Quick? (film) review: Black Swan and Inception

Apr 24, 2011 19:01

Review pilem lageee…

Sudah lama saya ingin cuap-cuap tentang dua film ini. Meskipun isi kepala saya gak penting, tapi daripada menuh-menuhin kapasitas otak saya yg mungil, mending saya bagiin di sini… dan menjadi derita kalian, para pembaca. *ketawa iblis sembelit*

Black Swan

Synopsis dan info Black Swan di sini Black Swan di imdb atau cari sumber lain gih :p

Saya udah baca beberapa ulasan tentang Black Swan. Di Kompas, sepocikopi, tweet orang, dan entah mana lagi. Bukan cuma opini mereka yang beda, interpretasinya juga beda-beda. Sebuah karya yang bisa menimbulkan penafsiran berbeda-beda oleh penikmatnya adalah karya yang menarik. Yeah setidaknya bagi yang sok sophisticated gitu. heheheh…

Tulisan ini tentu saja bakal memuja-muja interpretasi saya tentang Black Swan. xD Telaah psikologis film Black Swan, menurut saya, lengkap dan terjelaskan. Kenapa? Nah, silakan baca cuap-cuap saya yang membosankan ini *sodorin bantal dan guling*

Kepenarian Nina Sayer tumbuh dengan obsesi menjadi karakter utama pementasan lakon ballet. Apalagi pada drama ballet Swan Lake, yang menuntut kemampuan teknis tinggi (berputar dengan tumpuan satu jempol kaki dengan kecepatan tinggi, delapan kali pula! cmiiw). Tapi yang nggak juga dipahami Nina adalah bahwa selain skill tinggi, dia juga harus punya penjiwaan total. Dia berlatih keras nyaris tanpa henti, tapi masih juga dianggap kurang oleh sang sutradara, Thomas Leroy. Nina marah pada dirinya sendiri, menyakiti tubuh setiap hari. Dan di cermin, muncul Nina yang lain. Yang memandangnya dengan sorot mata mengintimidasi dan menyalahkan. Sosok itu pula yang muncul ketika ia memberontak pada kekangan kasih sayang ibunya, ketika ia bercinta dan orgasme dengan saingan yang serba sempurna: yang santai dan sensual. Sosok itulah si kuat, si penentu, si penuntas. Sosok yang saya tafsirkan sebagai Black Swan.

Di sepanjang film, Nina hidup untuk menjadi apa yang diinginkan orang lain. Dia sendiri tak punya keinginan. Okelah, dia bilang ingin jadi (ballerina) yang sempurna. Tapi dia sendiri tidak tegas dengan pengertian “sempurna” itu. Sempurna bagi ibunya adalah Nina si gadis manis yang menjadi ballerina sukses tapi tetap suci seputih White Swan. Sempurna bagi Thomas Leroy adalah Nina yang santai, menari tanpa beban untuk memikat kritikus manapun, tapi menebar aura sensual nan memikat. Sempurna bagi Black Swan adalah Nina yang kuat, yang tahu apa yang dia mau, yang sensualitasnya menggoda di dalam dan di luar panggung. Nina yang White Swan tidak pernah cukup baik. Saat mengeksplorasi seksualitasnya di kamar sendirian, dia takut si Ibu mengawasi. Dia cemas nggak bakal bisa semenawan Beth, lalu dia mengantongi alat rias Beth, berdandan seperti Beth. Lalu muncul Lily yang dipuji-puji Thomas, “Lihat, dia menari tanpa beban. Gerakannya begitu ringan dan spontan.” Dan Nina pun jadi ingin seperti Lily. Persis seperti siswa yang panic mau UAN yah :p Belajar doang kurang, lalu bikin kepekan. Lalu ikut istighosah, doa massal. Dan kalo kurang juga, ke dukun. Lol.

Semakin mendekati hari pementasan, semakin nggak tenang pula batin Nina. Dia mulai curiga orang-orang ingin menjegalnya. Karena peran Swan Queen begitu berharga. Karena dia begitu tak berharga (memang gitu kan? Perilaku ofensif itu kan sebetulnya manifestasi rasa tidak percaya diri). Musuhnya pun terlihat makin jelas. Lily. Lily yang nyebar gossip seolah gue naksir Thomas. Lily yang bikin gue mabok sampe bangun kesiangan dan telat datang gladi resik. Lily yang bercinta dengan Thomas di belakang panggung. Lily yang membunuh karakter gue. Lily yang blablabla dan blablabla.

Musuh Black Swan juga makin jelas, yaitu Nina sendiri. Si White Swan. Si lemah yang suaranya mencericit minta pianist jangan pulang dulu dan listrik jangan dimatikan dulu karena dia masih perlu berlatih sampe kaki patah. Si frigid yang nggak mampu memikat Thomas yang mata keranjang. Nina tak berharga. Tidak pantas hidup.

