And So It Goes | Chapter 8

Jun 03, 2010 21:06

Title: And So It Goes
Author: Angel
Genre: Love, Romance
Rating: T / PG-15
Theme: Yaoi / Non-yaoi
Casts: Takaki Yuya, OC (Ishihara Aya), dan beberapa nama yang sudah dikenal.
Discl.: They're not mine. I owned the plot.
Summary: Takaki Yuya, hidupnya berubah setelah bertemu Ishihara Aya. <-- failed at summary :/

Prologue
Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7


Dan kini, disini aku berdiri.

Aku memasuki ruangan itu. Kecil, tetapi cukup untuk menjadi tempat tinggalku. Sejak ku pijakkan kakiku pertama kali di lantai kamar itu, aku memutuskan untuk bekerja, untuk membayar biaya kontrakannya.

Aku tidak akan menggunakan sepeser pun uang keluarga Takaki. Tidak akan.

/CHAPTER EIGHT/

(recommended song for this part: 僕んちのママ - OST. Atashinchi no Danshirecommended song for this part: テーブルクロスの上で - OST. Zettai Kareshi)

Sejak kakinya tertapak di ruangan ini, hari-hari indahku kembali. Walaupun dengan kondisi tidak semapan dulu, tetapi aku tetap bahagia bisa bersama dia setiap saat. Kami memang tinggak satu ‘rumah’, tetapi aku tidak pernah menyentuh territorial Aya. Aya tidur di kamar utama, ya memang hanya ada satu kamar di kamar ini. Sedangkan aku, ah laki-laki bisa tidur dimana saja, bukan? Sofa bisa, tikar juga bisa. Sehari setelah kepindahan Aya ke rumahku, Wataru-san diam-diam mengirimkan beberapa helai baju Aya dan segunung wejangan untuk aku dan Aya. Inti kasarnya, supaya aku tetap bisa menjaga Aya dan Aya hati-hati terhadapku.

“Ah, aku bukan predator, Wataru-san,” kataku saat itu.

“Tetapi setiap laki-laki punya bakat terpendam kan?”

Mungkin. Tetapi aku… hmm… semoga saja tidak.

Setiap pagi, aku akan bangun dengan sarapan seadanya tersaji di meja makan. Buatan Aya, tentunya. Segelas teh manis, jika uangku sedang cukup untuk membeli gula. Jangan heran jika hidupku serba kekurangan, ya aku hidup dengan penghasilanku sendiri. Well… berdua dengan Aya. Dan aku tetap harus menyisakan sebagian penghasilanku untuk membayar rumah ini. Kalian tau, bukan?

Siang hari, dimana biasanya aku dan Aya terpisah jarak karena harus sekolah, kini kami terpisah jarak karena aku harus bekerja dan Aya pun sekarang sudah bekerja di tempat penitipan anak tidak jauh dari kondo kami. Aya mendapat pekerjaan itu dari pacar Kei, Kouta, dan Hikaru. Yep, mereka bertiga sudah punya pacar sekarang. Ayanari Aoi, kekasih Kei yang sudah dipacarinya sekitar tiga bulan. Asuka, pacar Hikaru yang ternyata masih teman satu sekolah Aoi-chan. Hikaru sendiri ternyata sudah menutupi pacarnya dari kami sejak 5 bulan lalu, namanya Satsuki. Mereka bertiga, oh plus Aya-ku jadi berempat, kini bekerja di ‘Children’s Day Care’ setiap hari. Mengurusi anak-anak kecil yang belum sekolah, tetapi setiap hari harus ditinggal orangtua mereka karena sibuk bekerja.

Aku dan Aya terakhir kali masuk sekolah kira-kira 5 minggu lalu, satu minggu setelah kami tinggal bersama. Itu adalah acara kelulusan SMA kami masing-masing. Tidak disangka acara kelulusan kami ternyata berada di tanggal yang sama. Dan sejak saat itu, resmi sudah aku dan Aya menjadi pekerja lulusan SMA di tempat kami bekerja. Aku tetap bekerja sendiri di perusahaan jasa itu, sedangkan empat sahabatku masih mencari-cari pekerjaan. Ah, tidak. Kei melanjutkan kuliah. Dia memang yang paling pandai diantara kami. Aya, Asuka, Satsuki, dan Aoi bekerja bersama di ‘Children’s Day Care’ setiap hari. Tidak heran kalau mereka semakin hari semakin dekat. Daiki katanya sedang dalam masa pendekatan dengan seorang perempuan bernama Ryoko Saotome. Aku dengar ceritanya dari Aya. Kalau aku sudah pulang kerja, aku dan Aya pasti langsung menghabiskan waktu bersama sambil makan malam dengan cerita-cerita tentang kejadian di tempat kami bekerja.

