Fallacy
(Indonesia version)
A fanfic by Aka Natsuka (Nacchi)
December 2013
Chapter - 17/20
Genre - Suspense | Slice-of-life | drama
Rating - PG-15
Character - Arashi, Perfume, Inoue Mao, Fukada Kyoko, Kitagawa Keiko
Disclaimer - Johnny’s Entertainment, Amuse, and other actress aren't mine
Warning -complicated story and relation between characters. Super-long-never-ending-hard-to-believe story-line. Novel-like narrative. Disambiguous plot. Not recommended for non AU reader also non OC pairing (if you avoiding OC/member fic and only accept other pairing, just ignore this). this story is just fiction, same name, places, time is unrelated to the fact.
A/N - if only human being can choose their path to live another life and believe in a world of their own
[ per chapter link :
prologue |
1 |
2 |
3 |
4 |
5 |
6 |
7 |
8 |
9 |
10 |
11 |
12 |
13 |
14 |
15 |
16 | 17 |
18 |
19 |
20 |
epilogue | ]
Bagian 17
Nino berhenti di lorong rumah sakit melihat Ayaka yang menghampirinya. Ayaka berdiri di depan Nino dan tersenyum “Aku percaya Sho-nii akan sembuh jika kau masih menganggapnya sama seperti dulu. Ninorin tak perlu khawatir”.
Nino mengernyit dan memperhatikan perempuan di hadapannya.
“Apa Ninorin tidak ingat pertama kali kau bertemu dengan Sho-nii?”
Nino mengalihkan wajah memejamkan mata mencoba berkonsentrasi untuk mengingat namun gagal. Laki-laki itu menggelengkan kepala. Ayaka dapat melihat pria di depannya dengan sorot mata yang sayu dan dipenuhi rasa sesal kemudian ia meneruskan. “Kau tahu sebenarnya Sho-nii hanya menyalahkan diri sendiri karena tak bisa menolongmu waktu di arena ski. Kronologis yang terjadi tidak persis seperti yang dikatakan Sho-nii”.
Nino yang terkejut balik bertanya “Apa maksudmu dengan tak persis seperti yang dikatakan Sho?”
“Inaba-sensei tahu kronologisnya. Sepertinya baik Sho-nii maupun Inaba-sensei menyembunyikan kebenaran dan menciptakan versi cerita seakan ini kesalahan Sho-nii”.
Nino geram dan mencengkeram lengan Ayaka. “Kau juga tahu semuanya kan? Ceritakan semuanya padaku!”
Ayaka yang tertunduk melihat Nino sembari menggeleng. “Aku tak tahu apapun tentang itu. Aku hanya sedikit tahu karena Sho-nii tidak pernah membahas soal itu bahkan padaku maupun Kyoko”.
Nino melepas cengkeramannya pada Ayaka.
“Ninorin, kau harus mengingat semuanya. Dengan begitu kau dapat menolong Sho juga yang lain”.
Nino tertunduk dan akhirnya ia memutuskan secepat mungkin menemui Inaba-sensei. Ayaka mengikutinya. Mereka berdua masuk ke dalam mobil.
“Ojou-san.. ah, bukan.. A-chan” Nino yang bersiap mengganti kopling sebelum menjalankan mobil melihat ke arah Ayaka. “Dari semua orang yang terlibat dalam kehidupanku mengapa hanya kamu yang bisa kuingat?”
Ayaka terbengong. “Mungkin karena kita kita telah bertemu sejak lama”.
“Pasti bukan karena itu. Kalau karena waktu kita bersama, mengapa aku tak bisa mengingat wajah suster yang mengurus di panti asuhan juga orang tua angkatku? Mengapa aku tak ingat bagaimana dulu Sho, Matsumoto-keibu, Ohno-san, juga Aiba-san? Mengapa aku hanya ingat peristiwa saat bersamamu? Siapa kamu sebenarnya?”
Ayaka terdiam dan menunduk “Apa kau tak suka aku ikut menjadi karakter dalam hidupmu?”
“Bukan begitu. Aku sendiri bingung dengan ingatanku. Apakah mungkin kau berarti dalam hidupku makanya aku tak melupakanmu?”
