Judul: Y
Author: Rieyo
Pairing: Yamada Ryosuke x Nakajima Yuto / Nakajima Yuto x Inoo Kei
Rating: PG15
Genre: AU, Comedy, Friendship, Romance
Sejak kami mengerjakan proyek tugas bersama, aku jadi menemukan sisi lain dari Yamada. Dia yang serius, dingin, menyebalkan, kadang baik hati dan perhatian; sebenarnya hanya anak yang kesepian. Aku jadi bersyukur bisa tumbuh dan hidup di lingkungan keluargaku yang tampak aneh padahal lebih baik daripada di tempat Yamada yang dingin. Entah bagaimana ceritanya, aku dan keluarga Yamada jadi semakin dekat, seperti Yamada di keluargaku yang selalu diterima dengan senang hati. Dan yang lebih bagus, aku berhasil membuat Yamada juga jadi dekat dengan orangtuanya, otomatis hubunganku dengan Yamada memang berubah sekali. Kami benar-benar jadi teman.. iya kan? Mungkin iya.
"Ohayo" Yamada menyapaku pagi itu.
"Ohayo" sahutku dan mataku langsung tertumbuk pada benda yang melingkar di lehernya, scarf berwarna merah yang aku belikan untuknya. Dia melewatiku begitu saja, tak mau aku berkomentar. Lagipula aku juga tak tahu harus berkata apa, aku senang saja dia menghargai pemberianku.. ehm, tepatnya pengganti. Aku merusakkan scarf nya yang lama.
"Besok di tempatmu" kata Yamada lagi saat aku melewati bangkunya.
"Di tempatku?"
"Hm, tidak apa?"
"Tidak apa" jawabku, memang bukan masalah karena pintu rumahku selalu terbuka lebar untuknya. Dan aku sebenarnya senang karena hari ini bisa mendatangi Inoo di kampusnya lagi.
***
"Aku tak membawa mobilku" kata Inoo begitu aku tiba.
"Kebetulan sekali, aku memakai sepedaku"
"Majide? aku mau naik sepedamu"
"Eh?"
Dan hari itu kami pulang dengan sepedaku, dia duduk di belakang berpegangan erat di pinggangku. Aku tak bisa menahan senyuman di wajahku.
Tampaknya Inoo sudah bisa melupakan Miyabi-san, dia nyaman denganku.. dia bahagia denganku.. dan sedikitnya rasa egoisku muncul. Aku ingin Inoo mengatakannya sendiri, kalau dia bahagia bersamaku.
"Ne, Inoo-chan" panggilku sambil terus mengayuh sepeda. Aku menolehkan kepalaku sedikit padanya yang mengintip dari balik punggungku.
"Hmm?" dia memandangku penuh tanda tanya. Aku diam beberapa detik sambil konsen dengan jalan dan sepedaku. "Yuto?"
"Aishiteru.." ucapku akhirnya. Aku berhasil mengatakannya.
"Eh? apa?" dia tampaknya tak mendengarku. Hembusan angin cukup mengganggu.
"Aishiteru" aku mengulangnya. Dia terdiam. Hening. Apa dia mendengarku tadi, dan dia lebih memilih tak menyahut? atau lebih parah dia pura-pura tak mendengar?
Kuso.. bagaimana ini?? Aku mendadak salah tingkah.
"Hati-hati Yuto.." hanya itu yang dia katakan karena aku nyaris menjatuhkan sepedaku. Huh? no comment?
* * *
Esoknya lagi Suzuki memandangku tajam saat aku berjalan berdampingan dengan Yamada. Aku tak tahu apa yang salah denganku hingga perempuan itu tampak tak suka melihatku. Apa karena aku bersama Yamada? ah pasti itu! Tapi sangat tak beralasan sekali kalau dia cemburu padaku. Dulu kita pernah jalan bertiga, dan semua nampak baik-baik saja.
"Apa kau ada masalah dengan Suzuki?" tanyaku akhirnya pada Yamada.
