Sakaw Twitter dan obat penawarnya

Dec 11, 2012 01:51


Sakaw Twitter dan obat penawarnya

Judulnya memang lebay. Saya nggak punya ide judul lain untuk entry yang sekedar curcol dan dicurigai miskin makna ini. Tapi biarlah. Lebih baik membaca judul lebay dan entry tumpul ini kan, daripada menyimak semburan kata motivator? #gampared

Mari membahas 2 kata pertama: sakaw twitter. Twitter-nya sih bener, sakaw-nya yang lebay. Saya nggak sakaw. Saya hanya puasa twitter. Saya sudah berhenti membuka twitter sejak tengah bulan kemarin. Saya sengaja mengganti password dengan kata yang susah saya ingat-ingat, dan nggak pernah berusaha log in. Ya, mendadak berhenti aja. Padahal saya kan genit nian di twitter. Tiada hari tanpa ngetwit dan nyamber twit orang. Sekarang saya sedang memaksa diri untuk tidak doyan twitter. Kenapa? Alasannya banyak sih. Tapi hanya sedikit saja yang mau saya ceritakan di sini. Hehe…


Twitter itu pengganggu. Dia memecah konsentrasi saya jadi kecil-keciiiil. Saya harus konsentrasi pada satu hal sepanjang 140 karakter saja, lalu dipaksa pindah ke hal lain dalam durasi yang sama, lalu loncat lagi dan lagi, dan lagi. Akibatnya saya susah fokus membaca dalam durasi panjang. Membaca satu paragraf aja butuh waktu pengulangan berapa kali, baru bisa menyimpulkan isinya.orz. Tentu saja itu bukan semata salah twitter. Saya memang tukang ngelamun, dan isi lamunan saya sangat nggak bermutu. Itulah yang bikin saya susah fokus. Bukan karena hasil didikan twitter. Atau sayanya aja yang kegenitan di twitter. O.o

Isi linimasa orang-orang yang saya follow itu kadang berpola lho. Jam sekian, twit biasa: ngobrol ama temen, ngomentari sesuatu, promo buku/lagu/baju/apapun yang dia produksi atau jual, dll. Jam sekian, twit galau: kangen mantan, gebetan, atau pacar orang, curcol tentang hidup menjomblo, dll. Jam sekian, twit porno. Trus gimana dengan twit-twit saya? Well, kalian bisa lihat sendiri kalo saya sangat gatel, suka banget nyamber twit orang. Dan akun yang saya follow itu (selain yang emang tokoh tapi bukan selebtwit) terkelompok dalam beberapa lingkaran. Ada temen fanficcers, fans DT dan prog rock, dan orang yang saya ‘kenal’ lewat twiter (‘kenal’ itu hanya sebatas kenal di twitter, gitu lah). Kadang saya bingung, kenapa saya follow si anu? Dari mana ceritanya saya ‘kenal’ si anu? Trus, eh kenapa si anu bisa kenal si X? Gimana ceritanya si X bisa kenal si C? Oh si X nggak follow C, D, dan M, tapi tahu gossip tentang mereka…  tahu siapa memacari siapa atau siapa menipu siapa, dst dst. Jaring perkenalan mereka-mereka -yang sebetulnya saya nggak kenal itu- kadang bikin saya eneg, dan …ngeri. Lol. Aduh. Six degrees of separation banget gak sih? Hehe. Trus gimana kalo di dunia nyata, si X sebetulnya kenal (walau nggak follow) C dari si S dan T (yang saling follow ama X), padahal si S itu kan temenan ama P yang notabene di dunia nyata… kenal saya. Modyar kon!

#galikubur #masuklubangkuburan #urugsendiri

Eh tapi saya punya alasan altruis lho. Seperti yang saya bilang di atas, orang-orang yang saya follow itu kadang twit-twitnya berpola. Dan lama-lama saya bosan juga dengan twit-twit mereka, walaupun bahasanya indah dan puitis, misalnya. Nah, bayangin aja. Twit mereka yang bagus-bagus aja bisa bikin bosen. Apalagi twit-twit saya yang kosong tapi genit itu? Jadi, saya berpuasa twitter itu adalah demi kebaikan follower. Dan demi kebaikan kuota modem xDD

Walau saya puasa socmed (saya juga nggak buka facebook lho), tapi bukan berarti saya udah nggak doyan kelayapan online. Kuota yang biasanya saya irit demi ajeg twitteran itu saya pakai buat hal lain. Mengunduh lagu, misalnya. Itu tidak lepas dari salah satu obat sakaw twitter, yaitu buku. Ya, saya mencanangkan niat harus membaca sekian buku (kata sekian harap dibaca: 2 alias DUA buku :p) selama x hari saya berpuasa twitter. Nah, salah satu buku yang saya baca adalah Lokasi Tidak Ditemukan: Mencari Rock And Roll Hingga 15.000 Kilometer. Yup, itu bukan buku fiksi. Itu buku tentang musik. Lebih tepatnya, kumpulan artikel musik yang ditulis Taufiq Rahman di situs jakartabeat.net. Saya memang pengen sekali-kali membaca buku nonfiksi, dan kebetulan ketemu buku yang membahas musik. Tentang buku itu sendiri, kapan-kapan bakal saya tulis sesuatu entah di sini, di diary, atau email ke penulisnya. Hehe. Lanjut ke kisah obat sakaw twitter aja ya. Di buku ini, saya menemukan beberapa nama band dan lagu atau album yang direkomendasikan penulisnya. Oh ya, saya nggak kenal banyak band/musisi indie, yang lokal maupun manca. Jadi banyak nama yang saya anggap baru, dan saya unduh barang sebiji dua biji :D

