Aku Sang Penonton

Dec 27, 2012 17:12


Aku Sang Penonton

Tunggu, jangan kabur dulu. Judulnya memang nggak menarik sih, tapi isinya kujamin pasti…sama aja. Hehehe…

Kali ini aku akan cerita tentang aku menonton pertunjukan, menonton penontonnya, dan (kalo nggak males nulis) menonton keindahan alam Bromo. Yang terakhir itu memang nggak terlalu nyambung dengan dua yang awal. Tapi rasanya agak sayang juga kalo aku nggak membagi hasil memotret dengan kamera mini Samsung Lakota itu. Ada ceritanya kok. Jadi jangan pergi dulu ya… *nggelendot di kaki pembaca*


Sekarang tentang menonton pertunjukan ya. Di bulan November dan terutama Desember ini kebetulan banyak pertunjukan gratisan di Jogja. Bangga dong aku jadi penduduk Jogja yang dimanja oleh macam-macam pertunjukan seni yang bagus dan murah :) Di bulan November ada Ngayogjazz yang tahun ini bertema “Dengan Ngejazz Kita Tingkatkan Swasembada Jazz”, dan masih dengan konsep Jazz Masuk Desa. Ada 5 (atau 6 ya?) panggung yang dibangun di halaman rumah -ada yang di dekat kandang sapi atau ayam- atau teras rumah. Aku nggak bakal cerita banyak tentang Ngayogjazz. Monggo gugling sendiri kalo penasaran :D Yang asik dari event ini adalah suasananya. Acara dimulai siang hari. Waktu itu usai hujan deras. Aku jalan dari panggung ke panggung, mampir ke kios CD dan kaos, sambil nunggu yang mau tampil. Total aku nonton cuma 3 penampil sih. Dan dari 3 itu yang paling berkesan adalah Sound of Hanamangke dari Bandung yang memainkan ethnic jazz. Kadang suara kecapi-nya mirip suara gitar listrik. Nah kalo soal menonton penonton, event ini juga lumayan asik. Penontonnya beragam. Ada yang tampil casual, ada yang dandan abis, ada yang saltum juga.hahaha. Dan karena aku di sana dari siang sampe sore (padahal acaranya sampe tengah malam), aku sempat melihat empat anak perempuan usia SD yang jalan dari panggung ke panggung. Kayaknya mereka penduduk desa itu. Anak-anak itu kayak dapet kesempatan emas buat main ngelayap sepuasnya sekalian tebar pesona ke tamu-tamu dari berbagai pelosok negeri ini :)

Masih tentang pertunjukan musik. Di awal Desember ada acara Jogja Blues Festival. Aku cuma nonton di hari kedua, itu pun cuma dua penampil terakhir. Aku memang telat info sih waktu itu :( Tapi nggak papa lah, yang penting nonton. Nggak usah aku ceritain acaranya ya, walau aku puas nonton itu. Aku mau cerita tentang penontonnya aja. Karena aku beberapa kali nonton acara rutin Jazz Mben Senen yang juga gratisan, aku mulai agak hafal dengan tampang-tampang penonton jazz (gratisan) di Jogja. Jadi banyak penonton Jazz Mben Senen yang juga nonton Ngayogjazz. Gimana dengan penonton blues? Nah karena aku belum pernah nonton acara komunitas blues Jogja, aku belum kenal wajah para penontonnya. Kesimpulan sederhananya aja nih: beda dengan penonton jazz. Penonton jazz itu lebih beragam dan komposisi gendernya seimbang. Penonton blues itu ‘tenang’, terlihat menikmati dan mengapresiasi musik blues yang menyayat maupun yang keras, dan ceweknya cuma sedikit. Apalagi yang berjilbab. Waktu aku nonton itu, cewek berjilbab cuma ada paling banyak 7 orang termasuk aku :D

