restart

Jun 03, 2023 23:27

Hirano Sho/Kishi Yuta, past Nagase Ren/Kishi Yuta, ada mentioned Jinguji Yuta/Iwahashi Genki dan wYuuta friendship(?)

Saat berpisah dengan Ren, Kishi merasa dunianya seolah berakhir. Tetapi mungkin Sho dapat membantu membangunnya kembali.

Rencananya ini ff yang mau saya upload di tanggal 23 Mei. Ceritanya biar kita semua bisa nangis sama-sama. Karena saya sedih, kalian semua juga kudu sedih(?). Hari itu udah tinggal diberesin dikit aja sebenernya. Tapi ternyata... hehe. Ditinggal oshi ternyata damage-nya gak main-main. Nulisnya sambil rada guncangan batin(?), jadi mungkin plotnya tidak jelas (mon maap), banyak plot hole, dan perubahan scene(?)nya terlalu buru-buru. btw sy baru sadar ini Kishi-nya nangis dan pelukan mulu! maap ya. notes lebih panjang di bawah.

.

“Yuta…”

Kishi membuka mata perlahan, terbangun dari tidurnya. Walau pandangannya buram, samar-samar ia dapat melihat senyum yang familiar. Saat itulah Kishi menyadari bahwa seseorang sedang duduk di sisi ranjang, mengelus pipinya dengan lembut.

“Ren…?”

Jemari Ren di pipinya terasa dingin, dingin sekali. Namun Kishi tidak peduli. Ia menarik nafas tajam, lalu cepat-cepat mengangkat sebelah tangan-hendak menangkap tangan Ren.

“Ren, Ren!”

Senyuman Ren mendadak memudar. Tangan kirinya kini terangkat di udara, dan dengan gerakan cepat, jatuh menghantam permukaan nakas.

BRAK!

.

.

Kishi tersentak bangun dengan keringat dingin membasahi dahi. Nafasnya tersenggal, dan Kishi menutup mata sejenak untuk menenangkan diri. Mimpi buruk?

Tok tok tok!

“Kishi-kun!!”

Sekali lagi Kishi tersentak, menyadari bahwa suara keras yang didengarnya dalam mimpi tadi berasal dari kenyataan. Seseorang mengetuk pintunya keras-keras. Butuh waktu sesaat sampai otak Kishi-yang masih mengantuk-mengenali bahwa suara yang memanggilnya adalah suara Jinguji.

Suara ketukan pintu kembali terdengar, diikuti Jinguji yang sekali lagi memanggil namanya.

“Iya, iya…” Kishi menghela nafas panjang, sadar bahwa Jinguji tidak akan pergi sampai ia membuka pintu. Jadi Kishi mengucek mata dan perlahan bangun dari sofa. Memang awalnya tidak nyaman tidur di sofa-lehernya terasa sakit dan punggungnya terasa pegal. Namun lama-lama, Kishi sudah tidak ambil pusing lagi. Ia berjalan melewati tumpukan baju kotor dan barang-barang yang berserakan di lantai-hampir menginjak piring dan gelas yang entah sejak kapan terbengkalai di sana-dan akhirnya membuka pintu. “Jinguji, apa-“

“-Kishi-kun, ayo pergi.”

“Ha?”

Tanpa sungkan Jinguji berjalan melewati Kishi dan masuk ke dalam apartmen. Awalnya, Jinguji tidak pernah berkomentar melihat keadaan kamar Kishi yang seperti kapal pecah. Ia hanya melihat Kishi seolah kasihan-Kishi diam-diam membenci tatapan tersebut-dan tanpa protes membantu membereskan semuanya. Setelah satu tahun berlalu, barulah Jinguji berani memberitahu Kishi bahwa kamarnya terlalu berantakan untuk ditinggali dan Kishi harus bisa mengurus hidupnya sendiri dengan lebih baik lagi.

Tapi hari ini Jinguji hanya melihat sekeliling ruangan dengan tatapan tidak suka, lalu menelengkan kepala dan langsung berjalan menuju kamar tidur.

“Eh-Jinguji? Apa yang-“

“Kan sudah kubilang,” Jinguji membuka lemari pakaian di kamar tidur Kishi. “Kita akan pergi.”

“Pergi? Ke mana? Untuk apa?”

Bukannya menjawab, Jinguji malah menghela nafas tidak sabar ketika melihat lebih dari setengah isi lemari Kishi sudah tidak ada. Tentu saja. Kishi pasti mengambil baju dari lemari dan meninggalkannya begitu saja di lantai. Karena itulah tumpukan pakaian kotor di ruang tengah semakin hari semakin tinggi. Sepertinya satu-satunya pakaian yang masih Kishi kirim ke laundry secara rutin hanya setelan kantor saja. Selebihnya ia cuci secara asal-asalan sesuai suasana hatinya.

Menyerah, Jinguji membalikkan tubuh dan menatap Kishi-yang masih berdiri dengan bingung di depan pintu. “Kita ke café. Ada temanku yang baru pulang dari Amerika. Karena apartemennya di dekat sini, aku ingin sekalian mengenalkan Kishi-kun padanya. Hari ini tidak ada rencana, kan?”

Tentu saja tidak ada. Padahal Jinguji yang paling tahu soal itu. Dan kalau Jinguji tidak langsung datang untuk memaksanya seperti ini, sudah pasti Kishi akan membuat alasan agar tidak keluar rumah.

“Amerika… bukan Genki? Jinguji punya berapa teman yang tinggal di Amerika, sih?”

“Tentu saja bukan Genki,” kali ini Jinguji tersenyum tipis. “Hanya dua. Ini teman kuliahku dulu. Ayo, pilih baju yang masih bersih. Kita pergi sebentar lagi.”

.

.

Hirano Sho.

Hanya itu saja informasi yang diberikan Jinguji padanya. Selain nama, harus Kishi tanya sendiri, kata Jinguji.

Kishi melempar pandangan ke luar jendela mobil Jinguji. Ya sudahlah. Ia juga tidak terlalu peduli. Kishi tidak tahu apakah maksud asli Jinguji adalah ingin membawanya keluar dari kamar atau ingin ia membuat teman baru. Yang manapun sama saja. Ia hanya perlu datang, tersenyum sopan, mendengarkan Jinguji dan Hirano Sho mengobrol, lalu pulang. Lagipula, kalau melihat Kishi yang tidak responsif, sudah pasti Hirano Sho juga tidak akan tertarik mengobrol dengannya. Dua jam maksimum-seharusnya bukan masalah besar.

Namun Hirano Sho yang ditemuinya hari itu, cukup berbeda dengan bayangan Kishi.

Sho sudah menunggu di dalam café dengan sepiring pancake buah dan segelas parfait coklat. Melihat Jinguji dan Kishi, ia langsung melambaikan tangan dengan bersemangat, walau mulutnya masih penuh dengan pancake.

Ah, benar juga. Padahal Kishi juga menyukai makanan manis. Tapi sudah lama sekali ia tidak pergi ke luar untuk makan pancake dan parfait. Ia juga tidak tahu ada café seperti ini di dekat apartemennya…

Mengabaikan Jinguji yang protes karena Sho makan duluan, Sho langsung menatap Kishi dan memperkenalkan diri. Tangan Sho dingin-mungkin karena ia sudah lama berada di dalam café-namun senyumannya terlihat hangat. Kishi balas memperkenalkan diri dengan sedikit terbata, entah mengapa merasa gugup.

