Mengenang Lokakarya Penerjemahan Sastra

Nov 13, 2012 20:59


Mengenang Lokakarya Penerjemahan Sastra

8 - 13 Oktober 2012, Erasmus Huis, Jakarta

(Judulnya kok berkesan kayak si Lokakarya itu udah almarhum yah :/ hehehe…)

Saya akan berbagi sedikit cerita (cerita saja, bukan ilmu :D #pelitdetected) waktu saya ikut lokakarya penerjemahan sastra yang diadakan oleh Inisiatif Penerjemahan Sastra. Tentang organisasinya, sila baca di sini http://inisiatifpenerjemahansastra.org/

Gimana ceritanya saya yang merem sastra ini bisa terdaftar sebagai peserta di sana? Ceritanya nggak panjang apalagi mengharukan bin penuh drama sih… tapi nggak ada salahnya kalian menyediakan teh atau kopi hangat serta camilan, karena saya mungkin akan ngoceh panjang di sini. Dan terutama karena minuman hangat dan camilan itu untuk kesejahteraan kalian sendiri ^_^



Saya menemukan info tentang lokakarya ini di milis bahtera. Saya memang sudah lama ikut milis itu, tapi jumlah posting saya kurang dari 5 biji, alias saya jadi tukang ngintip doang. Milis Bahtera adalah milisnya penerjemah dan mereka yang mencintai dan tertarik dengan bahasa Indonesia. Sila kunjungi di sini: http://groups.yahoo.com/group/bahtera/ Nah, waktu menemukan info tentang lokakarya itu, saya langsung inget dan colek Sanich Iyonni. Saya yakin Sanich pasti berminat sekali untuk ikut. Saya sendiri sih (waktu itu) kurang berminat karena nggak pede :D Pengetahuan saya tentang sastra kan cetek; saya cuma penikmat, bukan pembuat. Uhm jangankan menulis yang nyastra, menulis fiksi pun saya sudah lupa caranya :’( Ditambah lagi, waktu itu saya sedang banyak kerjaan dan terutama sedang galau dan MELANKOLIA. Jyahahah… kebanyakan alasan deh pokoknya. Tapi Sanich rajin mendorong saya untuk mendaftar, apalagi di hari-hari terakhir menjelang deadline pendaftaran. Maka tepat pada hari deadline, saya kirim lengkap semua syarat pendaftaran ke panitia. Biasa kan, jagoan itu datangnya belakangan #pLAK! Sementara Sanich malah nggak jadi ikutan :’(

Hari demi hari berlalu setelah deadline itu. Ketika hari pengumuman tiba, saya belum juga menerima email atau pemberitahuan apapun dari panitia. Hari-hari setelah itu juga sama. Saya udah pesimis. Kayaknya saya nggak lolos nih, begitu pikir saya. Sanich tuh yang jadi korban curcol pesimis malem-malem lewat sms .///. Lalu sekitar seminggu setelah hari pengumuman, waktu saya sedang di bengkel motor (<--fakta gak penting tapi asik aja disebutin :p), saya mendapati 2 email dari Eliza V. Handayani. Isinya: saya diterima jadi peserta lokakarya dan mendapat beasiswa (alias tiket dan penginapan gratis. Lumayan lah). Alhamdulillah…

Saya masuk ke kelompok 3, yaitu kelompok yang menerjemahkan novel Norwegia dari bahasa Inggris. Katanya peserta yang masuk kelompok 3 itu dipilih oleh mas Arif Bagus Prasetyo (silakan gugel profil beliau ^^). Kami bersembilan, kalo ditambah kepala suku (mas Arif) jadi bersepuluh. Komposisi gendernya: 7 perempuan, 3 laki-laki. Ini udah lumayan dibandingkan kelompok Belanda-Indonesia yang isinya kaum hawa semua, sehingga penulis novelnya yang cowok pun jadi rebutan <- fitnah. Hadir di diskusi kelompok kami 2 bule perempuan: Kjersti Skomsvold (penulis novel yang cuplikannya kami terjemahkan) dan Kari Dickson (penerjemah novel dari bhs Norwegia ke Inggris). Saya mau mengingatkan bahwa kehadiran penulis (dan penerjemah pertama) itu adalah suatu KEMEWAHAN, karena jaraaang sekali penerjemah dapat kesempatan untuk bertanya langsung ke penulis teks kan? Dan saya mungkin akan mengingatkan hal itu berkali-kali di tulisan ini, sekedar untuk pamer dan bikin kalian iri ajaaa… #plakPLAKPLAK!!!