“Aya mau punya anak?” tanyaku suatu ketika ketika dia sedang menceritakan tentang seorang anak yang dia temui di ‘Children’s Day Care’.

“BAKA! YUYA BAKA!” Pipi Aya memerah. Dia langsung menjauhkan kursinya daripadaku. Sedangkan aku, hmm… aku suka sekali menggodanya. Aku sedikit demi sedikit mendekatkan kursiku kepadanya.

Aku tersenyum jahil. “Aku sudah siap.” Hahaha.

“Memangnya anakku mau aku kasih makan apa kalau Yuya sendiri saja makannya belum pasti! Mau dikasih batu?!” serunya lucu.

Aku tidak tersinggung, malah lucu. Aku menikmati setiap pipinya tersipu karena malu. Ketika matanya berkedip-kedip karena tidak tahan melihat senyum jahilku. Saat bibirnya ragu antara senyum atau ngambek. Lalu tanganku akan merengkuh tubuhnya dan mendekapnya di dalam dadaku.

“Hai hai. Aku ngerti kok. Nanti, kalau kita sudah sama-sama siap dan mampu, kita…”

“KUSO! YUYA BAU! YUYA BELUM MANDI, DESHOU?! CEPAT MANDI SANA!!” Tangan mungil itu langsung mendorongku ke kamar mandi. Lalu dengan cepat dia akan melemparkan handukku ke wajahku. Diikuti gelak tawanya yang renyah.

Ne, Aya, mau anak perempuan atau laki-laki? Namanya siapa? Jangan titipkan di day care’ ya. Kau harus menjaga dia selalu. Ah, kita. Kita harus menjaga dia ya. Zutto…

*

Tidak terkontrol. Aku benar-benar tidak bisa mengontrol tubuh ini. Hawa panas membangkitkan semuanya. Atmosfer ini terlalu pas. Jangan salahkan aku. Kami… kami memulainya bersama-sama. Secara sadar. Ya, aku berani bersumpah! Kami sadar sepenuhnya. Tentang risikonya, tentang… ah tentang semuanya!

Tangan kami bertautan. Serasa melayang. Udara panas yang menyelimuti kami sekarang. Dan pada akhirnya… kami terbaring disana. Di tempat tidur empuk pemberian Daiki. Disaksikan benda-benda mati yang bisu. Kami menghela nafas panjang. Saling berpandangan sebentar. Pipinya memerah, lebih merah dari biasanya. Pertama, disini memang panas dan kedua… dia pasti malu. Lihat saja tangannya sedari tadi terus menahan selimut untuk tetap menutupi tubuhnya.

Tetapi ada yang lebih merah dari pipi itu. Bukti pengalaman pertama.

Akhirnya kata-kata itu keluar juga.

“Perempuan atau laki-laki?” Dia. Dia yang bertanya.

Aya… Aku membelai lembut rambutnya, memeluk tubuhnya, mencium dahinya, turun… Lihat, lihatlah senyum itu. Begitu manis.

“Aku mau laki-laki, supaya bisa jagain Kaa-chan-nya.”

*

“Omedetouuu!!!” seru Aya, Aoi-chan, Satsuki, dan Asuka. Mereka bertepuk tangan penuh semangat untuk Daiki yang baru saja resmi berpacaran dengan Ryoko-chan.

Semuanya sedang berkumpul bersama di rumahku. Di ruangan kecil ini, kami berbagi euphoria kebahagiaan Daiki dan Ryoko.

“Akhirnya, kalian jadian juga. Lama sekali sih prosesnya. Hahaha…” ujar Hikaru.

Aoi langsung menarik tangan Ryoko. “Ne… berapa lama jadinya Daichan mendekatimu?”

“Hmm… Tiga bulan kayaknya.” Ryoko dari tadi tidak berhenti senyum-senyum.

Tangan Asuka langsung menyambar kepala Daiki. “Lama sekali! Hikaru-kun aja hanya dua minggu mendekatiku, lalu kami langsung jadian. Kau ini… terlalu bertele-tele Daichan!”