Saat itulah pelayan café datang membawakan menu, dan perhatian Kishi langsung tersedot sepenuhnya pada foto-foto cantik berbagai makanan yang terpampang di sana.

Jinguji langsung memesan waffle dan kopi hitam tanpa melihat menu. Menyadari Kishi yang menatap buku menu tanpa mengedip, seulas senyum mengembang pada wajah Jinguji. “Kishi-kun, rekomendasiku-“

“-parfait stroberi!” potong Sho sambil mengulurkan tangan untuk menunjuk salah satu foto di buku menu. “Tapi kalau Kishi-kun kurang suka makanan manis, aku merekomendasikan yang ini saja.”

Sho masih berbicara, menunjuk beberapa menu dengan jarinya. Mata Kishi mengikuti satu persatu foto yang ditunjuk oleh Sho, sebelum akhirnya memutuskan untuk memesan parfait stroberi dan souffle pancake. Kishi sempat bimbang melihat blueberry cheesecake dan strawberry shortcake, tapi memutuskan bahwa ia akan membelinya untuk dibawa pulang saja nanti.

Setelah itu barulah Sho mengalihkan pandangan pada Jinguji, dan barulah mereka mulai mengobrol. Beberapa kali Jinguji menengok ke arah Kishi, seolah berharap agar Kishi bergabung dalam percakapan mereka. Saat Sho melempar pertanyaan secara langsung pada Kishi, walau Kishi hanya menjawab seperlunya saja, Jinguji sudah bisa menarik nafas lega. Bisa keluar rumah di akhir pekan dan mengobrol (walau hanya sedikit) dengan orang lain pun sudah kemajuan besar. Apalagi ketika pesanan mereka datang. Melihat mata berbinar Kishi, dan senyuman yang tanpa sadar mengembang saat ia memakan pancake-nya, rasanya Jinguji ingin menangis. Sudah berapa lama sejak ia terakhir kali melihat ekspresi tersebut?

.

.

“Waah, ini shortcake?”

“Iya, dari toko kesukaan Yuta. Tadi aku ada urusan ke daerah sana, jadi sekalian mampir saja. Maaf ya, belakangan aku sering lembur.”

“…Ren.”

“Hmm? Shortcake-nya enak, kan?”

“Ada rambut di bahumu-sebentar, kuambilkan.”

“Oh,” Ren mengerutkan dahi, menatap sehelai rambut panjang di sela jari Kishi. “Aku tadi ditabrak seseorang di stasiun. Mungkin saat itu.”

Berbeda dengan asumsi kebanyakan orang, Kishi tidak bodoh. Ia juga tidak buta. Tapi saat itu Kishi memutuskan untuk tidak memikirkannya. Cerita Ren masuk akal. Dan tentu saja Ren tidak mungkin berbohong. Ia membeli shortcake kesukaan Kishi karena kebetulan ada pekerjaan di daerah sana-bukan karena tanpa sadar merasa bersalah pada Kishi.

Bukan. Itu tidak mungkin.

…iya, kan?

.

.

Kishi membeku, menatap strawberry shortcake di hadapannya. Ingatan tersebut datang secara tiba-tiba, tanpa peringatan. Ia menurunkan garpu, mendadak merasa tidak nafsu makan lagi. Padahal hari itu, untuk pertama kalinya sejak sekian lama, Kishi baru merasakan kembali nikmatnya makanan manis.

Saat makan bersama Jinguji dan Sho tadi-walau tidak banyak berpartisipasi-rasanya Kishi dapat melupakan semuanya untuk sejenak. Ia dapat berfokus pada lembutnya pancake, lalu rasa asam stroberi dipadukan dengan krim yang manis. Setelah lama memakan bento minimarket tanpa berpikir, lidahnya agak kaget saat tiba-tiba disuguhi berbagai makanan enak.

Tapi untuk sesaat tadi, Kishi merasa… senang. Karena itulah ia membeli strawberry shortcake untuk dibawa pulang. Karena itulah ia sedikit membereskan area dapur untuk mencari piring dan garpu kecil, dan sedikit merapikan meja makan agar ia memiliki ruang untuk makan dengan tenang.

…Kishi sudah berusaha sekeras ini, dan ia masih tidak diperbolehkan untuk maju? Sesaat ia ingin menangis, lalu ingin marah, dan berakhir hanya menghela nafas putus asa. Sejak hari itu, rasanya Kishi menjalani hidup dalam mode autopilot. Bangun, pergi bekerja, pulang, tidur, dan hal tersebut diulang setiap hari. Tidak ada yang ia tunggu dengan bersemangat, tidak ada kesenangan yang ia cari.

Tepat saat itulah ponselnya berdering. Nada pendek satu kali-pesan masuk. Kishi mengulurkan tangan, tanpa minat menyalakan layar. Mungkin Jinguji atau ayahnya. Selain mereka, tidak ada lagi yang akan sengaja menghubunginya di hari Minggu.

Namun yang tercantum di layar ponselnya adalah nama ”Sho”, dan Kishi baru ingat bahwa ia memang bertukar kontak dengan Sho tadi.

Sho baru pulang dari Amerika sebulan lalu. Kishi tidak terlalu menyimak detailnya, tapi ia mendengar saat Sho bilang bahwa kota ini sudah berbeda jauh. Ada banyak café enak, bioskop dan kebun binatang yang sudah direnovasi, juga skating rink yang baru dibangun. Banyak tempat-tempat baru yang ingin Sho kunjungi.

Benar juga. Kishi sendiri tidak pernah memperhatikannya. Walaupun sudah hampir satu tahun berlalu sejak ia datang ke kota ini, Kishi tidak pernah menyempatkan diri untuk sekadar jalan-jalan. Jadi, sama seperti Sho, banyak tempat baru yang belum ia lihat.

“Pas sekali dong,” kata Jinguji saat mendengarnya. Ia menatap Sho dan Kishi bergantian, tersenyum lebar seperti orang yang baru menang lotere. “Kalian bisa pergi sama-sama!”

.

.

Kishi bertemu dengan Sho secara kebetulan empat hari kemudian, di minimarket. Tentu saja-apartemen mereka berada di daerah yang sama, bukan hal yang aneh jika mereka juga mengunjungi minimarket yang sama.

Kotak-kotak bento berjajar di rak pendingin. Kishi baru saja mengambil karaage bento, ketika tiba-tiba seseorang berdiri di sisinya.

“Kishi-kun?”

“Eh-“ tidak menyangka akan disapa, Kishi menengok dengan kaget. “Hirano-kun?”

“Kan sudah kubilang, panggil Sho saja,” jawab Sho sambil tersenyum. Ia mengalihkan pandangan ke rak pendingin, lalu mengambil katsu bento di rak paling atas. “Kishi-kun sedang membeli makan malam?”

“Iya…”

“Hahaha! Aku juga. Sebenarnya, ibu menyuruhku untuk masak sendiri. Lebih enak. Tapi, makanan minimarket lebih praktis kan?”

