[FANFIC] Fallacy 15/20 |IN|

Dec 14, 2013 00:59

Fallacy
(Indonesia version)

A fanfic by Aka Natsuka (Nacchi)
December 2013

Chapter - 15/20
Genre - Suspense | Slice-of-life | drama
Rating - PG-15
Character - Arashi, Perfume, Inoue Mao, Fukada Kyoko, Kitagawa Keiko
Disclaimer - Johnny’s Entertainment, Amuse, and other actress aren't mine
Warning -complicated story and relation between characters. Super-long-never-ending-hard-to-believe story-line. Novel-like narrative. Disambiguous plot. Not recommended for non AU reader also non OC pairing (if you avoiding OC/member fic and only accept other pairing, just ignore this). this story is just fiction, same name, places, time is unrelated to the fact.
A/N - if only human being can choose their path to live another life and believe in a world of their own

[ per chapter link : prologue | 1 | 2 | 3 | 4 | 5 | 6 | 7 | 8 | 9 | 10 | 11 | 12 | 13 | 14 | 15 | 16 | 17 | 18 | 19 | 20 | epilogue | ]
Bagian 15

28 Oktober 2011
17.38
Master Hobby Bar & Buffet

Sore itu Nino berpikir mungkin ia perlu mengakhiri hubungannya dengan Matsumoto Mao. Ia jadi kesal membayangkan dirinya seperti dibuang begitu saja. Seharusnya ia tahu karena sudah terbiasa dengan kejadian seperti ini, sama seperti setiap hari memakan nasi sebagai bahan pangan utama. Ia tahu sifat Sakurai Sho yang begitu, namun untuk kali ini ia tak bisa memaafkan sachou-nya itu. Sejak awal Nino pun tahu namun ia tak bisa berbuat apapun. Sama seperti ia tak mampu berkutik saat akhirnya Ayaka menyerah pada inspektur Matsumoto demi menyelamatkan Sho dari kasus keuangan di dalam yayasan beberapa waktu yang lalu.
       Nino sendiri tak menyangka Mao begitu mudahnya menerima permintaan Sho. Ia tak mengerti ‘cara’ Sho yang mampu menarik perhatian setiap perempuan yang ditemuinya seperti sebuah magnet dan tak ada seorang pun dari perempuan-perempuan itu menolak. Bukannya ia sebagai pria ingin seperti Sho, hanya saja ia tak habis pikir Sho seperti memiliki kekuatan tak kasat mata untuk mengendalikan dunianya.
       Jadi akhirnya sore itu ia mengabaikan Sho dan mengunjungi Master Hobby bar & buffet mencari Ayaka yang kembali menghilang tanpa sepengetahuannya. Ia penasaran dengan ingatannya akan sebuah peristiwa dan ingin mengetahui lebih lanjut. Mengapa hanya Ayaka satu-satunya orang yang Nino ingat setelah amnesia?
       Tergoda untuk mencicipi wiski di tempat itu, Nino duduk dan memesan minuman. Ia membuka tas dan meletakkan sebuah kotak musik yang ia ambil dari kamar Ayaka. Pikirannya melayang ke sebuah ingatan. Salah satu dari kenangan yang entah mengapa masih melekat dalam memorinya.