Hikaru segera melingkarkan lengannya ke kepala pacarnya. “Jangan buka kartu dong, sayaang.” Sebuah cubitan kecil mendarat di hidung Asuka-chan.

“Ya itu Hikaru. Tidak heran lah. Yabu-kun juga lelet. Huh. Gemes nunggunya!” Wajah Satsuki berubah masam. Pura-pura cemberut.

Memang ya, naluri kami itu sudah terlatih untuk melunakkan hati perempuan. Lihat saja, Kouta dengan sebuah kecupan di pipi bisa langsung membuat Satsuki menyungingkan senyum lebarnya kembali. “Jadi nungguin? Kenapa nggak kamu aja yang nembak aku duluan?”

Tangan Satsuki mendorong tubuh Kouta. “DAME! Itu sudah kodratnya laki-laki untuk menyatakan duluan ke perempuan. Baka! Seenak jidat lu aja ngomong kayak gitu!”

Aya menggandeng lenganku sambil tersenyum ke pasangan Kouta dan Satsuki. Sedangkan pasangan satu lagi… Aoi-chan dan Kei sedang duduk berduaan sambil melihat tingkah ulah pasangan baru yang sedang malu-malu berdiri di pojok sana.

“Ne… Inoo-kun tidak mengerjakan tugas kampus?” tanya Aya lembut.

“Aya-chan, itu hal paling terlarang di dalam hubungan kami untuk membawa urusan kampus dan tetek bengeknya saat kami sedang berduaan. Aku tidak mau diduakan dengan buku-buku tebalnya,” ujar Aoi disambut dengan cubitan Kei di pipi gadis itu.

“Atau dia akan langsung merobek seluruh kertas kerjaku yo. Lebih baik aku museum-kan dulu buku-bukuku kalau sedang bersama Aoi.”

Di belakangku, Asuka dan Hikaru, pasangan iseng, sedang sibuk mencairkan kekakuan pasangan baru.

“Udahh… gandeng dong tangan Ryoko-chan…” Tangan Asuka menyentuh tangan Daichan dan tangan Hikaru menyentuh tangan Ryoko, menyatukan keduanya sampai bergandengan sempurna.

“Lihat! Lihat! Pipi Ryoko-chan seperti kepiting rebus, Yuya. Pipinya merah sekali ya. Lucu sekali sih mereka,” bisik Aya gemas.

Aku meliriknya. “Pipimu pernah lebih merah dari pipi Ryoko.”

Lagi, dia tersipu malu.

“Ara! Asuka-chan, kue foam strawberry kita?!” seru Aoi.

“Astaga!” Satsuki memukul dahinya. “Bahkan kue-nya belum kita masukkan ke kulkas!”

Mata Satsuki menelurusi pojok dapur rumahku. “Itu, disitu kulkasnya!” Aya melepaskan gandengan tangannya dengan tanganku dan menunjuk letak kulkas mini kami. Aya lalu menggandeng Ryoko, “Ayo, kita bantu mereka siapin kue.”

Para perempuan itu langsung akrab jika sudah berkutat dengan dapur. Wajah itu, semuanya sibuk mengurusi kue foam strawberry. Bahkan mungkin nanti aku tidak akan memakan kue itu. Untuk Aya saja. Lagipula aku tidak begitu suka kue foam strawberry.

Aya!

Saat Ryoko dan Satsuki sedang menyiapkan kola untuk kami, Asuka dan Aoi sedang memotong dan memindahkan kue ke piring, Aya mendekatkan indera penciumannya ke kue favoritnya itu. Tetapi, sepertinya ada penolakan dari dalam tubuh Aya. Dia mundur dengan cepat, menutup mulutnya, mengeluarkan suara seperti… ehm ingin mengeluarkan sesuatu, dan berlari ke toilet.

“Aya…”

“Aya-chan!” seru Aoi, Ryoko, *Asuka*, dan Satsuki.

Bahkan Kouta, Kei, Daiki, dan Hikaru sampai berdiri untuk melihat kemana Aya berlari.

“Aya…” bisikku. Lalu aku berlari, melihat Aya. Sedang apa dia?

Suara itu. “Aya… kau, kau kenapa?” tanyaku.

Aya hanya menggeleng. “Aku nggak tau. Tiba-tiba, rasanya mual waktu nyium aroma kue itu.”

