[fanfiction] CLOCK STRIKES (Chapter II)

Apr 14, 2013 20:34

Title : Clock Strikes
Author : shinsakurai
Rating : PG
Genre : AU, Fluff, Angst
Pair     : SakuMoto (JunxSho actually...:p)
Fandom : Arashi
Type : Chapter, 2/?
Words  : 2457 words
Language: Indonesia
Disclaimer : Arashi kepunyaan eyang Johnny XD dan cerita hasil khayalan saya pribadi..bener-bener ngayal, penulisan tanpa riset(?) mendalam X3
Judul diambil dari lagunya One Ok Rock~ ga tw knpa saya pake jdul ini XP



“Maaf kalian akan menginap di sini selama dua bulan penuh, karena kita perlu berkonsentrasi mengerjakan proyek ini. Bekerja sama dengan Matsumoto Enterprises kita akan memulai riset dan percobaan untuk menciptakan sebuah sumber energi baru. Dan inilah, Matsumoto Tsukasa, pemilik sekaligus direktur utama dari Matsumoto Enterprises.”, Prof. Tokui pemimpin dalam proyek membuka dengan pidato sambutan di depan seluruh orang yang hadir di situ, kemudian mempersilahkan Matsumoto Tsukasa untuk memberi pidato sambutan kedua.

“Sebenarnya proyek ini telah dimulai oleh kami bertiga kurang lebih 12 tahun lalu, prof. Tokui, saya, dan sahabat kami-”

Sho mendengarkan dengan ogah-ogahan dari barisan paling belakang, dia tidak tertarik dengan yang namanya sejarah atau cerita tentang masa lalu.

Sho menengok ke arah sebelah, didapatinya seseorang di sampingnya pun sibuk dengan sesuatu yang lain. Orang bertubuh lebih kecil darinya dengan kulit sedikit pucat berkonsentrasi memainkan game di tangannya.

“Apa kau bosan juga?”, tiba-tiba dia menyeletuk.

Sho agak kaget, karena tak mengira orang itu sadar dirinya sedang diperhatikan.

“Yah begitulah… walau kupikir orang itu cukup menarik ketika muncul di televisi, dia lebih terlihat seperti celeb ketimbang ilmuwan..”

“Dia memang sedikit nyentrik.. tapi dia orang yang baik..”

“Apa.. kau pernah bertemu langsung dengannya?”

“Dia pamanku.”

“Ehh…”, Sho tidak menyangka sama sekali.

Dimasukkannya console game itu ke dalam saku jas lab-nya.

“Perkenalkan Ninomiya Kazunari, panggil saja Nino, semoga kita bisa bekerja sama dengan baik nantinya.” , ujarnya mengulurkan tangan kepada Sho sambil tersenyum.

“Sakurai Sho, yoroshiku.. Kau juga bisa memanggilku Sho.”, Sho menerima uluran tangan anak bernama Ninomiya Kazunari itu.

“Sakurai Sho? Eh, jangan-jangan..Sakurai Sho yang sedang menjadi topik hangat akhir-akhir ini. Apakah benar kau bukan mahasiswa sini? Langsung direkrut oleh Prof. Tokui? Kau bahkan mengalahkan Jun, hebat...”

“Yah..sepertinya gosip tentangku menyebar begitu cepat. Tetapi kupikir aku hanya beruntung.” -Sho tersenyum kecil- “Ah.. Jun, Matsumoto Jun? Anak dari yang sedang berpidato di depanku kah? Dia hampir saja membunuhku kemarin..”, ujar Sho dengan nada bercanda.

Nino tertawa, “Jadi kau sudah bertemu dengannya? Jun memang agak temperamen sih. Selama ini tidak pernah ada yang mengalahkan rekornya untuk selalu menjadi urutan pertama, bisa kubayangkan betapa frustasinya dia.”

“Apa kalian akrab?”

Nino menggelengkan kepalanya.