***

November 1988
Panti Asuhan Niji no Mori

Pagi itu Ayaka asyik mencoret-moret lembar kertas A3 di gudang. Ia tak mengikuti pelajaran olahraga dan memilih menyendiri di sana dan dalam sekejap ia lupa pada pelajaran olahraga yang menjemukan. Dari sekian banyak pelajaran yang diajarkan di sekolah asrama Niji no Mori ia tak suka olahraga karena ia benci mengerjakan hal-hal yang membutuhkan banyak tenaga dan juga motoriknya tak terlalu bagus. Ayaka dengan semangat menggambar sebuah kotak musik berbentuk komidi putar. Pipinya bersemu kemerahan saat tangannya sibuk menggoreskan krayon warna-warni bagitu kontras dengan suasana gudang yang muram dengan sedikit cahaya yang menerobos dari jendela yang berdebu dan sarang laba-laba di sudut juga langit-langitnya.
       Tiba-tiba pintu gudang terbuka lebar dan seseorang berdiri di depannya.
       “Rupanya kau di sini? Kenapa tak ikut pelajaran olahraga?”
       Ayaka hanya melihat sekilas bocah laki-laki yang bicara padanya dan kembali mencoret buku gambar tanpa menjawab apapun.
       Anak laki-laki itu melangkah masuk dan mengambil net yang dilipat dan ditumpuk di dekat penyimpanan matras. Ia keluar dan menyerahkan net pada temannya di luar yang menunggu karena tak mau masuk gudang dengan alasan takut hantu. Anak itu menyuruh temannya untuk pergi lebih dulu dan ia akan menyusul lalu kembali ke gudang. Tanpa peringatan terlebih dulu anak itu menarik tangan Ayaka supaya beranjak dari sana dan mengikuti pelajaran olahraga. “Ayo kau ganti baju dulu, A-chan”.
       Ayaka tetap bertahan masih memegang buku gambarnya. “Tak mau. Kazu aja yang pergi. Aku ingin di sini”.
       Anak laki-laki yang dipanggil Kazu itu tetap memaksa namun ia melepasnya saat Ayaka mulai menangis.
       “Ya sudah kalau tak mau ikut olahraga, tapi jangan nangis, dong”. Kazu jadi sebal dan merasa yang ia lakukan sebenarnya bukan hal yang salah. “Ah, kau menggambar kotak musik berbentuk komidi putar itu lagi?” Kazu memperhatikan gambar yang dibuat Ayaka. Ayaka berhenti menangis dan mengangguk dengan wajah yang sembab.
       Ayaka meneruskan menggambar. Kazu memperhatikan anak perempuan yang berusia 2 tahun lebih muda darinya yang pertama kali ia temui di gudang ini. Sebelumnya ia pernah kebagian piket mengembalikan kursi tak dipakai ke gudang yang terletak agak ke dalam hutan. Banyak anak yang tak mau disuruh ke gudang karena mereka percaya di tempat itu ada hantunya. Makanya Kazu yang selalu diandalkan ke sana karena tak percaya cerita tentang hantu. Ia menemukan kotak musik komidi putar di dekat tumpukan buku yang sudah usang dan di celah lemari ia menemukan Ayaka. Kazu semula mengira cewek kecil itu hantu karena ia tak pernah melihatnya. Tapi ia jadi yakin kalau Ayaka anggota panti asuhan itu dari salah satu suster dan kenyataannya cewek itu memang selalu mengikuti pelajaran kecuali olahraga. Saat ditanya mengapa cewek itu lebih suka di gudang alasannya karena gudang jauh dari keramaian dan karena nampaknya ia introvert jadi lebih leluasa berada di sana.
       Kazu pun berteman dengan Ayaka dan membuat julukan baru untuknya yaitu A-chan. Dua bulan kemudian Ayaka diadopsi. Kazu berpikir itu terakhir kalinya ia dapat melihat cewek itu, namun beberapa bulan kemudian ia mendapat telepon dari suster di Panti asuhan bahwa Ayaka mengunjungi panti asuhan dan menanyakan kabar Kazu. Waktu itu Kazu juga sudah diadopsi. Setelah itu Kazu kembali ke panti asuhan dan meminta alamat rumah Ayaka yang sekarang agar ia dapat berkunjung sewaktu-waktu.