Eh mundur dikit yuk ke dua minggu sebelum lokakarya. Kami di kelompok 3 dikirimi novel Kjersti yang pertama (dalam format pdf) yang sudah diterjemahkan ke bahasa Inggris, berjudul The Faster I Walk, The Smaller I Am. Kami disuruh mempelajari novel itu. Kami mengira kalau kami akan menerjemahkan nukilan dari novel itu. Eh ternyata panitia salah kirim. Seharusnya yang dikirimkan ke kami adalah novel keduanya yang berjudul Monster Human. Kjersti sendiri juga bengong karena kami nggak ngeh dengan nukilan novel yang dia bacakan. Jadi ceritanya doi membacakan beberapa paragraf awal dari bab pertama novelnya dalam bahasa Norwegia, lalu dalam bahasa Inggris. Kami nggak ngeh. Usut punya usut, ternyata teks yang kami terima berbeda. Lalu dia menawarkan kami untuk memilih menerjemahkan yang mana, novel pertama atau kedua. Kami sepakat memilih yang kedua.

*nyanyi Jadikan aku yang kedua, buatlah diriku bahagiaaaa… * <-- woi salah woooi!

Novel pertamanya itu, The Faster I Walk, The Smaller I Am, saya baca dengan susah payah. Bukan karena susah memahami bahasanya yang harus digapai pake egrang, tapi karena isinya sangat psikologis dan muram. Kalo novelnya yang kedua sih… sama aja. *insert emot nyengir 5 biji* Ceritanya sih nggak terlalu berat, twist cuma dikit. Ada permainan tenses di sana-sini (yang nggak saya perhatiin kalo nggak dikasih tahu penulisnya :P) mengikuti alur pikiran si protagonist yang mencampuraduk masa kini dan masa lalu. Tapi yang terutama bikin berat adalah kemuramannya. Bener-bener depressing deh. Seroang teman saya berkomentar, kalo saya udah sampe depresi karena baca novel itu, berarti saya udah mendapat jiwa novel itu. Mungkin ada benarnya. Karena gini. Kadang waktu diskusi kelas, waktu teman-teman sibuk menelaah ‘ini kok pemikiran tokoh utamanya begini-begitu’, saya udah bisa memahami jalan pikiran si tokoh utama...yang kemudian dibenarkan oleh penulisnya. Tapi karena saya diem aja, yang tahu kalo saya tahu jalan pikiran itu ya cuma saya :D Dan saya sampe merumuskan jalan pikiran yang begini-begitu itu tentu saja setelah semua kalimat teks Inggris diterjemahkan dengan cemerlang oleh teman-teman lain :D orz. Ini kok jadi ceritanya ke mana-mana. Padahal di paragraf ini saya mau ngobrol tentang 2 novel itu. Okelah lanjuuuut. Kalo di novel pertama tokoh utamanya adalah seorang wanita cukup tua yang seorang complete loner, novel kedua itu rada otobiografis. Begitulah pengakuan si pengarang. Jadi pikiran muram dan gila narrator novel Monster Human itu adalah pikiran si pengarang -yang umurnya masih 20 tahunan. Kenapa umurnya jadi penting untuk saya sebut? Karena tokoh utamanya berada di panti jompo, bukan sebagai pengurus atau perawat, tapi sebagai pasien. Dan dijelasin juga kalo panti jompo itu terletak di daerah perbukitan, dikelilingi lembah nan hijau asri dan di bawahnya mengalir sungai jernih dan berbatu terjal. Jadi… dari dinding kaca, penghuni panti jompo yang sudah keropos dan bau tanah itu bisa melihat anak-anak muda main paralayang, arung jeram, dan macam-macam olahraga ekstrem itu -bersukacita merayakan masa mudanya. :’(

Kembali ke lokakarya.

