Title: And So It Goes
Author: Angel
Genre: Love, Romance
Rating: T / PG-15
Theme: Yaoi / Non-yaoi
Casts: Takaki Yuya, OC (Ishihara Aya), dan beberapa nama yang sudah dikenal.
Discl.: They're not mine. I owned the plot.
Summary: Takaki Yuya, hidupnya berubah setelah bertemu Ishihara Aya. <-- failed at summary :/
Prologue Chapter 1 Chapter 2 Chapter 3 Chapter 4 /CHAPTER FIVE/
Tiga bulan ini tenang. Kurang lebih sembilan puluh delapan hari tanpa keributan. Tidak ada kericuhan di hidupku. Hanya ada satu kata secara umum, tenang.
Pagiku selalu diisi dengan momen aku berjalan menghirup udara pagi ke arah rumah Aya untuk menemaninya ke sekolah. Kadang, jika di pagi hari masih ada sisa-sisa tangisan awan, aku dan Aya berlindung dibawah payang putihnya. Kadang juga kami berdua berjalan bergandengan tangan, melewati taman-taman, dan jalan penuh pepohonan yang menenangkan. Tetapi aku paling suka melihat wajah Aya yang masih mengantuk di pagi hari, namun harus berjalan cepat-cepat untuk mengejar langkahku. Tidak peduli dia marah atau apapun, aku senang membuatnya mengejar langkahku kemudian dia akan menarik kemeja seragam sekolahku lalu mengeluh manja.
“Yuya, jangan jalan cepat-cepat.”
Lalu tanganku akan merangkul tubuhnya. Memeluknya disisiku sambil mengacak-acak lembut rambutnya yang tidak pernah tidak wangi. Rambut hitam legam yang tidak terlalu panjang ataupun pendek. Aku tidak pernah bosan mencium rambutnya, menikmati wangi parfumnya yang beraroma soft.
Di siang hari, setelah pulang sekolah, aku akan berpacu dengan waktu untuk berjalan menuju sekolah Aya. Menunggu bel pulang sekolahnya yang berbunyi lebih lama 30 menit dari bel sekolahku. Menunggunya di depan pintu pagar. Kadang aku membelikannya permen, ice cream, ataupun susu strawberry. Tidak jarang aku iseng kepadanya. Aku akan bersembunyi di sudut luar sekolahnya, dibalik pohon atau dibalik tembok sekolahnya, kemudian aku akan meneleponnya, menyuruhnya mencari aku. Wajah bingung Aya saat mencari aku itu adalah sebuah lukisan yang ingin aku beli berapapun harganya, jika ada. Kemudian, saat dia menemukanku dia akan memukul pundakku sambil tersenyum senang. Tidak lama, nanti akan terdengar suara tawanya saat aku menggendongnya dipunggungku.
“Yuya, jangan sembunyi jauh-jauh,” protesnya. Tidak senang diprotes, aku akan berlari sambil tetap menggendongnya dipunggungku. Menerobos angin, menembus jalanan kosong tempat pertama kali kami bertemu, dan kemudian menurunkannya di pinggir taman.
Nantinya, saat melihatku kelelahan, Aya akan mengeluarkan susu coklatnya dari dalam tasnya dan memberikannya kepadaku. Tidak, Aya memaksaku menerimanya dan meminum habis susu kotak itu. Malam hari, aku akan menerima mail berisi pesan ‘Oyasumi’ dengan kata-kata semanis perilakunya. Aku? Ya, kalian tahu, aku tidak pandai berkata manis. Kuharap Aya mengerti, dan kurasa dia sangat mengerti.
Aku tidak menceritakan semua yang terjadi dengan aku dan Aya kepada teman-temanku, terlebih Daiki. Kejadian paling berbahaya jika nanti Daiki benar-benar memotong porsi makan siangnya demi menjalani diet ketat supaya mendapat tubuh sekurus Kouta atau aku. Kini, Kei, Hikaru, dan Kouta juga sedang dalam usaha mencari pacar.
“Kami tidak mau kalah dari Yuya!” Begitu kata Hikaru sambil menonjok pelan dadaku. Yang bisa aku lakukan hanyalah memberikan dukungan kepada mereka.
