Title: And So It Goes
Author: Angel
Genre: Love, Romance
Rating: T / PG-15
Theme: Yaoi / Non-yaoi
Casts: Takaki Yuya, OC (Ishihara Aya), dan beberapa nama yang sudah dikenal.
Discl.: They're not mine. I owned the plot.
Summary: Takaki Yuya, hidupnya berubah setelah bertemu Ishihara Aya. <-- failed at summary :/
Prologue Chapter 1 Chapter 2 Chapter 3 Chapter 4 Chapter 5 Chapter 6 Chapter 7 Chapter 8 Aya… kabur? Menghilang? Pergi kemana?
“AYA!!!”
Aku berlari menghambur keluar. Aku harus menemukannya! Harus!
/CHAPTER NINE/
Ini adalah malam terpanjang seumur hidupku. Berlari mencari Aya kesana kemari. Berputar-putar sekitar lingkungan rumahku. Mencari dan berusaha menemukan keberadaan Aya. Sendirian.
Sampai pagi ini menjelang. Matahari pagi mulai menampakkan wujudnya dari timur sana. Kegelapan kini digantikan secercah cahaya baru. Cahaya pagi. Musik pagi, waker alami manusia, burung-burung berkicau menyanyikan lagu baru ucapan selamat tinggal kepada bulan dan merupakan lagu selamat datang untuk sang matahari. Setiap hari selalu lagu baru yang disuguhkan burung-burung itu. Hari ini pun ada sesuatu baru yang benar-benar mengejutkanku.
Aku belum menemukan Aya sampai saat ini.
Biasanya, wajahnya yang selalu menghiasi pigura pagi hariku. Biasanya suara beningnya yang membangunkanku sambil berkata, “Ohayou, Yuya. Ayo bangun. Hayaku!” Lalu, biasanya tangan itu yang pertama menyentuhku di pagi hari. Menarik kedua lenganku untuk berdiri, menepuk-nepuk pipiku, menyadarkanku tentang puisi baru sang pagi.
Airmataku tertahan.
Matahari kini telah resmi membangunkan para pekerja untuk memulai kegiatan mereka. Dan aku… berjalan kembali ke rumah. Menanti yang tidak pasti.
“Aya…” bisikku pelan.
Aku tahu tidak akan ada yang menjawab kecuali aku ada di hutan luas dengan tebing-tebing di sisiku, itupun hanya gema panjang yang menjawab.
Kuraih bantal guling Aya, seolah memeluknya erat. Aku duduk di kursi meja makan, meletakkan kepalaku di meja, dan masih memeluk ‘Aya’.
Aku ingin sekali minta maaf kepadanya. Aku berjanji tidak akan meninggalkannya lagi. Aku sungguh ingin dia kembali.
Pertahananku hancur.
Airmataku jatuh.
Aku tenggelam di dalam penyesalanku.
Tanpa sadar, aku terlelap. Aku lelah.
*
Getaran keitai-ku menyadarkan aku dari mimpi di pagi hari. Ketika aku terbangun dan melihat jam di keitai, sudah jam 9.54. Nama ‘Yaotome Hikaru’ terpampang di keitai-ku diikuti ketukan pintu beberapa tangan di depan rumahku. Dengan wajah kusut dan jiwaku yang belum sepenuhnya terkumpul aku mengangkat telepon Hikaru.
“Moshi-moshi…”
“Baka! Apa yang sedang kau lakukan, Takaki-kun?!! Kami sudah lima belas menit lebih berdiri mengetuk-ngetuk rumahmu dan kau baru mengangkat telepon kami setelah sepuluh kali lebih kami berusaha meneleponmu??!!! Cepat bukakan pintu!”
Suara perempuan. “Aya…” bisikku.
“BAKA! Aku Asuka! Cepat buka!!”
Asuka? Bukan Aya?
Belum sempat aku berpikir lagi, kakiku sudah melangkah mendekati pintu masuk. Tanganku bergerak membuka kunci pintu dan…
“TAKAKI!!!”
Suara seruan delapan orang mengumpulkan jiwaku seketika. Kouta, Satsuki, Hikaru, Asuka, Kei, Aoi, Daiki, dan Ryoko berdiri di depan rumahku dengan wajah bingung.
“Benar Aya menghilang?” tanya Kouta sebelum Satsuki sempat bertanya duluan.
Aya… Ah! Aku baru ingat, dia masih belum ditemukan. Aya... Aku mengangguk.
PLAK!
Satu tamparan mendarat di pipiku. Oleh Satsuki.
“Satsuki-chan…” ujar Aoi, Asuka, dan Ryoko. Satsuki menangis.
“Bukankah aku sudah bilang padamu untuk menjaga Aya-chan?! Apa yang kau lakukan sampai Aya bisa menghilang dari sini? Dan apa yang kau lakukan dari tadi? Kenapa kau tidak mencari Aya?!!” seru Satsuki histeris.
