Fallacy
(Indonesia version)
A fanfic by Aka Natsuka (Nacchi)
December 2013
Chapter - 12/20
Genre - Suspense | Slice-of-life | drama
Rating - PG-15
Character - Arashi, Perfume, Inoue Mao, Fukada Kyoko, Kitagawa Keiko
Disclaimer - Johnny’s Entertainment, Amuse, and other actress aren't mine
Warning -complicated story and relation between characters. Super-long-never-ending-hard-to-believe story-line. Novel-like narrative. Disambiguous plot. Not recommended for non AU reader also non OC pairing (if you avoiding OC/member fic and only accept other pairing, just ignore this). this story is just fiction, same name, places, time is unrelated to the fact.
A/N - if only human being can choose their path to live another life and believe in a world of their own
[ per chapter link :
prologue |
1 |
2 |
3 |
4 |
5 |
6 |
7 |
8 |
9 |
10 |
11 | 12 |
13 |
14 |
15 |
16 |
17 |
18 |
19 |
20 |
epilogue | ]
Bagian 12
Masaki bertumpu pada kedua lengannya ke meja dan ia teringat hal yang ingin ia tanyakan. “J, kenapa kau tak memberitahuku bahwa Ninorin sudah kembali?”
Jun kaget. Ia tak pernah berpikir Masaki akan menanyakan ini padanya.
“Aku tak tahu ternyata dia ikut Sho. Aku pikir aku tak pernah bisa bertemunya lagi”. Masaki bersandar pada punggung kursi. “Aku tak peduli jika kalian tak mau memberitahuku. Sebenarnya aku sedih melihat kondisinya sekarang tapi mengetahui dia masih hidup saja aku senang seakan aku baru saja terbangun dari mimpi buruk”.
Jun menghela nafas dan asap rokok yang habis dihisap menyebar di udara. “Aku tahu kau menganggap Ninorin seperti saudaramu sendiri. Sebenarnya aku juga belum lama bertemu dengannya kembali. Waktu itu aku pikir sebaiknya aku memberitahu kau dan Riidaa. Hanya saja mengingat kalian begitu sibuk dan sudah tak mau ingat kejadian itu, aku membatalkannya. Itu juga yang menjadi alasan kau memisah dari kami kan?” Jun berhenti sejenak dan meneruskan kalimatnya. “Aku tahu kalian sangat trauma. Sejak saat itu, aku melihat kau dan Riidaa menjauh dariku dan Sho-kun. Mungkin kalian benar-benar terluka karena kehilangan. Aku sendiri terus mengutuk hidupku. Aku bahkan tak tahu harus bereaksi bagaimana saat melihat Nino kembali”.
Keduanya terdiam sejenak.
***
September 2011
CJB Chiyoda-ku Branch
Matsumoto Jun menghisap sebatang rokok sambil duduk menunggu orang yang perlu ditemuinya hari itu, yang membuatnya harus ke bank menangani hal yang semestinya bisa dikerjakan oleh detektif junior asistennya yang karena suatu alasan tak bisa bertugas. Jun menaikkan sebelah alisnya dengan sebelah kakinya terus bergerak menunggu tak sabar sementara matanya menatap pintu berwarna hijau di ujung lorong. Ia mengutuk orang di dalam ruangan itu yang telah membuatnya menunggu dan merasa jadi seperti sedang mengantri untuk periksa kesehatan.
Sang inspektur menghempaskan tubuh ke sandaran sofa. Menunggu memang hal paling membosankan yang pernah ada. Ia menghembuskan asap rokok, mematikan rokok dan membuangnya saat pintu akhirnya terbuka. Seharusnya kini giliran ia yang masuk ke ruangan itu. Jun membetulkan letak jas dan pinggiran lengan kemejanya yang menyembul dari balik jas berusaha memasang senyum sebelum menghadapi orang yang akan ditemuinya.
Jun tersenyum dan bangkit dari tempat duduk saat namanya dipanggil oleh seorang wanita yang mempersilahkan masuk ke ruangan itu. Ia berjalan sambil menunduk pada seorang laki-laki yang baru keluar dari ruangan dan melewatinya. Pria itu berperawakan lebih pendek darinya dengan kulit wajah yang bersih dan rambut hitam bar-layer ditata rapi, nampak seumuran dirinya mengenakan setelan jas hitam mirip eksekutif muda. Ia melewati Jun seraya menundukkan kepalanya dengan sopan.
