Title: And So It Goes
Author: Angel
Genre: Love, Romance
Rating: T / PG-15
Theme: Yaoi / Non-yaoi
Casts: Takaki Yuya, OC (Ishihara Aya), dan beberapa nama yang sudah dikenal.
Discl.: They're not mine. I owned the plot.
Summary: Takaki Yuya, hidupnya berubah setelah bertemu Ishihara Aya. <-- failed at summary :/
Prologue Chapter 1 Chapter 2 Chapter 3 Chapter 4 Chapter 5 Chapter 6 Chapter 7 Chapter 8 Chapter 9 /CHAPTER NINE POINT FIVE/
Hari pertama.
Kouta, Hikaru, Daiki, dan Kei mengunjungiku. Membawakanku makanan. Sederhana. Hanya berbincang-bincang mengenai kasus tak jelas ini. Mereka bilang akan membebaskanku secepatnya, tetapi aku melarang. Kekuatan kami tidak akan mampu melawan Hiro-si brengsek itu.
Belum ada berita mengenai Aya. Aku merindukannya.
Bulan kedua.
Teman-temanku masih rutin mengunjungiku. Kadang mereka datang bersama pacar mereka, berdua saja, atau malah pacar mereka sendirian. Setiap aku melihat mereka, aku rindu Aya.
Hari ke tiga dibulan ketiga.
Satsuki, Ryoko, Asuka, dan Aoi datang berempat memberi kabar tentang Aya!
Mereka sudah dapat menghubungi Aya. Mereka bilang Aya masih tinggal di rumahnya, bersama Hiro. Aya mencariku! Ia mencariku!
Tetapi mereka belum mengatakan dimana aku.
Hari ke dua puluh dua di bulan ketiga.
Daiki, Ryoko, Kei, dan Aoi datang menemuiku. Membawa seseorang.
Aya.
Tetapi aku tidak keluar.
Aku tidak mau melihat mata itu.
Aku tidak mengizinkan Aya menemuiku.
Hari ke tigabelas di bulan keempat.
Sudah berulang kali Aya datang ingin menemuiku. Tetapi ia tidak pernah berhasil melihatku. Terakhir aku melihatnya dari jauh, ia datang sendirian, perutnya sudah semakin besar, dan tangannya mengelus-elus perut itu. Kakinya tidak melangkah maju, tidak masuk, mungkin ia tahu aku tidak akan pernah keluar untuk menemuinya.
Hari ke dua puluh di bulan keempat.
Hikaru datang bersama Asuka, menceritakan kondisi Aya. Mereka menunjukkan foto bayiku. Foto dari Aya, hasil USG pertamanya. Bayiku laki-laki. Seperti harapanku, supaya bisa menjaga Aya juga. Asuka bilang, Aya ingin aku menyimpannya, tetapi aku menolak. Aku kembalikan foto itu. Aku cukup menyimpannya di otak dan hatiku saja.
“Katakan kepada Aya, jangan lupa istirahat dan minum susu.”
Bulan keenam.
Teman-temanku sudah jarang datang.
Terakhir Kouta datang bersama Satsuki membawa membawa selembar foto Aya. Foto Aya dengan senyumnya. Tanganku hendak mengembalikan foto itu, tetapi Satsuki menahan tanganku.
“Simpanlah. Aya akan menangis lagi kalau kau mengembalikan ini.”
Kouta menyelipkan foto itu disaku celanaku.
Bulan kedelapan.
Aya tidak tinggal lagi rumahnya. Dia kabur. Lagi.
Ada apa dengannya?
Dengan kondisinya yang tengah hamil seperti itu… ah! Dimana ia letakkan otaknya itu?!
Semoga dia baik-baik saja.
Akhir bulan kesembilan.
Harusnya bayiku sudah lahir. Harusnya Aya sudah melahirkan.
Tetapi aku tidak mendapat kabar apapun.
Tidak pula dari teman-temanku. Satupun tidak ada yang memberi kabar.
Apa kabarnya? Bagaimana kondisinya?
Aku ingin melihatnya.
Satu tahun pertama.
Aku mulai terbiasa.
Aku mulai berteman baik dengan keheningan.
Bagaimana kabar Aya dan… anakku?
Aku merindukan mereka.
Bulan kelimabelas.
Satu-satunya hiburanku hanya foto Aya.
Penyemangatku.
Aku tetap mencintainya. Sampai kapanpun.
Aku harap Aya pun begitu.