Malam ini, Aya mengundangku makan malam dengan keluarganya. Dan sekarang aku sudah berdiri di depan lemari bajuku, di depan kaca yang besar… bersama Ibuku.
“Sudahlah, Bu. Aku pakai ini saja.” Aku tetah keukeuh tidak mau berganti baju. Kemeja putih dan celana jeans sudah cukup kan untuk makan malam bersama keluarga pacarmu?
Tetapi ibuku tetap menggeleng. “Tidak, Yuya. Dengarkan Ibu, Ibu pernah pacaran. Dan kau tahu, apa yang dikatakan kakekmu saat melihat Ayahmu pertama kali datang kerumah kami hanya memakai kemeja dengan jeans?” Tidak, aku tidak mau menjawab. “Katanya, ‘Apa pacarmu itu tidak punya uang untuk membeli celana bahan?’ Kau mau ayahnya Aya berbicara seperti itu di depanmu? Kalau perlu pakai jas, Yuya.”
Aku bersikeras pada pendirianku. Tidak mau! Apalagi pakai jas. “Tidak, Bu! Aya sendiri yang bilang bahwa Ayahnya itu seperti Ibu, tidak seperti kakek. Orangtua Aya tidak formal seperti kakek. Dan Aya menyuruhku untuk memakai kemeja dan jeans saja.”
Ibu menghela nafasnya. “Baiklah, terserah kamu saja. Ibu hanya mau mendengar kabar baik, Yuya.” Kemudian, ia meletakkan jas hitamku kembali didalam lemari bajuku.
Oke, aku merasa aku sudah cukup tampan. Kemeja putih, celana jeans hitam, rambut rapi, dan well… setidaknya senyumku tidak kaku. Aku kemudian melangkahkan kakiku menuruni tangga rumahku. Berjalan di belakang Ibu, lalu mataku menangkap sosok tidak asing di dalam kehidupanku. Yuu, kakak keduaku.
“Kemana?”
“Yuya mau makan malam di rumah pacarnya,” jawab Ibu.
“Jaga sikapmu. Jangan mempermalukan keluarga Takaki. Walaupun sebenarnya aku ragu apa kau tahu table manner. Sudahlah, semoga sukses.”
Ingin sekali aku meninjunya lagi seperti ketika umur kami masih 10 tahun. Yuu yang tomboy, yang selalu mengajakku bertengkar setiap hari, yang membuatku mati rasa untuk memarahi orang walaupun seorang perempuan berbuat salah kepadaku. Setelah lulus SMP, sedikit demi sedikit Yuu berubah menjadi seorang kupu-kupu yang cantik, ya harus aku akui, kakak-kakakku memang cantik. Yuu memang berubah menjadi ‘sedikit’ lebih feminine, tetapi tidak dengan aku. Aku tetap keras kepada perempuan, termasuk dengan dia dan Yui. Apalagi Yuma. Hm. Sudahlah. Aku tidak ingin mood-ku semakin hancur.
Aku berlalu pergi, melewati tempat dia duduk bersama suaminya. Ibu melambai ke arahku. “Salam untuk keluarga Aya.”
Melewati pintu pagar tinggi rumahku, aku berpapasan dengan mobil Yui, kakak pertamaku. Yui membuka kaca mobilnya, dia menyetir sendiri. Berarti suaminya menggantikannya di kantor. Yui tersenyum kepadaku. Biarpun diantara aku dan saudara-saudaraku tidak terjalin komunikasi yang baik, tetapi hanya Yui yang paling ramah kepadaku. Sejak kecil aku tidak pernah bermasalah dengan Yui.
“Pasti mau makan malam di rumah Aya,” katanya masih sambil tersenyum.
Aku menunduk. Pasti ibu cerita kepadanya tentang aku dan Aya. Ah, aku malu. Aku hanya mengangguk.
“Perlu tumpangan?” tanyanya.
