Fallacy
(Indonesia version)
A fanfic by Aka Natsuka (Nacchi)
December 2013
Chapter - 11/20
Genre - Suspense | Slice-of-life | drama
Rating - PG-15
Character - Arashi, Perfume, Inoue Mao, Fukada Kyoko, Kitagawa Keiko
Disclaimer - Johnny’s Entertainment, Amuse, and other actress aren't mine
Warning -complicated story and relation between characters. Super-long-never-ending-hard-to-believe story-line. Novel-like narrative. Disambiguous plot. Not recommended for non AU reader also non OC pairing (if you avoiding OC/member fic and only accept other pairing, just ignore this). this story is just fiction, same name, places, time is unrelated to the fact.
A/N - if only human being can choose their path to live another life and believe in a world of their own
[ per chapter link :
prologue |
1 |
2 |
3 |
4 |
5 |
6 |
7 |
8 |
9 |
10 | 11 |
12 |
13 |
14 |
15 |
16 |
17 |
18 |
19 |
20 |
epilogue | ]
Bagian 11
13.10
Akiba cafe, Akihabara
Nino berada di Akiba cafe tempat Mao bekerja. Mao duduk di depan Nino menyimak perkataan cowok itu. Nino menceritakan semua yang terjadi pada malam setelah mereka mengintai Ayaka dan juga waktu bertemu Ohno.
“Maafkan aku telah membuatmu pulang dengan berjalan sendiri”.
Mao hanya tersenyum dan menggeleng. Sebenarnya ia kesal karena semalam harus berjalan jauh sampai rumahnya tapi melihat kesungguhan Nino ia tak jadi memarahinya.
Nino meletakkan kedua lengan menyangga tubuh di meja. Ia memegang kepalanya tertunduk. “Aku sama sekali tak ingat apapun. Tapi entah aku seperti pernah mengenal pria itu di suatu tempat”, ucap Nino frustasi.
Mao meraih dan menggenggam satu tangan Nino di meja. “Tak apa kok kalau Nino-kun nggak bisa mengingatnya. Aku tahu kau punya masalah dengan ingatanmu tapi itu tak akan mengganggu hidupmu kan?”
Nino menatap Mao. “Aku terkadang bingung dengan keganjilan yang kuhadapi, di mana hal yang kurasakan dan orang lain alami tidaklah sama meskipun berada dalam satu momen. Dan juga aku merasa frustasi saat aku ingin membalas kebaikan seseorang yang mengenalku namun aku tak tahu harus berbuat apa karena tak ingat apapun tentangnya. Terlebih lagi jika mereka benar-benar orang yang penting bagiku”. Nino meneruskan “Pria yang kemarin kita ikuti ternyata mengenalku. Namanya Aiba Masaki. Saat aku tanya Sho, dia bilang dulu kami pernah berteman. Aku masuk dalam kelompoknya dan berlima kami bermain bersama sejak kecil sampai terpisah karena sebuah insiden. Aku juga sangat trauma pada segala hal yang berhubungan dengan es dan warna putih, kau tahu kenapa?”
Mao hanya memandang Nino. “Mungkin itu ada hubungannya dengan kecelakaan yang membuatmu amnesia. Tapi sebaiknya kau tak perlu bersikeras mengingatnya, aku cemas kau malah akan sakit”.
Nino masih tertunduk memandang meja namun genggamannya pada tangan Mao tak ia lepas. Ia berpikir. Tiba-tiba ia teringat sesuatu. Mao merasakan keganjilan pada perubahan ekspresi wajah Nino.
“Aku ingat, Ohno-san mengatakan skiing. Apakah kau menemukan kecocokan di sini? Jika memang benar aku adalah teman lamanya yang menghilang saat skiing dan aku traumatis pada hal yang berhubungan dengan es dan warna putih. Ini sangat masuk akal. Mungkin semua ini saling berkaitan”. Nino seperti mendapat jawaban atas kegusarannya. Ia ingin secepat mungkin bertemu dengan Ohno Satoshi dan menanyakan semua hal yang pria itu ketahui.
***
Januari 1994
“Apa yang harus kita lakukan?” tanya Satoshi berulang-ulang di sudut ruangan penginapan dekat perapian. Ia dan teman-temannya telah mencari ke segala penjuru area skiing dan tak menemukan Nino. Dua hari telah berlalu dan keempat anak ini masih dilanda kekhawatiran tak ada tanda-tanda Nino kembali.
