[Y - part 4/END] / Hey!Say! Jump Indonesian Fanfic

May 26, 2013 08:48



Judul: Y
Author: Rieyo
Pairing: Yamada Ryosuke x Nakajima Yuto / Nakajima Yuto x Inoo Kei
Rating: PG15
Genre: AU, Comedy, Friendship, Romance

Aku melangkahkan kaki ku menuju tempat favoritku di atap sekolah. Udara disini selalu menyambutku dengan bersahabat, membuatku betah berlama-lama, membuatku nyaman... meski kalau kupikir lagi belum senyaman kamar Yamada, ck. Aku berdiri di ujung tembok, memandang ke hamparan langit dan kota di bawah sana. Benar-benar disini tempat yang enak untuk berpikir... aku jadi teringat Inoo lagi, sejak mendengar obrolannya dengan Yabu kemarin, aku belum mendapat kabar lagi darinya. Aku masih tak sanggup berhadapan dengannya.

Aku mengeluh pelan.

"Jangan coba-coba menjatuhkan dirimu dari sana, Nakajima" suara seseorang membuatku terhenyak. Aku tentu saja hapal suara itu, orang yang sejak kemarin jadi memenuhi kepalaku, dan sangat aku hindari sekarang. Apa yang dia lakukan disini!!?

Sedikit kaku, aku menengokkan kepalaku. Yamada sedang berbaring di tembok, tempatku biasa berada.

"Yama-yamada.." kataku terbata-bata. Dia tersenyum tipis.

"Apa masalahmu dengan Inoo-senpai sangat berat, sampai kau ingin bunuh diri?" katanya lagi, dia terlihat biasa saja, tak seterkejut aku. Dia memang pandai menutupi apapun. Tapi aku yakin dalam hatinya dia pasti tak menentu sepertiku, aku tak percaya kalau kejadian kemarin tak mengusiknya.

"Aku tidak akan bunuh diri, tak ada gunanya... eh? kau tahu--" tiba-tiba aku ingat tadi Yamada menyebut Inoo. Dia mengerti soal aku dan Inoo.. MAJIDE!?

"Apa? kau dan Inoo-senpai? Aku sudah menduga sikap anehmu sejak kemarin pasti karena dia" katanya membeberkan semua.

Aku tak menyangka, ternyata dia memang sangat peka dan mengamatiku.
"Lalu.. apa yang kau tahu?" tanyaku hati-hati.

"Semuanya. Yang kalian lakukan di mobil waktu itu sudah sangat menjelaskan semuanya" jelasnya, yang membuatku harus agak membelalakkan mata. Dia melihat itu? Ah ya, waktu itu mobil Inoo parkir di depan rumahku, aku tak tahu kalau dia sudah berada disana.. menontonku dan Inoo.. Aku cepat memalingkan wajahku, menormalkan rona merah yang mungkin muncul di kedua pipiku. Sial. "Apa yang terjadi? dia mencampakanmu?"

Pertanyaan Yamada membuatku cukup tersentak. Dicampakkan. Benarkah aku dicampakkan!? Nakajima Yuto yang tampan ini!?

"Ap-apa maksudmu?" aku mencoba menutupi, meski tak meyakinkan. Aku mendadak tak ada keberanian melihat padanya.
Aku mendengar langkah kakinya menghampiriku, berdiri di sampingku, ikut menatap hamparan langit dan kota disana. Aku menolehkan wajahku takut-takut, angin menerpa kami, dan aku berhasil melihat wajah manisnya lagi.

Tanpa sadar mataku jadi lekat memandangnya, dia menolehkan wajahnya juga, membuatku salah tingkah. Mataku bergerak-gerak mencari objek lain yang pura-pura bisa aku jadikan alibi.

"Kau mau pergi dari sini?" tanyanya tiba-tiba sudah mengalihkan pembicaraan.

"Eh?" aku melihat padanya heran. Ada apa dengan ketua kelasku yang teratur ini? Sekarang di tengah-tengah jam pelajaran tapi dia malah berada disini lalu mengajakku pergi?? Ada yang tidak beres.

"Kemana? dan.. kenapa?"

