Sebelumnya saya sudah janji(?) dengan diri sendiri: kalau Jinguji-Kishi-Sho join bareng setelah resign, saya akan coba nulis fanfic mereka x aktris. btw kalau pada inget, dulu Jinguji-Honoka-Moka-Yuna (+Genki) sempet 1 project di Kasuka na Kanojo. Memang anak-anak kesayangan heheh Aslinya saya lagi ngerjain ff lain yang lebih panjang, tapi hilang arah(?) di tengah jalan dan malah melenceng bikin ini??? Jadi jujur ini saya juga bingung ceritanya apa. Gak ada inti ceritanya! (menangis) Paling bingung bikin yang Sho, jadi pendek sendiri dibanding yang lain. Ini kayak... gak tau, bingung saya. Gak jelas tapi gapapa hehehe. tdk menerima kritik pedas soalnya mental q lemah.
edit dikit krn lupa info: di sini anggaplah mereka semua seumuran + kishi lebih tua dikit dari mereka ya hehehe
Notes: latarnya sama, tapi kalau mau dibaca terpisah pun bisa (mungkin)
.
.
1) Jinguji Yuta x Yahagi Honoka
“Kalau aku mau mengunggah satu foto saja di Instagram, menurut Jin-chan paling bagus yang mana?”
Matahari bersinar dengan terang di atas kepala Jinguji, dan angin menyapu rambutnya. Jinguji memperbaiki posisi kacamata hitam yang ia kenakan, lalu mengenakan topi. Hujan tak pernah absen dari ramalan cuaca selama beberapa hari terakhir, jadi hampir saja mereka membatalkan rencana piknik hari ini. Walaupun tadi pagi ramalan cuaca mengatakan cerah berawan, Jinguji tetap khawatir bagaimana jika hujan mendadak turun. Untung saja sejauh ini cuaca cukup bersahabat.
“Jin-chan!”
Jinguji langsung menoleh begitu mendengar namanya dipanggil. Tak jauh dari tempat Jinguji berdiri, Honoka melambaikan tangan dengan penuh semangat. Rambut silvernya berkilau diterpa sinar matahari, rok panjang motif bunga-bunga yang dikenakan Honoka pun sedikit berkibar ditiup angin.
“Honoka, tidak silau?” tanya Jinguji sambil berjalan mendekat. Ia melepas topi, berniat menawarkan kalau-kalau Honoka mau memakainya. Namun Honoka hanya menggeleng. Tampaknya ia terlalu senang sampai-sampai tidak peduli pada teriknya matahari.
“Pemandangan dari sini bagus sekali. Kita jadi bisa melihat semuanya.”
Jinguji mengedarkan pandangan. Karena sedang akhir pekan, tempat ini lumayan padat oleh pengunjung. Perahu angsa terpencar di atas kolam. Di tepi kolam, orang-orang menggelar tikar piknik sambil makan kudapan. Anak-anak berlarian dengan senang kesana-kemari. Sho dan Kishi juga ada di suatu tempat di sana-Sho yang menyewa perahu angsa dengan Yuna, lalu Kishi dan Moka yang bersantai di tikar dengan dua anak Sho.
“Jin-chan,” suara Honoka kembali membuyarkan lamunan Jinguji. Saat tersadar, Honoka sudah melingkarkan sebelah tangan pada bahu Jinguji dan mengarahkan kamera depan ponsel pada wajah mereka.
Klik.
“Tunggu sebentar, aku belum siap!” keluh Jinguji saat melihat wajahnya yang buram karena bergerak tepat saat foto diambil. Karena mengenakan kacamata hitam, area matanya jadi terlihat seperti diberi sensor garis hitam. Foto mereka jadi terlihat seperti foto skandal ”artis cantik dan pacarnya (orang biasa yang sungguh biasa-biasa saja)” yang bocor ke internet.
Honoka hanya tertawa, “Bagus, kan? Candid!”
“Yah, bagus juga sih untuk kenang-kenangan,” Jinguji melepas kacamata hitam dan menggantungkannya pada baju. Kali ini ia menatap kamera ponsel lurus-lurus, memastikan bahwa ekspresinya layak untuk diabadikan dalam foto. “Tapi lebih bagus lagi kalau aku terlihat ganteng di fotonya.”