Salah satu yang menarik adalah Homicide. Kayaknya saya pernah nonton penampilan band ini di acara Radio Show-nya TV One, tapi saya nggak tertarik. Ya kalo didenger lebih banyak berisiknya dan vokalnya kurang melodic gitu lah. Tapi kalo versi studionya didengar dalam format mp3 ternyata lumayan. Lirik-liriknya cukup bagus, tapi memang sebaiknya didengar sambil membaca liriknya. Karena ya itu tadi, kurang melodic. Gimana mau melodic kalo cenderung nge-rap, bahkan vokalisnya deklamasi doang kayak di lagu Syekh Siti Djenar Cyber Drive.

Band indie yang saya ‘temukan’ bukan cuma Homicide. Masih dari acara Radio Show, saya jadi nyari mp3-nya Ginda and The White Flowers. Ini band blues yang beranggotakan tiga orang. Kayaknya saya memang rada gampang terayu oleh format band bertiga gitu :D Dan saya cukup beruntung juga pernah menyaksikan band ini langsung di acara Jogja Blues Festival. Mereka tampil menjelang puncak acara. Saya menganggap mereka masih seoke ketika tampil di tivi, walau saya cuma tahu satu lagu aja :D Tapi begitu mereka turun panggung dan digantikan Gugun Blues Shelter, saya langsung bengong sejenak. Saya memang lebih suka musik blues-nya Ginda, tapi kalo dibandingkan skill-nya GBS, nanti dulu. Skill GBS itu top abis!

Jyah malah ngelantur ngomongin blues. Balik lagi ke band-band indie. Yang juga mendapat review positif dari buku itu adalah lagu-lagu dari 2 band Jogja: Ode Buat Kota dari Bangkutaman dan Amerika dari Armada Racun. Saya lebih tertarik pada Amerika-nya Armada Racun, walau saya tak suka (dan cenderung benci) musik punk. Yang menarik itu di liriknya:

Kami bangsa Indonesia mengaku berbangsa satu, Amerika

Kami bangsa Indonesia mengaku berbahasa satu, Amerika

Kami bangsa Indonesia mengaku bertanah air satu, Amerika

Kami bangsa Indonesia mengaku semuanya Amerika

(“Amerika” - Armada Racun)

Ya. Itulah kebenaran. Hayo ngaku aja… Eh tapi kalo untuk setahunan terakhir ini mungkin kata “Amerika” lebih tepat diganti dengan “Korea” ya :D #Koreanwave

Selain mengunduh, saya juga aktif memulung di warnet. Ada warnet yang memanjakan pelanggannya dengan koleksi film dan lagu. Saya memulung dua-duanya sampe HD eksternal penuh :D Dari sana, saya menemukan band Morfem dan album lama dari band Blue Savanna. Dulu lagunya yang saya kenal cuma Alat Kontrasepsi. Berkat warnet yang indah itu, saya menemukan albumnya. Sekaligus suka banget dengan lagu Bintang Jatuh. Apa sih istimewanya lagu ini? Apa ya… saya suka lagu dan liriknya. Liriknya sih cuma bercerita tentang cinta kilat, atau mungkin cinta semalam gitu deh. Tapi yang saya suka, liriknya itu nggak mengagungkan (misalnya Cinta satu malam / Buatku melayang / Walau satu malam / Akan selalu ku kenang / Dalam hidupku) atau meratapi cinta yang umurnya cuma semalam (misalnya Sayang dengar cinta ini bukan cinta satu malam / Yang tak mungkin kau dapati dengan laki-laki lain). Ia realistis saja.

Tak kauhiraukan peluh basahi tubuhku saat

Bintang jatuh di malam hari

Secepat itu kau hadir di sini

Memang rapuh cinta begini

Secepat itu kau pergi dari hati

(“Bintang Jatuh” - Blue Savanna)

Konon, yang datangnya cepat itu perginya juga cepat. Begitu pula dengan cinta kilat. Dan konsentrasi pada twit. Hehe balik lagi ke twitter…

Sekali lagi, bukan salah twitter kalo saya jadi susah berkonsentrasi. Twitter hanya memperparah dan memanjakan otak saya yang males mikir lama-lama XDD

musik, indonesia, rl, twitter, buku

Previous post Next post
Up