Tanpa alasan yang jelas, Jun merasa familier dengan wangi juga paras pria itu. Namun karena ia tak terlalu memperhatikan dan karena berlangsung dalam waktu yang singkat, ia mengabaikan. Hanya saja pikirannya terusik. Ia terus memperhatikan pria yang berlalu itu sampai masuk ke dalam lift dan berbalik. Inspektur itu akhirnya menyadari ia memang pernah mengenal pria itu. Pintu lift segera menutup dan ia mendengar suara wanita OL kantor itu menyuruhnya untuk masuk ke ruangan. Tanpa menggubris panggilan, Jun meninggalkan lorong menuju lift. Ia pun mengejar pria berjas tadi.
Matsumoto Jun seperti kehilangan akal sehatnya dan hanya mengikuti naluri ia tak tahu mengapa ia harus mengejar orang misterius tadi. Ia menekan tombol lift yang menuju ke lantai dasar berharap masih bisa mengejar pria tadi. Jun sampai di lantai satu tempat teller bank dan meja customer service serta area tunggu. Ia menyisir setiap sudut mencari pria tadi, namun nihil. Sang inspektur pun keluar dari bank dan ia menemukan yang dicari. Pria dengan setelan hitam tadi memarkir mobilnya tak jauh dari pintu dan masuk ke dalam mobilnya. Jun mengejarnya dan membuka pintu mobil di sebelah tempat kemudi langsung masuk. Pria yang dikejar Jun yang baru masuk ke mobil itu kontan terkejut dan mengira ia akan dirampok. Ia dengan cepat menarik kembali kunci kontak hendak keluar dari mobil namun Jun mencegahnya.
“Ninomiya Kazunari, aku tak salah kan?”
“Ya?” Pria itu tampak bingung.
“Kau Ninomiya Kazunari bukan?”
Jun heran lawan bicaranya nampak ragu mengungkapkan identitasnya; mata pria itu bergerak bergantian ke arah yang berlawanan seperti terpojok.
“Tunggu, ada apa ini?”
“Maafkan aku lancang masuk mobilmu. Tapi saya hanya ingin tahu kau benar Ninomiya kan? Apa kau tak mengenalku?”
Pria yang dikenal sebagai Nino itu melihat Jun sekali lagi sambil mengerutkan alis. “Maaf apa kita pernah bertemu sebelumnya?”
Jun kecewa, ia ragu dirinya salah mengenali orang. “Ah, maafkan saya. Saya kira anda teman saya”.
“A-ah! Nama saya memang Ninomiya Kazunari, tapi saya lupa siapa-”
Ekspresi di wajah Jun berubah. “Jadi kau benar Ninorin?”
“Eh, Ninorin?”
“Ya, aku J. Matsumoto Jun!”
Jun keheranan akan sikap Nino yang sama sekali tak menunjukkan perubahan ekspresi sedikit pun, malah terkesan semakin bingung dan begitu terpojok dengan kondisi ini. Ia juga kecewa, jangan-jangan temannya itu memang sudah lupa segala hal tentang dirinya.
“Begini, Matsumoto-san. Mungkin anda pernah mengenal saya, namun saya yang sekarang, maaf-” Nino sengaja memberi jeda saat menjelaskan. “Saya mengalami amnesia dan tak ingat beberapa hal termasuk orang-orang yang saya kenal ataupun sebaliknya”.
Tenggorokan Jun serasa tercekat sampai ia sulit menelan ludah. Jadi, Nino yang sekarang sama sekali tak mengenal dirinya. Ia yakin orang ini memang Ninorin, sahabatnya dulu namun bertemu dengan kondisi seperti ini sungguh di luar harapannya. Karena shock, inspektur itu bersandar ke jok kursi berusaha mencerna situasi. Wajahnya menunjukkan kekecewaan sekaligus penyesalan yang dalam. Nino dapat merasakan semua itu.
“Kalau boleh tahu, Matsumoto-san ini siapa ya?”
