Judul: KOI DA YO - Season 1
Author: Rieyo
Pairing: YutoYama, AriChine
Genre: AU, School life, Yaoi, Drama, Romance
Rating: PG17
warning! a bit delinquent chara of Yuto n Daiki ;)
A/N: terinspirasi dari manga yg dulu pernah saya baca, tp lupa judulnya -_- ini postingan kedua dng bbrp edit, postingan asli ada di blog saya (rieyo-tomogenki@blogspot). yoroshiku ^^
"Kau lagi.." Yamada mengeluh pelan begitu melihat siapa yang menghadapnya hari ini. Sebagai presiden murid di sekolah, Yamada harus terbiasa menemukan murid bermasalah yang berhasil ditangkap teman-temannya. Sekarang giliran ia untuk menentukan hukuman dan menegurnya agar tidak melakukan hal diluar aturan lagi.
"Aku lagi" Yuto menyahut dan tersenyum lebar, tanpa rasa bersalah.
"Berapa kali aku harus bilang padamu. Cat lagi rambutmu dengan warna yang benar dan lepaskan benda-benda kecil di telingamu itu"
"Berapa kali juga aku harus bilang padamu kalau aku tak akan melakukannya" Yuto berkata dengan keras kepala dan tanpa rasa takut. Yamada menghela nafasnya dalam-dalam.
"Nakajima kun, kalau terus seperti ini, lama-lama kau akan dikeluarkan!"
"Shinpai shinai, kau akan menolongku" Yuto berkata dengan yakin.
"Untuk apa aku menolong murid yang selalu melanggar!?" ujar Yamada dingin. "Kau jangan terlalu banyak berharap. Aku akan membuat surat peringatan lagi untukmu"
"Baiklah" kata Yuto seperti tak peduli. Yamada menggelengkan kepalanya, tak habis pikir. Kalau saja orang ini bukan teman sekelas sekaligus tetangga dan teman kecilnya, mungkin ia sudah mengajukan usul pada sensei untuk mengeluarkannya dari awal. Tapi ia tak setega itu.
"Ne, Yama-chan.." panggil Yuuto pula. Yamada terus menulis, tapi telinganya mendengarkan. "Sudah aku bilang, kau ini hanya murid sepertiku juga. Kenapa kau harus repot-repot mengurusi orang lain? Lebih baik kau fokus saja untuk belajar"
Yamada menghentikan gerakan menulisnya dan melirik Yuuto tajam dari balik kacamatanya.
"Kau tidak berhak memberitahuku apa yang harus aku lakukan. Itu bukan urusanmu. Sebagai presiden murid, aku hanya perlu melaksanakan tugasku" katanya, setajam lirikannya tadi. Ia juga menekan telapak tangannya ke meja, kesal.
Anak laki-laki tampan bertubuh tinggi di hadapannya hanya memandangnya datar, seolah perkataan Yamada tak berefek apapun.
"Sudahlah, kau boleh pergi!" tambah Yamada sambil memberikan surat peringatan yang sudah ia buat. Ia tak mau kehilangan kesabarannya sekarang.
"Yosh" Yuto beranjak dari sana, tapi ia berbalik lagi sebelum membuka pintu. "Ohya, aku tetap tak akan merubah penampilanku" ia mengulas senyuman, lalu keluar dari ruangan itu. Yamada menghela nafas untuk kesekian kali, ia menyandarkan kepalanya di kursi, memejamkan mata dan memijat tulang hidungnya perlahan.
Andai saja ia memang bukan seorang presiden murid, mungkin ia bisa lebih tenang.
"Kau melepaskannya lagi begitu saja" Nakayama masuk ke ruangan dewan murid tanpa mengetuk pintu lebih dulu. Yamada agak tersentak dari tempat duduknya, dan mengeluh pelan begitu melihat wakilnya itu.
"Aku sudah membuatkan surat peringatan" katanya.
"Surat peringatan lagi?! tapi dia sama sekali tidak berubah. Kau selalu meringankannya. Jangan karena dia teman sekelasmu jadi kau tidak--"
"Aku tidak meringankan dia. Aku sudah mengancam bisa mengeluarkannya!" Yamada memotong dengan tegas perkataan Nakayama yang berapi-api.
"Kau hanya mengancamnya, dan dia tidak takut padamu! Kau harus segera mengajukan usul pada sensei agar dia dikeluarkan!" Nakayama bersikeras.
"Kita tidak boleh gegabah, tidak bisa seenaknya membuat orang lain dikeluarkan"
"Dia sudah berkali-kali melanggar!"
"Baru 3x. Setelah 5x kita baru bisa membuatnya keluar" Yamada meralat ucapan Nakayama. Wakil presiden murid yang berwajah kurang ramah itu, menghembuskan nafasnya, kesal. Ia selalu ingin menentang Yamada, tapi apa daya tetap presiden yang lebih berwenang.
"Aku akan mencari bukti-bukti agar dia dikeluarkan, sebelum anggota dewan bereaksi pada kita" katanya, kesal. Dan tanpa berpamitan, dia pun keluar dari ruangan. Lagi, Yamada hanya bisa menghela nafas dan berkhayal seandainya ia bukan presiden dewan murid.
---
Daiki tertawa setengah mengejek begitu melihat benda yang disimpan Yuto di hadapannya. Itu surat peringatan yang tadi.
"Kenapa kau suka sekali mengoleksi benda seperti ini?" ledek Daiki pula.
Yuto mendecakkan lidahnya.