“BUKAN HANYA KAU YANG KEHILANGAN DIA, SATSUKI! AKU JUGA!”
Semua mata kembali padaku, menunggu jawabanku.
Emosiku meluap.
“Aku sudah mencarinya semalaman. Tadi pagi aku terlalu lelah, makanya aku pulang lalu istirahat sebentar. Salahkah, Satsuki-chan?” tanyaku.
Tangan Ryoko menyentuhku diikuti tatapan matanya yang menenangkan. “Ayo kita cari Aya-chan lagi. Kami siap membantumu, Takaki-kun.”
“Un!” Suara Aoi. “Mungkin dengan personel yang lebih banyak, Aya-chan dapat cepat ditemukan.”
“Semalam aku sudah mencari hampir ke seluruh sudut di daerah sekitar sini…”
“Ah, itu kan tadi malam. Masih gelap. Matamu mungkin masih tidak bisa mendeteksi keberadaan Aya-chan,” ujar Asuka sambil tersenyum.
“Kalau begitu, kita menyebar!” seru Hikaru bersemangat. “Kita mencari berpasangan. Keseluruh arah mata angin. Semua berpencar dan jangan lupa untuk langsung saling menghubungi jika menemukan Aya.”
“Ingat, Aya itu tidak sendiri. Aya sedang mengandung, makanya jangan terlambat menghubungi kami.” Kei tidak ketinggalan memberi instruksi.
Aku mengambil satu langkah maju. “Tapi… bagaimana kalian bisa tau?” tanyaku.
“Ryoko tadi datang kemari untuk menjemput Aya-chan, tetapi ibu pemilik kondo kalian bilang kalau Aya menghilang. Makanya Ryoko langsung meneleponku dan singkat cerita jadilah kami berdelapan berkumpul disini membangunkanmu.” Daiki tersenyum tipis.
“Sudah… ayo kita lakukan dengan cepat. Hari ini, kita harus menemukan Aya!” seru Kouta.
Dengan cepat kuganti pakaianku dengan sebuah kemeja tipis dan celana jeans. Keitai kumasukan ke saku. Pokoknya, aku harus kembali ke tempat ini bersama Aya!
Semua berlari ke arah yang berbeda. Aku tidak lagi mencari ke tempat yang sama yang aku lewati malam tadi. Sebenarnya semalam mataku masih berfungsi dengan baik sehingga aku bisa melihat keberadaan Aya jika memang dia ada di salah satu sudut jalan yang aku lewati. Kini mataku menelusur semakin dalam, semakin tajam. Semakin terfokus pada sosok perempuan berambut panjang sepunggung yang memakai piama warna hijau.
Tiba-tiba angin di sisi kanan dan kiriku berhembus lebih kencang dari biasanya. Seolah ingin menghapus sedihku. Fuss… Terlalu membelaiku.
Aku berhenti sebentar.
Dada ini, rasanya ada yang tidak enak. Ada yang lain. Yang tidak biasa, yang membuatku semakin panik.
Aya, terjadi sesuatukah dengannya?
Dua puluh menit telah berlalu, tetapi masih nihil. Aku belum menemukan tanda-tanda keberadaan Aya. Mataku tidak menangkap sosoknya.
Keitai-ku bergetar. Cepat-cepat aku angkat. Inoo Kei.
“Takaki! Cepat kemari! Aya… Ah. Segera ke depan gereja dekat Kitagawa Gakuen,” katanya cepat.
Bahkan Kei dan Asuka sampai mencari ke sekolah Aya! Pasti sesuatu buruk terjadi. Entah mengapa, itu yang aku yakini sekarang.
*
Kakiku berhenti di satu titik ketika aku melihat Kouta, Hikaru, Kei, dan Daiki menyambutku dengan tatapan mata yang… entah apa artinya. Tetapi para perempuan itu, maksudku Satsuki, Asuka, Aoi, dan Ryoko, mata mereka memandang dengan nanar ke satu poin yang tidak bisa aku lihat. Arah yang lain dari arah mataku. Yang bisa aku cerna dari kondisi tanpa suara itu hanya kata-kata bisu keempat sahabatku yang dengan mata mereka menarik aku mendekat kepada mereka.
Dalam hati aku bertanya-tanya. Takut. Tetapi aku ingin tahu. Aku tidak mau menghadapi kenyataan itu jika pahit, tetapi aku harus melihatnya. Mengetahui apa yang terjadi, yang membuat ke-empat pasang mata perempuan, empat perempuan terdekat Aya, begitu perih. Bahkan, Ryoko… ia menitikkan airmatanya. Asuka dan Aoi berpelukan, sedangkan Satsuki, jika bisa aku simpulkan, dia yang paling bisa berdiri sendiri walau Kouta tetap memegang pundaknya.
Di tengah sana, di tengah gerombolan orang yang tidak aku kenal, yang berpakaian jas rapi dan formal. Berdasi, berenda, senyum itu terkembang. Walau aku tahu dia terpaksa. Aku bisa lihat matanya berkaca-kaca.