-Takaki Yuya tidak pernah menulis lagi-
*
/CHAPTER TEN/
PRESENT DAY
Langit itu tidak lagi bermega merah. Warna birunya sudah memudar. Hanya angin malam yang tertinggal. Menanti sang malam bersatu bersamanya. Rintik hujan masih turun dan membasahi beberapa orang yang tidak membawa payung atau apa pun untuk menutupi kepala mereka. Seharusnya ada pelangi di langit sana, tetapi aku tidak bisa menangkap warna-warna yang membetuk busur itu. Dia bersembunyi dibalik awan.
Tetapi, masihkah dia menungguku?
Aku melangkah meninggalkan vending machine itu. Sekotak susu ditanganku sudah hampir habis dalam kurang dari lima teguk. Aku terlalu haus.
Otakku berputar, lebih cepat dari biasanya. Mataku berputar, lebih awas dari biasanya. Mencerna situasi saat ini. Mendeteksi kemungkinan-kemungkinan yang bisa aku ambil.
Kemana aku harus pergi?
Ke rumah Kouta? Atau Hikaru? Atau Daiki? Atau Kei? Masihkah mereka tinggal disana? Maukah mereka bertemu aku lagi? Aku tidak dapat menghubungi mereka.
Tanpa koordinasi yang tepat antara otak dengan syaraf kaki, aku melangkah menuju rumahku dulu. Rumah keluarga Daiki sebenarnya. Tapi, bukan tidak mungkin nantinya aku hanya membuang waktuku saja datang kesana. Siapa tahu rumah itu kini sudah berpindah tangan pemiliknya. Buat apa aku kesana lagi? Tapi, kaki ini masih melangkah. Setidaknya untuk menuntaskan keinginanku, kerinduanku kepada Aya.
Tidak jauh. Rumahku yang dulu tidak sulit dijangkau walaupun hanya dengan kakiku saja. Rumah itu sudah terlihat dengan mataku. Sesuai bayanganku, kamar itu kini telah kosong. Mungkin sekarang kamar itu sudah berpindah tangan atau tidak ada lagi yang mau menempatinya.
Walaupun aku sudah tidak memiliki uang, tetapi ingin rasanya aku menyewa kamar itu lagi. Pemilik kondo sudah mengenalku, tidak sulit untukku agar ia mempercayakanku untuk menyewa kamar itu. Ah… Percaya? Mungkin pemilik kondo mengenalku, tapi apa dia masih percaya padaku?
Melewati ruangan pemilik kondo, kakiku melangkah menaiki tangga menuju lantai dua. Menyentuh pintu kamar itu. Merasakan lagi aura yang pernah ada disana, delapan tahun lalu. Antar aku dan Aya, berdua saja.
Aku terduduk lemah di depan pintu. Tanpa sadar airmataku kembali mengalir, setelah delapan tahun. Mengingat kembali kenangan-kenangan kami. Aku membenamkan wajahku di kedua telapak tanganku. Luapan emosi, tidak pernah aku rasakan sebelumnya, tidak juga ketika hari aku diusir dari rumah.
Aya…
Anakku…
Bergantian mengisi ruang kosong di hatiku. Tempat kosong disana, aku ingin mereka menyentuhnya, tetapi… tidak bisa.
*
“Yuya…”
Sebuah suara memanggilku.
Belum sempat aku membuka mata, mendeteksi pita suara siapa yang memanggilku atau menentukan mata siapa yang menemukan aku ditempat ini, sepasang tangan merengkuhku kedalam pelukannya.
“Aya…” bisikku.
Aya-kah? Tetapi hanya nama itu yang muncul di otakku.
Hangat ini, milik Aya.
Anggukannya terasa di pundakku. Aku merenggangkan pelukan kami dan melihat wajah itu. Aya ada di pelukanku sekarang. Dia disini.
“Yuya…”
Ini bukan mimpi. Itu benar dia, Aya, yang ada dipelukanku. Dia menangis, aku bisa merasakan airmatanya membasahi pundakku. Tanganku mengelus lembut kepalanya. Detak jantung kami berdetak bersamaan, hembusan nafas kami seirama, aku memberinya sebuah kecupan lembut dibibirnya. Aku tau ada efek menenangkan disana.
Tanganku membelai pipinya. “Jangan menangis lagi. Aku disini.”
Seperti inikah caraku lagi untuk bertemu dengan Aya? Setelah delapan tahun lalu dia tiba-tiba pergi dari rumah, entah kemana, lalu kami terpisah dan sekarang… aku melihat lagi wajahnya dengan jelas, memeluknya lagi sehangat dulu, dan mencium lembut lagi bibirnya.