Sho berjalan mondar-mandir melihat ke arah jendela. Ia terus melihat keluar berharap seorang anak laki-laki yang bernama Nino muncul di sana. Pemandangan di balik halaman penginapan adalah area skiing yang sangat putih tertutup oleh es.
Masaki memeluk lutut dengan badan gemetar ia kembali menangis. Masaki sangat menyesal. “Seharusnya aku tak meninggalkannya. Aku memang bodoh. Bagaimana jika dia mati?”
Keempat anak lelaki itu menelan ludah. Ada rasa sesal yang amat sangat menjalar dalam tubuh mereka. Di udara sedingin itu tak ada yang mampu bertahan di luar selama 2x24 jam. Jika memang Nino di luar dan tak menemukan tempat yang hangat dia bisa saja langsung mati beku. Membayangkan itu, Masaki kembali membenamkan wajahnya ke kedua lengannya menangis. Jun menghampiri dan memeluk Masaki, ia juga terisak. Meskipun maksudnya ingin menenangkan Masaki Jun yang paling muda di antara keempat temannya saat itu masih sangat mudah menangis. Ia jadi gampang menangis kalau melihat Masaki atau Nino mulai meneteskan air mata. Nino memang lebih tegar dan ia yakin Nino akan kuat di luar sana tapi ia tak bisa membayangkan jika hal itu terjadi padanya.
“Sho-chan apa kau yakin kau sama sekali tak melihatnya di danau? Kau yang terakhir kali bersamanya kan?” Satoshi melempar pertanyaan pada Sho.
Sho melihat ketiga temannya. Masaki dan Jun melihat ke arahnya pula penasaran dengan jawaban Sho. “Sudah kubilang, kan. Aku tak tahu. Waktu itu kami terpisah. Dia bilang dia akan kembali setelah mengambil sarung tangannya yang terjatuh. Tapi setelah itu aku tak melihatnya lagi”. Ketiganya kembali tertunduk, Sho memang sudah mengatakan itu seakan puluhan kali tapi mereka tak bosan-bosan menanyakan padanya, seperti mencurigai kesaksian Sho.
Sho nampak frustasi. “Aku tahu aku yang salah. Seharusnya aku mengikutinya. Namun dia tak mau diikuti dan malah menyuruhku kembali ke camp. Kita tak akan pernah tahu hal seperti ini akan terjadi kan?”
Baik Satoshi, Sho, Masaki maupun Jun diliputi rasa sesal. Mereka benar-benar tak dapat melupakan peristiwa menghilangnya Nino. Mereka begitu bersalah pada orangtua Nino karena tak mampu menjaga anaknya. Setelah tujuh hari berlalu dan tak ada kabar ditemukannya Ninomiya Kazunari, anak laki-laki itu dimasukkan ke missing list. Satoshi dan Masaki sampai saat ini masih trauma pada peristiwa itu. Begitu pula Jun dan Sho. Meskipun demikian mereka percaya Nino masih hidup entah di suatu tempat karena dari hasil pencarian tak ditemukan jejak binatang yang mungkin memangsanya ataupun tanda-tanda bahwa seseorang terluka. Jika tak ada konfirmasi mayat seorang anak ditemukan mereka setidaknya ingin berpikiran positif bahwa Nino masih hidup.
***
25 Oktober 2011,
20.32
Master Hobby Bar & Buffet
Masaki memandang lampu jalan yang dihiasi beragam pernak-pernik menyambut Halloween Days yang dipajang di sekitar pertokoan dan cafe di daerah itu dari dalam bar. Ia kini tengah duduk melamun dan ingatannya kembali ke masa lalu saat peristiwa hilangnya sahabatnya, Ninomiya Kazunari yang akrab dipanggil Ninorin. Ia meneguk wiskinya dan meletakkan gelas di meja dengan bunyi keras. Seseorang memanggil namanya berulang-ulang. Ia menoleh ke sumber suara.
“Masaki-nii-nii, tolong jangan menakuti pelanggan di barku, kau mengerti? Lihatlah dirimu kacau sekali. Mau minum sampai berapa gelas lagi?” Yuka memarahi abangnya yang menjadi tontonan orang-orang di bar karena ia sudah minum wiski bergelas-gelas yang cukup menarik perhatian tamu di bar itu. Yuka dengan kesal berjalan ke arah Masaki sambil membawa nampan. Ia mengambil gelas-gelas kosong. “Ini semua nggak gratis lho. Dan jangan harap aku akan mengantarmu pulang kalau kau mabuk nanti”, ucap Yuka sembari ke counter.