"Hah? tidak.. kenapa?"
"Dia mengerikan"
"Apa maksudmu?"
"Dia sering menatapku dengan tatapan yang mengerikan akhir-akhir ini"
"Eh? Majide?"
Aku mengangguk-anggukan kepalaku.
"Kowai" bisikku dengan ekspresi serius. Yamada malah tertawa.
"Hanya perasaanmu saja" katanya.
Aku membenarkan, mungkin memang hanya perasaanku saja. Mudah-mudahan hanya perasaanku.Sepantasnya Suzuki memang tak membenci orang tampan sepertiku.
Kami menyusuri trotoar menuju halte, tapi aku mendadak menghentikan langkahku saat ku lihat mobil yang ku kenal di depan sana. Inoo-chan keluar dari mobilnya dengan seorang perempuan cantik.. yang aku tahu persis itu Miyabi-san.
Perasaan tidak enak menyergapku, apalagi saat kulihat mereka saling melempar senyum mesra. Inoo memang belum bisa lepas dari perempuan itu.. aku jadi mengerti dengan reaksinya kemarin.
"Itu Inoo-senpai dan--" Yamada tak menyelesaikan kalimatnya karena aku tiba-tiba mempercepat langkahku. Mereka masuk ke dalam sebuah cafe, aku tak mau Inoo melihatku.
"Kenapa? kau tampak buru-buru sekali" Yamada yang mengikutiku terheran-heran.
"Betsuni" jawabku pendek.
"Aku pikir kau mau menyapa Inoo-senpai.." aku melihat pada Yamada tajam.
Ok, dia mungkin memang tak tahu apa-apa. Tak ada yang tahu soal aku dan Inoo. Kulihat Yamada semakin tak mengerti kenapa aku memberinya tatapan seperti itu. Tapi aku tak memberinya lagi kesempatan untuk bertanya. Aku ingin sekali bertemu dengan Inoo sekarang, memintanya penjelasan, yang aku sendiripun tak tahu untuk apa, mungkin hanya untuk menenangkan pikiranku. Sayangnya hari ini Yamada datang ke rumahku, kami akan mengerjakan tugas disini. Waktu pengumpulannya tinggal beberapa hari lagi, jadi kami mengerjakannya berturut-turut. Aku nyaris belum bertemu Inoo lagi sejak kemarin-kemarin. Pantas aku memergokinya dengan Miyabi-san tadi. Kuso.
Aku mengeluh pelan ketika kulihat ibu dan adikku malah asik bercengkrama dengan Yamada. Aku benar-benar heran kenapa mereka bisa seakrab itu. Tapi sedikitnya melihat mereka membuatku bisa melepaskan pikiranku dari Inoo-chan.
* * *
"Aku pulang dulu, nanti aku menyusul ke rumahmu" Yamada berkata sambil berjalan melewatiku. Aku hanya mengiyakan, dan aku pikir aku ada waktu untuk menemui Inoo sebentar saja, sebelum Yamada tiba dirumahku.
From: Inoo-chan
Sub: (none)
Text: Aku di apartement, datang saja kesini.
Mail dari Inoo setelah tadi aku mengkonfirmasi untuk bertemu dengannya. Aku segera menuju kesana.
. . . . .
"Hei" kami saling menyapa setelah Inoo membukakan pintu apartementnya.
"Ehm, rasanya sudah lama tak bertemu" aku membuka percakapan setelah masuk dan duduk di kursi meja belajarnya.
"Yea, kau tampaknya sibuk" Inoo membawa dua minuman, menyimpannya satu di meja belajar.
"Ada proyek tugas yang harus aku selesaikan"
"Sokka" dia menghirup minumannya, aku memandangnya lama. Aku ingin langsung bertanya padanya tentang dia dan Miyabi-san.
"Anou, Inoo-chan.."
"Hmm?" dia balik melihat ke arahku.