***

Awal musim panas, Juni 1989

Sho melihat Ayaka dengan kesal karena telah mengajak temannya main ke rumah, apalagi temannya itu seorang cowok. Sho mencurigai mereka tak hanya berteman-anak laki-laki itu bisa saja pacarnya, karena Ayaka terlihat begitu semangat dan menggandeng tangan anak cowok itu berlari dari halaman rumah sampai ke dalam.
       Tapi Sho tak bisa berbuat apa-apa begitu melihat paras wajah anak laki-laki yang terlihat sangat bersahaja dan inosen itu namun seperti dikelilingi aura yang menyenangkan. Anak itu meskipun menurut Sho kurang sopan namun memiliki sifat yang bertolak belakang dengan dirinya. Aura anak itu begitu terang seakan dipenuhi keceriaan sementara Sho sendiri layaknya malam yang dingin dan tenang dengan wataknya yang pendiam dan keras. Seperti yin dan yang, jika diumpamakan. Namanya Ninomiya Kazunari, usianya 5 tahun. Ia lebih suka dipanggil Nino oleh teman-temannya, meskipun dulu waktu di panti asuhan ia lebih dikenal dengan nama Kazu. Sejak diadopsi oleh keluarga Ninomiya ia ingin dipanggil Nino.
       Sho protes pada Ayaka yang membawa teman tanpa seizinnya, karena Sho selama ini tidak pernah membawa teman untuk bermain ke rumahnya. Bisa dibilang Sho tak punya teman sejak lahir. Ayaka dan Kyoko adalah teman sekaligus adik baginya.
       “Habisnya aku pikir Sho-nii selalu kesepian dan hanya bermain dengan aku dan Kyoko. Nii-chan kan cowok, masa mainnya rumah-rumahan? Aku nggak mau main game tembakan terus, makanya aku carikan Sho-nii teman. Lagipula aku dan Kazu sudah berteman sejak kecil lho”.
       Nino sedang duduk menyesap jus jeruk yang disajikan oleh kepala pelayan dengan ekspresi yang masih takjub melihat sekeliling rumah. Seumur-umur ia baru sekali masuk ke rumah orang kaya yang sangat besar dan ternyata dugaannya benar, di rumah itu ada kolam air mancur di halaman depan dan kolam renang di belakang rumah. Ia sungguh tak sabar bisa mengelilingi rumah itu, namun ia agak takut pada Sho yang tampaknya tak bersahabat.
       “A-chan, ayah dan ibumu mana?” tanya Nino dengan polosnya.
       Sho terkejut dan ia berubah murung. Namun ia dapat mengontrol emosinya. “Tidak ada. Orang tuaku sudah meninggal. Aku adalah kepala keluarga di rumah ini, jadi aku tak akan membiarkan orang asing masuk ke rumah tanpa izinku”. Sho melipat kedua tangan menatap Nino dengan angkuh. Ayaka khawatir kakaknya akan marah lagi. Ia hanya menunduk.
       Nino melihat Sho dengan kedua matanya yang jernih dan tersenyum. “A-ha-ha, maafkan aku Sho-chan. Aku tak tahu. Kalau boleh aku ingin bermain di sini, kau pasti punya banyak mainan kan? Aku yakin anak orang kaya sepertimu punya koleksi game yang banyak atau kau punya game center juga?”
       Sho semakin kesal karena ia dipanggil serampangan oleh anak yang baru dikenalnya. “Kau lebih muda dua tahun dariku tahu, memanggil nama orang seenaknya. Aku memang punya game center dan koleksi game yang banyak, lalu kau mau apa?”
       Nino tertunduk. Ia tak mengira Sho begitu keras dan ternyata mampu menyerang balik. “Jusnya enak”, gumamnya.
       Sho tak mengerti akan sifat Nino yang terkesan cuek dan malah merasa tak bersalah, lalu mengganti topik semaunya. Ia hanya duduk sambil melihat anak cowok itu, sementara Nino grogi dan tak tahu harus apa namun ia menyembunyikan dengan senyumnya.
       “Kalau memang kamu mau main di sini, bagaimana kalau kau menyelesaikan tantangan dariku dulu?” ucap Sho tanpa mengubah ekspresinya.
       “Hah, apa?” tanya Nino masih sambil menyeruput jusnya.
       “Bagaimana kalau bertarung Final Fight melawanku sampai selesai”
       Nino meletakkan gelas yang isinya sudah ludes dengan tenang dan berdiri sambil meletakkan sebelah tangan di pelipisnya seperti sedang menghormat “Siap!”
       Sho tersenyum simpul bermaksud mengejek. Ia yakin hanya ialah orang yang mampu menyelesaikan game itu hingga akhir dengan mudah. Tapi sayang anggapannya itu tak sepenuhnya benar, Nino ternyata cukup kuat. Ia tak tahu ada anak lain yang maniak game juga di luar sana. Karena akhirnya kalah, Sho pun dengan setengah hati menyetujui Nino yang boleh bermain di rumahnya. Di lain kesempatan Nino juga bermain piano. Ayaka mengatakan dulu di panti asuhan Nino yang biasanya ditugaskan untuk mengiringi dengan piano saat mereka bernyanyi di kelas. Ini membuat Sho sedikit demi sedikit mau membuka diri dan akhirnya menerima Nino sebagai teman. Lagipula sebenarnya ia ingin memiliki setidaknya satu orang teman yang bisa ia percayai. Sejak saat itu Sho menyukai Nino yang menurutnya unik dan brilian dan juga menganggapnya salah satu orang yang penting buatnya sama seperti kedua adik perempuannya.