Panitia segera mencetak dan membagikan 10 halaman pertama dari bab pertama novel Monster Human itu pada kami. Tugas kami adalah menerjemahkan 4 halaman pertama saja. Dan 4 halaman itu adalah hasil terjemahan kelompok dari program BCLT. Kami menjalani proses yang sama seperti kelompok yang menerjemahkan teks itu ke bahasa Inggris. BCLT memilih beberapa novel dan penulis dari berbagai negara untuk ‘dikurung’ bersama tim penerjemah. Tim penerjemah bertugas menerjemahkan novel-novel tersebut ke dalam bahasa Inggris, dibantu oleh penulis novel. Di situ, para penerjemah bisa bertanya dan minta penjelasan pada penulis, sedangkan penulis bisa mengecek hasil terjemahan mereka. Karena itu adalah kerja kelompok, maka hasil terjemahannya tentu saja adalah hasil kesepakatan semua anggota tim. Nah, hasil terjemahan mereka itulah yang dibawa ke Indonesia dan menjadi bahan latihan kami. Sila kunjungi website BCLT kalo mau tahu lebih banyak. Saya cerita yang di Indonesia aja deh. Ya iyalah. Kalo cerita proses di BCLT mah namanya nerjemahin isi website dong. Wkwkwk… ah udah deh, lanjooot!

Kari Dickson adalah salah satu anggota tim penerjemah itu. Dia dan Kjersti juga menjalani proses yang sama dengan kami, termasuk berdebat panjang tentang 1 kalimat atau kata. Bedanya, dua bule itu nggak ngerti kami ngomong apa :D Saya coba mengingat-ingat contoh beberapa kata yang kami debatkan itu, tapi ingatan itu tidak kunjung datang. orz. Maaf ya u_u saya ganti cerita yang lain deh :D

Tapi nggak jauh-jauh dari soal kata-kata kok. Biasanya kan kami bekerja sendiri, jadi kalo sulit menemukan padanan suatu kata, paling sering kami lari ke kamus dan thesaurus, atau bertanya ke teman, setelah itu memutuskan sendiri kata apa yang mau dipakai. Menerjemahkan berkelompok itu agak beda. Kami masih teuteup berlabuh di pangkuan kamus dan thesaurus sih. Tapi ketika menemukan suatu kata yang kayaknya tepat, kami diskusikan lagi bareng-bareng. Dan nggak jarang, kata yang awalnya kami sepakati bersama, pada akhirnya hilang diganti kata lain pada proses penyuntingan. Kalo diceritakan bakal panjang sih (dan saya udah lupa. lol), jadi saya singkat aja dengan memberi contoh:

Teks asli:

Gurgling and groaning, she coughs out suffering sounds and the last remains of her life in my ear.

Terjemahan pertama:

Terdengar suara perempuan terbatuk-batuk seperti tercekik di tenggorokannya dalam sisa hidupnya.

Terjemahan akhir:

Tersengal-sengal, ia mengerang dan memuntahkan sekaratnya ke telingaku.

Beda banget kan? :)

Masih soal kata dan keindahan bahasa. Masih inget kan kalo kehadiran penulis asli dalam proses penerjemahan itu adalah suatu KEMEWAHAN? Saya tunjukkan sebuah contoh yang nggak perlu cerita panjang nih. Awalnya kalimat ini kami perlakukan sama seperti kalimat-kalimat lain:

On the way up to my room I saw shriveled people drowning in chairs that were far too big, carcasses creeping hunched-over along the corridors, one palm against the wall, as if to convince themselves that they were still there.

Artinya kami merasa kalimat itu enggak istimewa banget lah sampe kami harus bikin terjemahan yang berima. Eh ternyata tidak sesederhana itu, mbak sist! Penulisnya bilang kalo di bahasa aslinya (Norwegia), kalimat itu berima, kemudian diterjemahkan bagus ke bahasa Inggris dengan tetap mempertahankan rima. Tapi -nah ini yang saya agak lupa, jadi rada-rada ngarang. LOL- letaknya beda. Lalu dia membacakan kalimat itu dengan lagu yang menekankan bunyi ‘k’ (buat telinga kita) di bagian “carcasses creeping hunched-over along the corridors”. Dan saya langsung bengong dengan begitu katroknya. Ngerti sendiri kan kalo saya merem sastra. Saya tahunya rima cuma di akhir kata. Ini ternyata… Eh, tapi terjemahan kami cukup berima juga, walau itu ketemu tanpa sengaja :D Dan si penulis pun senang dengan hasilnya. Begini nih: ” …tubuh-tubuh bau tanah berjalan tertatih-tatih di sepanjang koridor…” perhatikan di bunyi ‘t’.