"Aku.. melihatmu dengan Miyabi-san.. kemarin" akhirnya aku mengatakannya. Aku lihat air muka Inoo agak berubah mendengar nama Miyabi-san.
"Oh kemarin. Aku sudah bilang kalau aku belum bisa melepaskannya, kan?" kata Inoo terdengar serius, dan aku merasa menahan nafasku. Dia memang pernah mengatakannya dulu dan aku seperti menerimanya begitu saja. Aku memang tak peduli selama dia selalu ada bersamaku.
"Aku tahu" kataku nyaris bergumam setelah beberapa detik aku terdiam.
"Daijobu ka?" ck, aku benci pertanyaannya. Kalau aku boleh jujur, aku jelas tidak baik-baik saja.
Aku mengangguk pelan,
"Aku tidak apa-apa selama kita terus seperti ini" ucapku, begitu putus asa. Tapi aku memang serius dengan ucapanku. "Kau tahu, aku mencintaimu" tambahku, kata-kata konyol lagi. Aku tahu itu menjijikan, tapi aku suka sekali mengatakannya. Hanya seperti waktu itu lagi, dia terdiam.. tak meresponku. Tapi bibirnya tersenyum, dia menatapku lembut.
"Arigato" akhirnya sebuah kata keluar juga dari mulutnya. Sama seperti waktu melakukan pengakuan padanya dulu. Terima kasih? aku tak butuh dia berterima kasih. Pelan, aku beranjak dari kursi menghampirinya, duduk di ranjangnya juga.
"Jangan menjauhi aku hanya karena kau masih bersamanya" kataku lagi, dan dia menggelengkan kepalanya. Aku mengambil minuman yang dia pegang dan menyimpannya di meja. Tubuhku seperti terinstruksi untuk bergerak mendekatinya. Dia tak mengelak hingga bibirku menyentuh bibirnya. Awalnya hanya ciuman lembut tapi kemudian ciuman kami jadi meningkat.
Kami jarang melakukan ini...
Ciuman kami kali ini lebih berani, aku sampai mendesaknya hingga Inoo-chan berbaring di ranjangnya. Bibir kami masih bertautan, aku merasakan tangannya menemukan belakang kepalaku, meremas rambutku lembut. Dia tak menghentikanku, membuatku semakin bersemangat. Aku melepaskan bibirnya, kami terengah berebut mengambil udara. Mata kami hanya beberapa saat bertemu, hasrat? nafsu? mungkin itu yang dia lihat di mataku sekarang. Aku meneruskan ciumanku ke arah pipinya, dagunya, lehernya.. dia menggerakkan punggungnya tersentak dengan reaksiku yang tiba-tiba.
"..mmhh.. Yuto" panggilnya, di sela-sela usahanya menahan suara nafas yang makin tak terkendali. Tanganku menyusup ke dalam sweaternya, dan dia menepisnya perlahan, tak ingin membuatku tersinggung. "Yuto.." aku melihat padanya. "Kau harus pulang" dia bangun, menyingkirkan tubuhku dengan hati-hati. Aku seperti tersadar, aku yang tadi nyaris di perdaya nafsu mulai kembali pada diriku yang biasa. Kuso.. apa aku terlalu banyak melihat video sensual akhir-akhir ini? rasanya tidak.
"Aku akan mengantarmu pulang, lihat.. sudah sore" Inoo beranjak, merapikan rambut dan sweaternya, lalu mengambil kunci mobilnya. Aku hanya pasrah. Hentikan bertingkah bodoh, Yuto! aku memperingatkan diriku sendiri. Tapi siapapun tak berhak menyalahkan insting kedewasaanku sebagai manusia biasa.. aku yang jatuh cinta dan tak mau ditinggalkan.
Dia membawaku berputar-putar tak tentu arah dengan mobilnya, sebelum mengantarku pulang. Kami mengobrol banyak, seolah mengacuhkan kejadian di apartement tadi meski aku tak bisa melupakannya. Bibirku di bibirnya, di wajahnya, di lehernya.. itu saat-saat yang luar biasa.