***

20.36
Kediaman Sakurai

Sho terbangun dari mimpinya-atau lebih tepatnya kenangan silam saat tertidur. Mendapati dirinya terlelap di atas tempat tidur dengan tubuh yang hanya ditutupi selimut putih dan seprai yang berantakan. Ia seperti baru saja mabuk dan tak ingat jelas apa yang dilakukannya. Seingatnya terakhir ia bersama Mao, namun perempuan itu sudah pergi. Ia duduk dan mengusap wajah dan rambut, berpikir kebiasaan buruknya bersenang-senang dengan perempuan kumat. Ia sibuk mencari ponsel yang terus berbunyi dan menemukannya di balik bantal, menggeser kuncian di layar dan membaca pesan dari Mao yang meminta maaf karena pulang begitu saja tanpa menunggu Sho bangun. Ia melempar ponselnya ke kasur menimbulkan suara gemerincing dari lonceng kecil yang tergantung pada strap di ujungnya. Mendapati sebotol bir yang tergeletak di lantai ia beranjak dari tempat tidur ke kamar mandi. Ia bersyukur baik Keiko maupun adiknya tak ada di rumah saat itu.

Setelah mandi Sho pindah ke ruang kerja. Duduk di kursi menatap laptop di meja yang masih tertutup, ia kembali memikirkan pertemuannya dengan Nino dulu. Sho membuka laci meja dan mengambil foto Nino dan dirinya semasa kecil yang diambil saat pesta barbekyu di halaman rumah. Ia menatap lekat wajah Nino di foto itu. Tiba-tiba Sho mendengar langkah-langkah pelan seorang di luar yang mencurigakan.  Ia kembali memasukkan foto Nino. Sho berpikir itu maling. Yang ia tahu Nino, Ayaka, juga Keiko dan Kyoko tak ada di rumah. Sho mengambil pistol kecil dari laci meja untuk berjaga-jaga. Ia merayap perlahan mendekati pintu ruang kerjanya.
       Pintu dibuka dan Sho bersiap menghadapi apa yang ada di baliknya.
       “Sho-chan”.
       Sho yang menahan nafas karena tegang akhirnya lega mengetahui bahwa yang datang hanya Ohno Satoshi. Ia menyimpan pistol ke dalam saku baju.
       “Riidaa, kenapa kau masuk ke rumah orang lain sambil mengendap-endap seperti maling saja?”
       Satoshi tersenyum dan memberi isyarat dengan satu tangan di depan dada meminta maaf. “Ah, gomen ne. Habisnya rumahmu sepi sekali jadi aku langsung masuk saja. Untung kau ada di rumah, aku ingin menanyakan beberapa hal padamu, Sho. Langsung saja, kau ada di taman Kaihin Odaiba sore kemarin menguping pembicaraanku dengan Masaki dan Jun kan?”

Sho tak menjawab, ia tak mungkin berbohong karena sudah ketahuan.
       “Jadi kau yang menemukan Nino lebih dulu dari kami kan? Kenapa kau tidak memberitahu apapun mengenai keberadaannya?”
       Sho memasang ekspresi tak mengerti namun kemudian tersenyum simpul dan duduk di sofa di tengah ruangan. “Jadi kau sudah bertemu dengannya ya?”
       Ohno Satoshi bergegas duduk di kursi lain. “Sho aku serius. Tolong ceritakan padaku apa yang terjadi padamu dan Nino selama beberapa tahun terakhir setelah kejadian di arena ski itu!”
       “Hmm..” Sho tak langsung menjawab malah bergumam. Ia mengambil dua gelas wiski dan menuang wine ke dalamnya, satu gelas ia letakkan di meja depan Satoshi dan ia meminum wine-nya sendiri. “Baiklah kalau begitu. Ceritanya panjang. Kau mau mulai dari bagian buruknya atau bagian terbaiknya?”