“Mimii..jangan diambil aku masih mau mi~~num~~” Masaki tergeletak begitu saja di meja karena mabuk berat. Yuka miris melihat abangnya tapi ia biarkan saja karena saat itu ia sedang sibuk. Ia malas meladeni Masaki, karena jika dibiarkan minum terus-terusan bukan hanya abangnya kehabisan duit, Masaki juga akan jadi tak terkendali. Sudah saatnya ia berhenti memberikan wiski lagi pada Masaki.
“Mimi.. Mimi.. berikan aku wiski lagi. Cepat.. cepat..” Masaki meracau sambil merengek seperti anak kecil memaksa adiknya menyediakan wiski lagi untuknya dan ia merasa kepalanya dipukul dengan kertas yang digulung oleh seseorang.
Masaki mengusap kepala dan melihat orang yang iseng memukulnya. “Hai, J~~!” sapanya sambil nyengir.
Jun meletakkan koran yang digulung di meja dan duduk di sebelah Masaki. Ia bertanya pada Yuka, “Yuka-chan, ada apa dengan abangmu?”
“Entahlah Jun-sama, dia juga belum mengatakan apa-apa padaku. Sepertinya ia sedang dalam masalah besar. Tadi dia datang dan memesan wiski sampai bergelas-gelas”, jawab Yuka.
Jun melihat Masaki yang sudah teler menempelkan tubuhnya bersandar pada meja bar seperti orang yang tak punya tulang. Ia jadi kasihan pada temannya itu.
“Aiba-kun, kau ada masalah?” tanya Jun yang jadi begitu peduli pada Masaki sambil mengambil sebatang rokok lalu menyalakannya. Melihat Jun merokok Masaki jadi ingin juga.
“Berikan aku juga”, kata Masaki pada Jun menunjuk rokok di tangan sang inspektur.
Matsumoto Jun menawarkan bungkus rokok. Masaki mengambil sebatang dan menyalakan pemantik. Kedua cowok itu menikmati asap tembakau yang langsung menebar di udara.
Jun memesan segelas sampanye pada Yuka lalu bicara pada Masaki. “Sebenarnya aku kemari ingin menanyakan beberapa hal padamu. Apa benar kau masih berurusan dengan mereka?”
Masaki tahu maksud pertanyaan Jun ia hanya menyunggingkan bibir. “Tapi sekarang mereka sudah tidak lagi mengandalkanku. Sepertinya aku benar-benar dibuang oleh Bos besar. Aku hanya dianggap sampah dan tak pernah dilibatkan dalam bisnis lagi. Jadi kalaupun kau mencari info dariku kau tak mendapatkan apapun, J. Namun demikian, aku bertaruh mereka masih membutuhkanku suatu saat nanti”.
“Begitu. Aku juga merasa kau tak berniat bergabung. Aku harap kau tak perlu lagi berurusan dengan mereka. Aku masih terus menyelidiki jaring informan yang memberitahu peredaran ilegal obat-obatan di Shinjuku. Namun segalanya jadi mencurigakan karena serba transparan, bayangkan polisi jadi lebih mudah melacak mereka. Bukankah itu satu hal yang sangat jarang terjadi jika ditangani oleh orang-orang seperti mereka. Tapi setidaknya kartu as berada pada kami jadi kelompok itu nggak bisa macam-macam dengan tindakan mereka”.
“Kartu as maksudmu operasi Giok itu?”
Jun mengangguk dengan bangga. Masaki tergelak. “Haha, kau terlambat J, mereka sudah menemukan cara lain. Operasi itu sudah tak perlu lagi dijalankan. Kuberi tahu satu hal mereka yang sekarang sudah canggih dan menemukan jalan baru dalam memperlebar gerak mereka. Operasi Giok sudah tidak penting lagi. Mereka pasti sengaja mengecoh kepolisian”.
“Tapi, ini aneh. Operasi itu nilainya sangat besar, seperti judulnya mereka bisa dalam sekejap menemukan harta karun”.