* * *
Kami sampai pukul 6, dia memarkir mobilnya tak jauh dari rumahku.
"Aku sepertinya sudah tahu hadiah yang aku inginkan di ulang tahun yang ke-17" kataku.
"Eh? ulang tahunmu masih lama bukan?"
"Beberapa bulan lagi" aku tersenyum lebar. Inoo tertawa kecil,
"Memangnya apa yang kau inginkan?" dia bertanya padaku, penasaran. Aku menatapnya sesaat, sampai akhirnya memberanikan diriku.
"Inoo-chan, aku ingin Inoo-chan.."
dia tampak terpana dengan perkataanku. Tapi aku tak mau memperpanjangnya, paling dia tak akan merespon. "Jaa, oyasumi" tambahku, dan bermaksud turun, tapi dia menahan tanganku. Aku menoleh lagi padanya,
"Kau lupa sesuatu.." katanya, dan untuk pertamakali, dia yang memulai menciumku, mencium bibirku. Aku cepat membalasnya, dengan hasrat yang masih aku rasa tadi.. memeluknya.. mendesaknya..
Inoo seperti menyerah, dia tak menghentikanku lagi saat ciumanku menjelajahi lehernya.. tanganku menyusup ke balik sweaternya, dia tak keberatan.. dia membiarkanku. Malah tangannya aku rasa begitu erat memelukku, menggenggam rambutku.. Yang kami tahan tadi seperti meledak disini, semuanya. Aku tak tahu kalau Inoo akan se agresif ini sama denganku. Atau mungkin karena kami terbawa suasana? Di dalam mobil yang temaram, dengan sekeliling yang nyaris gelap.. Tempat dan waktu yang tepat untuk mengungkapkan perasaan saling membutuhkan dengan cara seperti ini.
"Ai..shite..ru" aku mencoba mengucapkan kata-kata itu disaat bibir kami masih bertautan. Entah dia mendengarnya atau tidak, mungkin saja Inoo mengira itu hanya gumaman tak jelas dari mulutku.
Ini pertamakali nya untukku dan ini hebat.. aku menikmatinya, aku seperti berada di surga.
Seperempat jam saja kami menghabiskan waktu di dalam mobil. Ciuman selamat malam yang malah jadi sesi bermesraan. Rambut dan pakaian yang berantakan, bibir yang terasa bengkak, kalau ku ingat-ingat lagi rasanya aku pun tak bisa menjelaskan apa yang sudah kami lakukan. Mungkin bisa semakin kacau, kalau saja tanpa sengaja tanganku tak mengenai klakson. Ck, disaat seperti ini saja aku masih bertingkah ceroboh. Inoo sampai menertawakanku, dan mood yang tadi pun mulai menurun.
"Oyasumi" katanya masih sambil menahan tawa.
"Oyasumi" gumamku sebal. Aku merapikan rambutku sedikit sebelum akhirnya turun dari mobilnya, dia melambai dan berlalu dari pandanganku. Aku tersenyum sendiri mengingatnya, tanganku perlahan mengancingkan kemeja seragamku yang entah sudah terbuka sejak kapan dan oleh siapa!? Aku jadi ingin tertawa-tawa bodoh, tapi aku takut ada orang yang melihatku...
..Dan memang ada. Senyuman lebar di wajahku memudar begitu aku melihat Yamada berada di depan rumahku, dia memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celananya, menatapku datar. YABAI! aku lupa kalau kami ada janji.. dia sudah bilang akan datang ke rumahku hari ini.
"Aku menunggumu 3 jam" katanya sedatar tatapannya. Aku seperti menemukan lagi Yamada yang dulu selalu aku kutuki, Yamada yang tak pernah bagus di mataku. Aku terkesiap, tak tahu harus berkata apa.
"Sepertinya aku harus mengganti partnerku" katanya lagi sambil berjalan menghampiriku. Aku mengernyitkan dahiku, mulai tersinggung, sisi egoisku tak mau terima. Memangnya selama ini hanya dia yang mengerjakan semua?