Aku menggeleng. “Tidak, tidak perlu. Aku bisa jalan sendiri. Istirahatlah sana. Kau sudah dua hari sibuk dengan segala macam pekerjaan kantor. Aku tidak mau dipaksa berdiskusi lagi dengan Yuu jika kau sakit dan memintaku menggantikan pekerjaanmu di kantor. Tidak akan pernah lagi.”
Yui hanya tertawa. “Oke, oke. Sukses ya makan malamnya. Salam untuk Aya!”
Mobil sedan hitam mengkilap bersih itu berlalu disampingku.
Kakiku sudah diluar rumah. Kini aku melangkah penuh semangat dibawah langit berwarna orange. Hampir gelap, hampir pukul 6 sore. Berarti aku harus cepat sampai dirumah Aya. Aku tidak mau Aya sampai harus berdiri di depan pagar rumahnya hanya untuk menungguku. Cukup di depan pintu rumahnya saja.
Senyumku mengembang. Tidak sadar, tetapi aku tidak akan menutupinya hari ini. Aku akan menunjukkan bahwa aku pantas menjadi pacar seorang Ishihara Aya. Aku tidak main-main.
*
“Yuya!” seru Aya, excited.
Dia lalu merangkul lenganku sambil tersenyum lebar. Aya memakai gaun semi-formal warna putih dengan rambut berbandana warna hitam. Rambut hitamnya tidak tergerai seperti biasa, tetapi dengan tatanan simple namun anggun. Aku tersenyum kepadanya.
“Kau cantik,” pujiku.
“Ini pertama kalinya Yuya bilang aku cantik. Kalau begitu, setiap hari aku harus pakai baju seperti ini supa-“ Aku mengunci bibirnya dengan ciuman tipisku dibibirnya.
Aku segera melihat pipinya memerah. “Bukan lagi yang pertama, tetapi pipimu masih memerah.”
“Yuya…” Ia berbisik dan semburat merah itu semakin jelas menghiasi pipinya.
Aku meletakkan telapak tanganku diatas kepalanya. “Aku berjalan dari rumahku cepat-cepat supaya Ayahmu tidak menungguku terlalu lama, tetapi kau malah tidak mengajakku masuk ke dalam.”
“Oh iya! Maaf, maaf. Aku lupa! Hehehe.” Cengiran itu khas milik Aya. ‘Baka!’ desisan untuk dirinya sendiri. “Ayo, aku kenalan Yuya kepada Papa dan Mama.”
Langkahku sangat pasti. Aku menginjakkan kakiku dirumah yang mewah ini. Begitu memasuki ruangan besar itu, ditengah ruangan ada sebuah meja bundar lebar berdiameter kurang lebih 100 cm dengan satu pot bunga mawar putih. Di atasnya ada lampu kristal besar menghiasi pencahayaan ruangan tersebut. Jika aku boleh berlebihan, ini seperti hotel. Sebuah foto berbingkai besar menghiasi pemandangan tangga besar yang bersembunyi dibalik pot bunga lili merah tersebut. Foto itu, foto keluarga Ishihara. Ayah, Ibu, dan Aya. Gadis itu, anak tunggal. Senyumnya disana begitu tipis, terlalu anggun, dan tidak pernah kulihat selama aku bersama-sama dengan Aya.
Tangan Aya menuntunku berjalan berbelok ke sebelah kiri. Di pinggir, di tembok ber-cat cream dan marun, dengan pilar tidak terlalu besar yang dihiasi dengan ukiran yang tidak bisa aku simpulkan gambar apa itu. Tetapi ukiran itu begitu indah dan begitu artistik. Keluarga ini, mengagumkan. Jelas sekali dapat terlihat bahwa keluarga Ishihara adalah keluarga yang sangat sangat sangat sangat mampu. Aya sudah pasti berlimpah secara materi. Dan sudah pasti segala kebutuhannya terpenuhi dengan sempurna. Tetapi, tidak pernah sekalipun aku melihat Aya bermanja-manjaan seperti gadis kaya kebanyakan yang bersekolah di The Kitagawa Gakuen. Aya bahkan tidak pernah ke sekolah dengan salah satu dari koleksi mobil mewah Ayahnya.