“Hmm? Biasa saja juga sudah ganteng, kok.”
Kata-kata tersebut meluncur keluar dari bibir Honoka seperti tanpa dipikir. Tanpa beban. Sama sekali tidak menyadari bahwa jantung Jinguji seolah berhenti sedetik karenanya. Belum sempat Jinguji membalas, sekali lagi Honoka mendekatkan wajah-kepala Honoka sedikit menekan pipi Jinguji-dan menekan tombol kamera.
Klik. Klik. Klik.
Mereka berganti pose beberapa kali, memastikan bahwa pemandangan indah di sekitar mereka dapat terlihat. Pepohonan yang hijau, area piknik yang teduh, dan kolam yang terlihat menyegarkan. Tak lama kemudian ponsel pun berpindah tangan. Honoka berlari kecil untuk mencari tempat berfoto yang lain. Jinguji mengikuti dari belakang dengan kamera ponsel terangkat.
Di bawah pohon rindang, di kursi taman yang dikelilingi bunga, dan di atas tumpukan bebatuan-foto Honoka yang berdiri di atas batu besar dengan latar biru langit menjadi favorit Jinguji hari ini. Jinguji terdiam sedikit lebih lama saat melihat layar ponsel yang menampakkan foto tersebut. Entah mengapa, Honoka terlihat seperti peri yang siap terbang. Apalagi dengan rambut silver yang dikibas angin dan make up tipis di sekitaran matanya.
“Bagus?” tanya Honoka sambil berjalan mendekat.
“Mm, bagus sekali. Mau lihat?”
Honoka mengambil kembali ponsel dari tangan Jinguji dengan tangan kanan. Tangan kirinya meraih tangan Jinguji, dan pada saat berikutnya jari mereka saling bertautan. Karena sudah puas mengambil foto, akhirnya mereka pun mulai berjalan kembali ke tikar piknik.
“Kalau aku mau mengunggah satu foto saja di Instagram, menurut Jin-chan paling bagus yang mana?”
“Menurutku? Semuanya bagus.”
“Satu saja!”
“Kalau begitu, mungkin foto candid yang di awal tadi.”
Honoka menghentikan langkahnya. “Kan Jin-chan yang mengeluh dengan foto itu.”
“Tapi Honoka bilang aku ganteng.”
Tawa Honoka langsung pecah begitu mendengarnya. Ia meninju bahu Jinguji main-main, “Jin-chan ganteng di semua foto. Tapi bukan itu yang aku ttanya. Maksudku, dari foto yang hanya ada aku sendirian saja.”
“Kalau begitu, hmm, bagaimana ya…”
“Oh, oh!” Honoka tiba-tiba berbalik dan menatap Jinguji dengan ekspresi jahil. “Jin-chan cemburu kalau aku mengunggah foto sendirian?”
“Tentu saja tidak, memangnya aku Sho?” kali ini giliran Jinguji yang tertawa. Tidak tepat, sebenarnya. Sejujurnya ia kesal jika membayangkan ada laki-laki lain yang tak ia kenal meninggalkan pujian pada kolom komentar di foto Honoka. Tapi ya sudahlah. Biarlah orang-orang itu melihat dari jauh-yang ada di sisi Honoka kan dirinya. Jinguji mengangkat topi, lalu meletakkannya pada kepala Honoka. “Favorit pribadiku yang di atas batu tadi. Tapi semua fotomu bagus, aku bingung kalau harus memilih.”
Begitu menerima topi dari Jinguji, Honoka langsung tersenyum senang. Memang rambutnya sudah cukup terasa panas setelah berjalan-jalan di bawah sinar matahari seperti tadi. Jinguji juga pasti menyadari hal tersebut. Pacarnya memang selalu seperti itu. Terlalu malu-malu untuk mengucapkan dengan kata, tetapi tak pernah ragu menunjukkan lewat tindakan. Tangan Jinguji-yang sedang memperbaiki posisi topi-perlahan menyentuh rambut Honoka.