"Yama-chan tak menyerah juga memberiku ini"
"Berarti kau yang harus menyerah. Setelah terkumpul 5, kau tak akan selamat" ujar Daiki sambil mengeluarkan sebatang rokok dan menyimpan diantara bibirnya sementara tangannya mencari-cari geretan di saku seragamnya. Yuto memperhatikannya, nanar. Senpai nya ini tidak berpenampilan mencolok sepertinya, tapi ia suka merokok dan hebatnya tak pernah ada yang tahu. Jadi ia belum pernah sekalipun masuk ke ruangan dewan murid untuk dihakimi kumpulan orang-orang menyebalkan itu.
"Jadi senpai benar-benar enak, huh?" tanya Yuuto.
"Lumayan. Kecuali pelajaran yang semakin menggila" Daiki menjawab sebelum menghisap rokoknya.
"Jadi senpai bisa melawan siapapun" gumam Yuuto.
"Tidak juga. Kalau dewan murid melihatku seperti ini, mereka pasti menyeretku" sahut Daiki dan tersenyum lebar. "Ini hanya tentang kepintaranmu menghindari mereka" tambahnya. Yuto tersenyum kecut sambil memainkan piercing di telinga kirinya. Ia pun tak boleh kalah dari mereka.
* * *
Yuto membalikkan badannya dan memandang langit-langit kamar. Ia tidak bisa tidur. Tiba-tiba ia teringat sesuatu, ia bangun dan menghampiri meja belajarnya, membuka laci dan menemukan benda yang ia cari. Yuto mengeluarkan selembar foto dari sana, foto yang hampir 3 tahun ini terus disimpannya. Tampak seorang anak laki-laki berusia sekitar 14 tahun, rambutnya berantakan ala berandalan sedang melihat ke arah kamera dengan wajah angkuh dan tatapan jahat. Di jarinya terselip sebatang rokok. Yuto tertawa sendiri melihatnya. Menurutnya anak di foto itu masih terlalu manis untuk bertingkah seperti berandalan. Tapi ia menyukainya, ia selalu tertarik. Hingga sekarang, Yuto tak pernah menyangka anak ini akan menjadi seorang presiden dewan murid. Dengan segala kedisplinan dan kepatuhannya pada peraturan.
"Muri da.." gumamnya masih sambil tertawa kecil. Ia mengambil foto itu dan mendekati jendela kamarnya yang menghadap ke balkon. Ia membuka tirainya. Eh? Yuto terperanjat. Terlihat cahaya dari jendela di seberang kamarnya. Itu kamar Yamada, dan tak biasanya masih terang benderang selarut ini.
Yuto membuka jendelanya lebih lebar hingga ia bisa lewat dan berdiri di balkon. Angin malam seketika menyergapnya, untung ia masih lengkap memakai piyamanya. Biasanya ia akan tertidur tanpa piyama atasnya.
"Yama-chan.." Yuto mulai memanggil dengan bisikan yang cukup keras. Tapi tak ada reaksi apapun. Ia kembali ke kamarnya dan mencari benda yang bisa ia lemparkan. Ia melihat penghapusnya di atas meja. Kembali ke balkon, ia melemparkan penghapus itu dan mengenai jendela kamar Yamada yang hanya berjarak 2 meter saja dari tempatnya berdiri. Sebenarnya ia bisa saja melompat kesana, tapi tidak mungkin sekarang. Yamada pasti mengomelinya.
Jendela itu terbuka, lebih cepat dari yang diharapkan Yuto. Tampak Yamada disana dengan ekspresi terganggunya.
"Konbanwa" bisik Yuuto lagi sambil tersenyum tanpa beban.
"Apa maumu?" Yamada ikut berbisik, nada terganggu jelas terdengar di suaranya.
"Kenapa kau belum tidur?"
"Ada yang harus aku kerjakan"
"Eh.. tidak biasanya" komentar Yuto. Yamada menghela nafas.
"Tidak ada hal penting yang mau kau bicarakan? Aku harus menyelesaikan pekerjaanku" Yamada bermaksud menutup jendelanya lagi.
"Chotto!" Yuto nyaris berseru. Yamada tak jadi menutup dan memandang Yuto dengan kerutan di keningnya. "Kau masih ingat ini?" Yuto menunjukkan foto yang ia pegang. Yamada mendekat ke balkon dan matanya pun terbelalak..
"Itu.." suara Yamada seperti tercekat. Ia shock harus melihat foto itu ada di tangan Yuto.
"Aku masih menyimpannya. Foto yang keren, bukan?" kata Yuto dengan senyuman menggodanya.
"Berikan padaku"
"Tidak" Yuto menggeleng dan mengamati foto itu, sementara Yamada mendadak merasa terancam. "Aku jadi ingat kenapa kau jadi berandalan saat di SMP dulu.." lanjut Yuto lagi. "Kau selalu jadi sasaran laki-laki. Aku ingat saat TK kau hampir diculik laki-laki gila yang menyukaimu, saat SD kau hampir diperkosa tutormu yang mahasiswa. Dan begitu SMP, kau selalu dibuntuti segerombolan anak laki-laki yang mengaku sebagai fans mu.. hahaha" Yuto terus bercerita dan tertawa lucu. Yamada masih terdiam, pikirannya pun jadi teringat pada masa-masa mengerikan yang pernah dilaluinya itu. "..akhirnya kau jadi berandalan, dan tak ada lagi yang berani padamu" tawa Yuto sudah berhenti ketika ia mengakhiri ceritanya.
Yamada menghela nafas, berusaha bersikap tenang.
"Kau tak perlu membeberkan lagi masa lalu ku, aku sudah tahu" ujarnya dingin. Yuto masih mengulas senyuman di bibirnya.