Satoshi tak sabar menghadapi Sho yang tak begitu ekspresif. Sho masih sama seperti yang dulu dikenalnya, senang mempermainkan kesabaran orang lain dan terkesan my-pace. “Yang manapun terserah kau saja, tapi ceritakan selengkapnya”.
       “Oke, ada baiknya kalau kita menceritakan bagian yang menyenangkan dulu”. Sho mengernyitkan sebelah alisnya setelah merasakan wine di dalam kerongkongannya. Ia berjalan ke lemari pendingin di bar kecil mengambil dan memasukkan beberapa bongkah es ke dalam gelasnya.
       “Bulan Mei lalu aku mengunjungi Matsuzawa Byoin untuk menjenguk seseorang. Waktu aku mau pulang aku bertemu dengan Nino yang saat itu menjadi perawat di rumah sakit tersebut. Semula aku tak yakin dia benar Nino karena kami tak bertemu selama bertahun-tahun. Lalu aku mengecek file-nya dan bertanya pada dokter yang pernah menanganinya saat amnesia. Jadi Nino itu ditemukan sudah dalam keadaan tak ingat apapun. Ia koma selama beberapa bulan dan memerlukan waktu yang panjang untuk memulihkan kondisi fisik, kondisi kejiwaan termasuk keinginannya untuk hidup. Di pusat rehabilitasi dulu aku mendapat informasi ia dalam pengawasan dan dipulihkan hingga bisa menjalani kehidupannya sama seperti orang normal seusia dirinya. Hanya satu hal yang disesali ingatan masa lalunya tak pernah bisa disembuhkan”.
       Ohno Satoshi separuh tercekat dan semua kata-kata Sho nampaknya tidak direkayasa.
       “Aku waktu itu berpikir untuk memberitahu kalian dan keluarganya, namun aku urungkan karena aku merasa itu bukan ide yang baik. Jika kalian melihat kondisi Nino waktu itu mungkin kalian tak akan mudah menerimanya begitu saja. Jadinya aku berharap dengan tinggal bersamaku peluang untuk memulihkannya lebih cepat. Aku sudah melakukan persetujuan dengan psikiater kenalanku di Amerika yang mungkin bisa menyembuhkan Nino. Aku dengar rumah sakit di sana memiliki metode yang lebih baik dari di Jepang dan sudah berpengalaman di bidang penyakit kejiwaan”.