Kami berdua sampai di depan tirai berwarna merah marun senada dengan cat tembok yang ada. Sebentar, Aya berbalik melihatku. Matanya melihatku dengan bibir yang salah satu sudutnya naik.
“Hmm…” Tangannya mengancing salah satu lagi kancing kemejaku yang masih terbuka. Kemudian tangannya naik merapikan rambutku. “Perfect! Ayo masuk.”
Aya masih menggenggam tanganku erat dan menuntunku masuk ke dalam ruangan yang aku simpulkan adalah ruang makan keluarga mereka. Dalam hitungan detik, aku dapat menggambarkan dengan jelas kehangatan ruang makan keluarga Ishihara. Wallpaper temboknya berwarna cream. Sebuah bingkai foto yang berukuran lebih kecil dari foto di pintu masuk tadi dengan foto wajah tertawa tiga anggota keluarga Ishihara. Dan mataku menemukan dua orang yang merupakan orangtua Aya.
“Konbanwa,” kataku sambil membungkuk.
Aya tersenyum sangat lebar dan dapat kulihat duplikat senyum itu diwajah ibunya. Ayah Aya, begitu gentle, tegap, dan masih segar. Ibunya sangat rapi, sopan, dan terlihat ceria. No wonder. Like mother, like daughter. Ayah dan Ibu Aya membungkuk singkat kepadaku. Aya dengan wajah cerianya menghampiri orangtuanya.
“Papa, Mama, ini Yuya, Takaki Yuya. Dia… hehehe, pacarku.”
“Takaki Yuya desu.” Aku tersenyum.
“Hai, Takaki-san. Douzo.” Ayah Aya mempersilahkanku duduk di kursi di sebelahnya. Aya duduk disebelahku dan Ibu Aya duduk di depanku.
Aku tersenyum melihat kedua orangtua Aya yang begitu serasi. “Maaf, saya terlambat.”
“Ah, tidak. Aya saja yang terlalu terburu-buru. Dia terlalu bersemangat. Tenang saja, Takaki-san,” jawab Ibunya menenangkanku.
“Papa, makannya langsung kita mulai saja,” ujar Aya. Aku melihat Ayahnya mengangguk tanda setuju.
“Hai. Hai. Gutten apetit (Selamat makan).” Suara bass Ayah Aya disambut suara ceria Aya yang mengucapkan ‘Itadakimasu’.
“Gutten apetit,” sahutku pelan.
“Sprechst du Deutsch (Bisa bahasa Jerman)?” tanya Ayah Aya kepadaku.
“Ja (Iya).”
Aya buru-buru menuangkan air putih ke gelasku sambil berkata, “Sudah sudah, nanti saja ngobrol pakai bahasa Jermannya. Sekarang, pakai bahasa Jepang dulu biar aku dan Mama mengerti.” Kemudian gadisku berbisik, “Kenapa kamu tidak bilang kamu bisa bahasa Jerman? Bahkan aku saja tidak bisa.”
Aku menjawabnya dengan senyum. “Salah sendiri tidak pernah nanya.”
Makan malam berlangsung begitu menyenangkan. Aku berbincang-bincang dengan Ayah Aya tanpa ada kecanggungan dalam diriku. Terlebih lagi aku dapat mengikuti alur pembicaraan ayah Aya, mulai dari sepak bola, Jerman, politik Jepang, dan dampak kepemerintahan Presiden Obama bagi dunia secara umum. Tidak heran jika aku bisa mengikuti pembicaraannya, aku sering mendengar suami Yui dan Yuu berbincang-bincang masalah politik dan sebagainya di ruang keluarga.
Aya yang duduk di sebelahku tersenyum ke arah Ibunya, bahkan gadisku tercengang melihatku bisa mengerti setiap topic yang dilemparkan ayahnya. Sesekali Aya ikut menimpali bincang-bicangku dengan ayahnya walaupun ketika kata-katanya sering melenceng dan ngawur.