"Apa jadinya kalau anak-anak di sekolah tahu bahwa presiden dewan mereka yang sangat disiplin itu ternyata pernah menjadi berandalan" katanya, yang otomatis membuat Yamada agak bereaksi. Ia langsung menebak pikiran Yuto dan ia takut kalau Yuto memang bermaksud begitu. "Aku bisa menyebarkan foto ini di sekolah-"
"Nakajima kun, sebenarnya apa maumu!?" Yamada semakin was-was.
Yuto tersenyum puas.
"Aku hanya mau kau melarang anak buahmu untuk tidak menangkapku lagi, dan jangan pedulikan aku" kata Yuto.
"Aku tidak janji"
"Huh?"
"Aku ini presiden dewan murid, kalau melakukan itu berarti aku melanggar peraturan. Aku tak mau mereka tak percaya lagi padaku" jelas Yamada.
"Kau payah. Berarti aku memang harus menyebarkan foto ini..."
Yamada agak panik. Ia tahu kalau Yuto sering berbuat nekat.
"Minta yang lain saja.. kalau soal itu aku tidak yakin" kata Yamada akhirnya mengajukan penawaran.
"Yang lain?"
"Uhm.. ap-apapun" Yamada berkata dengan ragu. Perasaannya agak tak enak, ketika melihat senyuman lagi di wajah Yuto.
"Apapun ne.." Yuto melihat ke foto lalu ke arah Yamada lagi, meliriknya dari atas ke bawah. Senyumannya semakin lebar. "Wakatta. Aku mau kau menyerahkan dirimu padaku selama 1 bulan"
"Apa?" Yamada menatap Yuto bingung. "Menyerahkan? jangan-jangan kau ingin menjadikan aku sebagai objek yang bisa kau pukuli!?" tebaknya pula. Yuto tertawa kecil.
"Baka" gumamnya. Yamada mengerutkan keningnya. "Bukan itu. Sesuatu yang lain.."
"Yang lain..?" Yamada merasa harus terantisipasi mendengar kata-kata itu.
"Mundur"
"Eh?" Yamada melihat Yuuto mengibas-ngibaskan tangannya agar ia mundur. Ia pun melangkah ke belakang, berdiri di dekat jendelanya dan sebelum ia mengerti dengan maksudnya, Yuto telah melompat dari balkonnya dan sekarang berdiri tepat di hadapan Yamada.
"A-apa yang kau lakukan!?" Yamada nyaris berteriak kaget. Lagi-lagi Yuto hanya memamerkan senyumnya. Ia menyimpan kedua tangannya di samping kanan-kiri jendela membuat Yamada seperti terjebak.
"Kau sudah mengerti?"
"Apa?" Yamada masih tampak bingung.
"Ck, ternyata kau memang tidak terlalu pintar" komentar Yuto, yang mendapat tatapan tajam dari Yamada. Semua orang di sekolah mereka tahu kalau Yamada Ryosuke- sang presiden dewan murid adalah murid terpandai. Sedangkan Nakajima Yuto hanya murid biasa-biasa yang selalu bermasalah. Terang saja Yamada tidak terima disebut 'tidak terlalu pintar' oleh orang ini.
"Kau jangan sembarangan, Nakajima" gertaknya.
"Tapi kau memang tidak sepintar itu" Yuto sengaja mengejeknya. Yamada menenangkan dirinya, percuma berdebat dengan anak ini. "Jadi aku ingin memilikimu selama 1 bulan penuh" Yuto mengembalikan bahasan.
Perkataannya malah semakin membuat Yamada tak mengerti sekaligus khawatir.
"Jelaskan yang benar padaku, Nakajima!"
* * *
Senyuman Yuuto tampak lagi di pelupuk matanya, Yamada merasa merinding di sekujur tubuhnya. Ia membuka matanya dan menghela nafas lega, bayangan itu sudah hilang.
"Kau tampak lelah, Yama-chan" kata Chinen, teman semejanya yang juga anggota dewan murid. Yamada hanya mengangguk sambil membenarkan posisi duduknya. "Kau mengerjakan laporan semalaman? seharusnya kau serahkan saja pada sekretaris"
Yamada belum menyahut. Ia memang terjaga semalaman. Laporan itu sudah hampir selesai saat Yuto datang menganggunya dan membuatnya menyetujui sebuah deal.. yang sekarang sangat ia sesali karena sudah menyetujuinya.
"Yama-chan?"
"Ah.. ii yo, Chinen" Yamada menggelengkan kepala sambil menepis pikirannya dan memberikan senyuman yang nyaris gugup pada Chinen.
"Jaa, kalau begitu aku pergi dulu. Harus mencari tempat untuk makan siang" kata Chinen memelankan kalimat terakhirnya, tak mau ada yang mendengar. Ia beranjak dan memegang bungkusan di tangannya.
"Bento lagi?" bisik Yamada pula sambil tersenyum lucu.
"Un. Hikaru dan Kei-chan selalu memastikan aku agar membawanya. Ini payah" keluh Chinen, wajah manisnya menunjukkan tak suka. Yamada tertawa kecil.
"Kau beruntung punya kakak yang perhatian seperti mereka" katanya.
"Saa.." Chinen hanya balas tersenyum.
- - -
Chinen melihat ke seluruh penjuru di atap gedung sekolahnya. Sepi. Ini pertama kalinya ia bermaksud memakan bentonya disini. Biasanya ia akan makan di ruang lab atau ruang apapun yang jarang di datangi orang. Tapi ia mulai jenuh dan butuh tempat yang bisa memperlihatkan pemandangan. Atap sekolah memang bukan pilihan yang buruk, setidaknya disini juga sepi.