Satoshi masih mendengarkan cerita Sho dengan seksama. Sho menambah wine-nya lalu meletakkan botol ke meja, ia meneguk wine kembali. “Sebelum aku menceritakan bagian buruknya aku ingin kau tetap mempercayaiku-karena mungkin setelah ini pandangan kalian mengenaiku akan berubah. Namun yang jelas aku melakukan ini untuk melindungi keluargaku juga demi kalian. Mungkin bisa dibilang ini seperti white lies”
       “Ceritakan saja, Sho. Aku dan yang lain sudah siap menerima apapun resikonya. Bukankah kita berteman sejak lama”.
       Sho melihat ke dalam mata Satoshi mencoba meyakini kata-kata leader-nya itu. Ia menjadi gundah, kerongkongannya serasa kering. Ia tahu ada saatnya ketika kebenaran harus diungkapkan meskipun pahit. Dan itu mengembalikan ingatannya pada kasus orang tuanya dulu.
       “Kau tahu, Satoshi-kun, bagaimana orang tuaku meninggal? Polisi yang menginvestigasi kasus kecelakaan itu pertama menganggap hanya kecelakaan natural, namun yang terjadi sebenarnya karena motif balas dendam. Mereka mati karena orang-orang yang kehilangan kepercayaan pada mereka lalu akhirnya menghabisi keduanya. Saat itu tentu saja aku belum mengerti apa-apa. Namun agar tidak mengulangi tragedi yang sama aku mengakhiri perseteruan dan menjadikan Kyoko sebagai salah satu ahli waris keluargaku.
       “Begitu pula dengan Nino. Aku tidak bermaksud jahat padanya dan pada kalian semua. Aku melakukan ini agar ia sembuh. Tapi aku menyesal yang terjadi malah semakin buruk, ia malah kehilangan ingatan mengenai kita semua”.
       Satoshi menjadi tak tenang baru menyadari Sho memang menyembunyikan hal yang tak semestinya ia ketahui. “Sembuh maksudnya? Memang, apa yang kau lakukan padanya?”
       Sho menarik nafas dan melihat Satoshi. “Kau merasa ada yang tak beres dengan Nino saat kita masih bersama dulu kan? Ia tak seperti anak-anak umumnya. Terkadang ia seperti seseorang yang mengidap skizofrenia dan suka mengarang cerita? Memang dulu penyakit ini terlihat seperti gangguan kejiwaan”.
       Satoshi berusaha mengingat Nino saat masih bersama dengannya. Nino memang sedikit aneh atau lebih tepatnya unik. “Ma, benar juga sih. Tapi aku rasa itu bukan masalah besar. Dan menurutku ia normal”.
       “Ya tapi saat di arena ski itu-aku baru menyadari kalau memang ada yang nggak beres dengannya”.
       “Saat di arena ski?”
       “Ya. Waktu dia bilang dia mau mengambil sarung tangannya. Aku diam-diam mengikutinya karena bukan ide yang baik pergi sendirian. Aku telah menyembunyikan ini dari kau, Masaki dan Jun. Waktu itu saat aku mengikutinya ia berjalan cepat seperti panik. Aku pikir ia khawatir karena sarung tangannya tak ditemukan. Aku berinisiatif untuk menolongnya. Tapi malah aku membuatnya celaka. Aku yang membuatnya jatuh ke tumpukan salju. Aku tak mau dianggap sebagai pembunuh sama seperti orang-orang yang mengkhianati orang tuaku. Itulah sebabnya aku tak menceritakan yang terjadi sebenarnya. Saat itu aku seperti kehilangan akal sehat. Aku tak pernah bertemu Nino lagi karena takut jika ia sadar-aku takut ia akan menyalahkanku. Jadinya aku menyerahkan Nino pada pamanku untuk disembuhkan. Namun kami bertemu lagi di rumah sakit dengan kondisi dirinya yang sudah seperti sekarang”.
       Baik Satoshi maupun Sho keduanya terdiam sejenak. Lalu Sho meneruskan. “Aku tahu kalian pasti akan berbalik membenciku setelah mengetahui ini dan aku sudah menyiapkan diri untuk kemungkinan buruknya. Mungkin kalian tak bisa memaafkanku karena aku juga yang menyebabkan Nino berpisah dari keluarganya. Sesungguhnya aku tak ingin mencemari nama baik keluargaku, tapi entah mengapa yang terjadi seperti ini. Aku jadi begitu egois menahan Nino demi melindungi keluarga ini ...”

Satoshi mengerutkan dahinya bersimpati pada Sho yang suaranya mulai melemah.  Sho memang hidup berlimpah harta warisan leluhurnya, namun hidup sebagai pewaris kekayaan ternyata tidaklah mudah. Satoshi dapat mengerti, mengapa Sho selama ini ingin dikenal sebagai orang yang sukses membawa nama keluarga dan menyingkirkan secuil pun gangguan atau isu yang menerpanya. Ia membayangkan Sho sejak kecil sudah dididik untuk tak mengenal satu kekurangan pun.
       Sakurai Sho akan melakukan apa pun demi keluarganya, hal yang tak mungkin terjadi pada Satoshi. Meskipun demikian ia masih tidak bisa membenarkan yang telah dilakukan Sho pada Nino. Ia masih belum bisa memahami mengapa Sho memilih jalan yang lebih sulit untuk dirinya, yaitu menyembuhkan Nino sendiri, bukan bersama-sama memulihkan kondisi sahabat mereka itu. Satoshi tak menyangka ini dilakukan oleh orang yang penuh perhitungan dan visioner seperti Sakurai Sho.
       Dari cerita Sho sepertinya Sho-lah yang paling mengenal Nino lebih baik daripada Satoshi, Masaki maupun Jun dan menyadari adanya keanehan. Itu artinya Sho terus memperhatikan Nino sejak kecil namun itu juga tak pernah ia ceritakan. Mungkin pula karena frustasi memikirkan yang baru dialami ketika melihat Nino terguling dan tak sadarkan diri membuat Sho trauma dan menjadi sedingin yang sekarang.