Tidak tahu harus merespon apa, Kishi hanya mengangguk saja. Sho berjalan menuju lemari pendingin yang berisi dessert, dan secara reflek Kishi mengikuti dari belakang.

“Oh iya, Kishi-kun. Apakah pesanku masuk?”

Oh. Ups. Kishi menutup mulut, baru sadar bahwa ia belum membalas pesan Sho yang diterimanya pada hari Minggu. Saat itu ia bingung bagaimana harus membalas. Jadi ia meninggalkan ponsel sejenak untuk berpikir. Tahu-tahu, hal tersebut sama sekali hilang dari ingatannya.

“Ah-eh-masuk. Maaf, aku lupa membalas… Tentang bioskop, ya?”

“Mm. Jinguji ada business trip lagi minggu depan-ah, bukan, maksudku dua minggu lagi. Tapi film yang ingin aku tonton baru masuk pada saat itu. Kalau Kishi-kun tidak keberatan, bagaimana kalau kita pergi bersama? Setelahnya, kita juga bisa mencoba toko crepes di dekat sana! Kalau Kishi-kun belum ada rencana lain, tentu saja.”

Normalnya, Kishi akan menolak. Ia tidak dalam suasana hati untuk bersenang-senang. Tapi cara Sho mengajaknya, tanpa terkesan memaksa, membuat Kishi jadi berpikir juga. Satu hari saja. Menonton film di bioskop dan memakan crepes yang enak. Lagipula, Sho juga sepertinya orang yang menyenangkan.

Saat Kishi mengangguk, senyuman langsung mengembang pada wajah Sho.

“Yes!” Sho mengepalkan sebelah tangan dengan bersemangat, mengagetkan Kishi. “Ah! Kishi-kun suka choux? Choux krim stroberi di minimarket ini enak sekali, lho. Aku traktir!”

Sambil menatap sebungkus choux krim stroberi yang disodorkan Sho padanya, tanpa sadar Kishi tersenyum.

.

.

“Harum sekali. Yuta masak apa?”

“Nasi goreng.”

“Hahaha! Lagi?”

“Habisnya, masih ada sisa sosis dan telur di lemari es. Ren mau apa untuk bekal makan siang besok?”

“Hmm, nasi mayones dengan ekstra nasi!”

“Orang aneh…” Kishi menggumam, lalu tertawa saat Ren tiba-tiba memeluknya dari belakang. “Kutambah filet ayam dan salad kentang, ya.”

“Boleh, boleh. Semua masakan Yuta enak. Aku beruntung sekali bisa memakannya setiap hari!”

.

.

“Jin…”

Suara Kishi di seberang telepon yang seperti merajuk itu sukses membuat Jinguji bangun seketika. Ia menyalakan lampu di sisi ranjang, lalu bangkit ke posisi duduk. Ini hari Sabtu. Tidak biasanya Kishi menelepon Jinguji jika tidak ada hal yang penting.

“Kishi-kun, ada apa? Semua baik-baik saja?”

“Jin, aku harus bagaimana… Mesin cuciku mati.”

“Ha-eh?” Terdengar suara berisik di seberang telepon-diikuti umpatan kesal Kishi-sebelum Jinguji menyadari sesuatu. “Tunggu, tunggu, Kishi-kun mau memakai mesin cuci? Kishi-kun mau mencuci?! Bukan mengirim setelan kantor ke laundry?”

“Bukan setelan kantor! Habisnya, baju bagusku belum dicuci semua. Aku tidak mau besok ke bioskop dengan baju Naruto dan skinny jeans warna-warni.”

“Bioskop? Bioskop? Kishi-kun akan pergi ke bioskop dengan Sho?!”

“Apa sih, kan Jinguji sendiri yang menyuruh kami pergi bersama-sama.”

Jinguji menutup mulutnya. Benar juga. Tapi ia tidak menyangka Kishi akan setuju begitu saja. Apalagi sekarang Kishi mau mencuci pakaian? Mencuci pakaian? Padahal Jinguji mengira ia harus membujuk Kishi setengah mati sampai Kishi mau mulai mencuci tumpukan pakaian kotor di kamarnya itu.

“Kishi-kun. Maaf, aku sedang di Taiwan, jadi tidak bisa mengecek secara langsung. Omong-omong, kabelnya sudah dicolok? Terakhir kali aku ke sana, Kishi-kun mencabut kabelnya karena jarang digunakan.”

Jinguji mendengar ”oh…” lemah, dan tak lama kemudian terdengar suara bergetar khas mesin cuci.

“Kishi-kun, sudah aman?”

“Hehe. Terima kasih, Jinguji.”

Kishi menutup telepon, namun Jinguji masih mengerjap tidak percaya. Hanya dalam waktu dua minggu saja, Sho bisa mengajak Kishi pergi berdua? Padahal saat Kishi pertama kali pindah, Jinguji harus berusaha ekstra keras hanya untuk memastikan bahwa Kishi makan. Tapi, ia memang tidak bisa selalu berada di sisi Kishi. Dengan adanya Sho, Jinguji berharap ada seseorang lagi yang dapat membantu Kishi.

Tapi…

Jinguji kembali menyalakan layar ponsel, dan menekan kontak Sho.

.

.

“Ren, bagaimana?” Kishi berputar di depan cermin, lalu menatap Ren dengan tatapan penuh harap.

Ren menatap pakaian Kishi dari atas sampai bawah, lalu tertawa kecil. “Iya. Yuta menggemaskan sekali, kok.”

“Eh?! Yang barusan itu bukan pujian, kan? Apa yang harus kuganti?”

“Tidak usah,” kali ini Ren tertawa makin keras. “Bagus, kok. Khas Yuta.”

“Ren…” Kishi menarik ujung pakaian Ren, setengah merajuk. Berbeda dengan Kishi yang tidak mengerti apa-apa tentang fashion, Ren selalu tahu cara memadukan pakaian dengan bagus. Jadi Kishi tidak ingin berjalan di samping Ren dengan pakaian yang akan dinilai norak oleh orang-orang lain. Kasihan Ren.

Kalah dengan tatapan merajuk Kishi, akhirnya Ren membuka lemari dan memilihkan baju untuknya. Dan sebagai ucapan terima kasih, Kishi sedikit berjinjit, mengecup pipi Ren.

.

.

Kishi datang sepuluh menit sebelum waktu perjanjian mereka.

Kemarin, setelah menghabiskan satu hari mencuci pakaian dengan penuh emosi-sialan, kenapa banyak sekali? Mana baju yang ingin kucari itu? Ya ampun, yang ini sudah sobek!-Kishi menghabiskan sisa harinya menyetrika dengan asal-asalan. Meskipun masih banyak lagi yang belum dicuci, tapi entah kenapa melihat satu gunung baju menghilang dari lantai membuat sedikit rasa lega muncul di hati Kishi.

Setelah pertemuannya di minimarket dengan Sho, mereka mulai berkirim pesan secara reguler. Tidak intens, tentu saja, karena keduanya memiliki kesibukan masing-masing. Terkadang percakapan mereka hanya terdiri atas Sho yang mengirimkan video bayi binatang yang lucu, dan Kishi membalas dengan stiker jempol.