Aku menyentuh lehernya, membantunya mengeluarkan apa yang ingin dia keluarkan. Ryoko memberikan segelas air hangat untuk Aya. Saat kulihat wajahnya, wajah Aya memucat. Pasti ada sesuatu yang tidak beres.

“Aya-chan, kau kenapa?” tanya Kei. Aoi disebelahnya, terlihat khawatir.

Aya menggeleng.

“Sakit?” tanya Daiki.

“Sedikit.” Ku lihat, setitik keringat menetes turun membasahi dahi Aya. Aku menghapusnya. Tangannya tiba-tiba mencengkram erat lengan bajuku. “Hanya… pusing sedikit.”

“Kau, kau yakin?” tanyaku.

Kouta menggeleng. “Sepertinya kau ada apa-apa. Bukannya kau paling suka dengan kue strawberry itu? Kenapa bisa mual mendadak?”

Aya menggeleng. “Tidak tahu.”

“Sudah, sudah. Kami akan pulang. Kau istirahat saja, Aya-chan.” Hikaru menyentuh punggung Aya. “Istirahat yang banyak. Besok kalian, cewek-cewek, bilangin ya ke boss kalian di day care itu, Aya-chan nggak bisa kerja dulu. Lagi sakit. Okeh?”

“Ano… Selagi Aya-chan istirahat, aku saja yang gantikan? Gimana?” Ryoko bersuara.

“Kau yakin?” tanya Daiki.

“Kau tidak percaya denganku?” Ryoko balik bertanya. Tidak dijawab oleh Daiki dan… “Hidoi. Daichan… hidoi… tidak percaya denganku…”

“Eh… Eh…” Satsuki segera menghampiri Ryoko dan menggenggam pundak cewek itu. Tangan Kouta menjitak kepala Daiki. “Ara! Ryoko-chan, jangan nangis dong. Daichan kan cuma nanya. Boleh kok, boleh. Malah bagus, kita sedang kekurangan orang disana.”

Asuka menambahi, “Anak-anak disana juga pasti seneng deh dapat Nee-chan baru. Ya kan?”

Aya tersenyum dan mengangguk. “Gantikan aku dulu ya, Ryoko-chan. Nanti kalau kau suka dengan pekerjaannya, kau boleh ikutan kerja disana. Jangan khawatir.”

“Daichan bisa aku pites kepalanya kalau berani-berani melarangmu bekerja bersama kami,” ujar Aoi sambil mempraktekan teknik bela diri jurus mematahkan leher yang dikuasainya.

“Sou, sou.” Kei menengahi sambil menutup mulut Asuka, yang disambut dengan tatapan sinis Hikaru, yang hampir bersuara lagi. “Cewek-cewek ini kebanyakan ngomong. Sudah ayo kita pulang sekarang.”

Aku menyentuh pundak Satsuki, “Hm… Itu kue-nya buat kalian saja. Atau paksa Yabu, Kei, Hikaru, dan Daiki makan habis semuanya. Haha.”

“Hai hai.” Satsuki tersenyum.

“Jya, Takaki-kun, Aya-chan…” seru mereka. “Cepat sembuh ya, Aya-chan.”

*

To: Arioka Daiki;
Yabu Kouta;
Yaotome Hikaru;
Inoo Kei
Sbjct: -

SEBENTAR LAGI AKU AKAN MENJADI SEORANG AYAH! AYA HAMIL!

Sent.

YES YES YES! Rasanya aku ingin terbang ke langit tertinggi untuk melihat Kamisama, bersujud kepadanya, mengucapkan ribuan terimakasih karena telah memberikan sebuah janin di perut Aya. Benih itu berbuah dan aku tinggal menunggu delapan bulan lagi sampai anak itu lahir.

Aku tidak sabar.

Kamisama, arigatou!

Tadi siang, Aya sudah ke dokter bersama Ryoko dan Satsuki. Asuka dan Aoi sedang tidak bisa ikut karena sedang menemani anak-anak berenang. Sampai ketika Aya mengirimkan mail dari keitai Ryoko dan bilang…

Sender : Ryoko-chan
Sbjct : -

Yuya, aku hamil. Sudah enam minggu.
Aya.

Ps. Aya dirumah sendirian.
Aku dan Satsuki-chan harus kembali bekerja. Gomen.