“Apakah sakit?”
“Apanya?”
“Bleaching rambut.”
“Tidak sakit, kok. Jin-chan mau coba? Rambut pirang sepertinya cocok!”
“Hahaha, bisa-bisa aku digoreng oleh atasanku.”
“Kerja di bank memang ketat ya…” Honoka sedikit menggumam. Mereka baru saja hendak melanjutkan jalan ketika tiba-tiba Honoka teringat sesuatu. “Aku boleh unggah foto Jin-chan?”
“Eh? Tentu saja boleh. Kenapa?”
“Soalnya, setelah dipikir-pikir lagi, aku tidak pernah mengunggah foto Jin-chan di Instagramku.”
Bukan, mereka bukannya sengaja menyembunyikan hubungan. Hanya saja, Jinguji tidak memiliki akun Instagram. Sho mengejeknya habis-habisan untuk itu, tapi begitu Jinguji melihat Kishi-yang sama-sama gaptek sepertinya-ia merasa tidak sendirian. Selama ini Jinguji merasa tak perlu membuat akun. Tapi mungkin tidak ada salahnya ia membuat satu-khusus untuk melihat unggahan Honoka saja (akun anonim, tentu saja. Rasanya agak memalukan jika ia berkata terang-terangan pada Honoka, jadi mungkin Jinguji akan minta tolong pada Moka.).
Jadi begitu mereka sampai di tikar dan Jinguji memastikan bahwa Honoka sudah terlibat pembicaraan seru dengan Yuna-yang juga sudah kembali dari perahu angsa-Jinguji mendekati Moka dan minta diajarkan untuk membuat Instagram. Sho akan mengejeknya. Yuna akan memberitahu Sho, dan Sho akan mengejeknya. Kishi tidak punya akun. Jadi Moka satu-satunya pilihan yang tepat.
Benar saja, Moka tidak banyak bertanya dan tidak banyak berkomentar. Tak sampai lima menit, ia sudah memiliki satu akun anonim dengan satu following. Akun Honoka. Jinguji tak dapat berhenti memperhatikan layar ponsel sambil senyum-senyum.
Honoka baru mengunggah foto piknik mereka seminggu kemudian. Walaupun Honoka bilang hanya akan mengunggah satu foto, ternyata unggahan tersebut berisi dua foto. Yang pertama adalah foto Honoka di atas batu besar-favorit Jinguji. Ia menekan tombol like dengan cepat. Pacarku yang paling cantik sedunia. Nah, bagaimana dengan foto kedua? Jinguji menyapu layar ke sebelah kiri, dan hampir melempar ponselnya ke dinding.
Foto kedua, secara tidak diduga, adalah foto mereka berdua. Honoka yang tersenyum lebar dengan kepala bersandar pada kepala Jinguji. Kalau hanya itu, Jinguji mungkin hanya akan tersenyum saja. Tetapi Honoka menambahkan tulisan di bagian bawah foto dan Jinguji rasanya ingin menjerit.
<>
Instagram sama sekali tidak baik untuk jantung Jinguji.
.
2) Kishi Yuta x Kamishiraishi Moka
Moka yakin bahwa alasan mengapa Kishi menjadi guru TK adalah karena Kishi sendiri terkadang seperti anak kecil.
"Jangan bergerak, ada nasi di dahimu." Moka menjulurkan sebelah tangan, mengambil butiran nasi di dahi Kishi. Bagaimana juga bisa ada nasi di dahi? Masih dapat mengerti jika nasi tersebut berada di sisi mulut atau di pipi, tapi dahi?
Kishi hanya menggumam tidak jelas. Mulutnya masih penuh oleh onigiri. Saat Moka menunjukkan butiran nasi yang dimaksud, Kishi tersenyum senang dan kembali mengeluarkan gumaman tidak jelas. Mungkin maksudnya "terima kasih".
Setelah onigiri di tangannya habis, Kishi langsung mengambil onigiri berikutnya. Padahal pipinya masih menggembung dan belum semuanya ditelan. Tetapi tanpa menunggu lagi, Kishi sudah mulai menggigit onigiri yang baru.