Tetapi entah mengapa Sho berhasil membuatnya… rileks? Kishi menyadari bahwa setahun terakhir ia terlalu banyak bergantung pada Jinguji. Genki tidak tinggal di Jepang, jadi ia hanya sesekali merepotkan Genki saat curhat melalui telepon. Setidaknya, pertemuannya kali ini dengan Sho, tidak lagi ia anggap sebagai “sesuatu yang harus dihadapi dengan terpaksa”. Kishi sendiri kaget saat menyadari bahwa di tengah hari-harinya yang terasa hampa, ternyata ia menantikan hari menonton bioskop itu dengan cukup semangat.

Sho datang tak lama kemudian, dengan dua bungkus kroket di tangan. Mungkin dari dua pertemuan sebelumnya, ia sudah menyadari bahwa salah satu cara untuk membangkitkan binar di mata Kishi adalah dengan makanan enak. Kroket tersebut masih panas. Kulitnya renyah dan dalamnya lembut. Melihat pipi Kishi yang menggembung dan matanya yang tertutup saat memakan kroket, Sho hanya tertawa saja, dalam hati bersyukur ia menyempatkan diri untuk mampir ke penjual kroket tadi.

Sebenarnya, Sho punya kendaraan sendiri. Tapi kali ini mereka memilih untuk berjalan kaki menuju bioskop, sekalian melihat ada apa saja di sekitar sana. Meski Kishi khawatir apakah ia dapat menjadi teman mengobrol yang baik, ternyata pembicaraannya dengan Sho cukup ringan dan menyenangkan. Seperti kejadian sehari-hari di pekerjaan mereka dan perbandingan bento di berbagai minimarket. Mungkin karena Sho dan Jinguji bersahabat, Kishi dapat merasa tenang saat berbicara dengannya.

Film yang ingin Sho tonton adalah film action mobil. Kishi ingat pernah menonton seri pertama dan kedua dari film tersebut bersama Ren. Tetapi ia melewatkan seri ketiga dan keempat, bahkan tidak sadar bahwa yang kelima sudah tayang saat ini.

Kishi menerima tiket bioskop dari Sho, lalu menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Tidak, tidak boleh. Tidak boleh memikirkan Ren lagi. Tidak sekarang.

“Kishi-kun?” Sho menyentuh lengan Kishi, menarik perhatiannya kembali ke kenyataan. Awalnya Kishi pikir Sho akan bertanya macam-macam. Namun Sho hanya tersenyum, menunjuk layar menu di atas mereka. “Mau popcorn dan soda juga?”

.

.

Setelah sukses menikmati waktu bersama-sama ke bioskop, Sho langsung mengajukan untuk pergi ke tempat berikutnya. Berhubung keduanya menyukai binatang, akhirnya diputuskan mereka akan ke kebun binatang. Dua minggu lagi, karena Sho sudah ada rencana lain untuk minggu depan. Diam-diam Kishi berpikir apakah Sho sengaja memberikannya waktu sendirian untuk ’istirahat’. Sejak pertama kali bertemu, itulah pertanyaan yang melayang di benak Kishi-apakah Jinguji memberitahu Sho tentang dirinya? Kalau iya, sampai sejauh mana ia tahu?

Kishi membuka lemari es, mengeluarkan choux krim stroberi yang ia beli kemarin malam di minimarket. Sama persis dengan yang diberikan oleh Sho beberapa hari lalu, pada pertemuan kedua mereka. Ia menyobek plastik pembungkus, kemudian perlahan mulai menggigit.

Manis. Asam. Enak, enak sekali.

Tiba-tiba, dada Kishi terasa sesak. Pandangannya memburam oleh air mata. Ia menutup wajah dengan sebelah tangan, air matanya jatuh tanpa dapat ditahan lagi.

Padahal, Kishi sangat menyukai makanan manis. Padahal, satu gigitan saja sudah membuat Kishi merasa senang sekali. Makan kue yang enak adalah kebahagiaan kecilnya di tengah pekerjaan yang melelahkan, kata Kishi waktu itu.

Ren orang yang tidak dapat berbohong. Itulah yang Kishi sukai darinya. Tetapi kadang, Kishi berharap Ren dapat berbohong dengan lebih baik. Semakin sering Ren pulang membawa kue, kue-kue tersebut semakin terasa hambar bagi Kishi. Semakin mahal kue tersebut, semakin dalam luka yang Kishi rasakan. Ekspresi Ren tidak berbohong. Wangi parfum manis dan noda bekas lipstik pada kerah baju Ren juga tidak berbohong.

Ren sudah mengubah kebahagiaan kecil Kishi menjadi sebuah mimpi buruk. Dalam hati, Kishi tidak pernah benar-benar memaafkannya untuk itu.

Tapi hari ini, entah mengapa Kishi seolah sadar. Kata siapa itu harus tetap menjadi sebuah mimpi buruk? Kata siapa, kue sudah tidak bisa jadi kebahagiaan kecil Kishi lagi?

.

.

Skating rink, akuarium, museum seni, café baru di sudut kota... Setiap dua minggu sekali, Kishi dan Sho membuat janji untuk pergi bersama. Kadang Jinguji ikut, tapi lebih sering mereka pergi berdua saja.

Saat pertama kali melihat Kishi membuka gorden kamar dan mengumpulkan sampah untuk dibuang ke luar, Jinguji rasanya mau memeluk Kishi erat-erat dan menangis. Semuanya dimulai dari hal kecil, kan? Kishi mencuci tumpukan baju kotor sedikit demi sedikit. Membuang sampah sedikit demi sedikit. Membereskan kamar sedikit demi sedikit. Dapur masih terlalu berantakan, jadi Kishi masih berpura-pura tidak melihatnya. Tapi melihat bahwa setidaknya Kishi sudah memiliki ruang kecil di meja makan untuk makan kue, bagi Jinguji semuanya seperti keajaiban saja.

Mungkin karena sudah merasa ”lega”, frekuensi kunjungan Jinguji ke apartemen Kishi pun berkurang, digantikan dengan panggilan telepon.

Dalam rentang waktu empat bulan, pertemanan Kishi dan Sho pun mulai mengerat. Ketika bersama dengan Sho, Kishi dapat melupakan semua hal yang tidak menyenangkan. Pembicaraan mereka mulai mendalam, dan tawa mereka pun bertambah. Kishi sendiri tidak ingat, kapan terakhir kali ia bisa tertawa selepas itu.

Perlahan namun pasti, Sho menggoreskan warna pada hari-hari Kishi yang monokrom.

.

.

Kishi tahu bahwa Sho dan Jinguji memiliki ketertarikan yang sama pada bidang otomotif. Sho pernah menjemputnya dengan mobil, dan Kishi dibuat takjub saat Sho mulai membicarakan tentang mesin dan fitur-fitur lainnya dengan lancar. (“Eh, sorry, aku agak terlalu bersemangat. Membosankan, ya?” | “Tidak, kok, aku senang melihat Sho yang penuh semangat.”)