Chinen menemukan tempat yang tampak nyaman untuk bersembunyi, ia pun duduk disana lalu mulai membuka kotak bento nya. Ia harus cepat memakannya agar ia bisa segera kembali ke kelas. Menu hari ini selalu enak seperti sebelum-sebelumnya, tapi Chinen tetap tak punya nyali untuk memakannya di kantin - di depan teman-temannya. Chinen mulai mengambil sumpitnya dan baru akan berkata 'itadakimasu' ketika mendadak ada seseorang sudah berdiri di hadapannya.
"Kau sedang apa?" tanya Daiki. Chinen mendongakkan kepalanya untuk melihat wujud orang itu. Pertama yang tertangkap oleh mata Chinen adalah warna seragam yang dipakainya. Warnanya lebih muda, jadi ia pasti seorang senpai.
"Oh, kau sedang makan.." Daiki berkata lagi kemudian duduk di hadapan Chinen. Mereka saling menatap beberapa detik.
Tampak tidak berbahaya, pikir Chinen.
Kawaii, pikir Daiki. Takjub dengan wajah manis di hadapannya.
Chinen lebih dulu mengalihkan tatapannya. Ia cepat membereskan lagi bento nya. Walau senpai ini tampak tak berbahaya, tapi Chinen tetap merasa tak nyaman terpergoki sedang bersama bento nya. Chinen berpikir sebentar lagi orang ini pasti akan berkomentar dan mengejeknya. Ia berdiri lalu bersiap pergi, membuat Daiki terperanjat.
"Matte, kau mau kemana?" panggil Daiki dan ikut berdiri menyusulnya. Chinen berhenti dan berbalik lagi, untuk kedua kalinya mereka saling memandang. Daiki bingung karena Chinen belum mengatakan apapun dari tadi. Tanpa membiarkan Daiki berkata lagi, Chinen akhirnya memberikan kotak bento nya. Daiki menerimanya dengan ekspresi tak mengerti.
"Tunggu! Oi! Kohai!" ia memanggil-manggil Chinen yang sudah berlalu begitu saja dari sana. Daiki menggelengkan kepalanya tak habis pikir. Ia membuka kotak bento itu dan tersenyum sendiri.
"Aku sedang beruntung" gumamnya.
---
"Sou ka. Aku sudah menduga orang sepertimu tak mungkin membawa bento" komentar Yuto setelah Daiki menceritakan dari mana ia mendapat bento yang sedang dimakan nya.
"Tadi ada kohai aneh.." Daiki tersenyum. "Dan dia anggota dewan murid" tambahnya sambil mengingat tadi sempat melihat pin yang terpasang di kerah seragam Chinen.
"Anggota dewan murid yang satu kelas denganku?" Yuto berpikir kira-kira siapa yang dimaksud oleh Daiki. "Ada beberapa orang di kelasku, selain presiden nya"
"Hmm, dia berwajah manis dan berbadan mungil" kata Daiki lagi, lebih spesifik.
"Ah. Itu pasti Chinen!" Yuto cepat menangkap ciri-ciri yang disebutkan Daiki. Di kelasnya memang hanya Chinen Yuri yang cocok dengan ciri-ciri itu.
"Chinen?"
"Ou, Chinen Yuri.. dia paling manis di kelas dan dia juga anggota dewan murid, teman Yama-chan" jelas Yuto.
"Sou ka" Daiki mengangguk dan mengingat nama itu baik-baik di otaknya. "Ne, kau suruh dia kemari sepulang sekolah nanti. Aku harus mengembalikan kotak bento nya" tambah Daiki pula.
"Oh, okay"
---
"Kau lupa menyimpan kotak bento mu?" tanya Yamada yang melihat Chinen tampak kebingungan.
"Bukan. Kotak bento itu--" Chinen menggantungkan kalimatnya, tak yakin akan bercerita pada Yamada. "..ah, Hikaru dan Kei-chan pasti akan mengomeliku" ia cepat mengalihkan perkataannya.
"Aku akan bantu mencarinya. Dimana tadi kau makan?"
"Iie, betsuni. Kau tidak perlu membantuku" Chinen berpikir mencari cara agar Yamada tak usah terlibat.
"Chinen" Yuto tiba-tiba datang menyela mereka. Anak laki-laki tinggi berambut kemerahan itu menghampiri mereka. Seketika Yamada jadi salah tingkah, urusannya dengan Yuto membuat ia agak tak tenang.
"Hai?" sahut Chinen, melihat pada Yuuto.
"Temanku menunggumu di atap sekolah" kata Yuto tanpa basa-basi. Chinen terkejut, tapi ia juga merasa lega karena akhirnya diberi jalan untuk mengambil kotak bekalnya.
"Hm? teman..?" Yamada memandang Chinen heran.
"Ano.. Yama-chan, kau pulang saja duluan, ne?" Chinen tak menggubrisnya dan cepat pergi dari sana, meninggalkan Yamada dengan kebingungannya.
"Sudahlah. Ikou" Yuto tersenyum dan merangkul Yamada begitu saja. Dengan cepat, Yamada mengelak dari rangkulan Yuto dan berjalan lebih dulu. Seperti biasa ia bersikap dingin. Yuto masih tersenyum sambil mengikutinya.
---
"Ini. Sankyu" Daiki mengembalikan kotak bento milik Chinen. Anak laki-laki manis itu melihat pada kotak bento nya yang terasa ringan. Ia menggoyangkannya pelan, dan memang tampak tak ada isinya.
"Aku menghabiskan semuanya" kata Daiki lagi, tersenyum lebar. Chinen berusaha menutupi senyumnya. Orang ini lucu, tapi Chinen tak mau cepat bersikap akrab.