Sekarang pindah ke pertunjukan tari. Aku cukup sering nonton pertunjukan tari, karena memang banyak yang gratisan :D Terutama tari tradisional. Karena sering nonton, aku jadi lumayan hafal penontonnya. Mungkin hampir setengah dari penontonnya adalah pelaku tari, baik itu penari, pengrawit, atau yang sekedar belajar di sanggar tari seperti aku ini. Dan biasanya penyelenggara pertunjukan tari ya itu-itu aja. Nah awal Desember kemarin, aku nonton drama tari kolosal Singgasana Wilwatikta. Aku memang dateng telat banget (karena abis gladi kotor) jadi hanya kebagian setengah jam saja. Tapi aku bisa mengamati bahwa penontonnya ternyata beda dari pertunjukan-pertunjukan tari lain. Sama-sama gratis lho padahal :P Mereka kebanyakan anak muda dan -kalo diamati dari obrolan sebagian dari mereka- adalah teman-teman para penampil. Kalo itu sih hampir sama dengan penonton pertunjukan-pertunjukan tari yang lain -didominasi teman dan kerabat penampil. Kadang aku meragukan masa depan tari tradisional kalo mengingat hal itu :(

Masih tentang pertunjukan tari. Belum lama ini aku nonton drayang (drama wayang) Sumpah Abimanyu. Pertunjukannya memadukan gaya wayang dan opera gitu deh. Jadi ada adegan sinden tampil menyanyi di panggung. Lalu di musiknya juga ada unsur musik barat, karena ada suara biola yang cukup sering tampil menonjol dan ada 2 atau 3 potong lagu klasik. Art direction-nya bagus, jadi aku merasa bersyukur banget bisa nonton itu gratisan :D Silakan gugling sendiri kalo penasaran ya. Aku mau cerita tentang penontonnya aja. Ada cukup banyak wajah yang kukenal di bangku penonton dan sebagian panitia. Tapi bukan itu yang mau aku omongin. Kali ini aku mau cerita tentang ulah penonton aja, hehe… #nggosip

Pertunjukan di malam minggu dan masa liburan, so banyak anak kecil (dan abege) yang nonton. Di belakangku ada anak kecil yang cerewet, tapi belum menjengkelkan sih. Dia cerewet tapi isi ocehannya masih seputar kisah yang dipanggungkan. Jadi pertanyaannya wajar aja dan malah kadang menghibur :D Di tengah pertunjukan ada sesi istirahat alias selingan karena nggak nyambung-nyambung amat ama cerita. Ini biasa di wayang atau kethoprak, atau drama tradisional lain (mungkin sih :P). babak yang diisi abdi-abdi satria atau istana itu biasanya penuh lelucon. Nah di bagian ini si adik kecil mengantuk :D Doi mulai merajuk ke ortunya, “Pak, kapan sih narinya lagi?”, “kapan Werkudara muncul?”, dan “waaah ini lamaaa banget. Jelek. Ngantuk!” Sampe si  ortu nyerah dan nurutin ajakannya pulang. Nggak sampe lima menit setelah mereka meninggalkan bangku penonton, tari dan wayangnya dimulai :D Aku jadi kasihan ama si anak kecil. Sampe kepikiran pengen keluar gedung buat nyeret dia balik nonton lagi. Hehehe. Tapi beda dengan penonton di sebelahku -aku pengen nendang mereka keluar gedung. Aku kesal sih. Mereka itu sepasang abege. Sepanjang pertunjukan mereka asik main BB dan ngobrol berisik. Mending kalo yang diobrolin itu ada hubungannya ama cerita yang dipentaskan. Ini malah semacam “ih cintaaa, gitu aja kok marah siiih?” Grrrhh. Ngapain juga mereka duduk di bangku penonton kalo cuma mau konsen ke BB dan urusan pacaran mereka sendiri. Aku sudah sering kesal dengan kamera hape atau tablet yang diangkat di atas kepala. Itu aja udah mengganggu kenikmatan menonton, tapi masih agak mending karena masih nganggep pentas itu ada. Lha kalo sepasang abege bloon itu?! Bah. Akhirnya setelah kuminta untuk ngecilin volume suaranya, mereka diam, bisik-bisik, lalu pergi. Hwahahah.