Dalam percakapan yang sama, Kishi juga mengetahui bahwa Sho memiliki motor. Motor keren seperti yang milik Jinguji (“Pfft, ‘motor keren’?” | “Habisnya, Jinguji kelihatan keren sekali kalau mengendarai motor itu!”). Tepat saat itu mereka sampai ke tujuan, sehingga pembicaraan mengenai motor pun terlupakan.

Namun ternyata, Sho tidak lupa. Pada pertemuan selanjutnya, ia muncul di depan apartemen Kishi dengan motor hitam berukuran cukup besar. Kishi menatapnya dengan mata berbinar, lalu dengan polos bertanya pada Sho apakah ia boleh memegangnya. Sho-yang baru saja mengeluarkan helm penumpang untuk Kishi-melongo sejenak, lalu tertawa dan berkata bahwa tentu saja Kishi boleh memegang motornya.

“Aku juga punya SIM motor,” kata Kishi tiba-tiba, sejenak tatapannya terlihat jauh. “Dulu, sih. Sekarang sudah kadaluarsa.”

“Oh, tidak diperbarui?”

Kishi tidak langsung menjawab, tidak tahu bagaimana harus menjelaskan. Jadi ia hanya tersenyum pahit sambil mengelus motor, “Iya, karena sekarang aku tidak punya motor.”

Jawaban tersebut sebenarnya bisa membawa pada pertanyaan lain. Namun melihat ekspresi Kishi, Sho hanya mengangguk saja, memutuskan untuk tidak bertanya lebih lanjut. Ia membantu Kishi memasang helm, kemudian memberikan isyarat agar Kishi naik.

“Pegangan erat-erat, ya.”

Hari ini mereka berencana untuk ke tempat memancing. Sho pernah mengatakan bahwa waktu masih kecil dulu, ia pernah dibawa ke tempat memancing di pinggir kota. Setelah mengetahui bahwa Kishi juga ingin memancing, tempat memancing langsung menjadi tujuan pergi mereka berikutnya.

Kishi senang sekali-sudah lama ia ingin mencoba memancing. Selain itu, ia juga bisa sekali lagi merasakan nikmatnya angin yang menerpa tubuh saat mengendarai motor. Kalau boleh jujur, Kishi sudah hampir lupa bagaimana rasanya. Jadi saat mereka memasuki jalan yang sepi dan Sho mulai menaikkan kecepatan, perlahan Kishi merentangkan kedua tangannya. Aah, ia sangat merindukan sensasi ini.

.

.

“Yuta, mau kemana?” Ren langsung berdiri dari sofa ketika melihat Kishi memakai jaket dan mengambil kunci motor.

“Hanya ke supermarket sebentar. Ternyata terigu dan tepung roti kita habis…”

“Oh, ayo aku antar.”

“Tidak usah-“

“Siang-siang begini, pasti di luar panas dan berdebu, kan?” kali ini Ren mencubit kedua pipi Kishi, kemudian mendaratkan ciuman singkat di dahinya. “Kasihan Yuta. Aku antar saja ya?”

Dan begitulah, motor Kishi sudah tidak pernah digunakan lagi. Di hari kerja, ia berangkat ke kantor dengan kereta. Di hari libur, Ren mengantarnya kemana-mana menggunakan mobil. Setelah dipikir lagi, ia juga tidak pernah pergi kemana-mana tanpa Ren.

Kishi menunduk, melihat kunci motor di tangannya, kemudian menghela nafas panjang.

.

.

Pada akhirnya, Kishi berhasil memancing dua ikan kecil, sementara Sho berhasil memancing beberapa ikan besar. Kishi setengah merajuk melihat perbedaan hasil mereka, kemudian main-main berkata bahwa mungkin ikan-ikan besar itu sengaja memakan umpan Sho karena Sho tampan.

Saat itu perhatian Kishi masih tertuju pada ikan kecil yang ditangkapnya, dan tidak melihat ekspresi Sho yang membeku sejenak. “…padahal, Kishi-kun juga menggemaskan sekali.”

“Eh? Sho bilang sesuatu tadi?”

“Tidak,” dengan cepat Sho menutupinya dengan senyum, lalu membantu Kishi melepaskan kembali ikan-ikan yang sudah mereka tangkap tadi, sesuai aturan tempat memancing tersebut. “Oh, iya. Sebentar lagi kan jam makan siang. Kishi-kun mau makan di taman dekat sini? Aku bawa bekal.”

“Bekal?”

“Onigiri saja, sih. Bagaimana?”

“Mau!”

Jadi mereka duduk bersebelahan di bawah pohon, tak jauh dari tempat memancing tadi. Sho mengeluarkan empat bungkus onigiri jumbo dari dalam tas yang dibawanya, memberikan dua bungkus pada Kishi. “Tapi aku tidak jago memasak. Maaf, ya, kalau rasanya tidak enak.”

Kishi hanya menggeleng, lalu mengucapkan terima kasih pada Sho. Aneh sekali. Mungkin ini pertama kalinya seseorang sengaja membawakan bekal untuknya. Dulu, ia yang selalu memasak untuk Ren. Ren bisa menanak nasi, tapi sepenuhnya bergantung pada Kishi untuk memasak hal-hal lain. Dan sekarang Sho sengaja memasak untuknya.

Onigiri tersebut terlalu asin, nasinya mudah hancur, dan isiannya tidak beraturan. Sho mengeluarkan suara kaget saat menggigit, lalu sekali lagi meminta maaf pada Kishi bahwa onigirinya tidak enak. Tapi Kishi menatap Sho dengan senyum lebar dan mata berkaca-kaca. Entah mengapa, bagi Kishi, ini adalah onigiri paling enak yang pernah ia makan.

.

.

Setelah seharian penuh, akhirnya Kishi berhasil membereskan area dapur. Jinguji ikut datang untuk membantu, sambil bersungut-sungut mengapa Kishi tidak mengajak Sho sekalian. Kerja bertiga tentu saja lebih cepat daripada kerja berdua saja. Kishi terus mengelak dari pertanyaan tersebut, jadi lama-lama Jinguji menyerah juga.

Tetapi saat Jinguji duduk di sofa sambil mengelap keringat, ia baru sadar. Kamar Kishi sudah jauh berbeda dengan yang ia ingat.

Sudah tidak ada lagi tumpukan baju kotor di lantai. Tidak ada bekas makanan instan dan bungkus bento minimarket yang tercecer. Gorden dibuka lebar, membiarkan cahaya matahari senja masuk menyinari ruang apartemen. Ranjang Kishi-yang sebelumnya dipenuhi berbagai barang sampai tidak bisa ditiduri-kini terlihat bersih. Dua buah bantal, guling, dan selembar selimut terlipat rapi di atasnya. Dan saat ini Kishi sedang berdiri memunggungi Jinguji, memasukkan telur dan sayuran ke lemari es.

Benar juga. Benar juga. Kishi menanggapi candaan Jinguji dengan tawa. Kishi menceritakan tempat yang dikunjunginya bersama Sho dengan penuh semangat. Mereka juga sudah bisa berdebat sengit dan saling meledek lagi.

“Kishi-kun?”

Belum sempat Kishi bereaksi, Jinguji sudah memeluk Kishi erat-erat dari belakang.

Satu tahun dan tujuh bulan. Akhirnya, sahabatnya hidup kembali.

.

.