"Ok, ganti saja aku! Dari awal pun aku tak mau denganmu!"
Tanpa sadar aku sudah agak meninggikan suaraku, melawan sikapnya yang selalu tampak arogan di mataku.
"Sou da. Kau sudah bukan partnerku lagi mulai besok"
"Bukan masalah untukku!" aku benar-benar agak berteriak karena dia pergi dari hadapanku setelah memberikan tatapan tajam padaku. Setidaknya aku tahu kalau dia marah, tak menunjukkan ekspresi datar yang mengerikan itu.
Aku menghela nafasku kuat-kuat sambil masuk ke dalam rumahku. Aku bermasalah lagi dengan Yamada. Memang sudah dari awal aku tahu kalau hubungan kami tak akan berjalan mulus. Dia selalu jadi orang yang menyebalkan. Ck, seharusnya aku memang tak usah pernah percaya padanya.. berharap kami memang telah jadi teman baik? bullshit!
* * *
Aku menatap langit-langit kamarku, aku yang seharusnya merasa senang setelah yang terjadi antara aku dan Inoo, sama sekali tak terpikir. Aku terbayang-bayang kemarahan Yamada, ini memang salahku.. aku membuat janji dengannya tapi aku tak menepatinya. Proyek tugas itu, kalau dia memang menggantiku.. sia-sia sudah yang aku kerjakan dulu. Aku mengeluh pelan sambil memiringkan tubuhku ke kanan, bagaimana ini.. tidak mungkin aku meminta Yamada untuk menarik ucapannya, akan sangat memalukan sekali karena tadi aku sudah membuatnya marah. Masalahku tak pernah kunjung berakhir.
"..argh.." aku mengerang kesal sambil menutupi kepalaku dengan selimut. Aku harus tidur nyaman malam ini agar bisa menunjukkan pada Yamada di sekolah besok, kalau aku baik-baik saja.
***
Kenyataannya aku memang tak bisa, aku gusar juga dengan masalah itu. Apalagi aku baru ingat kalau hari ini tugas kami akan di kumpulkan dan dilihat oleh sensei. Mungkin aku akan jadi satu-satunya siswa yang tak punya kelompok, menyebalkan. Aku jadi tak semangat, aku jadi ingin membolos, diam di tempat favoritku.
"Yuto, proyek yang kalian buat bagus" bisikan Chiinen membuatku mengangkat wajahku yang sudah tak bersemangat sejak awal datang. "Kau dan Yama-chan punya ide yang luar biasa"
Aku melihat ke depan dan disana Yamada sedang menunjukkan proyek tugas kami yang kemarin tinggal sedikit lagi, pasti Yamada mengerjakan sisanya sendiri. Yang membuatku terpana, dia.. menyebut namaku ketika Miyazaki-sensei menanyakan partnernya. Aku pikir dia benar-benar akan menggantiku.
"Ah Yamada-kun dan Nakajima-kun, aku puas dengan proyek tugas kalian" puji Miyazaki-sensei, dan teman-temanku bertepuk tangan untuk kami.
NANDE?!
"Yamada.." panggilku setelah pelajaran itu selesai. "Kenapa..?"
Yamada menoleh dan memandangku dingin. Aku agak terkesiap dengan tatapannya, membuat kesalahanku terasa. "Kenapa.. tadi kau menyebut namaku?" tanyaku hati-hati.
"Apa susahnya berterima kasih, Nakajima-kun?" katanya. Aku menelan ludahku diam-diam, dia masih dengan gaya menyebalkannya itu. "Kalau perlu, kau tambahi juga permintaan maaf, ne?" lanjutnya.
Aku diam beberapa detik, kali ini memang tak ada gunanya aku membela diri. Aku kalah telak olehnya.
