(Quick) Film review: The Green Hornet, 127 Hours, The Fighter, ...

Jul 09, 2011 15:46

Hai ... hai... saya kembali dengan review film. Review kali ini bukan cuma singkat, tapi juga ngawur berat. Sebabnya tak lain dan tak bukan adalah karena saya menemukan pasangan shonen-ai. Hohoho...


  



  
  



yaaah... film-film lama sih. Namanya juga hasil memulung di warnet. :P
Langsung kita mulai saja yuk!



127 Hours

Cerita dan serba-serbinya bisa dibaca sendiri di   www.imdb.com/title/tt1542344/

Dan kayaknya sudah banyak yang tahu tentang gore di film ini kan? Sudah bukan spoiler lagi rasanya, meskipun bukan di bagian awal film. Toh udah banyak yang ngomongin. Dan memang adegan itu salah satu daya tarik film ini. Saya yang tidak suka gore dan sengaja merem di sepanjang adegan mutilasi itu, ternyata menemukan keindahannya juga. Di mana? Yup, tentu saja di musik ilustrasinya.

Score dan soundtrack film ini cukup komunikatif dan membangun adegan. Konon band favorit Aron juga sempat nyempil di salah satu dialognya. Tapi bagi saya, bunyi yang paling berkesan ada di 2 adegan. Yang pertama tentu saja di adegan mutilasi itu. Lagu yang muncul kalo gak salah Liberation In A Dream. Yup, saya sudah donlot soundtrack-nya lengkap :) Yang kedua adalah lagunya Sigur Ros (judulnya Festival) yang mengiringi adegan Aron keluar dari konflik.

Konflik 127 Hours ini tampil lebih mencekam dibandingkan dengan film sejenis yang juga ngetop, yaitu Castaway. Ya iyalha. Coba bayangin aja sendirian di tengah lembah sempit di Grand Canyon dan tanganmu terjepit batu gede. Danny Boyle (sutradara) menyajikan gambar-gambar yang lincah (mungkin) seperti Aron Ralston. Dari lari meliuk-liuk di antara tebing batu, terjun ke danau, sampai jatuh dan terjepit batu besar, penonton serasa ikut dibawa lari di atas ransel Aron.

Dan tentu saja bravo buat James Franco. Aktingnya meyakinkan banget. Saya jadi nggak percaya doi jadi Harry Osborne di Spiderman. Bah. Lembek gitu??? Di 127 Hours, James Franco tampak keren, charming, dan... kalo terpaksa menghindari kata fuckable, ya saya pilih kata ‘ganteng’. :D

The Fighter

Sinopsis dan prestasinya ada di sini --> http://www.imdb.com/title/tt0964517/ ...

Saya nonton film ini karena penasaran dengan penampilan Christian Bale. Dan nggak salah kalo doi dapet Best Supporting Actor. Buat yang udah pernah nonton film-film yang dibintangi Christian Bale, pasti setuju kalo dia memang pinter ganti penampilan. Dari yang gagah berotot di Batman Begins dan The Dark Knight, insomniac kurus kayak mayat hidup di The Machinist, remaja ‘cantik’ yang krisis identitas seksual di Velvet Goldmine, dan mantan petinju yang jadi pecandu narkoba di The Fighter. Bukan sekedar penampilan fisik yang bisa dipoles make up dan rajin nge-gym lho. Penjiwaan mas CB ini juga oke punya.

Meskipun ceritanya lumayan, tapi daya tarik utama memang di Christian Bale. Tokoh yang dia mainkan, Dicky Eklund, memang super nyebelin jadi wajarlah kalo penonton pengen nonjok dia di sepanjang ¾ film. Setidaknya saya pengen nonjok dia. Gayanya sok keren, sok pahlawan, mentang-mentang dia pernah mukul KO Sugar Ray Leonard, petinju hebat di masanya. Dia memang jadi inspirasi bagi adik tirinya, Micky Ward. Tapi Dicky sering mangkir dari tugas melatih adiknya walau hari-hari pertandingan makin dekat. Dia lebih sering nongkrong di rumah temannya buat nyimeng. Dan di menit-menit awal, kita terpaksa menelan dongkol melihat si sok keren ini dikuntit kamera. Ke setiap orang dia bilang, “mereka bikin film tentang gue. HBO bikin film tentang gue come back (ke dunia tinju).” Tapi kita nggak lihat kegiatan apapun yang menunjukkan bahwa Dicky mau come back. Baru pada pertengahan film, kita dikasih tahu. Tepatnya, pacar (dan temen nyimeng) Dicky tampak bingung, lalu bertanya ke kru film, “Eh, tadi kamu bilang film ini tentang apaan sih?”. Dan sang kru menjawab, “Kecanduan narkoba. Dan dampak negatifnya.” Dor.

Itu adegan yang paling menarik.