"Astaga, Kishi-kun..." sekali lagi Moka mengulurkan tangan, kali ini mengambil butiran nasi di hidung Kishi. Benar-benar seperti anak TK. Mungkin juga ini alasan mengapa anak kecil sangat menyukai Kishi.
Hirano Nao-anak kedua Hirano Sho dan Hirano Yuna yang berusia hampir dua tahun-masih sering menangis jika ditinggal oleh kedua orang tuanya. Jinguji, Honoka, bahkan Moka sendiri juga sudah pernah mencoba menenangkan Nao, namun jarang sekali mereka berhasil. Tetapi Kishi? Baru melihat Kishi dari ujung matanya saja, Nao sudah mengulurkan tangan minta digendong.
Jadi saat ini Kishi duduk bersila di atas tikar, sebelah tangan menggendong Nao yang sedang tertidur pulas, dan sebelah tangannya lagi memegang onigiri. Moka-lah yang membantu Kishi membuka bungkusan onigiri atau mengambilkan makanan lain jika diminta.
"Tanganmu pegal? Mau gantian?" tanya Moka. Karena sedang tertidur, seharusnya tidak masalah kan jika Moka mengambil alih Nao sebentar?
Kishi hanya menggeleng. Ia berusaha berbicara, namun mulutnya terlalu penuh. Jadi Moka hanya menunggu dengan sabar sampai Kishi menelan seluruh makanan.
"Tidak usah," kata Kishi akhirnya. Ia lalu mengendikkan kepala pada Hirano Karin-anak pertama Sho dan Yuna yang berusia tujuh tahun-yang kini sedang tertidur dengan paha Moka sebagai bantalnya. "Moka-chan sendiri, tidak pegal?"
"Tidak sama sekali." Moka tersenyum tipis. Ia mengelus rambut Karin dengan lembut. "Mereka pasti capek karena bermain terus sejak tadi."
Bicara soal bermain, Moka jadi teringat sesuatu.
"Kishi-kun sendiri tidak kecapekan?"
Benar. Karena dibandingkan Nao dan Karin, tampaknya Kishi-lah yang paling berusaha keras hari ini. Bermain petak umpet dengan Karin, membiarkan Karin memanjat punggungnya, mencari serangga, langsung mengambil alih Nao saat Yuna dan Sho memutuskan untuk naik perahu angsa berdua, pokoknya tak ada sedetik pun di mana anak-anak Hirano tidak mengelilingi Kishi.
"Tidak," Kishi menggeleng ringan. “Hanya sedikit lapar.”
Ia lalu menunjuk fruit sandwich di keranjang piknik, dan Moka mengambil satu untuk Kishi. Bukan hal yang aneh. Sepanjang ingatan Moka, Kishi memang sangat suka sekali makan. Sama seperti onigiri, Kishi langsung membuka mulut lebar-lebar, seolah-olah berusaha untuk memasukkan semuanya dalam sekali gigit.
Dan tentu saja, sesuai dugaan, sekeliling mulut Kishi seketika belepotan oleh krim. Kishi memiringkan kepala dengan wajah bertanya saat mendengar tawa Moka. Secara otomatis Moka mengambil selembar tisu dan menyeka sisi mulut Kishi, sebelum tiba-tiba gerakannya terhenti.
Tunggu sebentar. Piknik ini seharusnya sekaligus kencan mereka, kan? Kok setelah dipikir lagi, Moka jadi seperti sedang mengamati keseharian Kishi sebagai guru TK? Tunggu, tunggu. Bukankah Kishi Yuta tiga tahun di atasnya? Kenapa saat ini ia seperti sedang berhadapan dengan anak kecil yang menggemaskan?
...eh, menggemaskan?
Moka mengernyitkan dahi, pikirannya jadi semakin bingung. Ya sudahlah. Dari saat pertama kali Jinguji-teman SMA-nya-memperkenalkan Moka pada Kishi Yuta empat tahun lalu, ia sudah diperingatkan bahwa Kishi memiliki kemampuan untuk membuat orang terseret dalam ritme Kishi.