Satoshi iba pada Sho yang bersimpuh dan tertunduk. Ia terkejut saat Sho mengeluarkan pistol dari balik saku jasnya. Cowok itu terduduk masih gemetar dengan sebelah tangan yang memegang tangan lain yang menggenggam pistol.
       “Sho-kun..”
       Satoshi mendekati Sho perlahan takut Sho akan berbuat sesuatu dengan pistol itu dan benar saja. Masih terisak dengan nafas yang tak beraturan Sho mengarahkan pistol ke dadanya.
       “Sho hentikan!” bentak Satoshi. “Jangan berpikir seperti itu. Cepat berikan pistolnya padaku”.
       Sho menggeleng. Matanya memerah dan air mata menggenang di kelopak bawah mata. “Aku selama ini keliru. Berpikir bahwa yang kulakukan bisa menyelamatkan keluarga, malah jadi bumerang bagiku sendiri. Apa bedanya aku dengan orangtuaku?!”
       “Tentu saja kau tidak bisa menyamakan dirimu dengan mereka. Sho kau memang telah melakukan kesalahan tapi pikirkanlah Nino, keluargamu, juga teman-teman tanpa kamu”.
       Sho menarik pemicu di ujung pistol untuk mengaktifkan, yang membuat Satoshi semakin panik karena pistol itu berisi beberapa peluru di dalamnya. Satoshi menghambur menarik tangan Sho namun Sho tetap bersikeras. Ia kembali teringat sewaktu mereka berlima rebutan pistol mainan yang sebenarnya ingin ia berikan pada Nino.
       “Sho apa yang kau lakukan? Kau tak bisa membunuh dirimu begitu saja!”
       Ingatan Sho bercampur antara dunia nyata dan flashback saat ia dan Nino saling berebut. “Nino..rin...” Sho memejamkan mata hendak menarik pelatuk. Tiba-tiba dadanya luar biasa nyeri. Sho menjatuhkan pistol dan tangannya menekan dada menahan rasa sakit yang seketika menyerang. Satoshi berubah pucat. Ia membantu menahan tubuh Sho dengan pahanya. Sho masih menekan dadanya dan satu tangannya berpegangan pada lengan Satoshi, mulutnya meminta Satoshi mengambilkan obat di meja-tak mampu bersuara.
       “Sho-chan, bertahanlah. Aku akan ambil obat untukmu”.

“Ohno-san! Sachou!”
       Satoshi berpaling ke suara yang terdengar panik. Ninomiya Kazunari yang baru saja tiba menghambur ke arah Satoshi yang masih menahan Sho yang meringkuk menahan sakit menyerang dadanya. Nino segera mengambil obat jantung di meja Sho dan memberikan pada Sho yang kondisinya semakin memburuk lalu menelepon rumah sakit terdekat untuk dikirimkan ambulans. Sho yang nafasnya memburu perlahan mulai melemah meskipun ia tak bisa mengeluarkan suara dengan baik, dengan sekuat tenaga Sho yang terbaring bersandar pada Satoshi bicara pada Nino.
       “Surat.. yang kutulis.. di dalam ... laci kanan itu untukmu, bacalah..”
       Setelah meninggalkan pesan pada Nino Sho pingsan. Baik Satoshi maupun Nino amat takut Sho tak akan tersadar lagi, karena kondisi badannya yang begitu lemah dan nafasnya sangat lirih. Keduanya membawa Sho untuk ditangani oleh rumah sakit. Sesampainya di rumah sakit keadaan Sho kritis karena aliran darah dalam arteri di jantungnya tidak normal akibat kondisi jantung yang sempat berhenti bekerja akibat shock. EEG dan EKG sama-sama menunjukkan angka 0 yang menihilkan gelombang otak dan aktivitas jantung. Dokter di ruangan Emergency berusaha keras mengembalikan denyut jantung dengan defiblirator karena jika tidak ada suplai darah dan oksigen ke seluruh tubuh akan membahayakan keselamatan Sho.

Nino dan Satoshi hanya terdiam di lorong tunggu membayangkan kesibukan di balik instalasi gawat darurat yang dipisahkan dengan pintu bertanda emergency room menyala masih mengalami shock. Tak ada interaksi antara keduanya seakan sibuk dengan pikiran masing-masing dan masih belum menerima Sho yang terkena serangan jantung. Nino berdoa dalam hatinya berharap Sho tidak pergi secepat itu, meskipun ia tahu Sho telah lama mengidap penyakit kronis. Sementara di ujung lorong nampak Sakurai Shin, Kyoko bersama Jun dan Masaki tergopoh-gopoh menghampiri Nino dan Satoshi.

***

arashi fanfic

Previous post Next post
Up