“Bagaimana menurut Ninorin sendiri?”
Nino melihat perempuan yang bertanya di sebelahnya. “Aku sendiri tak begitu mengerti”.
Nino memutar kemudi dan mobil bergerak dari area parkir meninggalkan rumah sakit. Mobil yang dikendarai Nino itu meluncur di aspal melewati jalan raya yang diterangi lampu yang berderet sepanjang jalan. Nino menambah kecepatan ketika jalan mulai lengang dan mereka tak lama kemudian sudah meninggalkan pusat kota Tokyo ke arah selatan menuju Kanagawa.
“Mengapa kau ikut aku?”
Ayaka menoleh Nino yang tiba-tiba bertanya.
“Daripada mengikutiku, bukankah sebaiknya lebih mengkhawatirkan kondisi kakakmu”.
Perempuan yang duduk di sebelah Nino itu berkata, “Aku memang sayang Sho-nii. Meskipun demikian dia bukan kakakku yang sesungguhnya. Aku lebih setuju jika beranggapan kakak yang kukenal pertama adalah Kazu. Itu sebabnya aku sangat ingin memulihkanmu dengan mempertemukan Kazu kembali dengan Ma-kun, J dan riidaa setelah kau tinggal bersama kami”.
Nino tak berkomentar dan fokus menyetir meskipun sedikit terusik dengan cara Ayaka memanggilnya. Ia tak biasa dipanggil dengan namanya dan merasa risih tapi gadis itu mengucapkan dengan entengnya seakan mereka punya hubungan khusus.
“Apa kau tak ingat janji di gudang asrama panti asuhan dulu?” tanya Ayaka lirih.
“Janji?”
Ayaka mengangguk dan wajahnya bersemu. “Kita berjanji tak akan saling meninggalkan dan menikah setelah dewasa”.
Nino menjadi bingung “Eeh? Apakah aku pernah berkata seperti itu?”
Ayaka tertawa. “Wajar saja sih kalau kau tak ingat karena sudah lama sekali dan itu terdengar memalukan”.
“Itu sangat konyol. Tapi kan, kau tak perlu menanggapi pernyataanku itu sampai sekarang”. Ayaka melihat Nino yang tersipu.
“Aku juga tak tahu kenapa aku harus melakukan ini, tapi aku merasa sebaiknya aku mengikutimu saja”.
Nino tersenyum dan di dalam hatinya mengutuk diri karena pernah melakukan hal yang begitu memalukan sampai merepotkan seseorang gara-gara itu. Ia tak tahu bagaimana perasaannya pada Ayaka dulu. Sejak ia sadar dan bertemu kembali dengan cewek itu ia langsung tahu begitu saja kalau Ayaka adalah teman kecilnya. Ini sangat aneh. Ia masih saja tak mengerti mungkinkah gadis itu adalah salah seorang yang berpengaruh dan juga kunci ingatan masa lalunya?
1994
Arena Ski Minakami kogen, Fujiwara, Minakami-machi, Gunma-ken
Nino menoleh kembali pada sosok yang ia lihat di balik pohon di kejauhan. Ia kenal gadis mungil itu, tapi mengapa dia ada di tempat itu? Sosok mungil itu masih melihat Nino di kejauhan dan melambaikan tangan pada Nino. Nino menoleh ke keempat temannya yang tengah bercengkerama di depannya yang berjalan melewati tumpukan salju sambil membawa peralatan ski.
Baik Sho, Masaki, Jun maupun Satoshi nampaknya tak menyadari kehadiran sosok gadis bernama Ayaka itu. Nino ragu akan keputusannnya tapi dia harus melakukan ini. Karena mulai dari ini segalanya ditentukan, ia tak perlu khawatir lagi. Nino melepas sarung tangannya dan memasukkan ke kantong jaket kemudian ia berteriak pada keempat anak lelaki yang lebih dulu berjalan di depan.
“Teman-teman, maaf aku akan mencari sarung tangan yang tertinggal. Aku akan menyusul nanti jika sudah ketemu. Kalian pergi dulu ke camp saja, oke?”