Yamada memandangku lucu, dia tertawa kecil.
"Aku tak tahu kemana. Aku tak pernah bolos sebelumnya. Kau pasti lebih mengerti tempat-tempat yang biasa di datangi anak sekolah saat membolos"

Benar juga.. Bodoh sekali pertanyaanku. Hah? Apa dia sedang menguji seberapa ahli aku dalam membolos? ck.

"Kenapa kau tiba-tiba mau membolos? Tidak biasanya sekali. Sangat bukan kau" kataku, agak meledeknya. Dia lagi-lagi malah tertawa kecil.

"Aku sedang malas. Hari ini aneh.. kau juga merasa begitu bukan? Aku tidak melihatmu dari pagi"

Memang. Hari ini jadi aneh karena kejadian kemarin. Kita sama-sama merasakan hal yang aneh. Aku lebih memilih menghindari Yamada untuk menghadapi hari anehku, seperti biasa aku memang hanya bisa mengelak. Sedangkan Yamada, dia seperti memilih melakukan hal yang tak pernah dia lakukan untuk menyempurnakan hari anehnya. Aku menghela nafasku.

"Aku tak bisa bertemu denganmu" kalimat itu meluncur begitu saja dari mulutku. Aku tak mungkin menariknya lagi.

"Kau takut?" dia malah bertanya.

"Bukan, hanya--"

"Hai, hai.. wakatta" dia memotongku. Dia tampaknya tahu kalau aku hanya akan beralasan. Aku memperhatikan dia mengeluarkan sesuatu dari tasnya.. eh? Rasanya aku hapal. Tidak! Scarf birunya yang sudah tak jelas!
Dengan tenang dia melingkarkannya di lehernya. Aku menelan ludahku diam-diam. Pasti waktu itu dia menemukannya di kamarku, kadang aku memang lupa menyimpannya di tempat yang aman.

"Kau tahu apa yang pertama kali aku pikirkan saat melihatnya?" tanya Yamada sambil melirikku. Aku menggelengkan kepalaku takut-takut. "Aku ingin meninjumu, tepat di hidungmu lagi" lanjutnya. Reflek, aku menyentuh hidung mancungku. Tidak lagi. Aku sangat kesal saat dulu dia mengoyakkan hidungku yang indah.

"Gomen, itu..." rasanya aku ingin menjelaskan sesuatu, tapi kata-kataku seperti tercekat.

"Scarf ku yang malang~ Selama ini tak aku tanyakan karena kupikir kau menyimpannya. Aku tahu kau suka warna biru, dulu aku sengaja membelinya" kata Yamada lagi, membuatku makin merasa tak enak. Aku diam mendengarkannya.

Mendengarkan omelan Yamada yang seharusnya aku dengarkan dari dulu.

"Kenapa kau tahu aku suka warna biru?" terlalu banyak kenapa yang aku lontarkan padanya hari ini.

"Aku tahu banyak soal kau, lebih dari yang kau duga. Tapi aku tak mengira kalau kau membelikan scarf baru untuk mengganti scarf ini. Aku pikir kau memang sedang baik hati dan ingin kita punya scarf yang sama" dia berkata lagi, panjang lebar. Dia memang cerewet kalau sudah berurusan dengan kebodohanku. Seolah ada banyak kalimat yang bermunculan di otaknya untuk dimuntahkan padaku.

Aku nyaris tak bisa mendeteksi setiap kata yang dia sebut. Tapi aku mendengarnya.. dia bilang dia tahu semua tentang aku, kenapa? Dia bilang aku bukan saingannya, tapi kenapa dia tampak mencari-cari informasi tentangku. Huh.

"Aku sebenarnya tak mau memaafkanmu"

"Ya sudah. aku juga tidak--"

"Tapi aku memaafkanmu karena kau tidak membuangnya" potong Yamada tak peduli dengan kata-kataku tadi yang baru akan melawannya.

"Itu tidak terlalu jelek sampai aku harus membuangnya" kataku.

"Sou da" Yamada tersenyum. "Ayo, kita membolos!" dia berbalik dan bermaksud pergi dengan penuh semangat. Lagi-lagi mengalihkan pembicaraan begitu saja. Aku masih memandangnya heran. Dia melihat ke arahku lagi.
"Yuto, ikou?" ajaknya lagi, dengan panggilan untukku yang tak biasa. Dia tampak lebih bahagia hari ini dan mungkin itu terasa aneh baginya.