Walau awalnya tidak mengerti, lama-kelamaan rasanya ia bisa paham apa yang dimaksud oleh Jinguji. Moka pikir ia memiliki kriteria yang ketat dalam memilih pasangan. Ia ingin orang yang seperti ini, ia ingin orang yang seperti itu. Tapi begitu bertemu dengan Kishi, semua pemikiran tersebut seolah hanyut terbawa oleh tawa lembutnya. Tanpa sadar ia sudah tertawa di sisi Kishi. Tanpa sadar ia sudah menuliskan namanya di bawah nama Kishi dalam kontrak sewa apartemen. Semuanya terjadi begitu natural sehingga Moka tak pernah benar-benar berhenti untuk memikirkannya dengan terlalu keras.
“Moka-chan?”
Suara Kishi mengembalikan Moka pada kenyataan. Moka menengok, menyadari bahwa bungkusan fruit sandwich di tangan Kishi sudah kosong. Apakah Kishi mau makan yang lain? Rasanya ia ingat Yuna juga membawa jus buah dalam cooler bag.
“Kishi-kun masih mau makan?”
Kali ini Kishi hanya menggeleng. Ia menatap Moka lekat-lekat, lalu bertanya dengan nada yang lebih halus. “Sedang banyak pikiran?”
“Eh?”
“Habisnya, tadi wajahmu mengerut begitu. Kalau ada masalah, aku mau mendengarkan kok.”
Moka mengerjap. Bagaimana mungkin ia jujur mengatakan bahwa yang ada di pikirannya barusan adalah Kishi sendiri? Tepat saat itulah mata Moka menangkap sesuatu yang terbang rendah di belakang bahu Kishi. “Oh, kupu-kupu!”
“Kupu-kupu?” Kishi cepat-cepat menengok dengan mata berbinar. Tak butuh waktu lama bagi Kishi untuk menemukan kupu-kupu yang dimaksud. Ia mengangkat sebelah tangan, dan kupu-kupu tersebut hinggap pada jari telunjuknya. “Ah, cantik sekali… Lihat, Moka-chan, sayapnya cantik sekali!”
Tentu saja. Tentu saja. Disukai oleh anak-anak, disukai oleh binatang. Moka tiba-tiba teringat pada tanaman-tanamam dalam pot kecil yang sempat ia pelihara. Tidak tahu apa yang salah, tiba-tiba tanaman tersebut terlihat layu. Namun begitu Kishi yang mengambil alih, secara misterius para tanaman terlihat segar kembali seperti tidak terjadi apa-apa.
Kishi yang polos seperti anak kecil. Kishi yang dengan lembut menanyakan keadaan Moka. Kishi yang selalu berusaha keras. Kishi yang dicintai oleh alam semesta.
Kishi-nya.
Saat itu rasanya Moka ingin beringsut mendekat dan memeluk Kishi. Sayang sekali Karin masih menggunakan pahanya sebagai bantal. Namun, seolah dapat membaca pikiran Moka, Kishi-lah yang bergeser mendekati Moka. Kini bahu mereka bersentuhan. Tanpa ragu, Moka melingkarkan sebelah lengannya pada punggung Kishi.
“Moka-chan, benar baik-baik saja?”
“Tentu saja aku baik-baik saja.” Moka berhenti sejenak, kemudian mengangkat kepala dan menatap mata Kishi sambil tersenyum tipis. “Kalau bersama Kishi-kun, semuanya menjadi baik-baik saja.”
Kishi mengeluarkan suara tertahan, jelas-jelas salah tingkah. Sesaat keduanya hanya saling menatap. Walapun hari itu area piknik cukup ramai, pada momen ini, rasanya dunia hanya milik berdua saja. Moka menutup mata saat Kishi mendekatkan wajah, yakin akan dicium.
Tapi sayang sekali, Kishi Yuta hari ini bukan hanya miliknya seorang.
Tangan kecil mendarat di bibir Moka, dan butuh waktu sampai Moka menyadari bahwa itu adalah tangan Nao, bukannya bibir Kishi.