"Tak usah pura-pura. Kalau mau tertawa, tertawa saja" ujar Daiki yang memang sangat mengamati Chinen.
"Gomen" untuk pertamakalinya Chinen bersuara di depan Daiki, lalu pergi tanpa banyak bicara lagi.
Daiki sudah menduga Chinen akan segera pergi begitu saja, ia pun cepat mengantisipasi.
"Ne, Ch- Chinen Yuri!" panggilnya agak ragu-ragu untuk menyebut nama anak itu. Chinen terpaku sesaat, tak menyangka Daiki mengetahui namanya. Ia kembali berbalik perlahan.
"Tadi, aku memakai sumpitmu" kata Daiki lagi. Pemberitahuan yang tak perlu, karena jelas Chinen pasti sudah tahu ia memakai sumpitnya.
"Ii yo" kata Chinen, dan bersiap untuk pergi lagi.
"Ne, makanannya enak!" Daiki membuat Chinen berbalik lagi dan hanya mengangguk pelan.
"Daiki! Arioka Daiki!" sekali lagi Daiki berteriak sebelum Chinen benar-benar pergi. "Itu namaku!" tambahnya.
Chinen yang berhenti sebentar, kali ini tidak berbalik. Ia tak mau menunjukkan senyumnya yang sudah tak bisa ia kendalikan. Senpai ini benar-benar lucu, pikirnya. Ia melanjutkan pergi dari sana, tanpa ia tahu kalau Daiki menyadari senyumannya. Daiki pun tersenyum sendiri, ia menemukan sesuatu yang menarik.
---
"Kenapa kita harus pulang bersama? biasanya juga kau dengan teman-temanmu" protes Yamada yang sebenarnya risih harus jalan bersampingan dengan Yuto, terlalu kontras.
"Kau masih ingat deal yang kita buat, bukan?" Yuto malah balik bertanya. Yamada terkesiap, darah di tubuhnya berdesir dan dadanya mendadak berdebar lebih kencang. Yabai, pikirnya. Ia tak tahu harus berkata apa.
"Ne--" Yuuto menepuk pundaknya, tapi tak diteruskan karena seseorang menyela mereka.
"Seperti yang aku duga" Nakayama menghampiri mereka. "Kalian berteman baik, huh?" ia memandang Yamada dan melirik tajam pada Yuto. "Aku tak heran kalau orang ini selalu lolos"
Yamada terdiam, ia sedang tak mood untuk membalas ucapan wakilnya itu.
"Kau iri?" akhirnya Yuto yang bergerak menghadapi Nakayama.
"Aku tidak level harus iri padamu"
"Ohya? Lalu kenapa kau begitu repot mengurusiku?"
"Kau tidak tahu diri. Seharusnya kau segera dikeluarkan!"
"Kau tidak berhak mengatakan itu"
"Kau lihat saja nanti-"
"Cukup kalian berdua!" Yamada menyela adu mulut mereka, dan berjalan melewati keduanya.
"Ryosuke!" Nakayama memanggilnya, dan Yuto agak tak suka mendengar itu. Sebelumnya yang ia tahu, belum ada yang pernah memanggil nama depan Yamada. Berarti mereka sudah sangat akrab.
"Sampai jumpa besok, Yuma" sahut Yamada sambil terus berjalan. Dugaan Yuto benar, mereka memang akrab.
"Urusi saja dirimu sendiri" kata Yuto, tajam, sebelum pergi menyusul Yamada.
Nakayama hanya melihat kedua orang itu dengan tatapan kesal. Ia harus segera bertindak.
- - -
Yuuto merebahkan tubuhnya di ranjang empuk milik Yamada.
"Ah.. sudah lama sekali tak kemari" ia menghirup nafas merasakan atmosfir yang sudah lama tak dirasakannya. Terakhir kemari adalah saat ia kelas 2 SMP, hampir 4 tahun yang lalu. "Tidak begitu banyak yang berubah" kata Yuuto lagi sambil bangun dan duduk di ranjang. Matanya menyapu seluruh isi ruangan kamar itu.
Yamada hanya menghela nafas, duduk di kursi meja belajarnya.
Mata Yuuto sampai ke arah Yamada, ia tersenyum. Yamada berusaha menghindari tatapan itu dan mengacuhkan senyumnya. Dadanya masih berdebar dengan aneh.
"Kau tahu kan apa tujuanku berada disini?" tanya Yuto, mulai serius.
"Katakan saja" Yamada terus berusaha dingin.
"Deal kita"
Yamada memejamkan matanya beberapa detik. Ia sudah tahu pasti ini.
"Aku harus bagaimana?" tanya Yamada akhirnya. Ia memang tak mungkin menolak. Sudah terlanjur setuju.
"Kochi oide yo" pinta Yuuto setelah beberapa detik ia tampak berpikir.
"Hah?" ucap Yamada tak sadar. Yuto menyuruhnya mendekat ke ranjangnya, tentu saja ia shock.
"Jangan membantah!" Yuto memperingatkannya. Ragu-ragu, akhirnya Yamada mendekat. Dan beberapa saat kemudian, ia telah terbaring di ranjangnya dengan Yuto yang menjebaknya dari atas. Kedua kaki Yuto berada di kedua sisi tubuhnya dan kedua tangannya pun tersimpan di kedua sisi kepalanya. Jarak wajah mereka hanya beberapa senti saja. Mereka tak pernah seperti ini sebelumnya.
Yamada menelan ludahnya, gugup.
"Ti-tiga menit saja" kata Yamada agak terbata.
"30 menit"
"Tidak. 3 menit!" protes Yamada.
"Apa yang bisa dilakukan hanya dalam waktu 3 menit!?" Yuto mengeluh.