Aku tertawa sendiri waktu mengikutinya keluar. Pikiranku benar-benar ringan, aku melupakan banyak hal. Dari kemarin aku memang sadar, kalau Yamada mampu membuatku tenang. Meski aku sempat khawatir karena kejadian kemarin, aku jadi lebih baik dengan sikap santainya. Yang jelas, aku tak mengingat Inoo lagi.

"Ne Yuto.."

"Hmm?"

Kami sedang menyusuri trotoar sekarang, belum tahu akan menghabiskan waktu membolos dimana.

"Ini seperti kencan, bukan?"

"Hah?" aku menoleh cepat padanya. Dia tersenyum lebar dan lucu, aku tak pernah melihat dia seperti itu sebelumnya. Kenapa aku menangkap gelagat kalau dia sedang senang sekali sekarang? Dia senang bersamaku? Sebenarnya aku pun. Aku tak merasa terganggu lagi dekat-dekat dengannya. Mungkin karena ciuman kemarin, mungkin juga karena seperti yang pernah dia bilang.. kami saling membutuhkan. Dia yang sebelumnya hanya ku anggap musuh, siapa sangka bisa jadi penyelamatku.

"Seperti saat kita ke taman bermain.. Kau sukses membuat Airi-chan cemburu" tambah Yamada.

"Dia cemburu?"

"Sekarang kau tahu kan kenapa dia menatapmu dengan mengerikan?"

Rupanya begitu. Suzuki benar-benar cemburu padaku? bodoh.

"Untuk apa dia cemburu? aku tidak seperti berusaha akan merebutmu.. bukan?" kataku tak habis pikir.

Yamada tertawa lembut,
"Ada hal yang dia tahu tapi tidak kau ketahui" katanya, membuatku jadi semakin penasaran.

"Eh? apa? apa itu?"

Yamada malah mengangkat bahunya, tak mau memberitahuku. Dia juga sengaja berjalan lebih cepat menjauhiku, seperti tahu aku akan memaksanya.

"Oi Yamada!"

Aku lihat dia malah tertawa-tawa di tahan. Sangat membuatku penasaran, apa aku perlu menanyakannya langsung pada Suzuki?!

Kami baru akan menyebrang, saat tak sengaja mataku menangkap satu pemandangan di dalam sebuah cafe yang tak jauh dari sana. Mereka terlihat dari kaca luar dengan jelas, hanya mereka tampak sibuk berdua jadi tak memperhatikan aku dan Yamada. "Inoo-senpai" gumam Yamada disampingku, nyaris berbisik. Yea itu mereka, Inoo-chan dan Miyabi-san. Orang-orang yang tak mau kulihat. Mood ku untuk bersenang-senang hampir menghilang, tapi aku tak mau menunjukkannya pada Yamada. Aku tak mau menghancurkan moodnya juga.

"Ayo Yamada.." aku menarik tangannya untuk menyebrang, tapi ternyata dia lebih cepat menarikku balik. Aku agak terkejut, tapi tak bisa melepaskan tanganku dari pegangannya. Yang tak aku harapkan, dia membawaku ke dalam cafe itu, dimana ada Inoo dan Miyabi-san.

"Yamada.. jangan.." aku setengah berbisik memprotesnya, tapi dia tak peduli. Aku jadi pasrah.

"Inoo-senpai?" Ck! Yamada membawaku menyapanya pula! Inoo menengok pada kami, wajahnya yang sedang berseri jadi agak memudar apalagi begitu melihatku.

"Yama-chan.. Nakajima-kun.." dia menyapa balik, gugup. Aku terpaku mendengar panggilan yang begitu jelas di telingaku.. NAKAJIMA-KUN!? Seumur hidup aku mengenalnya dari sejak aku kecil dulu, dia tak pernah memanggilku seperti itu, tak pernah sekalipun!!

"Ohisa Inoo-senpai" Yamada berkata lagi dan mengajaknya berbasa-basi. Aku masih terdiam, Miyabi-san pun tampak memperhatikan kami dengan senyuman di bibirnya. Mungkin dia memang perempuan yang ramah.

Tapi aku tak peduli, aku masih tak percaya dengan sapaannya tadi. Sikapnya pun, Inoo seperti berusaha tampil keren di depan pacarnya. Ingin menunjukkan kalau dia adalah senpai yang baik. Aku mendadak muak dengan semua ini, aku tak bisa lama-lama lagi berada disini.

