#nama

Aug 18, 2013 01:16

Nama itu penting sekali. #PersetanShakespeare

Aku berlangganan koran minggu, hanya edisi minggu, terutama karena butuh membaca cerpen-cerpennya. Sebutlah aku penggemar sastra koran, karena sastra yang kukenal pertama kali ya cerpen-cerpen koran itu. Tapi aku nggak bakal cerita soal sastra kok. Aku nggak kompeten soal itu :D

Bukan berarti aku berlangganan dan membaca semua koran edisi minggu. Aku cuma berlangganan Kompas dan Korantempo. Sejak muda aku membaca cerpen Kompas. Nggak semua cerpen yang dimuat itu bagus. Kadang biasa banget dan nggak ada nilai lebihnya, setidaknya bagi pembaca awam seperti aku. Kalau cerpen kurang bagus (eufemisme dari jelek) itu karya penulis yang nggak terkenal sih, okelah. Aku lalu mencari kelebihan cerpen itu (oh kental dengan detil-detil lokal, misalnya). Tapi kalau cerpen yang tanpa nilai lebih itu adalah karya penulis terkenal, yah… apa boleh buat. Aku nggak bisa memikirkan kemungkinan alasan lain selain nama penulis yang tersohor. Kalau cerpen sejelek itu ditulis oleh seorang Sujeneng atau siapalah, dan bukan seorang Sitok Srengenge atau Marselli, misalnya, apa Kompas bakal mau memuatnya?

Nama itu penting sekali.

Seorang teman yang beberapa kali naskahnya ditolak penerbit mengingatkan hal itu. Aku pernah usul supaya dia mencoba  jalur penerbit indie, tentu saja kalau kebetulan punya uang cukup. Saya butuh ‘nama’ dulu, jawabnya. Dengan penerbit besar, novel dan penulisnya akan punya 'nama'. Penerbit besar yang akan berusaha mewartakan keberadaan buku dan mengangkat nama penulisnya. Beda dengan menerbitkan buku lewat jalur indie. Penulis sendiri yang harus berjuang untuk punya ‘nama’.

Nama itu penting sekali.

Sebuah penerbit yang sepertinya cukup terkenal sadar betul soal itu. Nama penulis bakal mendongkrak angka penjualan buku, entah sekancrut apapun kualitas buku itu. So, si penerbit itu meminta penulis agar punya ‘nama’ dulu, baru bukunya bisa mereka terbitkan. Aku membaca kisah ini dari cuit-cuit si penulis di twitter. Penulis yang keukeuh merahasiakan nama penerbit itu bercerita: si penerbit bilang akan menerbitkan naskahnya kalau si penulis sudah punya 200.000 followers di twitter. Penerbit punya duit dan jaringan. Penerbit butuh naskah (yang nggak harus bagus) dan ‘nama’ penulis. Nggak perlu bikin tulisan bagus-bagus, yang penting kamu populer. Begitulah kira-kira.
Lalu bagaimana nasib penulis buku yang (anggaplah) pemula, yang tidak suka menghabiskan banyak waktu di jejaring sosial, sehingga nggak punya banyak followers di twitter atau facebook? Mau menerbitkan buku lewat jalur penerbitan indie,  dia harus punya uang dulu lalu berjuang mencari ‘nama’. Mau bukunya diterbitkan oleh penerbit besar (ya mungkin ini cuma kasusnya penerbit yang ‘itu’ doang sih), dia harus punya ‘nama’ dulu. ‘Nama’ yang lebih besar daripada yang dibutuhkan kalau dia memilih jalur indie.

Huffft.

Nama itu memang penting. Penting sekali.
-_-

buku, nama

Previous post Next post
Up