“Yuta? Maaf, ya. Tiba-tiba aku diajak makan malam dengan klien. Aku bawa oleh-oleh, kok. Katanya, kue lemon di tempat itu lumayan terkenal.”

Lagi.

Ren meletakkan boks kecil berisi kue di atas meja makan, lalu menunduk dan mengecup rambut Kishi. Tentu saja Kishi juga masih dapat menciumnya-wangi parfum lain di kemeja Ren.

Ia sudah tidak tahan lagi.

“Oh, iya, makan siang juga…” kali ini Ren mengeluarkan kotak bento yang disiapkan Kishi tadi pagi, sama sekali masih belum dibuka. “Aku-“

“Ren. Ren bosan dengan masakanku?”

“…”

“Kalau ada yang bisa aku lakukan untuk memperbaiki rasanya sehingga masuk ke selera Ren, kalau ada yang aku masak dengan cara yang salah, aku mohon beritahu aku.”

Suara Kishi bergetar, dan ia menatap Ren dengan mata berkaca-kaca. Ini bukan tentang masakan, tapi Kishi yakin Ren tahu jelas apa yang ia maksud. Jadi saat Ren tidak menjawab, hanya menghapus air mata Kishi dengan jarinya, Kishi mengerti.

Saat itu, semuanya sudah berakhir.

.

.

“Umm, ini enak sekali!”

“Sho, kunyah pelan-pelan!” Kishi tertawa melihat pipi Sho yang menggembung seperti tupai. “Makanannya tidak akan kabur kemana-mana, kok!”

Sho tampak ingin berbicara, namun mulutnya masih terlalu penuh. Baru saja semuanya berhasil ditelan, ia langsung mengambil karaage dan telur gulung. “Ternyata Kishi-kun jago masak! Semuanya enak sekali!”

Dari tiga kotak bekal yang Kishi bawa untuk piknik mereka hari itu, Sho sudah menghabiskan dua kotak. Sandwich, onigiri, kakiage, cream croquette… Kishi membawa berbagai makanan dalam porsi kecil-kecil, dan Sho memakan semua dengan lahap sambil terus memujinya.

“Kalau aku bisa membuat makanan seenak ini,” kata Sho tiba-tiba, mulutnya masih setengah mengunyah. “Aku akan masak tiap hari! Ini jauh lebih enak daripada bento minimarket!”

”Padahal bisa memasak seenak ini, tapi kenapa selama ini Kishi-kun memilih untuk makan bento minimarket setiap hari?”-walau Kishi yakin pertanyaan tersebut mungkin terlintas di benak Sho, ia bersyukur Sho memilih untuk tidak mengatakannya.

Kishi memasukkan spring roll ke dalam mulut, lalu tersenyum puas. “Enak…”

“Ya, kan? Masakan Kishi-kun enak sekali.”

“Haha, kenapa malah Sho yang bangga?”

Hari itu mereka piknik di taman kota. Sebelumnya ’taman kota’ tidak masuk dalam rencana ’tempat yang ingin dikunjungi’ oleh Sho. Tapi saat Jinguji mengirimkan foto piknik di Central Park dengan Genki, Kishi menatap Sho dengan mata yang jelas-jelas mengatakan ”aku juga mau! Aku juga mau piknik!”.

Sesi makan siang mereka ditutup dengan dua cone es krim yang dibeli Sho. Setelah semuanya habis, Kishi berbaring di tikar, menatap pohon di atas kepalanya.

“Jinguji juga sebentar lagi akan pindah ke Amerika secara permanen ya…”

“Hmm,” Sho hanya mengangguk, lalu berbaring di sisi Kishi. “Yah… Genki tidak mungkin memindahkan perusahaannya, sih. Kalau mau tinggal bersama, harus Jinguji yang pindah ke sana.”

“Sepinya… padahal, aku pindah ke kota ini karena ada Jinguji…” gumam Kishi pelan. Nah, bicara soal Amerika, “…kalau Sho, tidak ada rencana kembali ke Amerika?”

“Tidak,” jawab Sho ringan. “Berbeda dengan Genki, aku hanya ke sana untuk mencari pengalaman saja. Aku memang berencana untuk terus tinggal di Jepang, kok. Lagipula…”

Sho berhenti sejenak. Penasaran, Kishi perlahan menengok ke arah Sho-dan mendapati bahwa Sho sedang menatapnya dengan ekspresi lembut.

“Lagipula, di Amerika tidak ada Kishi-kun.”

.

.

Dari bertemu setiap dua minggu sekali, kini mereka bertemu minimal satu kali setiap minggu. Bahkan Kishi sudah pernah datang ke rumah Sho, dan sebaliknya. Percakapan di LINE pun tidak terputus, dan Kishi akhirnya mengakui bahwa menghabiskan waktu dengan Sho memang membuatnya senang. Rekan-rekan kerjanya pun menyadari hal tersebut. “Kishi-kun terlihat lebih ceria.”

Masa-masa penuh kegelapan itu, rasanya seperti mimpi saja.

Jinguji bilang bahwa waktu akan mengobati segalanya. Saat itu Kishi tidak percaya. Buktinya, setelah enam bulan berlalu, ia masih menangis saat memikirkan Ren. Terkadang ia tidak menangis, tapi rasa sakit tetap menancap dalam hati Kishi. Genki bilang bahwa mungkin menemukan orang baru bisa menjadi solusi cepat. Kishi tidak ingat apa yang ia katakan saat itu-mungkin bantahan keras tanpa alasan, atau hanya menangis tanpa jawaban.

Hirano Sho bukan solusi cepat. Kishi mengakui bahwa 'waktu' membuat sebagian besar lukanya memudar, dan pertemuannya dengan Sho sedikit demi sedikit mengembalikan cahaya dalam kehidupannya. Tetapi hati yang retak tidak dapat sembuh dalam semalam. Meskipun begitu, Sho tetap berada di sisinya tanpa menyerah. Kishi membuat dinding setinggi langit agar tidak perlu lagi merasakan patah hati, namun tampaknya Sho tahu cara untuk membongkar dinding tersebut.

Hari itu Sho membawa Kishi berjalan-jalan di dekat pantai menggunakan motor. Mereka tidak turun dan bermain air, tentu saja, tapi tetap berhenti di toko es serut untuk merasakan manisnya ’musim panas yang akan segera datang’. Selain toko es serut, mereka juga mencoba olahan kelapa dan es semangka. Kishi bercanda bahwa jika mereka makan es sebanyak ini, bisa-bisa besok ia sakit perut. Tetapi Sho hanya tertawa, mengatakan bahwa jika Kishi sakit perut sampai tidak dapat bangun, maka Sho yang akan datang dan merawatnya.

Setelah puas makan es dan berlarian di pinggir pantai, mereka pun berjalan menuju tempat Sho memarkir motor, siap untuk pulang.

“Kishi-kun, mau coba menyetir?” tanya Sho tiba-tiba.

“Eh, aku kan sudah tidak punya SIM…”

“Tapi masih ingat cara menyetir motor, kan? Pelan-pelan saja, di sini juga jalanan sepi.”

Jadi, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Kishi memegang setir motor. Sho naik dengan mudah di belakangnya dan langsung berpegangan pada pinggang Kishi. Setelah diberikan sedikit petunjuk penggunaan, Kishi menyalakan motor dan mulai melaju.