Masaki menoleh melihat Nino diikuti Jun, Satoshi dan Sho.
“Ninorin kau yakin ingin mencarinya?” tanya Satoshi.
Nino mengangguk. “Karena itu pemberian kaa-san yang berharga jadi aku tak ingin menghilangkan begitu saja”.
Jun mengerucutkan bibir. “Tak apa mencari sendiri?”
Nino tersenyum pada anak laki-laki yang lebih muda dua bulan lebih sedikit darinya itu. “Tidak apa-apa kok. Aku pasti cepat menemukannya, sudah dulu ya”.
“Hati-hati, Ninorin. Kami akan menunggumu di camp”, teriak Masaki sementara Nino dengan gesit berlari meninggalkan keempat temannya.
“Sho-kun ayo!” ajak Masaki pada anak laki-laki yang hanya berdiri diam.
Sho masih melihat Nino yang pergi dengan alis berkerut sementara salju musim dingin turun semakin banyak dan sangat mengganggu jarak pandang. Sebelum beranjak Sho menoleh lagi ke belakang namun Nino sudah tak terlihat. Badai salju yang terus turun secara drastis ini sebenernya cukup berbahaya apalagi di tempat seperti ini. Jika tak berhati-hati bisa saja terperosok di timbunan tebal salju. Mungkin itu sebabnya untuk hari ini arena ski ditutup lebih awal, itu yang didengar Sho dari pembicaraan beberapa pengunjung di atas tadi.
Sho mengurungkan niatnya mengikuti Masaki, Satoshi dan Jun. Ia mencemaskan Nino, firasatnya tak enak. “Gomen. Kalian pergilah ke camp dulu. Aku akan membantu Nino. Mungkin akan lebih cepat menemukannya jika kubantu”.
Sebelum ketiganya mengizinkan Sho yang berbalut jaket tebal berwarna merah itu berbalik dan menyusul ke arah perginya Nino.
Nino menemui gadis mungil yang bersembunyi di balik pohon.
“Kau ngapain di sini, A-chan?”
“Maafkan aku Kazu. Aku diam-diam mengikuti kalian karena tak diajak. Aku kan ingin ikut”.
Nino berdecak. “Sudah kau pulang saja. Jika Sho tahu kau di sini dia pasti akan marah”.
“Tidak mau. Aku akan ikut Kazu kemanapun kau pergi”.
“Kenapa sih kau masih saja keras kepala?” Nino menarik Ayaka pergi dari tempat itu mencari tempat berteduh karena badai salju mulai mengganggu pandangan. “Dengar ya, mulai sekarang kau jangan mengikutiku lagi. Aku sudah mulai sibuk dan jika kau mengikuti terus aku bisa repot”.
Ayaka berhenti.
“Apa lagi?” tanya Nino sudah mulai kehilangan kesabaran.
“Jadi Kazu sekarang lebih memilih bermain dengan teman-temanmu ya? Baiklah A-chan akan pulang. Sampai jumpa Ninorin”.
Ayaka berbalik dan berlari meninggalkan Nino membuat Nino kikuk dan menarik tangan Ayaka. “Tunggu! Jangan berlari di sini bahaya. Kau bisa terperosok salju. Sudah sama aku saja”.
Nino menarik dan membawa pergi Ayaka mencari shelter untuk berteduh. Sayup-sayup ia mendengar seseorang memanggil namanya.
“Ninooo??”
Nino tahu pemilik suara itu. Dan benar saja ia melihat Sho mengejarnya di belakang. Nino berusaha menutupi Ayaka dengan tubuhnya. “A-chan cepat kita harus pergi dari sini. Jangan sampai Sho tahu kau ada di sini”.
Nino berlari di belakang melindungi Ayaka sementara gadis kecil itu berlari lebih dulu di depan Nino.
“Nino, tunggu. Apa kau sudah menemukan sarung tanganmu?” Sho melihat anak lelaki yang berjaket biru yang ia kenal sebagai Ninomiya Kazunari namun ia bingung mengapa Nino terus berlari seperti sengaja menghindar.
“Tunggu! Jangan asal berlari, di sini bahaya!”