“Tidak sekarang. Kita hanya berbicara seperlunya. Dia dingin dan selalu sibuk dengan dirinya sendiri. Jun menjadi seperti itu sejak kehilangan ibunya... menyusul teman satu-satunya ketika ia masih kecil, sembilan tahun seingatku, anak dari partner kerja ayahnya. Dulu aku sampai iri karena mereka selalu bermain bersama tanpa mengajakku.”

“Hmmm…”, Sho hanya bisa mengangguk pelan. Dipandangnya barisan, dari posisinya ia bisa melihat Jun berdiri tepat di shaf terdepan. Sho tidak pernah berfikir orang seperti Jun pun memiliki masa lalu yang pahit.

Sho tidak pernah ingat akan orang tuanya. Tetapi ia merasa memiliki keluarga sekaligus sahabat di panti asuhan, Sho sedikit bisa memahami membayangkan salah satu orang terdekatnya pergi.

**

Jun bersandar pada dinding dekat pintu keluar aula. Acara pembukaan telah selesai, bagi mahasiswa mereka diharuskan kembali ke kamar masing-masing di asrama yang sudah disediakan sebelum jam makan malam nanti.

Memandang sekitar, melihat satu persatu orang yang melintas. Dicarinya sosok dengan rambut pirang yang sejak tadi belum ia temukan.

Mungkin anak itu tidak menerima tawaran Prof. Tokui. Dia kan hanya seorang pengecut. Tetapi baguslah, dia tidak perlu khawatir tentang insiden waktu itu, pikir Jun. Namun, entah mengapa rasa kecewa sepintas muncul di hatinya.

Jun akhirnya memutuskan untuk kembali ke kamarnya, melewati belokan koridor tanpa benar-benar berkonsentrasi, alhasil secara tidak sengaja dirinya menabrak seseorang.

“Hey.. bisakah kau lebih berhati-hati sedikit..”

“Apa?! Kau yang harusnya berhat- Sa-sakurai Sho!!”, belum selesai kata-kata keluar dari mulutnya, Jun terkesiap melihat sosok yang berada di hadapannya itu. Dengan tidak sadar Jun mundur ke belakang, mentok ke dinding.

“Kita berjumpa lagi, Matsumoto Jun-san? ”, ujar Sho sambil memandang aneh reaksi yang diberikan Jun kepada dirinya itu.

“Kau mengganti rambutmu! Kukira kau tidak hadir!”

“Secara teknis ini bukan mengganti, aku hanya menghitamkannya kembali. Setidaknya aku ingin merubah penampilanku menjadi lebih sopan. Apa kau mencariku sedari tadi?”, tanya Sho sambil menyunggingkan senyum kecil di sudut bibirnya.

“Hah? Tidak juga…”, ujarnya sambil membenarkan posisinya, ia menyadari bahwa dirinya masih merapat pada dinding. Jun berdeham, “Dengar aku hanya ingin menjelaskan apa yang terjadi waktu itu.. itu murni kecelakaan.”

“Waktu itu?”, Sho berfikir, mengingat.

“Aku masih normal. Dan jangan pernah membicarakan insiden itu pada siapapun! Kalau sampai gosip aneh menyebar..”

“. . .”, mata Sho menyipit, ia memandangi Jun dari atas ke bawah.

“Kenapa kau memandangiku seperti itu?”, Jun merasa sedikit grogi.

“Aku bahkan tak pernah menganggap itu serius, gomen, waktu itu aku hanya ingin segera pergi. Aku tidak berfikir kau bakal sepolos itu. Baiklah, kita diharuskan kembali ke kamar masing-masing kan? Jya.”, ungkap Sho sambil menahan geli lalu berbalik pergi.

“Kau!”, Jun merasa emosi lagi. Ditariknya kerah jas lab milik Sho.

Sho yang tidak siap, tidak bisa menyeimbangkan diri, tertarik ke belakang, terhuyung dan jatuh menimpa Jun.