Sudah berapa lama ia sejak ia terakhir kali merasakan terpaan angin di pipinya seperti ini?

Kalau diingat kembali, Kishi tahu ia terlalu cepat membuat keputusan. Kata siapa Ren akan selalu ada untuk mengantarnya kemana-mana dengan mobil? Kata siapa Ren akan selalu ada di sisinya? Saat itu Kishi sudah dewasa. Ia sudah melihat teman-temannya menikah dan membangun keluarga. Saat menyewa apartemen berdua dengan Ren, Kishi mengasumsikan bahwa hubungan ini permanen. Mereka akan bersama untuk selamanya, mungkin mengadopsi dua anjing kecil dan menghabiskan waktu bersama-sama sampai tua.

Tapi saat itu, Ren baru lulus kuliah. Kehidupannya baru saja dimulai. Ren sudah mengejar Kishi mati-matian sejak SMA, tanpa ragu mengatakan bahwa ia akan menikahi Kishi suatu hari nanti. Kata siapa perasaan anak SMA berusia lima belas tahun tidak akan berubah untuk selamanya? Ren masih muda. Wajar jika pemikirannya berubah seiring berjalannya waktu. Wajar jika setelah tumbuh dewasa, Ren menyadari bahwa ia menginginkan hal lain untuk masa depannya.

Dalam pikiran Kishi, lebih mudah baginya untuk menganggap bahwa semuanya adalah salah Ren. Ren-lah yang sudah menorehkan luka yang dalam di hatinya. Tetapi mungkin tindakan Kishi-yang berpura-pura tidak melihat, yang menolak untuk melepaskan Ren-juga telah menyiksa mereka berdua.

Motor yang dikendarai Kishi perlahan melambat, dan akhirnya berhenti di sisi jalan.

“…Kishi-kun?” tanya Sho pelan, suaranya terdengar khawatir. “Kishi-kun sakit perut karena kebanyakan makan es?”

Kishi tidak menjawab, namun samar-samar Sho dapat mendengar isak tangis. Jadi, tanpa bertanya lagi, Sho melingkarkan tangan pada dada Kishi, memeluk Kishi dari belakang.

“Kishi-kun, tidak apa-apa. Aku ada di sini. Aku akan selalu ada di sini untuk Kishi-kun.”

.

.

Diam-diam, Kishi selalu mengagumi hubungan Jinguji dan Genki. Ia sendiri tidak yakin sejak kapan Jinguji dan Genki mulai berpacaran. SMP? SMA kelas 1? Yang pasti, hubungan tersebut sudah berjalan cukup lama.

Mereka pasangan yang solid. Tentu saja kadang pertengkaran tidak terhindarkan, namun mereka berdua selalu tahu cara untuk mengatasinya. Tahu-tahu, Kishi sudah melihat mereka bergandengan tangan dan bermesraan di lorong sekolah. Bahkan saat hubungan tersebut harus berubah menjadi long-distance relationship, ikatan mereka sama sekali tidak tergoyahkan.

Kishi ingat pernah bertanya apakah Jinguji tidak bosan, terus menjalani hubungan dengan satu orang yang sama. Jinguji menggeleng, mengatakan bahwa ia tidak dapat membayangkan hidupnya tanpa Genki. Jika sudah ada Genki, tidak ada lagi orang lain yang menarik untuknya. Genki adalah yang pertama dan satu-satunya.

Saat Ren pertama kali menyatakan cintanya pada Kishi, mungkin tanpa sadar Kishi menaruh standar tersebut pada Ren. Satu orang untuk seumur hidup. Tanpa peduli badai yang menerjang, Ren akan selalu mencintai dan berada di sisinya.

Jadi saat ternyata perasaan Ren berubah, saat Ren tidak memilihnya dan mereka harus berpisah, Kishi merasa seolah dunianya berakhir. Ia tidak akan lagi merasa bahagia. Tidak ada lagi orang yang akan mencintainya. Dan sebaliknya, ia juga tidak akan bisa lagi mencintai orang lain. Padahal, mungkin saja, Kishi keliru sama sekali.

.

.

Beberapa minggu sebelum tanggal flight Jinguji ke Amerika, Kishi menerima telepon dari ayahnya.

“Ada undangan pernikahan yang dikirim ke rumah.”

Walaupun ayah Kishi tidak berkata lebih lanjut, Kishi sudah tahu pernikahan siapa yang dimaksud. Mungkin dikirim ke alamat rumah ayah Kishi karena sang pengirim tidak mengetahui alamat Kishi yang sekarang. Ayahnya bertanya, dengan pemilihan kata yang hati-hati, apakah Kishi mau agar undangan tersebut diteruskan padanya.

Kalau boleh jujur, Kishi sangat tergoda untuk mengatakan “ya”. Walau tahu bahwa mungkin ini akan mengorek luka lama, ia ingin tahu siapa wanita beruntung yang bisa menikahi Ren. Warna apa yang mereka pakai dalam undangan pernikahan mereka? Dahulu sekali, Ren dan Kishi pernah membayangkan resepsi pernikahan seperti apa yang mereka inginkan. Dekorasi seperti apa yang ingin mereka pajang, lagu apa yang ingin mereka putar. Walaupun partnernya kini berbeda, apakah Ren akan tetap menggunakan ide-ide yang mereka bangun tersebut?

Kishi ingin tahu. Tetapi anehnya, perasaan tersebut berhenti di sana. Sejak berpisah dengan Ren, Kishi tahu cepat atau lambat hari seperti ini akan datang. Tentu saja Kishi juga sudah membayangkan kira-kira bagaimana reaksinya nanti. Apakah ia akan menangis meraung-raung? Atau apakah saat itu ia sudah berdamai dengan Ren dan sudah bisa bahagia untuknya? Kenyataannya, saat ini Kishi tidak merasakan apa-apa.

“Tidak usah,” kata Kishi akhirnya. “Ayah simpan saja.”

Selamat tinggal, Ren.

Setelah itu mereka mengobrol sejenak, dan pembicaraan diakhiri dengan janji bahwa Kishi akan pulang ke sana di hari libur berikutnya. Benar juga. Sejak pindah kemari, Kishi belum pernah pulang ke rumah ayahnya lagi. Kota itu selalu mengingatkan Kishi akan Ren. Karena itulah ayahnya juga tidak pernah memaksa. Tetapi setelah dua tahun, dan setelah mendengar tentang Sho, mungkin ayahnya pikir Kishi sudah memiliki keberanian hati untuk pulang.

“Kishi-kun?” Sho-yang sebelumnya sedang bermain dengan kumbang rusa peliharaan Kishi-berjalan menghampiri. “Semua baik-baik saja?”

“Mantan pacarku akan menikah,” jawab Kishi datar. Ia menjatuhkan diri di sofa, dan Sho duduk di sebelahnya.