Jun semakin pasrah mendengar pertanyaan yang keluar dari mulut seorang sahabatnya. Namun ia mengubah sikapnya agar terlihat lebih berwibawa.
“Ninomiya-san, saya teman akrab anda dulu waktu SD sampai SMP kita bermain bersama. Sekarang saya bertugas di Kepolisian pusat dan menjabat sebagai inspektur. Kalau berkenan, izinkan saya ikut menumpang. Tak masalah anda mau ke mana, saya hanya ingin bertanya beberapa hal”. Jun berharap Nino setuju dengan permohonannya.
Nino percaya Jun tak bermaksud jahat setelah polisi itu menunjukkan lencananya. Ia pun membolehkan Jun menumpang kendaraannya.
Mobil keluar dari bank dan Nino membelok ke jalan raya. Hening di antara kedua pria itu membuat suasana menjadi canggung.
“Ah, maaf-saya tidak tahu apakah ini boleh ditanyakan atau tidak, tadi anda sengaja keluar dari bank untuk mengejar saya, kan-namun saya lihat anda juga mengantri di lorong executive lounge?” Nino mencairkan suasana.
Jun kaget dengan pertanyaan Nino yang ternyata juga memperhatikannya. “Hm, ya sebenarnya saya ada janji bertemu dengan pihak bank itu, tapi saya ingin memastikan kalau saya tidak salah orang”.
“Lalu apa tidak apa-apa meninggalkan begitu saja?”
“Tak masalah, aku bisa minta anak buahku untuk mengurusnya”.
Nino membulatkan mulut. “Lalu apa yang ingin anda tanyakan dari saya?”
Jun merasa ada yang aneh dengan atmosfer pembicaraan ini. Sungguh aneh baginya yang mengenal baik Nino harus bicara begitu formal. Ia sebenarnya sangat ingin bicara dengan santai, namun lawan bicaranya seperti sudah terbiasa menggunakan tata bahasa dan sopan santun layaknya berhadapan dengan orang penting di negara ini.
“Eh, sebenarnya saya tak menduga bertemu dengan sahabat saya, Nino dalam kondisi begini. Meskipun demikian, saya sangat senang akhirnya bisa bertemu lagi setelah sekian lama dan tampaknya itu hal yang mustahil. Makanya saya ingin tahu apa yang dilakukan anda sekarang”.
“Sebelumnya saya minta maaf jika membuat tuan kecewa. Saya sendiri tak bisa menolong diri saya sendiri waktu orang lain mengenali saya sementara saya tidak tahu. Saat ini saya bekerja di sebuah yayasan yang mencakup gabungan dari bisnis properti dan perhotelan milik Sakurai. Apa anda pernah mendengar mengenai itu?”
“Sakurai maksudnya yayasan milik pebisnis Sakurai Sho itu?”
“Ah, ya, anda benar”.
“Jadi anda bekerja di sana? Saya kenal Sho. Kami juga mengadakan kerjasama di bagian keamanan. Sebenarnya kalau boleh saya ingatkan, dulu saya, anda dan Sho berada dalam satu kelompok”.
“Benarkah? Wah, saya tak tahu itu. Bertemu dengan teman semasa kecil sungguh di luar dugaan, ya”.
Jun membalas dengan senyum. “Jadi anda sudah berapa lama bekerja di sana?”
“Sampai sekarang sudah menginjak bulan keempat. Ah, apa anda juga ingin tahu bagaimana saya bisa bekerja di sana?”
Jun mengangguk cepat, ia terkesan oleh Nino seperti dapat membaca pikirannya.
“Sebelumnya saya bekerja di Matsuzawa Byoin dan dari sana saya bertemu Sakurai Sho. Lalu ia merekrut saya untuk bergabung dengan yayasannya. Waktu itu saya sempat tak habis pikir, bagaimana mungkin seorang dengan pendidikan yang minim dan pengalaman kerja yang masih dangkal seperti saya dapat langsung bekerja di yayasan ternama itu. Buat saya itu sebuah keajaiban yang benar-benar tak terduga”.
