi tempat tinggalku. Sejak ku pijakkan kakiku pertama kali di lantai kamar itu, aku memutuskan untuk bekerja, untuk membayar biaya kontrakannya.

Aku tidak akan menggunakan sepeser pun uang keluarga Takaki. Tidak akan.

----------------------------------
/TBC/

genre: drama, type: multichapter, rating: pg-15, theme: non-yaoi, author: angelika20, pairing: takaki yuya/oc, fandom: hey!say!jump

Previous post Next post
Up