Aku tersenyum ketika kepala itu mengangguk sambil tersenyum. “Ayo masuk,” katanya. Ia menarik tanganku.
“Kau tinggal disini?” tanyaku heran.
“Masih,” jawabnya singkat.
Lampu dinyalakan dan aku melihat perubahan di kamar itu. Perubahan paling terlihat yaitu dengan adanya beberapa bingkai foto seorang anak kecil disana. Sisanya, hanya perubahan tempat dan properti saja.
Tanganku menyentuh kaca bingkai foto dimana ada foto Aya dan seorang anak kecil disana. “Darimana?” tanyaku.
“Kerja dong. Yuya pikir darimana aku mendapatkan uang untuk membayar sewa kamar ini jika aku tidak bekerja dan menunggu Yuya saja?” Aya tersenyum. Tangannya selesai menuangkan air ke gelas dan ia memberikannya kepadaku.
“Kerja apa? Kenapa masih mempertahankan rumah ini?” Mataku hanya menatap ke foto-foto yang menghiasi rumah ini sekarang.
“Diminum dulu,” kata Aya sambil menyadarkanku dan membawaku duduk. “Chef. Hanya di restoran kecil. Tetapi gajiku lumayan, tidak kalah dengan gajimu dulu.” Ia tertawa.
“Sampai malam begini?” Kuingat sekarang sudah hampir jam 11 malam.
Retina mataku menangkap kepala itu menangguk sambil berusaha melunakkan hatiku. “Daripada aku gila menunggu Yuya saja disini.”
Kurengkuh tubuh itu ke dalam pelukanku.
Sungguh, aku tidak ingin lagi melepaskannya. Tidak lagi. Tidak akan pernah.
Tiba-tiba tangan Aya menggenggam erat tanganku, membawaku melangkah ke kamar kami. Kamar kecil, satu-satunya kamar yang ada disana. Tanganku merangkul pundak Aya, sedangkan perempuan ini membawa mataku menatap ke dinding kamar. Dua buah bingkai disana, bingkai foto seorang anak laki-laki gemuk berpipi tembam.
“Anak kita,” ujar Aya. “Namanya Kataya.”
Kataya…
----------------------------------
/TBC/
“Dimana dia sekarang?”
Aya tersenyum. “Di suatu tempat. Nanti kita kesana ya.”
“Tidak bisa sekarang?”
“Yuya harus istirahat dulu.”
“Aku mau bertemu dia sekarang.”
Tangan Aya menyerahkan sebuah foto album tebal berwarna biru tua. Judul di depan album tersebut, ‘Takaki Kataya.’
Mataku bertemu dengan mata Aya. Ia tersenyum seolah berkata, “Bukalah…”
Telapak tangan Aya menggenggam tanganku, menemani tanganku membuka album foto itu. Foto pertama adalah foto Aya dengan pakaian rumah sakit, wajahnya berkeringat, tetapi senyum terkembang di wajahnya. Di pelukannya ada seorang bayi bertubuh sangat kecil. Matanya masih tertutup, wajahnya merah dan basah.
“Itu foto diambil tepat setelah Kataya lahir.”
Foto selanjutnya adalah foto-foto bayi di awal bulan kelahiran anakku. Ketika pertama kali ia merangkak, ketika Aya memandikannya, ketika mereka berenang bersama. Hingga sampai di foto dimana anakku mengenakan sebuah seragam sekolah. Ia masuk TK pertama kali. Lucu sekali. Tubuhnya yang kecil menggendong tas berwarna merah kebesaran.
“Ini foto gambar bertema pertama yang pernah Kataya buat.” Mataku melihat sebuah gambar, seorang laki-laki, perempuan, dan anak kecil. “Katanya, ini aku, Kataya, dan Touchannya.”
Anakku mengharapkan keberadaanku.
“Kataya sangat ingin bertemu dengan Yuya. Ia sering kali menanyakan Yuya. Aku, aku sempat bingung, bagaimana aku harus menceritakan keadaanmu, tetapi-“
“Aku ingin bertemu dia sekarang. Tolong, bawa aku menemui dia, Aya. Onegai.” Aku menundukkan kepalaku.
Tanpa kusadari, setetes kristal bening meleleh membasahi tidak hanya hatiku, tetapi juga pipiku. Kekuatan-entah dari mana-mendorongku untuk memeluk, merengkuh, membelai lembut putraku. Tangan dingin Aya menyentuh kedua pipiku yang memerah perih. Hati ini serasa tersayat mendengar keinginan Kataya untuk bertemu denganku, ayahnya.
“Ayo. Kataya ada di-“ Aya tersenyum kecil, “-rumah Ibu.”