*

Sekarang saya mau ngomongin tentang film-film superhero. Tiga film ini mewakili genre film superhero modern yang sedikit banyak menyindir, atau memberontak lah kalo mau keren :P, superhero ala Superman dan kawan-kawan. Kalimat yang terakhir ini pendapat saya doang lho :p

The Green Hornet

Kalo saya bakal nulis berbusa-busa tentang film ini, itu semata-mata karena 1 hal: HINTS MALE SLASH bertebaran. <333

Sinopsis? Aktor? Foto-foto? Baca di sini aja deh --> http://www.imdb.com/title/tt0990407/ ...

Green Hornet nggak punya kemampuan super apapun. Jangankan kemampuan super, berantem aja nggak becus. Bodoh pula. Tapi dia kaya raya. Jadi bolehlah dia masuk ke golongan Batman. Uangnya adalah super power-nya. Tapi jangan ge-er dulu, Green Hornet! Batman tanpa Robin pun tetep jadi jagoan. Yeah, selama Alfred belum modar atau minggat :p Sedangkan Green Hornet tanpa the smart ass, karate master and charming Kato, bukanlah apa-apa. Dia hanyalah Britt Reid, bujangan bodoh kaya raya plus tidak ganteng. Bahkan saya lupa nama aktornya. :p

Well, Britt alias Green Hornet tentu saja sadar. Tapi dasarnya dia egomaniac, dia nggak mau ngaku dong. Walau ada beberapa adegan yang menunjukkan kalo dia mengagumi the amazing Kato. Gimana dengan Kato yang resminya adalah montir dan tukang bikin kopi almarhum ayah Britt? Dia menanggapinya dengan cool aja. Bukan berarti dia nggak membalas perasaan Britt lho ya. Buktinya dia ngasih hadiah senjata gas ke Britt (karena Britt bisa apa sih tanpa senjata dan mobil -plus supir- keren?) plus pesan: Britt, you are my shon-di (brother). Haisyah. Bener nih cuma brother? Wkwkwk

Waktu Britt minta dioperasi oleh Lenore yang bukan dokter (dia sekretarisnya), tentu saja dia ketakutan. Dan pada siapa lagi dia minta tangannya dipegang? Pada Kato, tentu saja. Kato pun tanggap, langsung menggenggam tangannya erat, dan bilang, “Say it, Britt. Say shon-di. Shon-di forever.” Wakakak. Silakan ganti kata shon-di jadi lover aja deh, biar lebih ber-rima dengan forever :D

Sebelum lanjut, jangan salahkan saya kalo mengobral spoiler. Saya nggak peduli ...!!! hahaha

Britt memang gak tahu diri. Karena dia kaya dan terbiasa jadi majikan, dia enak aja nganggep Kato tak lebih dari nameless sidekick, bahkan lebih tepat memperlakukannya bagai babu. Jelas aja Kato jengkel. Segala kekerenan Green Hornet kan bersumber dari dia, kok tega-teganya Britt memperlakukan dia kayak babu. Well, pertengkaran mereka memang dipicu soal cewek sih. Tapi itu nggak penting lah. Cewek nggak perlu kebagian romance di film konyol ini XDD. Singkat kata, Britt dan Kato berantem. Bener-bener saling tonjok, tendang dan terjang. Adegan berantem ini juga penting nih. Kenapa? Karena mirip adegan Britt mau nge-raep Kato. Ohmaigad. TERUSKAN PERJUANGANMU, BRITT!!!

Rofl.

Kato yang memakai email Green Hornet disewa Chudnofsky (yup, the bad guy. Dan saya kaget karena ternyata Chudnofsky ini diperankan oleh Chistoph Waltz. That charming Landa di Inglorious Basterds!) untuk membunuh Britt Reid, menodongkan pistol ke jidat Britt. Britt pasrah. Dia bilang menyesali segala hinaan dll yang pernah dia lakukan ke Kato. Kato membalas dengan berbisik, “aku maafkan kamu.” Tapi di mata saya, bisikan itu kok terasa mesraaaa ya. Serasa dia bilang, “I love you too.” Hehehe. Oke lanjuuuut ke adegan di mobil. Britt yang diselamatkan oleh Kato pun langsung mengobral pengakuan -yang sayangnya bukan pengakuan cinta :p. Aku sebetulnya iri ama kamu soalnya kamu pinter, keren, dan blablabla...  yang lalu diteruskan dengan dia memeluk Kato dari belakang. Aww. Well, itu memang pelukan tanda terimakasih sih, tapi... ada adegan lain -di mobil juga- yang juga tak kalah aww.