Mereka berdua jatuh terduduk.

“Ittai!!”, ujar Sho sambil mengelus kepala bagian belakangnya yang sepertinya bertabrakan dengan kepala Jun. “Apa yang kau lakukan lagi, kau sudah gila ya?!”

Mendengar tidak ada jawaban, Sho otomatis menoleh ke belakang.

Sho memandang agak ngeri.

“Hidungmu berdarah… kau baik-baik saja?”

“Su-sudah biar aku lakukan sendiri!”, Jun bersikeras.

Suaranya bergaung di dinding kamar.

“Diam lah kau cerewet, jangan cengeng begitu.”, ujar Sho mengambil kapas.

“Aku tidak ce-”, Jun berhenti berbicara ketika memperhatikan wajah Sho ternyata begitu dekat, tepat di hadapannya.

Bisa dilihat poninya yang hitam halus menutupi keningnya, matanya yang bulat dan jernih sedang berkonsentrasi mengobati lukanya, ada sebuah perasaan familiar dan entah mengapa dia merasa orang di hadapannya itu sangat manis. Kemudian tatapan Jun terkunci pada bibir itu.

“Uwaaah… darahnya mengalir lagi dari hidungmu.”

Jun terkesiap akan pikirannya yang aneh, langsung menarik diri ke belakang, menjauh dari wajah Sho.

“Sudah tidak perlu! Kau juga sebaiknya kembali ke kamarmu sendiri.”, Jun berdiri dari tempatnya duduk, kemudian mengambil tisu.

“Kalau mimisanmu tidak berhenti, sebaiknya panggil petugas medis saja.”

“Aku sudah tahu!”

Sho menelengkan kepalanya sambil berdecak.

“Kalau sikapmu terus seperti itu tidak ada yang akan mau menjadi temanmu, Matsumoto-san.”, ujar Sho di ujung pintu keluar.

Setelah Sho tidak lagi terlihat, Jun menarik nafas dalam-dalam, dan menghembuskannya perlahan, mengatur nafasnya.

Ia mondar-mandir di dalam kamar, berusaha menyusun pikirannya.

Apa yang kupikirkan? Apa aku baru saja merasa bahwa Sho itu lucu, manis, dan imut? Apa berfikir seperti itu terhadap sesama laki-laki adalah normal?

Ya..itu normal, tadi hanya pikiran sesaat, dia hanya mengklasifikasikan Sho, cuma itu. Tidak lebih. Sama saja seperti membagi bahwa pria itu tampan, wanita ini cantik, dan Sho termasuk dalam kategori pria manis.

Dan dia masih suka wanita, terlepas dari dia memang tidak pernah punya kekasih-karena pikirnya merepotkan. Tadi itu, bukan apa-apa, Jun sebenarnya agak suka terhadap hal-hal cute, dia suka boneka maskot, dia suka binatang yang lucu-walaupun binatang tak pernah suka padanya. Mungkin hanya seperti itu.

Sho hanya sebuah species lucu.

Setelah puas dengan pikirannya, Jun mengambil segelas air dan duduk.

Kemudian pikiran lain menghantuinya.

Lalu pikiran saat dirinya memandang bibir Sho itu apakah normal? Karena dia memikirkan sesuatu yang aneh.

“Itu cuma efek pasca-trauma!”, Jun berbicara keras, lebih kepada dirinya sendiri.

Ya, trauma karena dirinya tidak pernah mencium seorang pria. Dan semua akan kembali seperti biasa kalau trauma itu sudah hilang, mungkin Jun akan menemui psikiater setelah proyek ini selesai, yang dia perlukan hanya menghindari sumber trauma, seseorang bernama Sakurai Sho.

**

Hari-hari berlalu dengan Jun yang selalu menghindar untuk memandang setiap kali dirinya dan Sho tidak sengaja berpapasan, tidak sengaja duduk bersebelahan, atau harus mengerjakan tugas proyek bersama.