“Tidak. Tidak. Jika kau melacaknya dapat dibilang operasi itu tak jadi dijalankan karena sudah lumpuh, mereka sudah kehilangan anggaran biaya karena donaturnya sekarang sudah gulung tikar. Kau tahu Nuthouse? Cobalah menyelidiki keterkaitannya dengan orang-orang itu. Kau juga bisa menemukan informasi tentang donatur itu dari sana. Oh ya, tapi tetap jaga kerahasiaan ini. Mudah-mudahan sih, mereka tak menghabisiku, ha-ha”.
“Sudah kuduga, kau pasti bermanfaat bagiku. Itulah sebabnya aku tak bisa memusuhimu”.
Masaki menoleh sahabatnya, ia jadi sedikit bersimpati karena kemarin telah menjerumuskannya ke arena tinju underground secara tidak sengaja.
“Tuan-tuan apa sih, yang sedang kalian bicarakan? Dilihat dari jauh kalian tampak seperti dua orang pria yang sedang berbisnis serius seperti di film-film”. Yuka mendekati Jun dan Masaki ingin nimbrung. Jun tersenyum pada Yuka.
“Yuka-chan, boleh aku tambah segelas lagi? Tuan di sebelahku ini akan menraktirku dan membolehkan aku memesan apa saja di sini”.
Yuka pura-pura terkejut seraya mengucapkan; ‘Benarkah?’
Masaki mendelik ke arah Jun. “Aku memang merasa bersalah padamu, J, tapi aku tak bilang akan menraktirmu minum, duitku sudah habis buat wiski tadi, tahu”.
Jun pura-pura tidak mendengar dan asyik mengobrol dengan Yuka dan Masaki kesal lagi-lagi dijebak. Pesanan Jun datang. Ia mengucapkan terimakasih sebelum Yuka pergi dan mengedipkan sebelah matanya pada cewek itu. Masaki meringkuk sambil meneguk gelas bir dan meletakkannya kembali. “Aku benar-benar tak tahu kalau kau dan A-chan akan bertunangan. Dan yang kemarin itu bukan inisiatifku, lho”.
“Aku tahu, kok. Lagian memang aku yang salah. Malam itu ia kabur dariku. Sejujurnya aku ingin melindunginya sebelum ia berurusan dengan yakuza yang menguasai casino. Tapi ternyata dia memang punya urusan di sini dan akhirnya bertemu denganmu. Aku juga percaya kamu bukan cowok yang dulu pernah dia suka”.
“Eh? Tapi mungkin juga sih. Dia dulu sempat menolakku”.
Jun melihat ke arah Masaki. “Kau tahu, pertama aku mengira dia naksir sama kamu, tapi tidak mungkin. Karena kalau iya ngapain dulu dia menolakmu. Jadi itu pasti di antara ketiga sisanya”.
“Ninorin, Riidaa atau Sho-chan?”
Jun mengangguk. “Soalnya dia mengaku cowok itu ada di antara kita berlima. Sekarang aku tahu siapa orang itu. Jawabannya Riidaa”.
“Haah?”
Keduanya terdiam. Jun masih santai meneguk sampanye dan menggigit cherry di ujung gelas, sementara Aiba membeku dan akhirnya selama beberapa detik kembali mencair dan dapat berbicara lagi.
“Kenapa harus Riidaa? Kau yakin, J?”
“Tidak salah lagi. Coba deh kau pikir, dia pernah bilang cowok itu teman masa kecilnya dan ada di kelompok kita. Semula ia nggak sadar sama perasaannya sampai akhirnya mengakui kalau dia memang suka. Tapi dia jadi bertepuk sebelah tangan karena cowok itu nggak mungkin menerimanya. Kalau benar Riidaa, semuanya jadi masuk akal. Karena dia kan sudah menikah, jadi A-chan putus asa”.
“Hm itu bisa jadi sih, tapi bagaimana dengan Sho-chan dia bukannya sudah menikah juga?”
“Tapi sepertinya A-chan nggak menunjukkan kalau dia memang tertarik pada Sho. Karena Sho yang womanizer itu, dia nggak ada alasan untuk broken jika Sho menikah. Dia nggak perlu khawatir selama menjadi adiknya”.
“Hee.. Riidaa sulit dipercaya. Dan dia bisa begitu tenang saat aku curhat padanya”.
Jun tersenyum masam. “Tapi memang dulu kan, Riidaa yang paling besar dan keren. Lagipula dia sangat dekat dengan A-chan dan selalu menolongnya waktu kita menjahilinya. Mungkin karena itu A-chan menyukainya”.