“Nao-kun, Nao-kun,” Kishi cepat-cepat berdiri, berdoa semoga Nao tidak langsung menangis begitu bangun. Nao tidak menangis, tentu saja. Malah ia tertawa-tawa senang begitu melihat Kishi.
Yah, mau bagaimana lagi. Melihat Kishi dan Nao yang tertawa, tanpa sadar Moka pun ikut tersenyum. Untuk hari ini saja, ia tidak keberatan berbagi perhatian Kishi dengan anak kecil.
.
3) Hirano Sho x Taira Yuna
Di atas perahu angsa, dunia milik berdua saja.
Langit yang biru, angin sepoi-sepoi, dan naik perahu angsa berdua saja.
Yuna meregangkan punggung, lalu menghela nafas lega.
“Pegal?” tanya Sho di sampingnya. Ia menyetir dengan satu tangan, sementara tangan lainnya menggenggam tangan Yuna. “Kita bisa beristirahat di tengah kalau mau. Anginnya juga sejuk.”
“Aku masih mau berkeliling sedikit lagi. Sudah lama sekali kita tidak pergi berdua seperti ini.”
Benar juga. Kalau dibilang begitu, Yuna sendiri tidak ingat kapan terakhir kali mereka sengaja pergi berdua hanya untuk bersantai? Mereka langsung menandatangai formulir pernikahan tak lama setelah lulus SMA. Hirano Karin lahir tepat setahun kemudian. Wajahnya mirip Yuna, tapi tangguh luar biasa seperti Sho. Sejak saat itu, sejak mereka memilih kehidupan sebagai sebuah keluarga, mereka sudah tidak bisa lagi bersantai-santai seperti pasangan muda yang tidak punya tanggungan.
“Iya, rasanya jadi tidak terbiasa ya?” Sho tertawa kecil. “Biasanya kedua tangan kita selalu sibuk.”
“Mm. Syukurlah ada Kishi-kun.”
“Syukurlah ada Kishi-kun,” ulang Sho sambil mengangguk. Entah karena Kishi adalah guru TK atau memang karena ia adalah Kishi Yuta, Hirano Nao lumayan menyukainya. Padahal, kalau digendong oleh orang selain Yuna atau Sho, biasanya Nao akan langsung menangis kencang. “Kalau tidak, mungkin kita harus menunggu sampai Nao agak besar… Mungkin tiga atau empat tahun lagi?”
“Iya, tiga atau empat tahun lalu lagi seharusnya sudah cukup. Itu pun kalau tidak ada anak ketiga.”
Setir terlepas dari tangan Sho, dan ia hampir tersedak ludahnya sendiri.
Maksudnya-tentu saja mereka sudah membicarakan hal ini sejak sebelum Yuna setuju mengambil nama Hirano. ”Tiga anak,” Yuna masih ingat bagaimana Sho mengangkat ketiga jarinya. ”Urutannya anak perempuan, anak laki-laki, lalu anak perempuan. Jadi anak laki-laki kita bisa belajar dari kakak perempuannya untuk menghormati wanita, dan bisa belajar dari adik perempuannya untuk melindungi wanita.”
Mungkin karena memang sedang dimabuk cinta, kata-kata Sho saat itu sangat menyentuh hati Yuna.
“Eh, masih mau punya anak ketiga, kan?” tanya Yuna ringan, seolah-olah ia sedang menanyakan apakah Sho masih mau sup kare sisa kemarin malam atau tidak. “Atau dua sudah cukup? Memang sekarang agak kewalahan sih, tapi jika Karin dan Nao sudah agak besar-”
“T-t-tunggu sebentar,” Sho cepat-cepat mengangkat sebelah tangannya, menghentikan Yuna. Padahal obrolan mereka biasa saja, dan tidak ada orang lain yang mendengar juga selain mereka. Namun entah mengapa Sho merasa wajahnya memanas. Ia mengayuh dengan sedikit lebih keras, berdoa agar hembusan angin dapat membuat panas di pipinya mereda. Karena terlalu berkonsentrasi pada dirinya sendiri, Sho hampir tidak menyadari bahwa Yuna sudah tertawa kecil dari tadi, jelas-jelas menikmati reaksi Sho.