“Hey, Sho-chan, ada apa kau dengannya?”, ujar Nino yang semakin akrab dengan Sho, sambil menunjukkan dagunya ke arah Jun ketika mereka menuju café untuk makan siang.

“Saa.. dia kan memang menyimpan kekesalan padaku sejak awal.”, ujar Sho sambil menaikkan bahunya.

“Ah...”, balas Nino mengerti.

Sho senang mengenal Nino, tidak seperti mahasiswa lainnya yang sikapnya sangat serius dan tidak begitu friendly. Nino sama seperti dirinya, santai, dan enak diajak mengobrol apa saja, bahkan topik-topik di luar proyek.

Di lain meja, diam-diam Jun memandang Sho dan Nino dengan pandangan cemburu.

Malam itu, hanya Jun dan Sho lembur di laboratorium bersama Prof. Tokui. Mereka berdua memiliki sebuah sifat yang sama, menikmati pekerjaan menyelesaikan soal rumit, dan dengan segera lupa akan hal lain.

Jun pun melupakan pikiran galaunya terhadap Sho.

“Akhirnya selesai.”, Sho mengangkat kedua tangannya, melihat layar monitor di hadapannya.

“Kita benar-benar telah melakukannya.”, bahkan Jun pun mengekspresikan rasa senangnya.

Sho ikut tersenyum memandangi kegirangan Jun.

Lembaran kertas bertebebaran di mana-mana. Mereka berdua benar-benar bekerja keras untuk memecahkan sebuah persamaan rumit.

“Apakah kalian berhasil menyelesaikannya?”, Prof. Tokui berbicara dari balkon atas, cukup terkejut.

“Ya, kami berhasil, Profesor…”, jawab Sho.

“Sudah kuduga kalian akan berhasil. Sebenarnya ini salah satu bagian terpenting dari proses penciptaan energi baru itu, lusa kita sudah bisa mulai melihat bentuk nyata dari kerja keras kita sebulan ini. Sebenarnya karena kalian kita bisa menghemat waktu.”, Prof. Tokui tersenyum puas dan bangga.

“Kalau begitu kami permisi.”, Jun dan Sho menunduk kepada Prof. Tokui sebelum menutup pintu laboratorium utama.

“Hey, aku baru kali ini melihatmu tersenyum.”, Sho memulai pembicaraan saat mereka berjalan di koridor.

“Kau kira aku ini apa? Robot?”, jawab Jun dengan nada cuek, namun tanpa sepengetahuan Sho, pipinya memerah.

“Sepertinya semua orang menganggapmu begitu.. robot...”

“Sou...”

Keheningan tiba-tiba tercipta di antara mereka, yang kemudian pecah oleh suara perut Sho yang lapar.

Dan tak disangka Jun tertawa.

Entah kenapa Sho senang mendengarnya. “Kau adalah robot yang hanya bisa menertawai orang kelaparan…”.

“Ah, kita memang belum sempat makan malam.”, balas Jun sambil berbelok, berlawanan arah dari koridor menuju kamar asrama.

“Hey, kau mau ke mana?”

“Aku ingin meminjam dapur. Aku juga lapar.”

“Hah?”, Sho mengikuti Jun dengan heran. “Kau bisa memasak?”

“Kau pikir aku punya butler atau maid yang selalu melayani?”

“Tidak.. hanya kupikir kau memiliki koki pribadi di rumah.”

“Jangan meremehkan kami orang kaya.”

“Kata-katamu lucu.”

“Aku lebih senang memasak sendiri.”, ujar Jun sambil membuka pintu dapur.

Jun memeriksa isi lemari pendingin, dan memperhatikan isinya.

“Apa kau tak keberatan jika aku memasak yakisoba?”

“Eh, kau menawariku?”

“Cepatlah jawab sebelum aku berubah pikiran.”

