(Quick movie review) Julie & Julia: Wahai Idola

Apr 01, 2011 15:08

 Hallo kawan-kawan LJ-ku tercintah. Lama tak bersua, adakah kalian rindu padaku? Pasti tidak dong… =))

Saya tadinya mau cerita alias curcol tentang hari-hari yg saya lalui. Tapi mengingat itu nggak ada gunanya buat Anda dan (mungkin juga) saya, maka bersyukurlah bahwa saya membatalkan niat itu. yaaay~

Saya sudah lama ingin menulis beberapa hal yang bukan fiksi. Review film adalah salah satunya. Saya memang akhir-akhir ini nonton cukup banyak film. Thanks to the new warnet! Di sana saya banyak nemu film-film hasil donlotan. Tentu saja saya memulungnya dengan suka cita. Beberapa di antaranya akan saya review… atau lebih tepatnya saya komentari (mungkin) dengan nyinyir :D

Giliran pertama jatuh pada Julie & Julia.




more info: www.imdb.com/title/tt1135503/
Melihat nama Nora Ephron, tentu terbayang film-film romantic dan cewek banget, namun bukan ala chicklit. Ingat film You’ve Got Mail, Sleepless in Seattle atau When Harry Meet Sally? Julie and Julia pun tidak jauh-jauh dari gaya itu.

Paruh pertama film ini bikin kenyang (atau justru lapar?). Gimana nggak kenyang. Adegannya masak-masak dan makan-makan melulu. Namanya juga film tentang 2 ahli masak =D Film ini mengisahkan perjuangan dua wanita yang hidup di jaman yang berbeda untuk mewujudkan hal yang sama, yaitu buku. Well, memang perjuangan Julie Powell nggak langsung menyasar ke buku sih, tapi nyambung2 dikit lah :p

Julie Powell adalah wanita yang tidak bahagia dengan pekerjaannya. Beruntung dia memiliki suami dan kehidupan perkawinan yang penuh cinta. Setiap pulang dari kantor, Julie melepaskan stress dengan memasak. Dapur adalah pelarian yang sempurna bagi Julie. Cerita berawal dari kedongkolan Julie pada kawannya yang memuat wawancara dengan dirinya. Julie merasa ditampilkan sebagai orang bodoh oleh tulisan kawannya itu. Sang suami memberi usul, “kenapa kamu nggak ikut nulis blog aja?” Ide Julie pun muncul. Dia akan menulis tentang memasak, tepatnya dia akan menulis blog selama 365 hari dengan pengalamannya memasak 521 resep dari buku resep Julia Child.

Kehidupan Julia Child tidak jauh berbeda dengan Julie Powell. Dia hidup bahagia bersama suaminya, belum punya anak, suka memasak, suka makan, namun tidak stress dengan pekerjaan. Julia adalah ibu rumah tangga. Dia mengikuti suaminya bertugas di Perancis. Dia jatuh cinta pada Perancis dan masakannya. Julia nekad mengikuti kursus masak untuk chef professional meski dicibir petugas (?) pendaftaran. Dia cuek saja masuk kelas meskipun dia satu-satunya wanita dan tidak bisa mencacah bawang secepat murid-murid lain. Karena Julia rajin belajar, kemajuannya mengundang decak kagum sang instruktur. Oke, singkat cerita sang suami pulalah yang mengusulkan dia untuk menulis buku resep yang kemudian menjadi legendaries itu.

Hadeeeh capek juga nulis synopsis yg bahkan tidak mengundang minat pembaca ini ^_^”

Lanjut aja ke opini saya tentang film ini.
Seperti yang saya tulis di atas, film ini cukup hidup. Penonton (maksudnya saya :p) terbawa sedapnya membaui kaldu yang asapnya mengepul dari panci, mencecap manisnya glazuur cake coklat atau krim strawberry, dan mengernyit ngeri ketika lobster-lobster dimasukkan hidup-hidup ke dalam panci yang berisi air mendidih. Ewww~ Penonton juga ikut simpati pada perjuangan Julia Child belajar di kelas chef, juga pada Julie Powell yang tak pantang menyerah meski awalnya merasa bahwa menulis di blog itu seperti bicara pada ruang hampa. Tapi itu di separo awal film.