Sisanya, silakan ditonton sendirilah :D

Bagi saya, adegan pementasan ballet dan kamar rias Nina Sayer udah bagus. Penyelesaian keresahan batin Nina ditampilkan dengan baik, plus kemunculan Lily mengetuk pintu kamar rias Nina yang melempar Nina kembali ke dunia nyata, dunia seperti yang dilihat orang-orang lain. Dia kembali menjadi Nina Sayer saja, bukan White Swan yang berusaha mengontrol dan mengenyahkan gangguan, atau Black Swan yang menuntaskan masalah dan memukau seisi gedung pementasan. Dia kembali menjadi Nina Sayer saja, yang harus menyelesaikan adegan terakhir, menyelesaikan kesempurnaan yang diperjuangkan dengan darah oleh White Swan vs Black Swan.

Kalaupun ada adegan yang tak terjawab, alias tak terjelaskan, itu adalah adegan terakhir. Tepatnya pertanyaan Thomas pada Nina, “What have you done?” alih-alih reaksi yang (menurut saya) lebih normal seperti “Who did this to you?” Pertanyaan Thomas tadi menyiratkan kesan bahwa Thomas tahu kerusakan yang terjadi pada Nina sampai dia berbuat begitu.

Sebagai penutup, saya mau sedikit membandingkan dengan sebuah karya Darren Aronofsky sebelumnya, yaitu Requiem for a Dream. Dua film itu menunjukkan bagaimana ‘sadis’nya Aronofsky. Bedanya, Requiem for a Dream bikin saya jadi sendu bin madesu. Film itu bener-bener muram dan nggak menyisakan sedikit pun harapan. Di Black Swan, Aronosfky memang menampilkan adegan-adegan sadis yang bikin mata mengernyit. Adegan Nina mencabut kuku atau merobek kulitnya sendiri itu sadisnya lebih menusuk daripada adegan memenggal kepala orang, misalnya. Kalau berminat menonton adegan sadis ala Nina tadi, silakan nonton Bulan Tertusuk Ilalang-nya Garin Nugroho. Yeah, dia sih memang sadis karena bikin film-film yang sulit dimengerti. Hahahaha

Lanjut ke film kedua, yaitu Inception.

Synopsis dan info Inception di sini di imdb

Saya tidak akan banyak komentar tentang plot ceritanya. Sebagai gantinya, saya akan berkomentar sekedar nyinyir saja :p


Sejak nonton Memento, saya mulai stalking Christopher Nolan. Saya suka dia menampilkan Batman yang manusia banget di Batman Begins dan The Dark Knight. Kekuatan Christopher Nolan (dan Jonathan Nolan yang barengan menulis skenarionya) memang di plot cerita yang logis. Dua Nolan itu sepertinya terobsesi untuk membuat plot yang bener-bener sempurna tanpa hole. Mungkin kalo dalam masa pematangan skenario itu ada satu aja yang nunjuk plot hole nan mungil, mereka bakal kebakaran jenggot dan merombak total skenario (hahaha. gambaran saya memang lebay :p). Termasuk di Inception.

Saya melihat obsesi the Nolans pada kesempurnaan plot itu masih menggila di Inception, sampai-sampai menjadikannya kering tanpa misteri. Semua udah lengkap, udah terjawab. Lu tinggal nonton. Gitu deh kira-kira. Bukannya Inception lantas jadi tontonan yang gagal. Sama sekali tidak. Ide ceritanya bagus, aktor dan aktrisnya top, dan eksekusinya juga oke. Sajian blockbuster yang sangat layak tonton.

Tapi saya berharap lebih pada Christopher Nolan. Kalo sekedar bikin film blockbuster, nggak perlu sampe Nolan lah. Cukup James Cameron saja, misalnya. Hasilnya malah spektakuler seperti Avatar atau Titanic. Eh maaf, saya mulai melenceng :D
Bagi saya, Inception menjadi tontonan yang kurang-lebih yah… instan. Saya cuma disuruh mikir dunianya Inception, yang pada gilirannya juga digambarkan secara (visual) lengkap di film. (oh ya, saya nonton tanpa teks. Jadi adegan penjelasan universe itu memang lebih menguras konsentrasi dibanding adegan lain) Tidak perlu menebak-nebak. Dan sampai akhir film, tidak ada kepuasan menafsirkan isi (atau sebagian dari) cerita film. Bahkan bagian yang sesungguhnya bisa menyisakan sedikit misteri -yang meskipun gak penting-penting amat- yaitu wajah dua anak Cobb, dibabat juga. Keterlibatan emosi saya dengan nasib tokoh-tokoh film pun tidak saya rasakan. Apalagi sampai menggerakkan saya untuk memasangkan mereka. Makanya saya heran kalo ada yang bisa melihat hints antara Arthur dengan Ames, atau Cobb dengan Saito, misalnya. Padahal premis cerita di Inception ini adalah emosi. Dan emosi melulu yang jadi motivasi sekaligus target dari tokoh-tokohnya. Membidik Robert Fischer, pakai strategi yang berkutat di masalah hubungan emosional dia dengan bapaknya. Selama kerja, Cobb tersandung kenangan emosional dia dengan istrinya. Tapi film ini tidak mampu menyentuh emosi saya. Entah dengan penonton lain.

Atau mungkin juga Nolan ingin menampilkan cerita relationship issues berbalut sci-fi yang dingin?

Berapa nilai yang saya berikan untuk Inception? Sedikit di bawah 7. Inception memang film yang recommended, tapi tidak wow.

black swan, review, film, inception

Previous post Next post
Up