Nino tak menghiraukan Sho. Sementara Sho mengejarnya ia berlari melindungi Ayaka sejauh mungkin. Sho mempercepat larinya karena Nino semakin jauh. Pemandangan di sekeliling berubah menjadi gelap karena badai salju yang terus turun dan mereka semakin masuk ke dalam hutan.
“Nino, aku bilang berhenti”.
Nafas Nino makin memburu saat Sho mulai mendekatinya dan badai salju amat mengganggunya sehingga ia tak bisa melihat Ayaka di depannya dengan jelas. Sederet pohon di depan mungkin akan membantunya bersembunyi sehingga Sho akan kehilangan jejaknya. Nino pun mengambil rute berbelok tanpa tahu di depannya adalah tepi jurang yang di bawahnya sungai. Nino terus berlari sementara Sho masih mengikutinya. Nino terkejut saat salju yang diinjaknya ternyata tak begitu padat dan perlahan longsor. Ia kehilangan keseimbangan dan berusaha meraih apapun untuk menahan berat tubuhnya yang akan jatuh. Ternyata tempatnya berdiri tadi jurang yang tak terlihat karena tumpukan salju yang sebagian beku menjadi es. Permukaan es yang licin membuat Nino tergelincir dan tubuhnya mengikuti gravitasi bergulung bersama salju yang longsor ke tepian sungai. Ia berusaha melindungi tubuhnya dari benturan dengan permukaan tanah sampai bagian belakang kepalanya membentur sesuatu yang keras. Tubuhnya berhenti menggelinding namun Nino mendadak pusing dan pandangannya menjadi tak jelas. Tubuhnya begitu sakit akibat efek benturan saat menggelinding tadi.
Sho hanya bisa melihat sosok tubuh kawannya yang menggelinding mengikuti permukaan tanah yang membeku dan licin sampai ke tepi sungai. “NINOOO??!” Sho mencari jalan untuk turun. Akhirnya ia sampai di bawah dan mendekati Nino yang tak berdaya. Sho menekuk lutut dan duduk di sebelah Nino.
“Oi, kau tak apa kan?”
Nino tak menjawab, ia merasa sangat lemah. Sho melihat tetesan darah dari balik kepala Nino dan shock. Darahnya seakan terkuras begitu melihat pemandangan yang mengerikan itu. Sho tak tega melihat darah tapi ia ingin menolong Nino. Ia mengangkat kepala Nino dan melihat sarung tangan yang digenggam di tangan Nino. Sho menahan darah yang keluar dari kepala Nino sembari melihat wajah temannya yang sangat lemah. Tenggorokannya begitu susah menelan dan tanpa sadar air mata menetes dari mata bulat anak laki-laki berkulit putih susu dengan rambut dicat coklat sedikit ikal itu. Sho sesenggukan.
“Kumohon jangan mati, Nino”.
“Sh-Sho maafkan aku. Aku.. bohong.. Sebenarnya aku mau .. ketemu A-chan”. Nino hilang kesadaran matanya terpejam dan tubuhnya melemah.
Sho semakin tak dapat menahan isak tangisnya saat melihat sahabatnya itu terbujur lemah.
“Aku bilang jangan mati...” ucap Sho lirih masih memegang kepala Nino dengan sarung tangan. Tak lama kemudian beberapa orang yang sedang melintasi tempat itu menemukan Sho dan Nino. Di antara kelompok itu ada Paman Sho yang kebetulan juga sedang berlibur. Inaba Daiki pun membawa kedua anak laki-laki itu ke shelter terdekat di area itu dan merawat luka Nino yang tak kunjung sadar dengan pertolongan seadanya.
***
Nino bingung menghadapi kejadian di depannya. Ia seperti berada pada waktu sekarang, bukan flashback tapi entah mengapa semuanya mendadak berubah begitu aneh. Ia tak tahu apa yang terjadi pada dirinya. Keadaan yang ia alami sekarang sungguh abstrak-tak masuk akal untuk dijelaskan. Ini seperti sebuah mimpi atau halusinasi. Namun entah mengapa begitu nyata. Ia seperti sedang menonton adegan film namun ikut terlibat dalam dunia mereka. Ia menyapa, berteriak dan mencoba menarik perhatian orang yang berlalu lalang namun mereka mengacuhkannya seakan ia tak ada di sana. Ataukah ia memang sedang syuting film? Tapi ia tak melihat sutradara, juru kamera maupun pengarah mikrofon. Ini sangat tak masuk akal. Kenyataannya ia bahkan tak bisa mendengar suara selain hujan. Ia seperti sedang bermimpi atau mati?