Di paruh kedua, alur jadi agak membosankan. Ini senada dengan perjalanan menulis Julie. Meskipun blognya sudah menuai banyak komentar dan penggemar, dia harus berjuang menghadapi kebosanan (suami) dan kelelahan. Sedang Julia Child berjuang mencari penerbit. Oh saya belum bilang kalau kisah keduanya disampaikan parallel? Ah, tapi dari cuap-cuap saya kan udah ketahuan. :p
Untungnya, menjelang akhir film ada satu hal yang meninggalkan bekas pada penonton (lagi-lagi maksudnya saya. Entah kalo buat orang lain :p). seiring dengan kepopuleran blognya, Julie mulai dilamar untuk wawancara dan menulis kolom tentang masakan di bermacam media. Julie terus-terang mengakui bahwa dia sangat terinspirasi Julia Child dan sangat ingin bertemu dengannya. Namun dia terpaksa kecewa. Seorang wartawan mewawancara Julia Child dan menceritakan tentang blog Julie yang ditujukan untuknya. Dari wartawan itu, Julie mendengar bahwa Julia tidak menyukai blognya. Sambil menutup telepon, Julie berkata pada suaminya, “She hates me. Julia hates me.”

Saya ikut sedih. Beneran.

Julie bukan sembarang fans. Dia sangat mengapresiasi karya-karya Julia, dengan cara yang sangat bagus pula. Kalau saya menjadi Julia, saya pasti bakal ge-er kebablasan. Dan nggak mungkinlah kalo saya bakal bilang benci blognya Julie. Well, tapi Julia waktu itu sudah 99 tahun. Dan sangat mungkin dia nggak ngeh dengan internet dan blog.

Kembali ke masalah fans dan idolanya. Saya penulis fanfic. Oke, setidaknya duluuuu pernah menulis beberapa fanfic. Saya akui, saya memang nggak tergila-gila dengan penulis atau mangaka yang karyanya menjadi fandom tempat bernaungnya fanfic-fanfic saya. Tapi saya bisa merasakan -maksudnya, membayangkan- bagaimana seorang penulis fanfic Harry Potter misalnya, yang sangat mengagumi kepiawaian JK Rowling dan fanfic-fanficnya pun banyak dikagumi pembaca karena ditulis dengan sangat indah dan penuh cinta… tiba-tiba mendapat kabar bahwa JK Rowling bilang, “Eh, saya benci ama tulisan situ.” Pasti sediiiih banget.

Oke, kembali ke film. Seperti kebanyakan film Hollywood, endingnya tentu saja bahagia. Meskipun saya tidak cukup bahagia dengan ending itu :p Beberapa hal lagi ttg film ini dan saya bakal menutup entry ini, janji deh. :p

Merryl Streep sebagai Julia Child sudah pasti bagus dong aktingnya. Mungkin karena saking bagusnya atau saking miripnya dengan Julia Child asli, saya jadi bosen dengan suara melengkingnya dan gayanya yang ibu-ibu banget. Kepribadian Julia sih menyenangkan. Kayaknya kita pasti langsung suka pada sikapnya yang ramah dan banyak ketawa. Saya malah lebih suka pada Amy Adams. Saya sudah melihat dia di 3 film, dan dia selalu tampil menawan. Bahkan di film yang sangat membosankan seperti Junebug, dia menjadi satu-satunya yang bikin nggak buru-buru matiin Power DVD atau Windows Media Player.

Sepertinya saya udah kehabisan bahan ocehan. Lain kali kalo saya nggak males dan banyak kerjaan, saya bakal meracau tentang Inception dan Black Swan. Mungkin ditambah Megamind dan Diary of A Wimpy Kid. Dan Due Date. Dan Art School Confidential. Dan…. Dan … Dan…

Zzzzzzz….zzzzz….zzzzzzzzzzzz….

review, film

Previous post Next post
Up