“Tentu! Aku tidak keberatan.”, Sho dengan sigap menjawab.

“Aku akan membantu memotong sayuran.”, ujar Sho kemudian dengan penuh semangat.

“Baiklah.”, Jun mengambil beberapa jenis sayuran dan menyerahkannya kepada Sho sementara dia akan menyiapkan daging dan bahan lainnya.

Jun tertegun dan sedikit menahan tawa melihat cara Sho memotong sayuran yang kaku “Kau.. kau tidak bisa memasak?”

“Lebih tepatnya tidak pernah. Orang lain yang selalu menyiapkannya.”, jawab Sho sambil tetap berkonsentrasi dengan sayuran di hadapannya.

“Ahh… ternyata kau anak manja, apa kau selalu dimasakkan ibumu atau pacarmu?”

Sho tersenyum pelan,”Aku tidak pernah mengenal ibuku. Masaki atau Oh-chan yang biasanya memasak. Kami tinggal dan mengurus sebuah panti asuhan.”

“Mengurus panti asuhan?”

“Sepanjang ingatanku aku dan Masaki dibesarkan di panti asuhan itu, akhirnya kami berdedikasi untuk mengurusnya setelah kakek-pemiliknya meninggal. Kemudian 3 tahun lalu Oh-chan datang dan tinggal juga di panti bersama kami. ”

Jun memperhatikan cerita Sho dengan seksama. Bahkan setelah cerita selesai ia pun masih memperhatikannya.

Sho mengalihkan pandangannya ke arah Jun, “Kau pasti bosan mendengar ceritaku. Ini, aku sudah selesai dengan sayurannya…”

Jun mengerjap, “Ah, baiklah, lebih baik kau tunggu di seberang meja.”

“Siap!”, Sho melakukan gesture menghormat dengan tangannya.

Sho memperhatikan Jun yang sedang memasak dari balik meja counter, dia tampan dan posturnya sangat cool. Pantas saja Nino bercerita kalau ia populer di kalangan para gadis.

Kemudian Sho tersenyum sendiri, tidak menyangka orang yang bernama Matsumoto Jun, yang mudah emosi dan terlihat seperti anak orang kaya manja dengan segala fasilitas ternyata bisa memasak. Hari ini dia juga melihatnya tertawa beberapa kali, tawanya sangat menyenangkan untuk dilihat, dan Sho pikir setiap orang pasti akan menyukainya.

Seandainya dia lebih banyak tertawa.

“Sh-”

Jun telah selesai memasak, yakisobanya telah matang. Dan yang dilihatnya justru Sho yang tertidur pulas di atas meja dengan tangan sebagai bantalannya.

Melihatnya tertidur seperti itu, Jun menjadi tak tega untuk membangunkan. Wajah tidurnya polos seperti anak kecil.

Jun kemudian duduk di sebelahnya, melihat bahunya naik turun seiring nafasnya. Tanpa disadari Jun kembali memperhatikan wajah Sho. Kali ini rambutnya sedikit menutupi pipi. Jun tidak tahu ini khayalannya atau bukan tetapi setiap kali ia melihat Sho, Jun merasa ia bertambah manis.

Lagi-lagi perasaan familiar menghinggapi dirinya, ia tidak tahu apa itu dan kenapa.

Semakin lama wajahnya mendekat ke arah Sho, ia tak bisa melawan tarikan ini. Jun seakan sudah lupa dengan pikiran-pikirannya tentang species lucu, pasca-trauma dan semacamnya, bahkan ia lupa di mana ia sekarang berada.

Jun merasa ia sedang tidak berpijak di bumi. Hanya dirinya dan Sho.

Beberapa senti lagi jaraknya dengan Sho, sebelum disadarinya raut muka pria di hadapannya itu berubah. Alisnya berkerut, seperti takut akan sesuatu. Mimpi buruk?

“Sho! Sho! Bangunlah!”, Jun mengguncangkan tubuh Sho.

