Imutisasi dalam Berbahasa Indonesia

Aug 13, 2013 01:45

Kali ini judulnya rada catchy, walau agak ngaco dan nggak imut. Oke langsung saja ke pokok persoalan. Bukan karena saya orang yang lugas, tapi lebih karena saya nggak punya banyak ide yang bisa dibiakkan menjadi ribuan kata. (silakan hitung berapa kata yang ada dalam entry ini :D)

Imutisasi terdiri dari kata dasar “imut” dan imbuhan “-isasi”, yang merupakan imbuhan serapan dari bahasa enggres “-ization”, yang menerangkan proses pembentukan sesuatu menjadi kata dasarnya. Jadi, “imutisasi” adalah proses mengimutkan -dalam hal ini, mengimutkan bahasa. Oke, penjelasannya segitu saja. Kalau panjang-panjang, nanti malah ketahuan kalau saya nggak kompeten di bidang bahasa :D

Langsung ke contoh.

“Ini baju aku”
“Ciyus? Miapah?”

Saya nggak tahu kapan dan dari mana fenomena imutisasi itu berasal. Kalau gejala kemenggres alias code mixing antara bahasa Indonesia dan Inggris, mungkin sudah sejak jaman MTV muncul di stasiun tivi lokal. Sekarang, sampai-sampai presiden kita pun agak kesulitan mengucapkan satu alinea (atau bahkan kalimat?) utuh dalam bahasa Indonesia. Ya, kita harus aware masalah itu. Hih!

Balik ke contoh. Kenapa ngomongnya “ini baju aku” dan bukan “ini bajuku” sih? Saya nggak paham. Sebagai produk jadul, saya diajarkan untuk menyebut kata imbuhan yang menerangkan kepemilikan orang pertama sebagai “-ku” dan orang kedua sebagai “-mu”. Jadi, “ini bajuku” dan “itu bajumu”. Seingat saya, orang yang biasa menggantikan akhiran “-ku” itu dengan “aku” adalah anak kecil. Ya wajarlah mereka begitu karena belum belajar tatabahasa. Lha kalau orang dewasa (termasuk ABG) juga bertutur seperti itu… ya, mungkin mereka ingin tetap dianggap imut. Mungkin.

Contoh kedua lebih parah. Saya yakin orang-orang yang ngomong “ciyus” itu bisa melafalkan bunyi “s” dan “r” dengan baik. Apalagi itu terjadi di bahasa tulis, di mana penutur nggak perlu ngomong sama sekali. Dan saya juga yakin, di keyboard atau keypad para penutur itu, tombol-tombol “r”,”e”, “d” masih berfungsi baik. Sekali lagi, saya berprasangka bahwa orang-orang yang bertutur “ciyus”, “miapah”, “enelan” dan sejenisnya itu ingin dianggap imut.

(kalau mau lebih ngelantur lagi…)

Mungkin imutisasi berbahasa itu juga merembet ke imutisasi perilaku. Misalnya begini:
A -entah sengaja atau tidak- berbuat salah sehingga menyinggung perasaan B. Lalu B mengungkapkan rasa sakit hatinya itu ke A, ditambah penjelasan yang lengkap dan kronologis pula. Kalau mau bersikap dewasa, A seharusnya menjelaskan kenapa dia berbuat begitu. Kalau memang merasa bersalah, ya minta maaf. Bilang "maaf karena aku udah begini-begitu sampe kamu jadi blablabla". Kalau merasa nggak bersalah, jelaskan kenapa. Tapi si A ini sok imut. Dia bilang "maaf" tapi nggak tahu (atau lebih tepatnya nggak mau tahu) kesalahan yang dibuatnya. Dengan kata lain, A nggak merasa bersalah dan pantas minta maaf. Dia bilang maaf cuma karena "spontan" saja. Mungkin karena sejak kecil, kalau A dan kawannya berantem, diajari untuk: "Sudah, berhenti berantem. Sana salaman dan minta maaf." Begitu saja, tanpa ada pertanyaan dan penyelidikan atas masalah apa yang membuat mereka berantem.

Dan begitulah. Anak-anak seperti A tumbuh dengan didikan untuk tidak mau memahami persoalan. Dan ketika dianggap bersalah, mereka akan bilang "maaf" karena itu akan menyelesaikan masalah dan membuat mereka tetap suci tak berdosa.

Sok imut, kan?

bahasa, indonesia, rambling

Previous post Next post
Up