Kalau ada langit yang lebih tinggi dari langit ke-tujuh, delapan, atau sembilan sekalipun, aku ingin menembusnya! Sampai kepalaku menyentuh langit-langit langit.

Aku terlalu bahagia.

Aku segera izin pulang lebih cepat dan meminta setengah gajiku bulan ini lebih awal.

Aku mampir ke sebuah toserba. Membeli susu ibu hamil, vitamin untuk ibu hamil, dan untung disana jual buku saku panduan senam untuk ibu hamil. Ada beberapa helai baju ibu hamil tidak lupa aku beli. Pokoknya, semua untuk ibu hamil, untuk Aya.

Kembali, kupacu lariku agar segera sampai dirumah. Melihat wajah itu lagi dan menyentuh perutnya yang kini sudah terisi oleh darah dagingku. Ah… aku tidak sabar!

Tok… Tok…

“Aya! Aya! Ini aku. Cepat buka!!” seruku tak sabar.

BRAK! Pintu terbuka.

Cepat, kupeluk tubuh itu erat, eraaaaaat sekali. Membuatnya merasakan kebahagianku dan aku ikut merasakan kebahagiannya. Detak jantung itu, sudah dua sekarang. Satu milik Aya, satu lagi milik bayi kami.

“Yuyaaa…” ujarnya manja. Kami saling bertatap muka.

Aku menutup pintu dan menunjukkan Aya apa yang aku beli. Dia terlihat terkejut. Tetapi sedetik kemudian dia tertawa.

“Memang aku ini sudah hamil tujuh bulan apa? Beli baju gede-gede amat sih. Lihat! Bahkan perutku saja belum membesar. Lebay banget deh!” gerutu Aya lucu.

“Yasudah, nanti kalau sudah tujuh bulan aja baru dipake bajunya.” Ku keluarkan lima kotak susu khusus untuk ibu hamil. “Ini susu untukmu dan vitamin tidak boleh lupa diminum.”

Aya langsung bergelayut manja di lenganku. “Arigatou…” bisiknya.

Aku menyentuh perut itu, masih rata. Lalu kuposisikan kepalaku tepat dihadapan perut Aya. “Cepat besar ya, sayang… Tou-chan sangat ingin cepat-cepat melihatmu.”

*

Ngidam.

Ah, bukan mengidam sebenarnya. Porsi makan Aya saja yang bertambah. Dia mudah lapar mata, tetapi tidak jarang perutnya itu memang benar-benar lapar. Maksudku, si janin yang benar-benar lapar.

Wajah kekasihku ini tetap polos seperti biasa. Tidak ada wajah-wajah orang yang mupeng mengharapkan sesuatu. Tidak. Tetapi, sekalinya dia merasa ingin makan apa, wajahnya tetap biasa saja, tetapi dia tidak akan bisa diam sampai yang dia inginkan ada di hadapannya.

Awalnya, malam itu, Aya sedang menonton televisi acara anak-anak. Asuka memberikan tivi mini di kamarnya untuk Aya supaya dia tidak bosan dirumah sendirian. Aku sedang membuatkan susu untuk Aya dan bayiku. Aku melihat Aya duduk di sofa, yang kini sudah aku set berjarak tidak terlalu dekat dengan tivi mini, sambil memeluk bantal. Wajahnya sangat ceria melihat tawa anak-anak kecil di acara tersebut. Ikut bernyanyi lagu anak-anak. Tangannya bergerak seiring dengan irama lagu. Dia menikmati acara itu.

“Ini, diminum dulu susunya,” kataku sambil memberikan segelas susu kepada Aya, lalu mengelus lembut perut Aya yang belum terlalu besar.

Tetapi, baru kali itu Aya menggeleng dan cemberut. “Nggak mauuu!”

“EH?”

Perasaanku mulai tidak enak.

“Aku mau… kue foam strawberry!”

“LHO?! Bukannya kau mual makan itu?”

“Tapi aku maunya ituuuuuu…”

“Hai hai hai hai.” Aku menurut saja. Aku sudah berdiri, siap berkelana mencari yang Aya inginkan.

“…sama susu strawberry!”

“Tapi kan kamu sudah ada susu khus…”

Matanya mulai berubah fase. Tidak boleh menjadi puppy eyes! Sebelum dia semakin mewek, aku langsung mencari akal dimana bisa mendapatkan kue foam strawberry kesukaan Aya, di malam hari.