"Arigato.. gomen" kataku akhirnya, agak pelan. Aku melihat wajahnya, bersiap mendapati senyuman puas disana. Tapi ternyata tidak, Yamada hanya tersenyum tipis, senyumannya tak membuat aku kesal. Dia mendekatiku, menepuk pundakku sambil berlalu. Aku menyimpulkannya kalau dia memaafkanku dan aku pun sadar, dia sudah menyelamatkanku.
* * *
Aku masuk ke perpustakaan di kampus Meiji untuk mencari Inoo. Aku tahu hari ini dia pasti ada disana. Aku mengendap di jalur rak yang biasa di datangi Inoo, tampaknya aku memang sering kemari hingga aku hapal.
Baru saja aku akan memeluknya lagi, memberinya kejutan, tapi tertahan karena mendengar ternyata dia tak sendiri. Dia sedang mengobrol dengan seseorang. Aku mengintip dari balik rak tempat aku bersembunyi.
Rupanya Inoo sedang mengobrol dengan Yabu.
"..aku tidak berpikir begitu" pelan, kudengar suara Inoo.
"Benarkah? aku tak percaya kalau kau memang serius padanya"
"Itu tidak mungkin.." kudengar suara Inoo yang tampak putus asa. Dan tawa kecil Yabu membalasnya.
"Memang tidak mungkin. Jadi lebih baik kau jangan mempermainkannya seperti itu, hentikan saja Kei"
Aku tak tahu pasti apa yang mereka bicarakan, tapi perasaanku mendadak tidak enak.
"Jangan sekali-sekali kau memanfaatkannya hanya karena kau dan Miya-chan..."
"Aku bilang aku tidak berpikir seperti itu. Aku tak memanfaatkannya" sela Inoo, tak setuju dengan dugaan Yabu.
"Kau yakin?"
"Aku hanya.. menyambut kebaikannya, dia anak yang baik, aku tak mau mengecewakannya"
"Kau akan semakin menyakitinya kalau dia tahu kau hanya menikmati kebaikannya, bukan membalas perasaannya!"
Dadaku jadi berdebar mendengar pembicaraan ini. Mungkinkah mereka.. membicarakan.. aku??
"Aku tidak bermaksud seperti itu.." suara Inoo terdengar memelas.
"Aku tahu, tapi ini tak boleh dibiarkan, Kei"
Aku mendengar Inoo menarik nafasnya berat. Yabu sangat mendesaknya, dan aku masih terpaku, tak tahu mana yang harus aku dengar. Aku tak menyangka ternyata Inoo tersiksa memikirkan soal ini, benarkah dia hanya.. memanfaatkanku??
"Aku ingin tahu.. apa sebenarnya yang kau rasakan padanya?"
Aku mendengar lagi suara Yabu, membuat debaran di dadaku semakin kencang. Khawatir.
"Aku menyukainya..." perkataan Inoo membuatku agak berharap. Meski rasa cemasku sama sekali tak berkurang. Inoo tampak belum menyelesaikan perkataannya. "..dia sudah seperti adikku sendiri"
"Itu maksudku Kei, kau hanya menganggap dia seperti adikmu sendiri kan? jadi berhentilah memberikan dia harapan kosong" Yabu memperingatkannya lagi, dan Inoo tak berkata apapun. Aku hanya mendengar helaan nafasnya tadi.
ADIK? jadi setelah banyak hal yang kami lewati selama ini, dia masih tetap hanya menganggapku adiknya?
Aku merasa tubuhku mendadak lemas. Aku tak sanggup mendengar apapun lagi. Aku agak menyeret kaki ku menjauh dari sana, kesal.. aku perlu menenangkan diri. Perasaanku yang beberapa waktu lalu sangat menggebu untuk bertemu dengan Inoo, menyurut sudah. Dadaku terasa sakit sekarang. Sakit.