"M-Memangnya kau mau apa?"
"Aku belum tahu" kata Yuuto jujur, matanya masih lekat menatap Yamada. Anak laki-laki tampan di bawahnya itu terus menghindari tatapannya.
"B-baka ka?" gumam Yamada. "Kalau begitu hentikan saja ini" ia mencoba bangun, tapi parahnya, wajah mereka malah semakin dekat. Yuto tak bergerak sedikitpun. Yamada kembali menyandarkan kepalanya di bantal. Setidaknya dengan begini, jarak mereka lebih aman.
"Wakatta" bisik Yuto. Setelah menatap wajah Yamada sedekat tadi, ia jadi tahu apa yang diinginkannya. Hal konyol yang selama bertahun-tahun selalu disimpannya. Ia mau mencobanya. Selama masih ada kesempatan.
Perlahan Yuto melepas kacamata Yamada, membuat presiden dewan murid itu terhenyak. Ia mencoba menatap Yuuto.
"3 menit" katanya, mengingatkan lagi.
"Tidak" dan lagi-lagi Yuto menolak.
"Em-empat menit"
Yuto menggeleng dan mulai menundukkan wajahnya.
"Ok, 5 menit!"
"Deal"
Yamada terpejam, berharap ini segera usai.
- - -
"Ch-Chotto" tahan Yamada tiba-tiba, tepat sebelum wajah Yuto menghampiri lehernya.
"Apa lagi?" tanya Yuto, tampak iritasi.
"Kita harus mengatur waktunya.." Yamada agak mendorong tubuh Yuto, sehingga mereka tidak nyaris bertabrakan lagi saat Yamada bangun. Ia mengulurkan tangannya mengambil jam weker yang tersimpan di meja samping ranjangnya. Yamada mengatur waktu untuk 5 menit agar weker itu berbunyi 5 menit kemudian. "Ok" katanya sambil menaruh kembali wekernya lalu berbaring lagi disana.
Yuto tersenyum tipis.
"Kau memang sangat disiplin ne, presiden-san?" godanya, membuat Yamada harus merasakan hangat di sekitar pipinya. Yuto menyadarinya, tapi ia tak berkomentar, tak mau membuat Yamada jadi kesal. Walau sebenarnya ia ingin sekali mengatakan 'kawaii'.
"Jangan banyak bicara. Waktumu sudah berjalan" Yamada mengingatkan, datar. Ia memejamkan lagi matanya dan meyakinkan diri kalau 5 menit bukanlah waktu yang lama.
"Haii" sahut Yuto lalu mulai membenamkan wajahnya di leher Yamada. Seperti yang sudah ia duga, kulit Yamada sangat halus dan hangat. Reflek, ia menggerakan tangannya menuju kancing seragam Yamada, melepasnya satu persatu. Yamada terhenyak sesaat, tapi ia tak mau membuka matanya. Ia hanya berpikir, Yuto mungkin pernah melakukan ini dengan laki-laki lain sebelumnya. Yamada tak menyangka, karena selama bertahun-tahun menjadi tetangganya, Yamada hanya pernah melihat perempuan yang dibawa Yuto ke kamarnya.
Yamada hampir menahan nafas saat tangan Yuto menjelajahi dadanya, bersamaan dengan bibirnya yang mengecupi lehernya. Yamada tak sadar sudah memiringkan lehernya, memberikan akses yang lebih luas untuk Yuto. Ia memang merasa agak aneh tapi ia tak merasa takut atau tidak nyaman. Sentuhan Yuto tak seperti sentuhan laki-laki yang dulu pernah mengganggunya. Ini berbeda. Yamada sudah siap untuk menyerah.
Beep
Beep
Beep
5 menit ternyata sudah selesai. Bunyi alarm dari wekernya membuat Yamada tersadar dan kembali pada kenyataan. Ia mendorong tubuh Yuto.
"Waktumu habis!" katanya. Yuto menarik wajahnya dengan malas dari sisi lain leher Yamada yang entah sejak kapan sudah berpindah. "Cepat turun dari sini!"
Yuto tak menyahut dan malah menatapnya. Yamada merinding dengan tatapan itu. Ia takut kalau Yuto mulai berpikir yang tidak-tidak.
"Nakajima-"
Yamada tercekat dan membelalakan matanya karena Yuto tiba-tiba mencium tepat di bibirnya.
Eh??
Tidak!
* * *
Kejadian kemarin membuat Yamada agak canggung ketika harus bertemu dengan Yuto. Itu memang bukan ciuman pertamanya, ia sudah pernah berciuman dengan mantan pacarnya malah bermesraan seperti orang dewasa. Tapi ciumannya kemarin dengan Yuto jelas adalah ciuman pertamanya dengan seorang laki-laki. Itu gila, karena Yamada tak merasa jijik sedikitpun. Bahkan waktu 5 menit pun bertambah jadi 7 menit. Yamada merasakan hangat di pipinya membayangkan hal itu lagi. Aku sudah gila, pikirnya. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya tak mau terima.
"Sudah cukup Ryosuke, kau harus membuat 2 buah surat peringatan sekaligus. Dia sudah pantas dikeluarkan!" seperti biasa Nakayama masuk ke ruangannya tanpa mengetuk pintu. Wakilnya itu diikuti beberapa anggota dan.. Yuto. Yamada terhenayk melihatnya.
"Apa maksudmu, Yuma?" Yamada beranjak dari tempat duduknya dan menghampiri mereka.
"Dia merokok di atap sekolah!" Nakayama menunjuk Yuto.