Kutarik keitai-ku dan menghubungi Satsuki-chan.

“Moshi-moshi… Satsuki-chan? Ah, gomen gomen. Sebentar saja. Ini aku mau tanya, apa kau masih punya kue foam strawberry? I-iya… Aya ngidam mau makan kue itu. Boleh aku minta? Ah?! Serius? Hontou ni arigatou… Dimana bisa kuambil? Ah, baik! Aku segera kesana.”

Safe… Kue foam strawberry selamat.

Di dekat tempatku berdiri ada sebuah vending machine dan Kamisama memang sedang bersamaku! Disana ada juga susu strawberry ‘pesanan’ Aya. Cukup dua koin uang logam 25 yen, susu kotak itu sudah ada di tanganku.

Aku berjalan menuju rumah Satsuki yang tidak terlalu jauh. Berjalan sendirian, ditemani temaram lampu jalan. Otakku kembali mengulang bagaimana aku dan Aya bisa… ah.

Sebenarnya, tidak ada sesuatu yang spesial. Waktu itu, aku baru pulang bekerja dan tiba-tiba saja Aya menyambutku dengan sebuah surprise kiss yang membawa kami kesana. Aya memulai semuanya. Menenggelamkanku ke dalam perasaan itu, mood itu. Kami melakukannya dengan otak terbuka, mata terbuka, dan… terbuka. Kami sangat sadar. Tetapi, tidak ada penyesalan.

Aku sudah siap. Toh aku juga sudah naik pangkat di tempatku bekerja. Setelah menjadi petugas delivery, aku kini sudah menjadi karyawan di bagian pergudangan. Setidaknya, gajiku sudah lebih lumayan dari sebelumnya. Aku merogoh saku celanaku, rencananya aku ingin memberikan sebuah cincin untuk Aya. Tinggal tunggu momen yang tepat.

Aku sudah siap menyambut anakku.

Delapan bulan lagi...

“Kochira!” Tangan Satsuki memberikan satu kotak kue foam strawberry.

“Arigatou, Satsuki-chan!” kataku sambil tersenyum.

Satsuki membalas senyumku. “Jaga Aya baik-baik. Dia itu benar-benar butuh perhatian yang besar. Demi anakmu juga, deshou?”

“Hai hai.”

“Sana cepat pulang. Jangan tinggalkan Aya sendirian dirumah terlalu lama.” Aku mengangguk. “Baka!” desisnya, tetapi aku masih bisa mendengarnya.

“Jya! Salam ya buat Yabu-kun-mu!” seruku sambil menjauh.

Dan kakiku mengantarkanku selamat sampai kembali dirumah. Melihat Aya yang masih menonton televisi. Masih senyum-senyum sendiri melihat tingkah polah anak kecil di acara berdurasi dua jam tersebut. Mencubit-cubit bantalnya karena gemas. Gantinya, aku mencubit lembut pipi itu.

“Ini kue dan susunya!”

“YATTA!” seru Aya girang.

Aku menyiapkan kue itu di piring dan membawanya ke meja makan. Bersama Aya, kami duduk berdua berhadap-hadapan di meja makan bundar itu. Aku menyodorkan piring berisi kue dan sekotak susu yang Aya inginkan. Tetapi… dia malah menyodorkan piring itu kembali.

“Nggak jadi deh.” Wajah itu… tanpa rasa bersalah. “Ternyata kali ini aku cuma laper mata.”

AAAAAAHHH!!!! AYAAAAAA!!! Rasanya aku ingin menggelitikinya, kalau aku tidak ingat bahwa janin itu bisa ikutan berguncang di dalam sana.

“Buat Yuya aja…” katanya polos.

“Apanya?”

“Kuenya.”

“Aku tidak sukaa…”

Wajah Aya memelas. Benar-benar, aku pokoknya harus hati-hati mulai sekarang. Jangan mudah termakan permintaan memelasnya.

“Baik, baik.” Aku memotong kue foam strawberry itu. Mengantarnya ke pintu mulutku. Kulirik wajah Aya yang sedang menyeruput susu kotaknya, dia tersenyum melihatku makan kue strawberry ini.

Hap.

Rasanya… tidak terlalu buruk ternyata. Manis. Hmm… empuk. Enak juga.

“Enak kan?”

Aku mengangguk.