Ketika acara makan malam selesai, dua pelayan rumah itu mengangkat semua piring dan perabotan yang ‘terserak’ di atas meja makan. Dan dengan tiba-tiba Aya mengeluarkan papan permainan, monopoli! Kami berempat bermain monopoli. Aku satu team dengan Aya, dan ayah-ibunya menjadi team lawan kami. Begitu seru dan menyenangkan. Aura ruang makan itu begitu fresh dan hangat. Satu yang dapat aku simpulkan dari acara malam itu, bahwa aku telah diterima di keluarga Ishihara. Lega rasanya.
Malam semakin gelap dan saatnya aku pulang.
Aya mengantarku sampai ke depan pintu rumahnya. Kukecup dahinya dan memeluknya erat.
“Terimakasih untuk senyum Yuya hari ini,” katanya di dadaku.
“Terimakasih untuk menerimaku di keluargamu,” balasku sambil tersenyum. “Oyasumi.”
*
Seribu sembilan ratus empat puluh empat jam setelah acara makan malam menyenangkan dirumah keluarga Ishihara alias sembilan hari setelahnya, aku masih menjadi pacar Aya. Aku masih mengantarnya ke sekolah, menjemputnya, menemaninya berjalan-jalan, bermain dengannya, bertingkah yang menurutnya menyebalkan, memberikan senyumku yang menurutnya, ehm sinis, dan masih tetap mencintai dia.
Langkah kakiku berpisah di depan pagar sekolah dengan Kouta, Daiki, Kei, dan Hikaru. Belum sempat aku melangkah satu meter di depan mereka, tangan Hikaru menarik kemeja seragamku.
“Bawa kami mau bertemu Aya-chan.” Sebuah seringai nakal khas Hikaru menghiasi lensa bening cembungku yang berwarna hitam.
Daiki mengangguk. Si pendek itu lalu menengadahkan kepalanya ke langit, ya… memulai aksi ‘lebay’-nya. “Yuya jahat. Sudah hampir sebulan berpacaran, tetapi dia tidak memperkenalkan Aya kepada kami. Memang kami ini siapa? Ka-“ Tanganku mendarat dengan sempurna di wajahnya dan kuputuskan…
“Oke, kalian akan kukenalkan dengan Aya, tapi… jangan bikin masalah. Dengar?” kataku.
“Hai. Hai.” Kei menangguk sambil merangkul Daiki. Kouta dan Hikaru hanya ketawa-ketiwi. Well… setidaknya aku tahu mereka tidak akan melakukan hal aneh-aneh.
Kaki kami kembali melangkah beriringan. Melewati jalan yang biasa aku lalui ketika menuju The Kitagawa Gakuen. Bedanya, kali ini, untuk pertama kalinya, kuajak empat teman baikku bersamaku, berjalan menjemput tuan putri. Canda tawa menghiasi perjalananku yang biasa hanya ditemani oleh bisikan angin kering siang hari. Sangat kontras dengan hari-hari sebelumnya, tetapi aku menikmati. Teman-temanku begitu bersemangat ingin bertemu pacarku.
TAK
Sebuah tangan dengan kasar menepuk pundakku. Ketika aku berbalik, kulihat mata itu, mata yang tidak asing dalam kehidupanku. Kouta, Hikaru, Kei, dan Daiki ikut melihat mata itu. Tubuh tinggi, keperawakan kasar, dengan seringaian khas orang-orang antagonis di televisi. Dia, kembali lagi. Ada apa?
“Makoto Hiro,” desis Kouta, mewakiliku. Kulihat Daiki dan Kei menghitung dalam hati personel yang dibawa oleh Hiro ke hadapan kami. Lima orang. Hiro mengisyaratkan adanya perkelahian. Lagi.
“Hisashiburi, Takaki-kun.” Kemudian dia tertawa. “Ah, sudah lama sekali aku tidak mendengar nama itu. Takaki. Bagaimana keadaan keluarga Takaki? Aman?”
Kukepalkan tangan kananku. Bergetar. Hikaru menepuk pundakku, mencoba menenangkanku, mengisyaratkan aku agar menahan emosiku. Tetapi tubuhku menolak suara tawa itu. Tawa mengejek dari keluarga Makoto.