"Permisi Inoo-san, maaf sudah mengganggu kalian" aku menyela saja obrolan mereka. Aku tak mengerti kenapa Yamada harus membawaku kemari.

Aku keluar sendiri dari sana, entah kenapa Yamada belum mengikutiku. Aku kesal, dia pasti tahu itu. Dan aku tak mau peduli dengan reaksi Inoo. Akhirnya aku menunggu Yamada di luar. Aku tidak tahu kepentingan apa yang mau dia bicarakan dengan Inoo, buang-buang waktu saja.

"Yuto.." aku terhenyak sesaat mendengar suara di dekatku. Aku tahu itu suara Inoo. Pelan, aku menoleh padanya."Gomen, tadi aku tidak bermaksud.. ada Miya-chan, jadi aku--"

"Aku tahu" potongku, tak mau mendengar penjelasan yang detil darinya.

"Gomen, apa kau marah padaku? sudah beberapa hari ini--"

Lagi-lagi aku tak membiarkan dia menyelesaikan kalimatnya. Aku menarik tangannya menjauh dari sana, membawa ke balik tembok di dekat cafe itu. Aku menyudutkan tubuh rampingnya di tembok dengan sedikit sentakan. "Yuto.." dia mendesis pelan, mungkin agak merasakan sakit dengan kelakuanku yang tiba-tiba. Aku tak bisa menahan diriku juga setelah mendapatinya sedekat ini, seberapa kesalnya aku, seberapa muaknya, seberapa sakitnya.. aku masih mengharapkan dia di dasar hatiku. Aku ingin penjelasan darinya, bagaimana sebenarnya yang dia rasakan padaku? Benarkah hanya sebagai adik? Lalu kenapa dia melakukan semua yang sudah kami lalui tanpa keberatan, dan dia juga terlihat gugup begitu aku memergokinya dengan Miyabi-san, seolah aku memang benar-benar orang ketiga dalam hubungan mereka. Yang mungkin bisa menghancurkan.

"Apa artinya aku untukmu?" tanyaku tanpa perlu berbasa-basi. Aku menatap matanya dalam-dalam, tak memberinya celah sedikitpun untuk mengelak.

"Yuto, apa yang--"

"Jawab saja!" sela ku tak sabar.

"Tidak, Yuto.. tunggu--"

"Kau hanya menganggapku adikmu, setelah banyak hal yang kita lakukan?!"

Inoo tampak terkejut dengan perkataanku, di mata indahnya yang biasa memandangku lembut, sekarang begitu panik. Aku bisa membacanya.

"Kenapa kau diam?" aku mendesaknya lagi.

"Gomen, Yuto.." kata Inoo akhirnya. Nada penyesalan jelas sekali di suaranya. "..tapi aku juga menyukaimu.." dia mencoba meyakinkanku.

"Aku mencintaimu" sahutku tajam.

"Tidak" Inoo menggelengkan kepalanya.

"Aku mencintaimu!" suaraku meninggi.

"Tidak!"

"Aku sangat menc--"

"Itu bukan cinta! kau tidak mencintaiku!" potong Inoo tiba-tiba, dia mulai emosi, dia menatapku tajam, sangat ingin aku mengerti.

"Kau tahu apa!? aku yang merasakannya!!"

"Tapi aku tahu itu bukan cinta. Kau hanya menyukaiku! mengagumiku!"

Aku mendecak kesal. Gampang sekali dia menyimpulkan seperti itu, dia tak sadar dengan perasaanku yang terluka.
"Jangan seenaknya!" aku menghentakkan telapak tanganku ke tembok di samping kepalanya. Inoo terkejut, tapi dia terus berusaha melawanku.

"Kau harus menyadarinya, Yuto.."

Aku terdiam lama menatapnya, ada setitik keraguan di hatiku. Mungkin iya, aku tak mencintainya??
"Aku tak peduli kau tak akan pernah membalas perasaanku, aku hanya tak bisa terima selama ini kau masih menganggapku sebagai adik" cetusku.

"Gomen--" aku sudah berkali-kali mendengar kata maaf darinya. Aku sama sekali tak memerlukannya!