Dua suap, sampai akhirnya aku melihat senyum lebar itu. Aku lalu menggeser kursiku mendekati Aya. Meraih tangannya, merogoh saku celanaku dan… mengeluarkan sebuah kotak kecil berwarna merah dari bahan beludru.

Terbuka dan isinya… dua buah cincin berwarna perak.

“Yuya…” ujar Aya tertahan. Dia terkejut. Bahagia.

Aku tersenyum. “Aya, aku ingin kau menjadi istriku.”

“Serius?” tanyanya pelan dengan senyum yang terus terkembang di wajahnya.

“Aku tidak pernah seserius ini.” Masih menggenggam tangannya, erat. “Walaupun tidak ada pesta besar, tamu kehormatan, makanan melimpah, dan baju indah, tetapi aku tahu Kamisama itu selalu bersama kita.”

Tidak ada pesta besar. Tidak ada tamu kehormatan. Tidak ada makanan melimpah dan baju yang indah. Juga tidak ada keluarga. Hanya kami berdua, di ruang makan rumahku yang kecil ini. Kamisama melihat kita berdua.

“Aku, Takaki Yuya, menerimamu, Ishihara Aya, untuk menjadi istriku. Aku berjanji akan setia kepadamu dalam kebahagian dan kesedihan. Aku akan mencintaimu dan menghormatimu seumur hidupku. Aku, Takaki Yuya, menerimamu, Ishihara Aya, untuk menjadi istriku, untuk saling memiliki dan saling menjaga, dari hari ini, di waktu baik, di waktu buruk, dalam kekayaan, dalam kemiskinan, dalam sakit, dan sehat, sampai maut memisahkan kita.”

“Kau hafal?” tanya Aya kaget. “Aku tidak hafal…”

Tetapi aku malah tertawa. “Baiklah.” Aku menghela nafas agak panjang. “Apa kau, Ishihara Aya, menerima Takaki Yuya sebagai suamimu?”

Aya mengangguk. “Ya.”

Tanganku menyelipkan cincin perak itu di jari manis tangan kiri Aya.

Sebuah genangan airmata bahagia menghiasi matanya. Tangannya lalu mengambil cincin yang satu lagi tersisa di kotak merah. Tangan itu menggenggam jemariku dan menyelipkannya ke jari manis tangan kiriku.

Aku memeluknya.

“Arigatou…” bisik Aya ditengah tangis bahagianya.

Aku menciumnya. Kecupan pertama sebagai suaminya.

*

“Yuya… aku mau ku-”

Aku berbalik dan melihat wajah memelas Aya. “Maaf Aya, aku sedang pusing. Di tempat kerjaku, sedang ada masalah lumayan besar. Aku harus mengecek pembukuan.”

“Tapi a-”

“Aya! Tolong, jangan ganggu aku dulu sekarang. Aku sedang pusing!” bentakku. Aku membanting buku pembukuan itu dan berdiri.

“AH!” Aku mengacak-acak rambutku sendiri. Aku benar-benar sedang tidak mood. Aku tidak ingin diganggu. Tetapi Aya malah membuat repot. Ya, aku tahu dia sedang hamil, tetapi kan bisa ditahan dulu lapar matanya. Aku sedang tidak ingin diganggu.

Aku melangkahkan kaki, melewati Aya, meninggalkan rumahku. Entahlah. Aku hanya sedang pusing. Pusing sekali. Yang aku inginkan ketenangan sekarang. Aku melangah berjalan entah kemana.

Di perusahaanku, dibagian marketing, kemarin diadakan pengecekan keuangan dan inventaris. Dan dikabarkan ada orang di departemen itu yang menggelapkan uang kas yang harusnya dipakai untuk membeli inventaris malah dibawa kabur. Tetapi ada yang bilang kalau sebenarnya kesalahan terjadi ada pembukuan. Supaya tidak terjadi kesalahan perincian, maka aku, pihak netral, dari bagian pergudangan, ditunjuk untuk mengecek pembukuan yang ada. Aku sendiri masih pusing dengan penjelasan Senpai disana tentang cara menafsirkan buku itu. Dan ditambah lagi penyakit Aya yang kambuh, lapar mata.

Ah, lebih baik keluar sebentar untuk mencari udara segar. Menetralisir isi otakku yang mumet. Melihat anak-anak tetanggaku yang sedang bermain di taman. Besok Sabtu, tidak heran mereka terlihat begitu ceria bermain bola bersama. Walaupun sudah malam, mereka tetap menikmatinya.