“Kutebak, kalian pasti ingin menjemput Ishihara Aya, kan?” katanya sambil tersenyum mengejek. “Entah apa yang ada di pikiran gadis itu sampai mau berpacaran dengan kau, Takaki. Ckckck. Tidak kusangka, dia mau men-“
Kelima jari tangan kananku menggenggam erat kerah kemeja putih Hiro. Tangan kiriku sudah kukepalkan dan siap kulayangkan di wajah sempurnanya. Lima temannya segera mengelilingi, dan seolah-olah mengikuti naluri, empat temanku menghalangi mereka. Hikaru bahkan menahan dua orang.
“Jangan sekali-kali kau menyentuh dia,” kataku.
“Tidak, Takaki. Tenang saja. Aku tidak akan menyakiti dia.” Dia melepaskan dirinya dari genggaman tanganku. “Santai saja. Aku pun hanya ingin melindungi dia dari tangan-tangan kotor sepertimu. Dia tidak akan kusakiti, karena aku akan menambah dosaku sendiri. Tetapi kau!”
BUK!!
Kepalan tangannya meninju pipiku. Tubuhku goyah dan hampir terjatuh. Kulihat Hiro berlari menjauhi kami. Kakiku aku perintahkan untuk berlari mengejar Hiro, tetapi seorang temannya yang berambut pirang terang, menghalangiku. Seketika, aku, Kouta, Hikaru, Daiki, dan Kei terlibat dalam perkelahian sengit antar laki-laki. Sudah biasa, tetapi ini pertama kalinya yang disebabkan oleh karena nama seorang perempuan.
Tangan kami melayang dengan lihai ke wajah orang-orang itu, tetapi dalam hitungan detik mereka ikut mendaratkan kepalan tangan kasar mereka kepada kami. Kurasakan sudut bibirku panas, berubah menjadi merah, dan sedikit bau anyir menyergap ke otakku. Tubuh kami terhempas ke tanah aspal. Aku tahu, bukan hanya wajahku yang terluka, tetapi juga teman-temanku. Kulihat wajah mereka tidak jauh berbeda dari bayanganku akan luka di wajahku sendiri. Kei, Hikaru, Kouta, dan Daiki kembali terlibat perkelahian dan masih karena aku. Mereka tidak pernah meninggalkanku, sekali pun dalam perkelahian dengan alasan yang tidak jelas seperti ini.
Makoto Hiro, anak dari Makoto Sato, pembunuh ayahku. Keluarga Makoto adalah musuh besar keluarga Takaki. Keluargaku mengetahui tindak tanduk Makoto Sato yang berbuat curang di perusahaannya sendiri. Dulu, ayahku adalah teman baik Sato, tidak heran jika Ayah tahu apa yang dikerjakan Sato. Ketika Sato mengajak Ayah untuk berbisnis obat-obat terlarang, Ayah menolak. Ayah tidak jahat kepadanya dengan memberitahu ulah mereka dibalik kedok bisnis perusahaan elektronik kepada pihak kepolisian. Ayah tahu betul apa yang mereka lakukan, mereka tidak hanya menjadi dealer besar narkoba yang menguasai wilayah Tokyo, Osaka, dan Hokkaido, tetapi juga meng-hire orang-orang pintar berotak busuk untuk menjadi perakit bom. Bom rakitan yang dijual kepada para teroris kelas dunia. Tetapi, Ayah tetap setia kepada sahabatnya. Tidak mengadukan mereka kepada polisi. Namun, Sato tidak percaya pada kesetiaan Ayah. Dia mengirim orang untuk membunuh Ayah. Sato, melalui orang kirimannya, meracuni Ayah, memasukkan narkoba dengan dosis berlebih ke dalam makanan dan minuman Ayah. Ayah meninggal, tiga tahun lalu. Ibu tidak ingin menyebarluaskan kenyataan yang terjadi. Katanya, biarlah hanya keluarga Takaki yang tahu agar tidak terjadi perpecahan yang semakin parah diantara keluarga kami.
Apa sampai sekarang mereka belum puas?
Siapa target berikutnya?
Aku? Ibuku? Yui? Yuu? Yuma?
Atau… Aya?
----------------------------------
/TBC/