"Aku sudah bilang kalau aku tidak merokok" sahut Yuto santai. Pemuda tampan berbadan tinggi, berambut kemerahan dan memakai piercing di telinga kirinya itu, melihat pada mereka dengan acuh. Kedua tangannya masuk ke saku celana seragamnya.
Yamada tak heran dengan sikap menantang Yuto itu. Ia menghela nafas.
"Kau yakin?" tanyanya pada Nakayama.
"Lihat! Ini buktinya" wakilnya itu menunjuk pada salah satu anggota yang memegang 2 batang puntung rokok.
"Itu bukan milikku" keluh Yuto pula.
"Diam kau! Jelas-jelas tadi puntung itu ada di dekatmu. Kau tak bisa mengelak lagi!" hardik Nakayama tajam. Yuto mengeluh keras dan mendecakkan lidahnya. Ia berani bersumpah itu bukan miliknya, itu bekas Daiki. Ano yaro.. gerutu Yuto dalam hati. Tadi Daiki cepat kabur sebelum para dewan murid ini menemukannya. Jadi Yuto terkena getahnya.
"Sudahlah Ryosuke, ayo kerjakan tugasmu!" desak Nakayama lagi.
"Aku masih belum yakin" Yamada tahu Yuto, dari dulu ia tak suka merokok. Ia percaya dengan kata-kata pemuda itu. Tapi tak tertutup kemungkinan juga kalau sekarang Yuto sudah berubah.
"Lihat, kau membelanya lagi! Bukti itu sudah cukup!" protes Nakayama terlihat kesal.
"Aku tidak membelanya. Hanya saja-"
"Kau tidak berguna" desis Nakayama tajam.
"Jaga ucapanmu!" Yuto membalas perkataan tidak pantas Nakayama. Ia panas juga melihat Yamada diperlakukan seperti itu.
"Heh? Kau murid bermasalah yang tidak tahu malu. Aku tidak tahu kalian ada hubungan apa, tapi kau jangan besar kepala!"
"Dia temanku, kau mau apa?!
Yamada terhenyak. Ia takut Yuto berkata macam-macam tentang hubungan mereka. Yabai.
Selama ini tak ada yang tahu kalau Yamada dan Yuto adalah teman semasa kecil sekaligus bertetangga. Yamada selalu menyimpannya rapat-rapat. Bukan apa-apa, itu semua demi wibawanya sebagai seorang presiden dewan murid. Orang-orang tak akan percaya lagi padanya jika tahu ia berteman baik dengan seorang berandalan sekolah. Jadi ia selalu menjaga jarak hingga mereka tak seakrab dulu lagi. Tapi ia akui tak pernah tega kalau harus memberinya hukuman. Itu kelemahannya.
"Kalian berteman?!" Nakayama menaikkan sebelah alisnya.
"Tentu saja, kami berteman sejak kecil. Seharusnya kau-"
"Omaera!" Yamada menghentikan mereka. Semua melihat ke arahnya, ia menatap Yuto tajam. Anak laki-laki itu tidak sadar perkataannya sudah membuat Yamada ketakutan. "Aku akan mengurusnya" kata Yamada pula sambil menarik tangan Yuto keluar dari sana. Nakayama tak sempat menyahut lagi.
---
Yamada menghempaskan Yuto ke dalam sebuah stall di toilet dan mengunci pintunya. Yuto meringis pelan, terduduk di atas toilet yang ditutup.
"Apa-apaan ini?!" tanyanya cukup kaget dengan tindakan tiba-tiba Yamada.
Presiden dewan itu membetulkan letak kacamatanya tanpa melepaskan tatapan tajamnya.
"Kau tak boleh membeberkan hubungan kita pada mereka"
"Huh?" Yuto memandangnya bingung.
"Mereka akan semakin berpikir kalau kita berkomplot. Mereka tak akan percaya lagi padaku!" Yamada pun menumpahkan kegalauannya. Dan Yuto hanya mendengarkan, tak menyangka pengakuannya membuat orang ini risau.
"Aku mengerti" kata Yuto akhirnya. "Gomenna, presiden-san"
Yamada menenangkan dirinya, ia bersandar ke pintu stall di belakang tubuhnya.
"Aku tak tahu harus melakukan apa padamu. Apa susahnya kau merubah penampilanmu dan-" Yamada menghentikan kalimatnya lalu mendekati Yuuto. Ia mengendus-endus disekitar wajah dan badan Yuuto.
"Oi-" Yuto tak tahu harus memprotes apa. Mendapati Yamada yang mendekatinya seperti ini, rasanya lucu juga. "Apa? kau mencurigaiku juga?" tanyanya.
Yamada menarik dirinya dan keningnya berkerut, seperti yang ia duga tak ada bau rokok dari mulut Yuto. Hanya ada sedikit di sekitar pakaiannya.
"Kau tahu kalau aku tak suka merokok. Tadi Dai-chan yang merokok di dekatku, asapnya mengenai pakaianku" jelas Yuto.
"Dai-chan?"
"Ah..uhm, dia temanku. Seorang senpai" Yuto keceplosan sudah menyebut nama Daiki.
"Sou ka" Yamada bersandar lagi di pintu. Ia baru akan bertanya lebih lengkap tentang Dai-chan tadi, tapi Yuto menyadarinya. Ia berdiri dan gantian mendekati Yamada. Ia tiba-tiba mendapat ide.
"Kau tahu apa yang sedang aku pikirkan?" tanya Yuto agak berbisik, membuat Yamada lupa dengan segala pertanyaannya.
"Aku tak punya indera ke-6" jawab Yamada datar, berusaha menutupi salah tingkahnya. Dan ia sadar kalau jawabannya sangat konyol, tak bermutu. Untungnya Yuto tak tertawa, karena memang tidak lucu.