Aku berlari entah kemana. Kembali ke sekolah, ke tempat favoritku? Aku akan sangat kesepian disana. Chinen? Apa dia bisa menenangkanku? Kaki ku terus melangkah mencari hal yang bisa membuatku lebih baik. Aku tak mau berakhir sendirian, terkapar di tengah jalan atau menjatuhkan diri dari jembatan. Bodoh, aku tak mungkin punya pikiran sebodoh itu! Aku Nakajima Yuto yang keren tak akan terhempas hanya karena masalah sepele. Meski hatiku terasa retak dan mungkin akan hancur berkeping-keping.
"..minum ini, kau akan lebih baik" aku mengangkat wajahku yang sejak tadi tertelungkup di atas meja. Wajah manis Yamada menyambutku, dia menyimpan secangkir teh hangat di dekatku.
Akhirnya tanpa aku pikir sebelumnya, aku malah datang ke rumah Yamada. Entah kenapa. Saat pertama dia melihatku di depan pintu rumahnya, dia cukup terkejut Tapi mungkin melihat keadaanku yang mengkhawatirkan, dia lalu membawaku masuk. Membiarkanku duduk di depan meja mungilnya, menelungkupkan wajahku disana, hingga dia semakin mengerti kalau aku ada masalah.
"Arigato" gumamku, dan menghirup teh itu pelan. Aku menyimpannya kembali, lalu menyimpan tanganku diatas meja dengan daguku diatasnya, memandang Yamada yang seperti menunggu penjelasan dariku. "Kenapa aku kemari?" kataku yang entah bertanya pada siapa. Aku memang heran sendiri, bukankah tadi aku berpikir kalau aku akan ke tempat Chiinen, sahabatku. Tapi kenapa justru aku berada disini? di kamar orang yang sejak lama aku anggap musuh. Meski kami memang agak berteman sekarang, tapi dia belum jadi sahabatku.
"Karena kau merasa nyaman berada disini" jawaban Yamada membuatku terpana beberapa saat, rasanya jawaban itu memang tepat. Sangat tepat.
"Sou ka.. apa yang membuatku nyaman? Kau?" aku bertanya lagi. Entah kenapa kami harus terlibat pembicaraan seperti ini. Aku terlalu sakit dengan yang baru aku alami, dan aku butuh penenang.. penyembuh rasa sakitku.
"Mungkin. Kau datang kemari untuk mencariku, bukan?" katanya, dan lagi aku merasa jawabannya sangat tepat. Tentu saja dia yang aku cari disini, tidak mungkin ibu atau pembantunya, meski aku sudah akrab dengan mereka.
"Kau bisa membuatku nyaman? Setahuku kau dan aku tak pernah sama-sama berada di sisi yang menyenangkan" ujarku, jadi seperti mendebatnya. Aku lihat dia mengangkat bahunya.
"Siapa yang tahu.. mungkin sebenarnya kau membutuhkanku" kata-kata angkuh masih saja keluar dari mulutnya, sangat khas Yamada, tapi entah kenapa aku tak begitu terganggu sekarang. Aku malah tertawa kecil.
"Sou da yo ne.. dan mungkin juga kau sebenarnya membutuhkanku" kataku tak mau kalah darinya. Dia balas tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Dia setuju. "Saa, kalau begitu buat aku lebih nyaman lagi sekarang.." aku beranjak dari dudukku, dan menuju ranjangnya yang empuk itu. Aku pernah sekali tertidur disini dulu saat mengerjakan tugas.
Aku merebahkan tubuhku disana, aroma Yamada menyeruak dari kain seprainya, bantalnya, selimutnya. Nyaman. Aku menolehkan wajahku pada Yamada yang masih terduduk di dekat mejanya, tak ada ide dengan tingkahku.
"Ne, kochi.." kataku, memintanya mendekat. Dia tampak agak terhenyak, tapi perlahan kulihat dia bergerak menghampiriku. Mungkin dia ingin tahu apa yang mau aku sampaikan.
Yamada duduk di ranjangnya, disebelahku yang masih berbaring.