“Yuya-niichan!” seru salah satu dari mereka, Ryosuke Yamada. Disambut oleh seruan empat temannya yang lain, Yuto Nakajima, Yuuri Chinen, Keito Okamoto, dan yang paling kecil dari mereka Ryutaro Morimoto.

“Aya-nee dimana? Biasanya Aya-nee selalu bareng-bareng Yuya-nii.” Ryutaro mendekatiku dan duduk disebelahku.

“Aya-nee dirumah. Sedang tidak enak badan.” Belum ada dari tetanggaku yang mengetahui kehamilan Aya.

“Sakit? Kok Yuya-nii nggak nemenin?” tanya Yuuri. Matanya mirip mata memelas Aya.

Aku menggeleng. “Aku malah diusir Aya-nee supaya dia bisa istirahat.”

Ya, Tuhan! Aku berbohong! Kepada anak-anak ini dan… tentang Aya. Bahkan seharusnya aku menemani Aya dengan kondisinya yang… Ah! Ya, Tuhan!

“Aku mau deh kalo Kaa-chan nitipin aku di day care tempat Aya-nee kerja,” ujar Yuto sambil tertawa bersama Keito.

“Hahaha. Iya. Pasti kita nggak akan diomelin deh sama Aya-nee. Udah gitu, Aya-nee kan cantik yoo.” Tanganku menjitak pelan kepala Keito. “Gomen gomen,” katanya cepat.

“Aku nanti mau ah cari pacar cantik dan baik seperti Aya-nee,” ujar Ryutaro.

“DAME!!” seru Ryosuke cepat. “Ryuu kan masih kecil! Kau tidak boleh pacaran!”

Aku tertawa melihat wajah mereka. Aku ingin anakku nanti tumbuh sebagai anak periang seperti mereka. Sehat dan pintar. Sebelumnya, tentu saja aku juga harus ikut menjaga kandungan Aya.

“Kalian belum pulang?” tanyaku.

“Bareng yuk, Nii-chan.” Yuuri menarik lenganku.

Ke-empat bocah lainnya berjalan didepanku. Saling bercanda dan tertawa. Menceritakan kejadian lucu yang mereka alami saat bermain bola tadi. Sampai kaki kami tiba di lantai dua kondo tempat tinggal kami. Aku melambaikan tangan kepada mereka.

“Jya, Yuya-nii!” seru mereka bersama-sama.

Aku masih berjalan naik ke lantai tiga, tempat tinggalku bersama Aya.

Aku sungguh ingin segera minta maaf kepada Aya tentang kata-kata kasarku tadi. Ingin mencium perut itu, janin bayiku dan Aya, meminta maaf kepadanya juga karena aku sempat memarahinya.

Aku tidak mengetuk pintu itu, karena aku tahu Aya, seperti biasa, tidak akan mengunci pintu ketika aku sudah pulang kerja dan aku keluar rumah sebentar. Aku segera mendorong pintu itu. Sepi. Mungkin Aya dikamar.

Yang aku lihat, buku pembukan perusahaanku masih ada di atas meja makan. Saat kubuka, halaman terakhirnya ada tulisan, ‘defisit 120.000 yen’.

Aya… menghitung pembukuan ini? Terima kasih sekali.

“Aya…” panggilku.

Eh? Tidak ada jawaban?

Aku berjalan ke kamar dan… tidak ada Aya disana.

Aku mendorong pintu kamar mandi. Kosong.

Tidak ada. Aya… menghilang?

“AYA?!” seruku panik. Tetapi tetap saja, hanya keheningan yang menjawabku. Tidak ada siapapun di ruangan ini. Kosong.

Aya… kabur? Menghilang? Pergi kemana?

“AYA!!!”

Aku berlari menghambur keluar. Aku harus menemukannya! Harus!

----------------------------------
/TBC/

Aduh maaf ya agak maksa atau gimanaaaa gitu.
trus kalo alurnya keliatan buru-buru. Huhu.
Tadinya pengen di split jd 2 part, tapi takut ngancurin chemistry-nya.
Jadi mohon komennyaaaa~ hehehe ;P

genre: drama, type: multichapter, rating: pg-15, theme: non-yaoi, author: angelika20, pairing: takaki yuya/oc, fandom: hey!say!jump

Previous post Next post
Up