“Hah? Ah, maaf sepertinya aku ketiduran. Kau sudah selesai memasak?”

Jun memperlihatkan ekspresi khawatir sambil memandang Sho.

“Mukamu kenapa? Apa ada sesuatu yang terjadi?”

“Kau barusan mimpi apa? Mimpi buruk?”

“Eh? Apakah aku bergumam sesuatu dalam tidurku?”

“Tidak sih, hanya ekspresimu seperti orang ketakutan.”

Sho menggaruk kepalanya.

“Aku tidak ingat, umm.. hal ini sudah biasa terjadi sih. Orang lain sering mendengarku berteriak, bergumam sambil ketakutan dalam tidurku, bahkan aku pernah terbangun dengan penuh air mata. Tetapi aku memang tidak pernah ingat mimpi burukku.”

“Ah... Kau jadi lapar atau tidak?”,ujar Jun sambil memalingkan muka ke arah lain, menutupi mukanya yang merah padam. Kemudian memberikan sepiring yakisoba kepada Sho.

“Terima kasih untuk ini, dan terima kasih telah mengkhawatirkanku, ternyata kau memiliki hati lembut juga.”, Sho tersenyum sambil mulai melahap makanannya.

Jun tidak membalas kata-kata Sho, jantungnya terlalu berdegup kencang untuk berbicara. Dinikmatinya pula yakisoba di piringnya.

“UMAI!! Kau pintar memasak, Jun!”

“Eh!”, Jun yang terkejut mendengar nama kecilnya disebut, langsung mengarahkan pandangannya kepada Sho lagi.

“Karena kau tadi membangunkanku dengan menyebut nama kecilku juga jadi kau tak keberatan kan?”, jawab Sho santai. “Hey ini benar-benar enak… ”, Sho makan dengan sangat lahap.

Jun akhirnya menaruh sumpitnya. Memandang ke arah Sho dan tertawa kecil melihat betapa lucunya cara Sho makan. Satu hal lagi yang membuat hatinya meleleh, yang entah sudah berapa kali hari ini.

“Apakah masakanku seenak itu?”

Sho mengangguk.

Jun menghela nafas panjang.

“Haaaah… aku mengaku kalah, Sho…”

“Eh tentang apa?”

“Kau boleh memanggilku dengan nama kecilku…”, jawab Jun tersenyum lebar.

Sho pun tersenyum melihat senyum Jun. “Jadi sekarang kita teman.”

“Ya…”

Jun mengaku kalah, ia tidak bisa lagi menampik perasaannya terhadap Sho. Sejak insiden itu sebenarnya Jun selalu memikirkannya, tetapi ia dirinya selalu membuat alasan penolakan. Semakin ia menghindar semakin ia tidak bisa melawan ketertarikannya terhadap Sho.

Mata yang jernih, suara tawanya, senyumnya yang manis, semua ekspresi, nadegatanya, ketika ia berteriak kesal atau girang, ketika ia makan. Tanpa sadar Jun memperhatikan semua itu selama ini.

Bahkan rasa cemburunya ketika melihat Sho bersama orang lain.

Jun tahu saat ini ia sudah tenggelam, dan ia tidak mau berenang keluar.

Jun mengakui kekalahannya, Jun mengakui bahwa ia telah jatuh cinta pada Sakurai Sho.

Tak peduli lagi kalau faktanya ia memang mencintai seorang pria.

----tbc-----

Kyaaaa…gombal gombal~ uwoo uwooo shock sendiri…

Ternyata akhirnya fanfic ini berkembang ke arah romance saudara-saudara~

Kyaaaa~

*penulis masih guling2 d kasur dengan pikiran dipenuhi bunga2 asmara(?)*
{C}{C}{C}{C}{C}{C}

Chapter 1

Chapter 3

junxsho, arashi, sakumoto, fanfiction

Previous post Next post
Up