Masih tentang kata. Ada kata di bahasa Norwegia yang menarik, terutama bagi yang suka dengan tema kematian. Di bahasa Norwegia, kata yang berarti falling asleep itu sama dengan kata yang berarti dying. Saya lupa bahasa Norwegia-nya. Lalu si penulis dan penerjemah pertama menunjukkan di kalimat ini:

Death is hardest to deal with at night, maybe because falling asleep reminds me of slipping away.

Saya lupa-lupa ingat, sepertinya di bahasa aslinya lebih pendek. Tapi yah, karena kata falling asleep = dying itulah, jadi terjemahannya lebih panjang. Saya menganggap itu menarik, karena Norwegian memandang tidur itu suatu keadaan di mana kita tidak memiliki kendali atas diri kita, sehingga disamakan dengan sekarat. Begitulah :)

Mari pindah dari tema kematian ya… Bagaimana kamu menerjemahkan frasa “my heart friend”?  Kalo saya sih, karena sudah terpesona dengan frasa itu, yah saya terjemahkan saja dengan polosnya “sahabat hatiku”. Yang lain nampaknya tidak sepolos saya dan cenderung menerjemahkannya jadi “sahabatku” saja. Euh, saya juga agak lupa soal itu :D Tapi tentu saja ada keterangan dari penulisnya dong. Walau di teks yang kami terjemahkan tidak ada, tapi penulisnya bilang kalo di bagian lain dari novel itu ada kata-kata semacam “foot friend” atau “toe sister” yang tetap mengacu pada manusia lho ya. Jadi kata “heart” itu memang tidak boleh dihilangkan :)

Oh ya. Konon kalau menulis dan menerjemahkan sastra itu kita sah-sah saja mengabaikan tatabahasa. Itu kurang lebih benar. Hehe… Eh tapi jangan alu sembarangan menjablaykan tatabahasa lho yaaa. Kita musti tahu dan paham bener tatabahasa dulu. Dan terutama paham makna kata, kalimat, dan kekuatannya supaya bisa menampilkan keindahannya. Di teks itu yang paling menonjol adalah kata “But” di akhir paragraf. Saya ambil contoh paragraf yang singkat aja nih:

It’s still a long way off, I’ll wake up every morning longing for death, I’m not sick, just ugly, the world will soon see how ugly I am, and I wish I were a Jew in a concentration camp, hungry for life. Schopenhauer, who got so angry with a man, an unknown man, simply for being ugly, punished for nothing, his whole life. He stood up from the café table, went straight over and knocked the man down. But.

Bagi saya, kata But di akhir kalimat itu tetep aneh. Dan kami menerjemahkannya sebagai “Tapi” saja, mempertahankan keanehan teks itu. Hehe…

Ah mari kita tinggalkan dulu soal bahasa dan apa yang terjadi di dalam jantung kelas lokakarya. Kalo membahas itu melulu, trus kapan dong saya cerita dan curhat sampe ngabisin tisu? Hehehe…

Inget kan tadi saya bilang pengetahuan saya tentang sastra itu cetek? Saya sudah membayangkan bakal ketemu penerjemah-penerjemah yang jago menyusun kata-kata indah dan canggih membedah karya sastra. Nah kenyataannya nggak beda jauh sih :-s Komposisi peserta memang (katanya) diatur supaya ada penerjemah fiksi yang jam terbangnya tinggi dan penerjemah yang tengah menapak karir di dunia fiksi (dan tertarik jadi penerjemah sastra, tentunya). Di sana saya ketemu peserta dari macam-macam latar belakang: ada dosen sastra, mahasiswa sastra, copywriter, bahkan guru matematika juga ada. Tingkat pendidikan mereka yang tinggi, lingkaran pergaulan yang luas di kalangan sastra dan teater, tentu bikin minder-complex saya makin parah. Yah tentu saja tidak semua punya yang saya sebut tadi. Ada juga yang biasa-biasa aja seperti saya. Dan orang-orang yang bikin saya minder pun nggak selalu nun jauh di atas sana tak tergapai tangan mungil ini #halah. Kami masih bisa ngobrol asik, sampe ketahuan siapa yang UUG (ujung-ujungnya nggosip) atau yang doyan belanja.