“Kishi-kun…”

“Aneh, ya,” Kishi tersenyum tipis. “Dulu, memikirkan tentangnya saja sudah membuatku menangis. Aku selalu ingin kembali ke masa lalu, mencari di mana kesalahanku, apa yang bisa aku perbaiki agar aku tidak kehilangannya. Tapi saat ini… Setidaknya, aku sudah tidak berpikir lagi bahwa masa laluku dengannya lebih bahagia daripada hari-hari yang aku jalani sekarang…”

Tangan Sho bergerak, perlahan menautkan jemarinya dengan Kishi. Seolah mendapat keberanian, Kishi melanjutkan kalimatnya.

“Hari-hariku dengan Sho, tidak kalah membahagiakan.”

Melihat senyuman Kishi, rasanya Sho ingin meleleh. Ia jadi ikut tersenyum, dan senyumannya berubah menjadi tawa saat tiba-tiba Kishi melompat untuk memeluknya. Ia balas memeluk Kishi, dan tak lama kemudian keduanya sudah bergulingan di karpet seperti sepasang pegulat.

.

.

“Jinguuujiiii….” Kishi mengelap ingus dengan tisu, lalu kembali mengubur kepalanya pada dada Jinguji. Kalau tidak sedang di tempat umum, mungkin Kishi akan memeluk Jinguji seperti koala memeluk pohon-menggantung dengan dua tangan dan dua kaki.

“Aduh, Kishi-kun,” dengan agak canggung, Jinguji menepuk-nepuk kepala Kishi. Di sebelah Kishi, Sho berdiri dengan satu boks tisu dan satu kantong plastik-sesekali memberikan tisu bersih pada Kishi dan membuang tisu bekas ke dalam kantong plastik. Jinguji memberikan isyarat pada Sho, namun Sho hanya mengangkat bahu saja, sama sekali lepas tangan.

“Jinguujii, jangan pergi… huwee..”

“Kishi-kun, kau menangis lebih banyak daripada ibuku.”

Walau sudah tahu tanggal keberangkatan Jinguji ke Amerika dari hari-hari sebelumnya, tetap saja Kishi menangis saat mengantar Jinguji ke bandara. Tentu saja awalnya ia juga tidak berniat untuk menangis. Jinguji sudah banyak sekali membantu Kishi-melewati hari-hari yang suram, menuntun tangannya saat ia kehilangan arah, dan tertawa di sisinya saat Kishi berhasil menemukan cahaya baru. Jadi Kishi berniat untuk menghadap Jinguji dengan senyuman lebar sambil menyampaikan rasa terima kasihnya.

Tetapi ketika melihat Jinguji selesai melakukan check-in dan menerima boarding pass, rasanya semua emosi yang tersimpan dalam dada Kishi mendadak tumpah keluar. Jinguji akan benar-benar pergi.

“Kishi-kun.” Mungkin kasihan dengan Jinguji, akhirnya Sho pun turun tangan. “Kita bisa mengunjungi Jinguji kapan-kapan. Ya?”

Semua bujukan Jinguji dan Sho seperti tidak digubris, tetapi saat Sho berjanji bahwa setelah ini mereka akan makan sukiyaki, akhirnya Kishi melepaskan Jinguji dengan penuh air mata. Entah mengapa, Jinguji jadi merasa bersalah melihat wajah berantakan Kishi-padahal ini kan sama sekali bukan salahnya!

Setelah berbagi tos dengan Sho dan menerima pelukan Kishi untuk terakhir kali, Jinguji melambaikan tangan dan berjalan pergi. “Bye-bye, Jinguji! Titip salam untuk Genki, ya!”

Dan begitulah, Jinguji pun pergi untuk memulai hidupnya yang baru di Amerika bersama Genki.

“Sho…”

“Hm?” Sho langsung menengok ke arah Kishi, bersiap jika Kishi akan menangisi kepergian Jinguji lagi.

“Sho tidak akan meninggalkan aku, kan?”

“Tentu saja tidak.”

“Janji? Selalu?”

“Selalu,” jawab Sho yakin. “Aku akan selalu berada di sisi Kishi-kun.”

Air mata yang jatuh di pipi Kishi kali ini, berbeda dengan air mata yang Kishi tunjukkan untuk Jinguji tadi. Sho mengangkat sebelah tangan, perlahan menghapus air mata Kishi dengan jarinya.

“Tangan Sho dingin,” gumam Kishi. “Tapi, rasanya menenangkan…”

“Oh? Mungkin karena Kishi-kun baru menangis, pipinya jadi terasa panas?”

Kishi tidak lmenjawab. Ia melingkarkan tangan pada bahu Sho, lalu mendekatkan wajahnya. Mengerti apa yang Kishi inginkan, Sho memindahkan tangannya ke belakang kepala Kishi, dan dengan lembut mengecup bibirnya.

Tangan Sho dingin. Tetapi bibir Sho hangat. Sehangat dada Kishi saat ini.

.

.

“Sho, kita jadi makan sukiyaki, kan?”

“Iya. Kan tadi aku sudah janji.”

“Boleh pesan kue juga?”

“Boleh. Tapi jangan terlalu banyak, ya. Tidak baik makan gula banyak-banyak.”

“Hore! Kalau begitu, untuk makan malam, aku akan membuatkan masakan yang Sho mau! Sho mau apa?”

“Hmm… Nasi goreng spesial Kishi-kun!”

“Hahaha! Lagi? Sho tidak bosan?”

“Tidak! Soalnya, semua masakan Kishi-kun enak sekali. Aah, kalau saja aku bisa makan masakan Kishi-kun setiap hari…”

“…bisa, kok.”

“…”

“…”

“EH?! Iya! Aku pindah! Aku pindah ke apartemen Kishi-kun hari ini!”

“Tunggu sebentar-Sho-ahh!”

Sama seperti Jinguji yang akan memulai hidup barunya hari ini, akhirnya Kishi juga siap untuk memulai hidupnya yang baru bersama Sho.

.

.

Notes

Setelah AAA, insiden Ryo kena skors (pas ini sy dah yakin banget doi bakal resign), dan lain-lain, sy pikir sudah kebal menghadapi "oshi pergi". Ternyata oh ternyata wkwkwk ga ada yang ngalahin sakitnya ditinggal Jinguji Yuta. Jujur sampai saat ini pun sy masih kerasa kayak... sedih, dan masih setengah ga percaya(?). Ada rasa bersalah karena ga bisa langsung move on. Saya punya oshi lain di HiHi Jets dan Shonen Ninja. Tapi sejak November, rasanya bener-bener... patah hati sama janis. Mungkin akan ambil break dulu sebentar dari support HHJ dan Shonin. Malah curhat deh hehe sorry ya.

Lanjut ke notes sedikit tentang ceritanya:
1. Plotnya apa? GAK ADA. Maap ini sy agak asal, nulis apa yang ingin ditulis saja. Kalau ada plot hole, tidak usah terlalu dipikirin ya hehe.
2. Saya tadinya mau sekalian bikin friendshipnya JiguHira. tapi ujungnya ini jadi Kishi-centric banget (maap) jadi ga sempet bikin yang lain-lain. Maap jujur saya ngga sanggup bikin cerita panjang-panjang huhuhu
3. Tadinya mau buat Ren lebih jahat(?), tapi nggak tega saya soalnya ini anak baik-baik wkwk

kishi yuta, ff, nagase ren, jinguji yuta, hirano sho

Previous post Next post
Up