Padam.
Kenapa?
Ibu?
Rumah itu?
“Bagaimana bisa?” tanyaku singkat.
Aya masih menggenggam wajahku. “Jangan emosi. Selama ini, ibu yang menjaga Kataya jika aku bekerja. Ibu sangat sayang terhadap anak kita. Ibu membantu semua urusan Kataya. Tidak hanya ibu, Yui-neechan, Yuu-neechan, dan Yuma pun sayang terhadap dia. Mereka juga merindukanmu Yuya, sama seperti perasaan Kataya yang sangat ingin bertemu ayahnya. Jangan marah… ya?”
“Aku… Aku hanya…” Aku bingung. Jujur saja. “Aku bukan-“
“Yuya memang bukan anak kandung keluarga Takaki, tetapi sebenarnya mereka tidak menyesal, Yuya. Keluargamu membantu membiayai segala keperluan kami, aku dan Kataya.”
“Termasuk membayar rumah ini?”
“Tidak. Aku yang membayar rumah ini. Aku katakan kepada ibumu. Aku tidak bisa menerima uangnya untuk membayar rumah ini. Aku meneruskan keinginan Yuya. Keluarga Yuya hanya membantu biaya Kataya.”
Aku tidak bisa memberikan ekspresi yang tepat. Sampai tangan halus itu menyentuh telapak tanganku, meluluhkan lagi pertahananku. Membuatku membuka lagi kisah lama itu, delapan tahun lalu. Kejadian pengusiranku dari rumah itu. Aku lemah. Aku menangis. Kukutuki diriku sendiri. Bagaimana aku mampu membangun keluargaku jika aku tidak kuat? Aku kecewa.
Sebuah pelukan hangat dari ‘istriku’. Pelukan penuh arti, aku tahu. Aya ingin aku membagikan kesedihanku. Aya ingin aku memaafkan keluargaku. Aya ingin aku kuat. Aya ingin aku menghadapi kesedihan terbesarku. Detak jantungnya mengatakan semuanya.
Pikiranku melayang. Apa yang kurang? Aya sudah ada di depan mataku, lagi. Aku yakin dia tidak akan meninggalkanku lagi. Apa yang harus aku takutkan? Kubalas rengkuhannya.
“Ayo kita jemput Kataya,” bisikku lembut.
*
Desir lirih angin yang bernyanyi mengiringi langkahku bersama Aya. Menyusuri jalan menuju rumahku yang dulu, singgasana keluarga Takaki. Sebuah pelukan mesra molekul pembawa gas-gas tak kasat mata menghangatkan tubuh kami. Satu yang ada di kepalaku, aku akan bertemu, putraku.
“Pernikahan delapan tahun lalu itu tidak sah,” ujar Aya tiba-tiba.
Genggaman tangannya entah dengan alasan apa menjadi semakin erat. “Maksudnya? Kau belum cerita bagaimana tangan ini bisa ada di genggamanku lagi.”
Senyum simpul terulas di wajah ‘istriku’. “Papa membayar orang menjadi saksi pernikahanku dan Hiro. Juga surat-surat yang ada disana, semua palsu. Tidak sah. Semua Papa lakukan hanya untuk membayar hutangnya kepada keluarga Makoto. Aku yang dijadikan korban. Sekarang, ini juga berkat bantuan keluarga Yuya, Hiro sudah dimasukkan ke penjara. Makoto Sato meninggal karena serangan jantung.”
“Papamu?”
Aya sedikit menunduk. “Papa… sekarang dirumah sakit.”
Aku berbalik melihat Aya. Merenggangkan sedikit genggaman tanganku. Kudekatkan wajahku ke wajahnya, sedetik kemudian wajahnya memerah. Sepertinya bukan karena tersipu.
“Kenapa?”
Wajah Aya terangkat. Tidak ada airmata disana. Hanya perasaan sedih yang tidak bisa ia tutupi.
“Gangguan kejiwaan. Sekali seminggu aku dan Kataya mengunjunginya. Aku ingin minggu depan kita pergi bertiga,” katanya sambil melemparkan senyum itu.
Satu anggukan, lalu tanganku merengkuh kepala itu, mendekapnya di dadaku. Menciumnya dan membelai wajah itu. Entah sudah berapa lama aku tidak mendekap mesra tubuh itu. Tidak merasakan sensasi ekstasi aroma tubuhnya. Seperti obat tidur, hanya keberadannya yang mampu membuat mimpiku melayang dan menari dengan indah.