"Ranjangku nyaman bukan?" tanyanya. Aku tersenyum sambil menganggukkan kepalaku. "Aku tahu kau nyaman berada di tempatku.." suara Yamada jadi menggantung ketika aku agak mengangkat tubuhku, menahannya dengan siku tanganku. Wajahku hanya beberapa senti saja dari wajah Yamada. Aku tahu sebenarnya dia terkejut, tapi dia berusaha menutupinya. Mata bulatnya yang indah memandangku, dan aku baru sadar disana ternyata mata itu tak se-arogan yang aku kira. Mata itu lembut dan tampak kesepian. Aku melihat dia lebih manis daripada biasanya. Hidungnya.. kulitnya.. Apalagi saat mataku jatuh pada bibirnya yang mungil kemerahan. Jangan salahkan aku kalau aku mulai mendekatkan wajahku, tak bisa menahan diriku untuk tidak menyentuhkan bibir kami..
* * *
"Seingatku, aku tidak separah kau waktu sekolah dulu" komentar Takaki yang tampak terganggu melihat keberadaanku disana, di tempat kerja part-time nya. Aku tidak ke sekolah sejak berangkat pukul 7 tadi, aku malah menyangkut di toko ramen Hikaru.
"Aku juga. Aku biasa membolos setelah istirahat" timpal Hikaru dari balik counter nya. Mereka sedang sibuk membuka toko, sedangkan aku sudah berada disana sejak 2 jam yang lalu, aku memaksa Hikaru untuk mau menampungku.
"Terserah.. tapi aku bukan kalian" gumamku yang asik menyandarkan kepalaku ke meja. Malas-malasan. Aku sungguh tak ada hasrat untuk ke sekolah, apalagi kalau.. kalau ingat akan bertemu dengan Yamada.. melihat wajahnya.. Tidak. Berhenti memikirkannya! Aku bisa merasakan kalau pipiku menghangat..
"Are? kau kenapa Yuto? memikirkan yang jorok, hah?" Takaki tiba-tiba sudah ada di dekatku, dia mengamati wajahku dengan seenaknya. Aku langsung membenamkan wajahku diantara tanganku yang terlipat di atas meja. Tak lama, aku mendengar dia dan Hikaru tertawa-tawa renyah. Aku hanya bisa terus diam seperti itu, aku tak tahu harus bereaksi bagaimana.. Kusso.
Kejadian kemarin melintas lagi di benakku. Aku mencium Yamada dan dia sama sekali tak mengelak, tak menyingkirkanku. Dia justru menyambut ciumanku, sampai aku harus berbaring lagi sambil menariknya bersamaku.
Tapi beberapa menit kemudian, kami yang membutuhkan udara, mulai saling melepaskan dan membuka mata. Kami bertatapan, sama-sama mencari sesuatu yang mungkin bisa menjelaskan ini. Mestinya mungkin dia yang bertanya-tanya dengan apa yang aku lakukan. Tapi aku juga bertanya-tanya, kenapa dia membalas ciumanku??
Suasana seketika jadi aneh, aku mencoba bangun dan Yamada bergerak menjauhiku. Tanpa ada basa-basi yang berarti, aku langsung berpamitan padanya.
Pikiranku mungkin sudah membaik tak begitu lagi teringat Inoo.. tapi aku tak bisa diam tenang karena memikirkan Yamada juga. Bagaimana aku harus menghadapinya di sekolah??
Argh, aku dan dia selalu saja terlibat masalah.. ok, memang aku penyebabnya!
"Sebaiknya kau ke sekolah sekarang.. sudah hampir habis waktu istirahat" aku mendengar suara Hikaru dan tepukan lembut di pundakku. Boleh juga sarannya. Lama-lama aku memang bosan berada disini, hanya jadi bahan ledekan dua orang temanku ini, lagipula mereka juga sudah mulai sibuk karena pengunjung berdatangan. Aku akan ke atap sekolah, ke tempat favoritku. Lebih enak diam disana, merenungi kebodohanku akhir-akhir ini.
[TBC]