Sekarang pindah ke pentas boneka. Di pertengahan Desember kemarin ada International Biennale Puppet Festival. Ada pentas, pameran, dan lokakarya boneka. Aku sih nonton pentas dan pamerannya aja deh. Yang kutonton adalah pentas hari kedua yang diisi Pak Raden (Indonesia) dan The String Theatre (Inggris). Baru kali ini aku nonton Pak Raden mendongeng. Waktu beliau memasuki panggung dengan kursi roda, tiba-tiba aku jadi pengen nangis haru gitu. tapi aku samarkan dengan tertawa denger komentar anak-anak yang lucu dan polos…biar nggak ketahuan kalo mataku berkaca-kaca :D Pak Raden itu memang hebat sih…kalian boleh kok wow sambil koprol :P Beliau udah 80 tahun, tapi semangatnya masih kayak anak muda. Suaranya juga masih keras menggelegar gitu. Beliau memainkan boneka sambil mendongeng cerita Melani Tersesat. Kami yang tua-tua bernostalgia dengan tokoh-tokoh Si Unyil, yang anak-anak sigap menyebut nama tokohnya. Pak Raden misalnya bilang, “…di tengah jalan, Melani bertemu dengan seorang yang botak (sambil memegang boneka Pak Ogah)…” dan anak-anak langsung menyahut “itu Pak Ogaaaah!”  Seru deh pokoknya ^_^ Dan ternyata Pak Raden yang Drs Suyadi itu nggak pelit kayak tokoh yang diisi suaranya lho. Setelah mendongeng cerita Melani itu, beliau menambah satu cerita lagi. Kali ini beliau mendongeng sambil menggambar di whiteboard. Walau berjalan aja udah payah dan tertatih begitu, tapi beliau tetep semangat menggambar, mendongeng, dan mengajak bernyanyi. Sembah sujud deh ama dedikasi Pak Raden pada dunia seni boneka.




Setelah Pak Raden, pentas dilanjutkan oleh The String Theatre dari Inggris. Tiga hari sebelumnya mereka sudah memberi mini performance dengan judul Insect Circus. Di situ mereka menampilkan boneka tali yang katanya cukup pendek -total panjang tali dan tinggi boneka hanya sekitar 1 m. Pentas dengan boneka tali pendek ini hanya sekitar 30 menitan, dan penonton bisa melihat boneka dan pemainnya. Ceritanya tentang beberapa serangga yang main sirkus. Ada yang juggling, meniti tali, atau akrobat sendirian. Yang paling unyu sih boneka ulat. Talinya cuma dua, tapi cukup buat menggambarkan ulat menari, melenggok, dan nungging. Pada akhirnya si ulat jadi kupu-kupu dan terbang memboncengkan semut :) Lalu ada juga jangkrik yang saking luwesnya menari sampe pada akhirnya tubuhnya lepas semua :D Setelah pentas usai, aku sempat mencoba memainkan boneka semut. Ternyata susah lho memainkan boneka tali. Salut deh ama para pemainnya dan…Sasori-sama *sembah sujud* Aku juga ngobrol dikit dengan salah satu pemainnya. Aku bilang kalo melihat control boneka itu aku langsung inget sampul buku Godfather-nya Mario Puzo. Dan mbak Soledad menanggapi, “Ya, banyak yang berasosiasi memainkan boneka itu sebagai sesuatu yang kejam. Padahal menurut saya tidak. Dan memegang boneka tali itu tidak selalu berarti kami yang mengontrol, kadang sebaliknya. Boneka lah yang mengontrol kami.” Hoho. Catet itu, Mario Puzo! (dan Sasori-sama)!