Setel lagi DVD anda, dan cari di adegan tengah-tengah rada ke depan. Tepatnya waktu Green Hornet and his amazing sidekick beraksi di jalanan. Mereka melanggar lampu merah. Britt kayaknya kuatir kalo pelanggaran itu tertangkap kamera. Kato menghentikan mobil lalu menembak kamera pengintai itu. Adegan kembali ke dalam mobil. Sebelum Kato melihat ke depan dan bilang, “what camera?”, terlihat seolah barusan dia ngesun Britt. Yeees! Semoga ada yang ngambil adegan itu dan bikin jadi icon LJ. Saya mau deh pake itu ^^

Tbh, saya nggak naksir Green Hornet atau Kato. Dua-duanya nggak ganteng di mata saya. Tapi hints slash antara keduanya emang kagak nahaaaan <3

Megamind

Sinopsis dan blablabla silakan dibaca di sini ya --> http://www.imdb.com/title/tt1001526/

Metroman and Megamind. Superhero and Villain. Dua-duanya dari planet lain. Dua-duanya punya super power. Mereka termasuk golongannya Superman. Ini golongan yang dari sononya udah punya kekuatan super. Nggak perlu digigit laba-laba dulu, atau bikin kostum terbang segala.

Metroman memang punya tampilan fisik bagai Superman, lengkap dengan rambut klimisnya. Dan film ini sepertinya menyindir Superman. Di samping punya naluri superhero, yaitu naluri menolong orang yang susah (tapi bukan susah karena dikejar tagihan utang ke tukang sayur atau tunggakan SPP lho ya *_*), Metroman juga NARSIS. Sedangkan Megamind, hidupnya sebagai villain diabdikan untuk melawan superhero. Dia bisa mengenang pertarungannya dengan penuh bangga dan cinta. So, waktu Metroman mati, dia pun merasa kosong.

Megamind bukan tipe villain yang bernafsu menguasai dunia. Bahkan saya juga nggak ngerti sebetulnya apa sih kejahatan Megamind? Film ini menunjukkan bahwa masyarakat Metro City itu seperti penonton saja. Mereka tahu bahwa si anu adalah superhero dan penjahatnya adalah si ane. Reaksi mereka pun udah kayak disetel aja. Superhero datang, mereka senang. Villain datang, mereka ketakutan.

Tapi ada yang ngeh dengan situasi kok. Cewek, tentu saja. Cewek di sini bukan jadi tukang jerit dan nangis seperti di film-film superhero klasik. Cewek di film superhero era 2010an (setidaknya yang saya tonton) adalah cewek yang bikin superhero takluk padanya bukan karena semata superhero itu butuh cewek. Jangan salahkan saya yang nggak pernah namatin nonton Batman karena bosen liat Kim Basinger njerit-njerit melulu di bawah intimidasi Joker.

Roxanne di Megamind dan Lenore di Green Hornet adalah cewek-cewek yang kuat. Mereka tidak menjerit putus asa dan mengharap pertolongan sang protagonis. Sebaliknya, sang protagonis yang datang ke mereka, putus asa, dan bilang, “Apa yang harus aku lakukan?”

Banyak adegan lucu yang menarik dan sering diulang-ulang ama ponakan saya :p Tapi yang cukup membekas bagi saya adalah ketika Megamind (yang lalu menyamar jadi Bernard, pegawai museum) jalan-jalan di museum Metroman. Intinya rada-rada mirip dengan ketika dia masuk ke rumah yang diduga pernah disinggahi Metroman. Di dua tempat ini bertebaran barang-barang peninggalan Metroman. Sang villain lalu bernostalgia dengan barang-barang itu. (Oh, ini waktu kami bertarung di… oh yang ini nggak mungkin aku lupa. Waktu itu dia mukul aku dan aku… oh yang itu, wow yang itu… ) Bener-bener mirip kelakuan fanboy sejati! Saya sempat mau memasangkan Megamind dan Metroman, tapi lama-lama kok kayaknya yang terakhir itu lebih asyik pairing dengan dirinya sendiri. :D

Kick Ass

Pengetahuan dasar tentang Kick Ass di sini --> http://www.imdb.com/title/tt1250777/

Udah lumayan lama saya nonton film ini, jadi udah agak-agak lupa. Yang jelas, sang superhero di sini sama sekali nggak super. Dia memang punya jiwa hero. Tapi dia nggak punya modal sama sekali untuk jadi superhero. Super power? Nggak punya. Duit banyak buat bikin peralatan dan senjata canggih? Nol. Skill beladiri? Nehi. Untunglah dia punya kostum dan topeng. Dari sanalah karirnya sebagai superhero berawal.

Kick Ass sukses menjadi film yang menghibur. Aktor lumayan cakep, yang -tentu saja tipikal Hollywood- ditampilkan jadi cowok culun yang nggak dilirik cewek. Aksi super jagoan beneran juga ada. Poin yang paling menarik menurut saya adalah premisnya itu: remaja yang ngebet dan nekat jadi pahlawan walau tanpa modal. Dan pada akhirnya, meski serba minus modal untuk jadi jagoan, toh keberuntungan selalu ada di pihaknya. Superhero always gets the girl. And yes, the girl is not important figure.

Oh jangan kecewa dulu. Cewek yang layak dapet decak kagum dan sembah sujud juga ada kok di sini. Dan dia bertahan sampai akhir :)

So, pantes kan saya masukkan Kick Ass ke genre film superhero modern (walau nggak terlalu ‘memberontak’)? :D

score, review, film

Previous post Next post
Up