Jun melihat ekspresi di wajah Nino yang berbicara dengan semangat. Nampak tak ada penyesalan, bahkan Nino begitu bahagia bisa bekerja di tempat Sho. Hal yang dikhawatirkan Jun. Yang membuatnya terus berpikir akan kekecewaan yang mendalam terhadap Sakurai Sho atas keputusannya mempekerjakan Nino yang teman mereka sendiri tanpa sepengetahuannya dan penyesalan karena Jun terlambat mengetahui keberadaan Nino. Ia hanya termenung dan menjadi tak seantusias waktu ia menemukan Nino tadi. Jun meminta Nino menurunkannya di dekat halte pemberhentian bus berpura-pura memang tujuannya menumpang sampai sana. Ia mengucapkan terimakasih pada Nino dan dibalas dengan senyuman dan Nino yang menunduk sopan padanya sebelum berlalu.
***
“Sesungguhnya, aku ingin memberitahu Riida tentang keberadaan Nino. Bagaimana menurutmu?” tanya Jun.
“Entahlah. Jangan tanya padaku. Aku rasa di antara kita berempat dia yang paling terpukul saat Ninorin hilang. Setelah itu dia berusaha menghindari kita. Dia masih baik padaku sih, karena mungkin aku sudah jadi saudara iparnya”. Masaki meneruskan, “Riidaa bertanggung jawab atas peristiwa itu mungkin karena ia yang paling tua di antara kita. Akibatnya ia harus menanggung beban sendiri. Sampai sekarang ia berusaha melupakan kejadian itu tapi aku tahu dia sebenarnya masih sangat peduli pada kita semua-meskipun kau tahu, dia sudah sangat sibuk”.
Jun mengangguk menyetujui ucapan Masaki.
“J..” ucap Masaki memanggil Jun. “Entah kenapa aku merasa ada yang tak beres dengan Sho. Apa kau tidak merasakannya; dia sudah benar-benar berbeda dari yang dulu kita kenal”.
“Ya, aku tahu. Sho yang sekarang jauh lebih keras kepala dan bertindak menuruti kemauannya saja. Aku pikir mungkin karena pengaruh peristiwa itu juga. Tapi yang masih membuatku bertanya-tanya, bagaimana bisa ia menemukan Nino dan dia malah menjadikannya asistennya?”
Masaki menanggapi Jun dengan cepat. “Persis. Itu juga yang aku pikirkan. Sangat aneh jika memang Sho menemukan Nino, bukannya tak langsung memberitahu kita malah sepertinya menyembunyikan keberadaannya dari kita-”
“Tunggu dulu. Maksudmu menyembunyikan?”
“Entahlah. Mungkin ia tak bermaksud menyembunyikan. Dia juga mengatakan padaku waktu bertemu kalau dia melakukan ini semua demi Nino sampai ia benar-benar pulih. Namun alasan itu aneh menurutku. Jika memang ia peduli pada Nino seharusnya ia segera bilang kalau ia menemukan Nino apapun kondisinya”.
“Menurutku juga tindakannya cukup tak adil. Tapi aku pernah bertanya pada Nino, karena ia tak tahu apa yang harus ia lakukan ia memilih bekerja pada Sho dan lagi mungkin ia merasa Sho mengetahui masa lalunya setelah ia menemukan seseorang yang mengenalnya dan ia merasa aman di dekatnya”.
Masaki termenung memikirkan bagaimana Nino bisa bersama Sho dan juga cerita Jun tentang pertemuan kembali dengan Nino.
“Mungkin bagi kita tak sepatutnya Sho membuat Nino bekerja untuknya apalagi Nino pernah hilang ingatan. Tapi coba sekarang kau pikir, bagaimana jika hanya itu yang bisa Nino lakukan untuk bertahan hidup. Ia sudah tak bisa mengandalkan siapa pun selain Sho”, ujar Jun.
Masaki menyangga kepalanya dengan kedua tangan. Ia mengusap rambutnya ke belakang nampak kecewa. Jun memang benar tapi rasanya ia masih ingin melakukan sesuatu pada Nino. Ia tak ingin temannya dimanfaatkan oleh Sho tanpa alasan yang jelas. Masaki harus mencari cara untuk menolong Nino karena ia sungguh peduli pada sahabat kecilnya itu. Mungkin dari lubuk hatinya ia sedikit cemburu Nino lebih dekat dengan Sho hanya karena Sho yang pertama menemukannya.
***