Dia, dengan gaun putih mewah dan tata rias yang menyempurnakan parasnya, Aya.
Ia berdiri disana, dengan seorang lelaki disebelahnya… Makoto Hiro.
Menikah.
Duniaku seakan berputar sangat cepat.
Aku terlalu naïf untuk mengelak bahwa memang aku pernah berpikir Hiro-lah yang pasti mengambil Aya dari sisiku. Aku terlalu… bodoh.
Tepat saat mata kami bertemu, satu titik airmataku terjatuh. Memalukan.
Namun dia berlari. Berlari ke arahku. Diikuti wajah kaget seluruh tamu kehormatan di acara pernikahannya di gereja itu. Dia berlari menghampiriku, memelukku erat, dan menangis di pundakku.
Dia terlalu indah untuk menangisi semuanya. Kesempurnaan itu tidak bisa ditutupi dari wajahnya. Menyakitkan. Aku terluka.
“Maafkan aku…” desisku perih. “Aku tidak bisa menjagamu. Aku terlalu lambat untuk mengambilmu. Aku… terlambat.”
Tetapi dia menggeleng. “Maaf… Maafkan aku, Yuya… Sungguh, aku…” Dia tenggelam di dalam tangisannya.
Yang kudengar hanya isak tangis Aya dan empat perempuan lain yang kalian tahu siapa. Hanya suara kesedihan, diikuti desiran angina yang ikut menangis tertahan.
Aya, Ishihara Aya. Gadis itu harusnya menjadi milikku. Ada anakku yang masih tertidur di dalam perutnya. Aku menunggunya keluar, melihat indahnya dunia, melihat senyum ibunya, mendengar tangisan pertamanya…
BAK!
Dengan kasar, tubuh kami berdua terpisah. Hiro, dengan senyum sinisnya yang luar biasa dan tatapan matanya yang berlumur kelicikan, dia menarik Aya menjauhi aku. Teman-temanku, mereka berdelapan sudah dikelilingi beberapa polisi disana. Di hadapan mataku kini… Ishihara Masao dan tiga orang polisi.
“Dia!” ujar Masao sambil menunjuk jari telunjuknya kepadaku. “Dia menculik anakku. Dia membawa kabur anakku. Tangkap dia! Aku tidak ingin dia menghancurkan kehidupan anakku lagi!”
Secepat kilat tangan polisi-polisi itu mengunci gerak tubuhku dan membawa tubuhku menjauh dari Aya dan teman-temanku. Dengan paksa mereka memasukkanku ke dalam mobil polisi. Aku tidak meronta, tetapi Aya meronta. Aku tidak lagi menangis, tetapi tangis Aya semakin terdengar menyayat. Aku tidak dapat lagi berkata-kata, tetapi hanya suara Aya yang bisa aku dengar.
“YUYAAAAA!!!” Dia menjerit histeris.
Airmata itu.
Semua karena aku.
Maafkan aku, Aya. Maaf.
*
Gertak gigi dimana-mana. Ketegangan menjadi teman baik ruangan ini, pasti. Kerut dahi menghiasi sejauh mataku memandang. Serius, semua sedang mengusut kasusku dengan cepat.
“Penculikan, narkoba. Kau ini masih muda, mengapa kau malah mengundang dirimu sendiri kesini?”
Polisi itu tidak tahu apa-apa.
Aku tidak menculik Aya. Aku juga tidak menyimpan sedikit pun barang haram itu dirumahku. Bahkan aku berani bersumpah, seumur hidupku aku belum pernah menyentuh barang yang mereka bilang narkoba. Tetapi, mereka menemukannya di rumahku. Tiga bungkus. Gila!
“Tapi, a-”
BUK!
Satu lagi tinju itu dilayangkan tepat mengenai pipiku.
“Ini ada bukti, hoi! Jangan mengelak lagi!”
Ah sudahlah. Aku sudah lelah. Biar saja mereka lakukan apa yang mereka ingin lakukan kepadaku.
Hiro. Dia pasti yang merencanakan semua ini.
“Tidak perlu persidangan karena kau sudah dinyatakan bersalah, anak muda. Vonisnya…” Suara seseorang berjas dan berdasi yang baru saja sampai sepuluh menit lalu di ruangan tempatku diadili ini, dia yang mengaku sebagai pengacara keluarga Ishihara-Makoto. “Delapan tahun penjara.”
Delapan tahun penjara…
Delapan tahun penjara…
Delapan tahun penjara…
Seperti gema.
Delapan…
…Tahun
Harusnya, aku biasa melihat anakku delapan bulan lagi, tetapi sekarang… aku harus menunggu delapan tahun untuk bertemu dengannya.
Hancur.
Duniaku seolah runtuh seketika.
Remuk berkeping-keping.
Kutundukkan wajahku, setitik airmata menetes membasahi pipiku.
Aku… pasrah.
----------------------------------
/TBC/