Sebelum dia sempat berkata-kata lagi, aku tiba-tiba menekannya ke tembok, dan menciumnya dengan kasar. Aku bisa merasakan tubuhnya bergetar dengan gerakanku yang tak terduga. Dia mencoba menyingkirkanku, tapi kesulitan. Aku memang lebih muda darinya, tapi tubuhku lebih tinggi dan ototku lebih kuat. Hingga dia harus menyerah, dia malah berusaha mengejar irama ciumanku. Tangannya yang tadi mencengkram seragamku kuat-kuat, mulai melemah. Kami berciuman seperti dua orang yang sudah lama tak bertemu, bernafsu, kasar, berantakan..

Mendadak ada yang melintas di benakku, KENAPA DIA MEMBALAS CIUMANKU? BUKANKAH AKU HANYA ADIK UNTUKNYA!? Kenapa dia tak terus berusaha menyingkirkanku!? Aku jadi kesal, pada Inoo.. pada diriku sendiri.. pada kami. Dengan sekali sentakan, aku melepaskan ciumanku, tak kalah kasar seperti di awal aku menciumnya. Inoo meringis pelan, sepertinya aku memang menyakitinya.

Kami saling menatap dengan nafas yang terengah.

"Kita.. selesai.." kataku disela mengambil nafasku.

"..Yu..to" dia berusaha mengatakan sesuatu juga. Aku tak mau berlama-lama, setelah ini aku berjanji benar-benar menyudahinya. Aku dan Inoo akan seperti dulu lagi. Aku tak perlu mencampuri urusannya dengan Miyabi-san.

"Jaa ne, Inoo-senpai" kataku, lalu cepat memutar tubuhku ke samping, lebih dulu pergi dari sana, meninggalkannya. Aku bisa merasakan tatapannya di punggungku. Demo owatta.

. . . . .

Aku melihat Yamada yang terpaku tak jauh dari sana, dia mungkin mendengar pembicaraan kami dan mungkin melihat yang kami lakukan juga.

"Ikou" tanpa banyak berkata dulu, aku memegang tangannnya, menariknya untuk menyebrang. Dia membiarkan aku membawanya.

"Aku rasa kauau tak perlu menciumnya" gumam Yamada pelan, tapi aku mendengarnya.

Aku hanya tersenyum ke arahnya.

"Ciuman terakhir, hah?" katanya lagi. Aku malah tertawa. "Kau pervert, Yuto" komentarnya pula sambil berjalan mendahuluiku.Dia terlihat kesal.

"Oi Yamada! Kau tak perlu marah" kataku sambil mengejarnya. Dia mendelik, aku tertawa lagi.

* * * *

"Nakajima-kun.." aku menoleh mendengar seseorang memanggilku, yang ternyata adalah Suzuki Airi.

"Suzuki.. doushita?" tanyaku, yang heran melihat Suzuki karena tampak aneh. Dia menundukkan kepalanya seperti malu, padahal beberapa hari yang lalu dia selalu menatapku tajam. "Kau mencari Yamada?" aku melongokkan kepalaku ke dalam kelas, mencari orang menyebalkan yang sudah jadi teman dekatku itu. Memang keajaiban dunia yang kesekian karena ternyata aku bisa berteman dengan Yamada.

Suzuki menggelengkan kepalanya.
"Tidak, aku mencarimu"

"Oh.. ada apa?"

"Berkencanlah denganku!" katanya tiba-tiba sambil membungkukan badannya. Aku tercengang, APA? BUKANKAH DIA PACAR YAMADA!?

"Eh??!" aku nyaris berseru. Suzuki mengangkat wajahnya dan memandangku."Aku sudah yakin dengan perasaanku, aku benar-benar menyukai Nakajima-kun" jelasnya.

"Ta-tapi..." aku tak tahu harus berkata apa.

"Setelah kita jalan bertiga waktu itu, aku malah sadar kalau kedekatanmu dengan Yama-chan membuatku iri"

"Ah?bukankah justru kau membenciku karena aku dekat dengan Yamada akhir-akhir ini?!" ujarku tak percaya. Dia menggelengkan kepalanya,

"Tidak. Aku malah tak suka pada Yama-chan karena dia mendekatimu terus.. dia bilang, dia juga menyukaimu" Suzuki agak memelankan suaranya di kalimat yang terakhir.