Angin menjelang pukul sembilan malam. Desirannya semakin jelas, membawa segala kesedihan kami berdua. Berlalu diusir waktu. Kami melangkah berdua, seperti dulu lagi. Yang berbeda, dulu aku mengantar Aya pulang ke rumahnya, sekarang kami berdua ingin menjemput anak kami. Anak kami berdua-Kataya.
Seperti apa wajahnya? Hidungnya? Bibirnya? Matanya? Mirip aku atau Aya? Bagaimana tingkah polahnya? Diam seperti aku, atau aktif seperti ibunya? Senyumnya? Aku harap tidak sinis sepertiku. Suara tawanya, seriang ibunya-kah?
Hingga sampai kaki kami berhenti di pintu pagar rumah ini, rumah keluarga Takaki.
Semua masih sama, tidak ada yang berubah.
Dulu, tanganku yang menarik Aya untuk masuk ke dalam rumah, sekarang tangan Aya yang menggenggam erat tanganku-supaya tidak kabur mungkin-dan membawa tubuhku sedikit berlari masuk ke dalam rumah itu, rumahku juga.
“KAA-SAN!”
Suara anak kecil. Seorang laki-laki kecil bertubuh gempal, gemuk, dan sehat. Dia berlari menghambur menghampiri Aya dan memeluk perempuan yang ia panggil Kaa-san.
Diakah… Kataya?
Aya memeluk erat anak laki-laki itu. Kepala anak kecil itu menengok kearahku. Senyum terulas di bibirku.
“Tacchan, ini Tou-san.” Aya menunjukku dan mendorong pelan tubuh kecil Kataya.
Aku berjongkok di hadapannya dan senyum terulas dibibirku. Ini anakku. Dia… Dia anakku. Kataya Takaki, darah dagingku. Tanganku terbuka, membiarkan anakku merengkuh tubuhku, jika dia mau.
“Otou-san…” katanya sambil langsung memelukku. “Aku kangen.”
Otou-san…
Suara itu, terdengar begitu jelas di telingaku. Anak itu benar anakku. Ia bilang kagen. Anakku rindu.
“Tou-san juga kangen.”
Padahal, kami belum pernah sekali pun bertemu, bagaimana bisa ada perasaan kangen dari anakku untukku.
Matanya bulat, melihat ke dalam mataku. “Kaa-san sering bercerita tentang Tou-san. Hari ini kita tidur bertiga yuk. Taachan belum pernah tidur bersama Tou-san, teman-teman Kataya sudah pernah tidur bersama Tou-san-nya. Taachan saja yang belum pernah. Mau ya?”
Bicaranya persis seperti Aya dulu. Aku memeluknya sekali lagi, “Iya, sayang.”
“Yuya…!!” Suara itu…
Aku berbalik dan menemukan Ibuku berdiri di teras rumah, dibantu Yuma yang memapahnya berjalan. “Ibu…” bisikku pelan.
Malam yang panjang. Aku duduk berhadapan dengan Ibuku, Yuma, Yui-neechan, dan Yuu-neechan. Aya dan Kataya sudah tidur di kamarku dulu. Kami berlima saling pandang, lebih tepatnya aku yang memandang mereka. Delapan tahun sejak kejadian itu.
“Meskipun kau bukan anak kandungku, tetapi aku mencintaimu sama seperti aku mencintai anakku sendiri. Yuya, jangan pergi lagi,” ujar Ibuku penuh haru. Emosinya meluap. Kakinya seperti akan beranjak berjalan mendekatiku. Tetapi langkahku lebih cepat, aku menangkap tubuh itu dan memeluknya erat.
“Ibu,” bisikku pelan. “Aku tidak akan pergi lagi, tetapi biarkan aku dan Aya membangun keluarga kami.”
Anggukan. Aku memeluk Ibuku semakin erat.
“Maafkan Nee-chan, Yuya. Aku sungguh merasa bersalah. Aku tidak maksud m-“ Yuu-neechan menyentuh pundakku.
Aku membalasnya dengan tersenyum. Jujur, aku pun merindukannya. “Aku sudah memaafkan Nee-chan. Jangan khawatir. Aku dengar kalian semua sering mengajak Kataya bermain. Aku sungguh berterimakasih.”
“Bagaimana tidak? Tacchan itu lucu sekali. Dia lincah seperti kau dulu,” ujar Yui-neechan.
“Dia juga senang main bola denganku!” Yuma menambahkan.
Keluarga ini, keluarga yang membesarkanku. Keluarga Takaki, selamanya aku akan terus menjadi bagian dari keluarga ini. Sampai kapanpun.
----------------------------------
/TBC/
EPILOGUE BESOK!