Pentas mereka yang kedua adalah lakon berdurasi 1 jam dengan judul Red Balloon. Ceritanya tentang persahabatan seorang anak lelaki dan balon merah. Kali ini mereka memakai boneka tali panjang -lebih dari 2 m- panggung boneka lengkap dengan tirai, background, dan efek cahaya. Dan penonton tidak bisa melihat pemainnya. Sewaktu acara mini performance, mereka menjelaskan perbedaan memainkan dua macam boneka tali itu. Kalo pake tali pendek, mereka harus menggerakkan jari lebih kuat karena memang lebih berat (dan bonekanya lebih gede :P). kalo pake tali panjang, gerakan jari lebih halus tapi ada jeda antara jari pemain bergerak dengan efeknya pada boneka. Walau durasinya satu jam, Red Balloon nggak terasa panjang karena penceritaannya lancar, ekspresif, musiknya enak dan tata panggungnya bagus. Padahal pemainnya cuma dua orang lho.




Itu tokoh utama yang menjadi sahabat si balon merah. Tuh lihat, bonekanya kecil kan? Kalo di panggung mereka tampak gede karena efek pencahayaan. Isi cerita Red Balloon nggak usah aku omongin ya. Hehe.

Sekarang lanjut ke pengalaman menonton keindahan alam Bromo. Kenapa aku membahas tema ini? Karena aku berangkat ke Bromo karena patah hati. #Hasyah!

Bukan sih. Aku ngoceh tentang itu karena pengen pamer foto aja sih. Kalo foto keindahan matahari terbit di Bromo kan udah banyak dibuat dan dimuat fotografer pro maupun amatir yang handal, dengan kamera yang juga bagus. Tapi foto-fotoku ini kan hasil jepretan kamera mungil yang cuma 2 mega pixel :D Dan aku bukan banci foto kok, jadi nggak usah buru-buru nyari kantong muntah gitu dong… :p

Aku lebih suka memotret penduduk lokal yang lebih fotogenik dibanding aku. Ini contohnya




Bapak itu gigih menawarkan jasa tunggang kuda. Ini buktinya.




Sejak dari bawah, aku dibuntuti terus. Sejak tariff awal 60 ribu, trus karena aku cuek, tawarannya turun jadi 30 ribu sampai akhirnya 20 ribu. Kasihan juga sebetulnya. Tapi aku lebih kasihan pada diriku sendiri karena waktu itu aku udah bokek. Akhirnya aku bilang ke doi kalo aku gak bakal naik kudanya karena duit di dompetku tinggal seharga jasa tunggang kuda. Kalo aku naik kudanya, aku gak punya duit lagi dong buat balik Jogja. Si Bapak kecewa tapi menerima alasanku. Syukurlah abis itu dia dapet penumpang. Dia sih bersyukur, entah kalo kudanya :P




Ya… self-explanatory :D




“Ayo semangaaaat! Kamu pasti bisaaaa! Bisa foto-foto di siniiii!” :D




Dia bilang, “kumaha atuh turunnya?”

Sambil motret, aku bergumam, “kumaha ieu?” :D




Pak supir sepertinya sedang menyalakan rokok setelah memotret kami. Entah sudah berapa turis yang dia antar dan foto. Entah apa pula yang ada di benaknya waktu memotret kami. Mungkin bosan, mungkin biasa aja, mungkin inget uang belanja istri dan SPP anaknya, … entahlah. Yang jelas, doi pengen menetralisir pikiran itu dengan merokok :D




Nah ini pencari kayu yang lewat di depan hotel. Bayangan tubuhnya aja fotogenic kan? ;)

Sebagian foto itu udah aku unggah di facebook sih…buat jaga-jaga kalo di sini dicuekin pembaca.orz #memelas

rl, foto, rambling, music, boneka, tari, trip, bromo

Previous post Next post
Up