Sho berhenti mengayuh, membiarkan perahu angsa mereka terapung di tengah kolam. “Sebentar-kau menertawakanku?”
“Habisnya Sho lucu sekali.”
Sho.
“Ah,” Yuna terdiam sejenak. Ia menengok ke samping, menyadari bahwa Sho juga sedang menatapnya. Tampaknya mereka berdua sedang memikirkan hal yang sama. “Sudah lama sekali tidak memanggil Sho dengan ’Sho’.”
Karena di depan anak-anak, Yuna memanggilnya dengan ’papa’. Hal ini pun sesuai dengan permintaan Sho. Berhubung Nao masih dalam pengawasan penuh mereka, belakangan hampir tak ada waktu di mana keduanya berbicara hanya berdua saja.
”Yuna.”
Aneh. Rasanya aneh sekali. Padahal hanya saling memanggil nama depan. Mungkin karena sudah lama tidak melakukannya? Mungkin karena dengan memanggil nama tersebut, mereka semakin menyadari bahwa saat ini hanya ada mereka bedua saja di sana?
Mungkin karena keduanya teringat akan memori bertahun-tahun lalu. Saat mereka masih SMA. Saat pertama kali mereka saling memanggil dengan nama depan. Debaran saat itu, kebahagiaan saat itu, rasanya kini dapat mereka ingat kembali.
Sho mengulurkan sebelah tangan, mengelus pipi Yuna. Seolah mengerti apa yang ingin Sho lakukan, Yuna juga menangkat sebelah tangan dan menyentuh pipi Sho. Tanpa aba-aba, keduanya saling mencubit pipi secara bersamaan.
“Bukan mimpi?” tanya Yuna sambil tertawa. Melihat tawa Yuna, Sho pun mau tak mau jadi ikut tersenyum.
“Dapat dipastikan, ini bukan mimpi.”
”Untuk memastikan bahwa ini bukan mimpi, ayo saling mencubit pipi!”
Baik Yuna maupun Sho sudah tidak ingat siapa yang mengucapkan kalimat itu terlebih dahulu. Yang pasti, sampai saat ini, jika ada hal yang terlalu membahagiakan, mereka akan saling mencubit pipi untuk memastikan bahwa ini bukan mimpi. Yuna ingat tatapan prihatin Moka dan Honoka saat ia menceritakan hal tersebut pada mereka. Tapi tidak apa-apa. Biarlah ini menjadi tradisi kecilnya dengan Sho.
“Berapa lama lagi waktu kita?” tanya Yuna tiba-tiba. “Rasanya sudah cukup lama juga kita berkeliling tadi.”
“Hmm, coba kulihat…” Sho melihat arloji di tangan kiri, menghitung waktu yang tersisa sampai mereka harus mengembalikan perahu angsa tersebut. Yuna ikut mencondongkan tubuhnya ke kiri, berusaha ikut melihat. “Lima belas menit lagi.”
Setelah lima belas menit, mereka akan kembali memanggil satu sama lain sebagai papa dan mama. Setelah lima belas menit, kedua tangan mereka akan kembali penuh oleh anak-anak yang mereka cintai. Setelah lima belas menit, mungkin mereka tidak akan mendapat waktu bersantai seperti ini lagi dalam waktu dekat.
Tapi itu lima belas menit lagi.
Sekarang…
Tangan Sho dan Yuna saling menggenggam.
Sekarang, mereka akan menikmati perahu angsa dalam ketenangan. Untuk sekarang, dunia hanya milik mereka berdua.
.
Jadi ini tiga kapal saya ehehe. JUJUR sy agak picky soal kapal Jinguji (maapkeun) tapi yang lain sebenernya fleksibel(?) sih. Kepikiran bikin yang Sho dari post insta dia yang perahu angsa! lalu kalau ada yang inget, nao dan karin sy ambil dari misekodo wkwk dan kebetulan karakter yuna di honey pun namanya nao! mungkin akan penuh sampai akhir tahun jadi belum tahu apakan akan update lagi (curhat)