"A-pa?" aku memandangnya semakin tak percaya. Yamada...? padaku...? Pantas aku sempat merasa dia terlalu baik untuk ukuran orang yang senang meremehkanku. Rupanya....

"Ehm, aku akan menjawabmu nanti.. ii ka na?" kataku lagi, sekarang aku tahu arti kekecewaan di wajah Suzuki saat mengobrol dengan Yamada waktu itu.

"Ii yo" Suzuki menyahut ragu-ragu. Dia pasti sebenarnya ingin jawabanku sekarang. Perempuan secantik dia tak pernah di acuhkan laki-laki manapun.

"Sankyu, jaa ne"

Tapi aku harus mencari Yamada sekarang. Aku ingin mendengar penjelasan lagi darinya. Dimana dia? Akhir-akhir ini dia sering menghilang saat istirahat, atau bahkan saat pelajaran. Dia sudah berubah banyak, bukan lagi seperti Yamada menyebalkan, dingin dan kaku yang tak aku suka, dulu.

Aku mendengar sebuah erangan kesakitan ketika menginjakkan kaki di atap sekolah.
"PERGI DARI SINI, BODOH!" sebuah bentakan juga terdengar disana, suara Yamada. Aku melihat dia berdiri dengan angkuhnya di depan seorang anak yang entah dari kelas mana. Anak itu tersungkur memegangi wajahnya yang sepertinya kena tinju Yamada.

"Yamada.." desisku agak shock. Anak itu pergi dari sana dan nyaris menubrukku.

"Yo. Yuto!" Yamada menyapaku

Dia tersenyum padaku, berbeda sekali ekspresinya dengan saat dia mengintimidasi anak tadi.

"A-apa itu tadi?" tanyaku masih shock.

"Dia mau merebut tempat kita" jelas Yamada. 'tempat kita'? sejak kapan!? Lagipula dulu aku yang biasa seperti itu, menghajar semua orang yang bermaksud mengambil alih tempatku. Tapi sekarang Yamada yang melakukanya, padahal dulu dia pernah memperingatkanku untuk tidak seperti itu lagi. Dia benci dengan tingkahku.

"Kau.. memukulnya?"

"Sedikit" Yamada mengangkat bahunya. Aku menggeleng-gelengkan kepalaku.

"Apa yang kau lakukan disini? Waktu istirahat sudah hampir habis" kataku akhirnya.

"Kau mau membolos lagi?" tawarnya. Aku mengerutkan keningku.

"Kau sudah membolos 3x dalam seminggu ini!" seruku pula, kaget.

"Lalu kenapa? kau pernah membolos setiap hari kan?" ujarnya tetap tenang dan acuh.

"Tapi Yamada.. aku tak mau menjerumuskanmu"

"Aku yang mengajakmu!" katanya sambil tertawa. Aku menghela nafas. Anak seteratur dia bisa berubah begini karena dekat denganku. Aku salut pada Chiinen karena dia tak banyak terpengaruh olehku.

"Sebaiknya kau tidak macam-macam, Yamada"

"Orang sepertimu tak pantas menasihatiku" katanya dan tertawa lagi. Aku memutar bola mataku.

"Kau sangat menyukaiku sampai ingin meniru semua yang aku lakukan, hah?" ujarku, coba menyudutkannya. Dia berhenti tertawa, mungkin tak menduga aku akan menembaknya begitu.

"Kau tahu aku menyukaimu?" dia malah bertanya.

"Dari Suzuki, seperti yang kau bilang.. dia tahu yang aku tidak tahu" aku melihat padanya puas, merasa menang.

"Jadi dia sudah mengatakan semuanya.." gumam Yamada.

"Sou" aku menganggukkan kepalaku.

"Kau memilih dia atau.. aku?" tanya Yamada membuatku agak terhenyak. Dia sangat to the point.

"Aku belum tahu" aku tersenyum padanya. Kulihat Yamada menghela nafasnya.

"Kau pasti merasa dirimu keren" katanya.

"Aku memang keren" sahutku percaya diri.

"Tidak, kau bodoh"

"Aku tidak bodoh!" aku membela diriku cepat. Yamada melirikku dengan ekspresi angkuhnya.

"Orang bodoh tak pernah merasa dirinya bodoh" ujarnya dingin.