Benarkah kondisinya saat itu ia telah mati? Ia dapat merasakan tubuhnya namun tak ada yang menggubrisnya. Seolah-olah ia hanya roh yang bergentayangan. Sementara sibuk dengan dirinya ia melihat seorang berjas dan berpayung hitam berjalan melewatinya. Itu Ohno Satoshi. Nino segera berjalan ke arahnya dan menarik tangan Satoshi namun Satoshi tak dapat disentuh. Leader-nya itu bahkan tak dapat mendengarnya. Nino mengikuti Satoshi. Mereka sampai di sebuah kuil. Di kuil itu sedang ada upacara kematian seseorang. Nino melihat Masaki, Sho dan Jun juga ada di sana. Satoshi bergabung bersama ketiga temannya.
Jadi, benarkah yang mati adalah dirinya? Saat ia melihat ke pigura foto yang menunjukkan orang yang meninggal atau iei di sana ia menyadari segalanya. Di sana terpampang foto dirinya. Ia pun membeku. Itulah sebabnya mengapa ia nampak absurd dan tidak nyata. Mungkinkah saat itu ia dalam bentuk rohnya ataukah ini bagian dari mimpinya? Nino ingin segera bangun jika ini mimpi. Ia ingin tahu kebenaran semua ini. Nino berusaha mengingat yang baru saja terjadi. Namun semakin diingat kepalanya begitu sakit. Seseorang berpayung muncul di hadapannya. Sakurai Ayaka.
Gadis itu sepertinya menyadari keberadaan Nino atau lebih tepatnya ia bisa melihat Nino. Nino menatap gadis yang ternyata memang sedang melihatnya.
“Kau bisa melihatku?” tanya Nino.
Gadis itu membalas dengan senyum. Nino pun berjalan mendekati Ayaka. “Apa yang telah terjadi?”
Ayaka tersenyum lagi. “Terima kasih Kazu. Aku kemari ingin menyampaikan rasa terima kasihku. Aku bahagia bisa bertemu denganmu sekali lagi. Saat pertama bertemu denganmu aku tahu Kazu adalah orang yang baik, makanya aku sangat senang bisa berteman sampai sekarang”.
Ayaka berjalan melewati Nino yang masih terbengong.
“Tunggu dulu. Kau tak perlu menyampaikan itu sekarang, kan. Cepat jelaskan yang terja-” Nino berbalik namun Ayaka sudah tidak ada. Nino mengedarkan pandangan ke sekelilingnya tak nampak tanda-tanda kepergian Ayaka. Mengapa gadis itu cepat sekali perginya.
Nino gusar dan penasaran akan maksud ucapan Ayaka. Ia pun kembali ke upacara pemakaman mencari dan meneriakkan nama perempuan itu. Nino mendapati seluruh orang di tempat itu menatapnya janggal termasuk teman-teman dekatnya. Aneh tiba-tiba mereka semua bisa melihatnya, bukankah mereka tadi tak menyadari keberadaannya.
Laki-laki itu kembali melihat ke iei. Gambar di sana berubah menjadi kosong. Sekali lagi Nino bingung dan terpa ku lalu mendadak kepalanya terasa nyeri. Nyeri yang sangat hebat itu membuatnya jatuh terduduk. Saat ia memejamkan matanya ia seperti melihat bayanga n fragmen peristiwa dalam hidupnya berkecamuk di kepalanya. Seakan semua memori sejak ia berada di panti asuhan hingga kini masuk ke kepalanya. Ia tiba-tiba mengingat semua kejadian termasuk insiden yang mengakibatkan dirinya amnesia di arena ski. Namun kepalanya masih amat nyeri seperti ditusuk dan terasa mau pecah. Nino pun ambruk.