Nah soal belanja itu ada cerita lagi…

Di hari Rabu, jadwal kami cuma setengah hari. Jadi abis makan siang kami bebas jalan-jalan. Ada seorang peserta seminar yang editor senior di GPU sengaja bawa mobil hari itu untuk jalan bareng. Saya ikut terdaftar :D Kami bersembilan jalan ke PS dan SenCit. Trus sorenya saya pamit mau ketemu sepupu di Depok. Abis ketemu di Depok, saya dan sepupu pulang ke rumahnya di Tangerang. Esok paginya saya balik ke Erasmus Huis untuk ikut lokakarya lagi. Perjalanan itu melibatkan banyak jalan kaki, mulai dari yang tidak wajib (jalan di mal) sampai yang wajib (ngejar angkot :p). Rupanya sepatu tua saya protes. Sesampai di Erasmus Huis, si sepatu mangap kehausan. Lol. Trus ditempelin selotip segala buat nutup ‘luka’nya, sekalian biar kelihatan makin parah :D Sore sehabis kelas, terpaksa ada acara tambahan: belanja sepatu di Mal Ambasador :p Jadi, hasil dari lokakarya itu adalah: ilmu belum tentu dapet, tapi sepatu ganti baru :D

Oh ya. Selain lokakarya, diadakan juga seminar. Waktunya sama-sama 5 hari. Bedanya …ya beda lah :p Peserta seminar kan cuma duduk dengerin presentasi, trus tanya-jawab, tapi nggak menghasilkan karya bersama. Jadi mereka iri pada kami. Tapi bedanya lagi, mereka bisa jalan-jalan ke Pusat Bahasa HB Jassin dan hadir ke acara reading di sana. Ada Ayu Utami dsb yang tampil di acara itu. Di bagian ini, giliran kami yang ngiri… :(

Di penutup rangkaian acara lokakarya, karya terjemahan ketiga kelompok ditampilkan. Teks yang diterjemahkan kelompok penerjemah Belanda sih mungkin lebih enak buat diolah jadi pertunjukan. Di teks itu ada dialog beberapa tokoh dan settingnya juga mendukung. Misalnya ada adegan kerusuhan Mei 1998, pintu digedor, suara sirine meraung dan orang-orang berteriak. Sedangkan teks yang kami terjemahkan itu monolog abis. Jadi kami bersepuluh bergiliran membacakan teks. Biar rada teater dikit, kami berdandan ala orang jompo. Oh ya, teks yang kami terjemahkan itu adalah bab pertama yang berjudul Old People’s Home. Jadi kami bersepuluh adalah penghuni panti jompo yang membacakan penderitaan kami.hahahah. Di teks itu juga ada cerita tentang suara lonceng sapi yang didengar si narrator. Karena kami sudah punya rencana untuk jadi orang jompo, penulis dan penerjemah pertama pun nggak mau kalah. Mereka berdandan jadi sapi. Hahahah…

Ada yang menarik dari pembacaan atau reading itu. Setelah selesai diedit, teks yang mau kami pentaskan itu dibaca oleh pak kepala suku. Karena beliau orang teater, so pasti gaya membacanya pun bagus. Mau tak mau kami jadi terseret untuk ikut membaca dengan gaya sok deklamasi gitu. Ada seorang teman yang bergiat di teater, jadi yah bagus banget lah suara paragraf yang dia baca :) Waktu dua orang bule itu mendengar kami berlatih, mereka sepertinya agak tertegun. Bukan karena suara kami sangat indah bagai burung bul bul (dan kayak apa sih suara burung bul bul? :p) tapi karena kami membaca dengan lambat. Teks dibaca lambat kan demi memberi kesan indah dan puitis deklamatis woteper gitu lah. Sedangkan mereka membaca dengan kecepatan biasa layaknya pembaca berita. Terdengar garing saja bagi kami. Dan kalau saya coba membaca teks Inggrisnya, memang saya bakal terdorong untuk membaca dengan intonasi garing begitu. Beda dengan teks Indonesia. Saat itu saya merasa bangga pada keindahan bahasa Indonesia :)

Ah sudah cukup banyak saya cerita ya… Saya tutup dulu sampe di sini. Masih banyak yang bisa diceritakan sih. Tapi nanti saja saya sambung kalo bener-bener pengen alias sakau buat curcol. Hehehe…

Makasih buat yang mau menyimak cerita saya. Mau nongkrong dulu dan ngobrol sambil ngopi? Boleh. Mau langsung pulang? Silakan. Hati-hati di jalan, dan jangan lupa ada kotak infak di dekat pintu keluar. Xixixi…

indonesia, rl, sastra, penerjemahan

Previous post Next post
Up