"Karena aku memang tidak bodoh!"

"Kau itu bodoh, Nakajima Yuto.." Yamada menekan kalimatnya, sambil tersenyum meledekku.

"Tapi Yamada Ryosuke yang sok pintar itu menyukaiku!" balasku dan memberinya senyum penuh kemenangan. Sekarang aku jadi punya senJata ampuh untuk mematikannnya.

Raut muka Yamada berubah, pipinya agak memerah.
"Dia.. tidak menyukaimu" gumamnya.

"Oh yaaa?" aku terus menggodanya. Dia mendorongku yang dengan sengaja mendekat-dekatkan badanku padanya.

"Urusai!" gerutunya. Aku mendorongnya balik, dia mendorongku lagi tapi aku cepat menangkap dan memeluknya

Yamada terdiam di pelukanku. Aku menyimpan kedua tanganku di pinggangnya, membuat kami semmakin merapat, perlahan tangan kanan ku naik menyentuh rambutnya yang halus. Aku menekan belakang kepalanya lembut, hingga wajahnya nyaris terbenam di pundakku.

Diam. Suasana hening seketika. Hanya suara nafas kami berdua dan hembusan angin yang menggoyangkan seragam kami.
Aku tak pernah sedikitpun membayangkan akan jadi sedekat ini dengan Yamada. Perasaan anti yang lama tumbuh di dalam diriku malah membawaku pada perasaan lain, yang tak pernah aku duga sebelumnya. Dan mungkin Yamada juga merasakan hal yang sama.

"Ne.." panggilku akhirnya setelah lama kami hanya diam menikmati kehangatan masing-masing.

"Hmm?" sahut Yamada seperti bergumam di pundakku.

Aku membelai rambutnya dulu perlahan, sebelum berkata lagi. Perlakuan romantisku memang jadi terasah sejak masih bersama Inoo.
"Aku akan memilih Suzuki" kataku, langsung pada sasaran. Aku merasakan dia agak bergerak seperti akan melepaskan pelukanku, tapi aku cepat mengantisipasinya, terus membuat tubuhnya rapat denganku.

Dia tampak menyerah dengan cepat, semakin membenamkan wajahnya di pundakku.
"Yappari..." dia bergumam lagi disana.

Jadi dia memang sudah menduga aku akan mengatakan ini, kalauaku tidak akan memilihnya?

Sesaat kemudian aku merasakan tangan Yamada di punggungku, dia balik memelukku. "Aku membencimu" dia bergumam lagi, dan aku bisa mendengarnya dengan jelas.

"Kau memang selalu membenciku, aku hanya orang bodoh yang sering membuatmu kesal" sahutku dan agak tersenyum pahit. Untuk pertama kalinya dalam sejarah hidupku, aku merendahkan diriku sendiri.

"Aku ingin meninjumu, di hidungmu sekeras-kerasnya"

"Itu pasti sakit sekali" aku membuat suara meringis. Membayangkan hidung mancung kebanggaanku berdarah-darah.

"Kau payah" gerutunya dan semakin mempererat pelukannya. Dia mencengkram belakang seragamku kuat-kuat, seperti benar-benar menahan untuk tidak memukulku. Aku diam saja, menunggu jangan-jangan pundakku jadi basah oleh air mata. Tapi ternyata tidak. Yamada yang dingin dan kaku mana mungkin menangis, apalagi hanya karena hal macam ini.

"Nanti kita double-date, bagaimana?" tanyanya tiba-tiba.

"Eh?" aku cepat melepaskan pelukanku dan memandangnya terkejut, "double-date?"

Dia mengangguk mengiyakan.
"Aku juga akan segera punya pacar.. lihat saja" katanya yakin.

"Uso" kataku dan mulai tertawa, dia balas tertawa.

"Maa.. Aku lebih keren darimu" katanya menyombong.

"Tidak!" protesku.

"Akui saja!"

"Tidak!"

Kami terus tertawa dan bercanda seperti dua orang teman dekat. Untuk saat ini mungkin kami harus puas dengan pertemanan dulu. Mungkin.

-OWARI-

A/N: Ending yg aneh, ne? XD then just asked me "Y?" hehe. Arigato~

fanfic, hey!say! jump, yutoyama

Previous post Next post
Up