"Aku mau waktu 5 menitku"
"Hah!?" Yamada menatapnya kaget. Yuto tampak serius. "Ja-jangan bercanda! tidak mungkin disini.." debaran di dada Yamada mulai meliar. Ah tidak lagi.. tidak.. keluhnya dalam hati.
"Ne, aku boleh meminta waktu 5 menit ku kapanpun dan dimanapun" kata Yuto tegas.
"Aku tahu tapi-" kalimat Yamada tergantung karena Yuto menabrakan bibir mereka dengan tiba-tiba. Yamada mengeluh di ciuman yang terlalu bersemangat itu. Tangannya mencengkram seragam Yuto, sementara tangan kanan Yuto memegang wajahnya agar tetap mendongak untuk mempertahankan ciuman mereka. Perbedaan tinggi mereka membuat agak sulit untuk berciuman dengan posisi seperti ini. Lebih baik mereka berbaring atau Yamada berada di tempat yang tinggi agar mereka jadi sejajar. Tapi walau begitu, Yamada tetap menyukainya, tubuh tinggi Yuto membuatnya serasa dilindungi.
Mereka melepas ciuman beberapa detik untuk mengambil nafas, sebelum Yuto kembali menciumnya. Kali ini ia menggunakan lidahnya, membuat Yamada merinding saat benda lunak itu bertemu dengan lidahnya. Gila! Ini gila! pikiran Yamada meneriakinya bersahutan. Tapi ia malah tak bisa berhenti.
Ini benar-benar membuatnya gila. Ia kehilangan akal sehatnya.
Ciuman basah itu pun berakhir. Keduanya terengah-engah mengambil nafas. Yamada melirik Yuto yang ternyata sedang menatapnya. Dilihatnya ada beberapa titik air ludah yang tercecer di dekat dagu dan bibir Yuto. Sensual, pikir Yamada. Ciuman mereka ternyata sekacau itu.
Yuto mengelapnya dengan belakang telapak tangannya, seperti tahu Yamada sedang memperhatikannya.
Wajah mereka memerah, bibir mereka terasa bengkak dan nafas mereka berat. Yuto menyandarkan keningnya pada kening Yamada.
"5 menitnya masih ada" katanya.
"Sudah.." Yamada menyimpan tangannya di dada Yuto untuk mengantisipasi dari tindakan tiba-tibanya lagi.
"Ini di toilet, tapi baumu selalu enak" gumam Yuto, tak menggubris perkataan Yamada. Ia bergerak ke sisi wajah Yamada. Mencium daun telinganya, membuat Yamada harus merinding untuk kesekian kali.
"Kau pernah seperti ini dengan laki-laki sebelumnya?" tanya Yamada tiba-tiba, mengungkap pertanyaan yang sejak kemarin dipendamnya.
"Tidak. Ini yang pertama"
Dan entah kenapa, Yamada merasa lega mendengar jawaban Yuto.
- - -
Chinen terpaku melihat dua orang yang keluar dari salah satu stall.
"Yama-chan..? Nakajima..?" katanya terkejut.
Yamada panik luar biasa, tapi ia cepat menutupinya.
"Ou, Ch-Chinen" ia balas menyapa dan cepat pergi dari sana. Sial.
Chinen sudah pasti berpikir aneh melihat ia keluar berduaan dengan Yuto dari sebuah stall. Apalagi kalau Chinen sampai mengamati keadaan mereka yang berantakan. Yada.
Yuto juga cepat pergi dari sana tapi tak mengikuti Yamada. Kejadian di stall tadi membuatnya agak pusing. Tadi ia memang tak bisa mengendalikan dirinya, kalau saja Yamada tak menamparnya, mungkin mereka akan melakukan itu..
Yuto menggeleng-gelengkan kepalanya. Walau ia menyukainya tapi melakukan itu rasanya masih terlalu dini. Lagipula hubungan nya dengan Yamada, bukan hubungan macam itu.
Chinen masih terdiam di tempatnya, bingung dengan sikap mereka. Tapi ia jadi menebak-nebak.. masaka?!
---
"Kau tahu Yamada, aku benar-benar tak suka anak bernama Nakayama itu" Yuto bicara lagi saat ia berdiri di dekat balkonnya dan melihat ke arah kamar Yamada yang terbuka. Orang itu sedang duduk di kursi belajarnya, entah mengerjakan apa. Yuto mengeluh pelan, dari tadi ia bicara sendiri. Yamada tak menggubrisnya.
Perlahan Yuto mengusap pipi kirinya yang tadi siang ditampar Yamada.
"Tamparanmu masih terasa" gumam Yuto yang akhirnya kali ini berhasil membuat Yamada bereaksi. Ia menoleh melihat pada Yuto.Mereka saling memandang. Banyak yang berkelebat. Mereka coba menepisnya.
Yamada pun berdiri dan mendekati jendelanya.
"Bagus. Kau memang seharusnya berdiri disitu, karena aku sedang bicara padamu" kata Yuto tersenyum senang. Yamada hanya memandangnya datar.
"Gomen" katanya lalu menutup tirai jendelanya.
Yuto terperanjat.
"Oi! Kau menyebalkan!" teriaknya.
Yamada tak bisa menahan senyumnya lagi. Orang bodoh itu, lama-lama menarik juga.. pikir Yamada. Setelah beberapa kali berciuman, ternyata tak membuat mereka jadi rumit. Yuto selalu bisa mencairkan suasana, membuat ia lebih rileks. Tapi ia juga berpikir, deal itu akan segera berakhir. Ia tak mungkin merasa kehilangan, bukan?
TBC