Title : Tembakan Terakhir
Cast : Abe Aran (Johnny’s Jr), ‘Me’ chara (OC)
Genre : Tragedy, Angst
Rating : PG-16
Summary : Tersisa dua peluru terakhir
▷▶▷▶▷▶▷▶▷▶▷▶▷▶▷▶▷▶▷▶▷▶▷▶▷▶▷▶▷▶▷▶▷▶▷▶▷▶▷▶
Aku melangkah dengan sangat hati-hati. Kakiku secara cermat memilih celah lantai di antara tubuh-tubuh tak bernyawa yang berserakan di lantai. Darah segar mengalir menggenangi lantai, jadi aku harus berhati-hati agar tidak terpeleset dan jatuh di antara tubuh-tubuh bersimbah darah itu. Pintu keluar, itulah tujuanku saat ini.
SRAK
Kedua pistolku sontak kusiagakan. Satu kuarahkan ke pintu keluar, sementara yang satunya kuarahkan kea rah yang berlawanan. Tidak ada satupun suara maupun gerakan yang berarti. Selama sepersekian detik, aku merasa lega. Namun tidak lagi saat aku merasakan ujung pistol menekan kepala belakangku.
“Pintar sekali, tuan putri. Bersembunyi di ruang bawah tanah,”
Suara itu… Suara yang sudah sangat kukenal selama bertahun-tahun.
“Jadi…pada akhirnya…kaulah penjahat yang selalu ada dalam cerita pengantar tidurmu untukku?” bibirku bergetar. Aku menjatuhkan kedua pistol dari tanganku lalu berbalik menghadap orang yang sudah menjadi penjagaku semenjak usiaku sepuluh tahun.
Aran.
Ia mengacungkan pistolnya tepat ke kepalaku. Pistol itu telah menembakkan banyak peluru yang sudah membunuh banyak orang, termasuk kedua orangtuaku yang kini tergeletak bersimbah darah dan tak bernyawa di altar gereja. Para tamu dan penjaga tergeletak tak bernyawa di lantai. Aku tidak pernah menyadari bahwa Aran bisa sebegitu hebatnya.
Suara tawa Aran memecah keheningan. Pemuda yang berusia lebih tua sepuluh tahun dariku itu memperlihatkan deretan gigi putihnya. Garis wajahnya terlihat lebih keras dari sebelumnya. Matanya tampak terpejam dengan meninggalkan sedikit celah, menandakan bahwa ia masih mengawasiku.
“Betapa menggelikan. Semua orang di sini telah mati terbunuh olehku, dan hanya tersisa kau. Kulihat kau langsung menerapkan ajaranku dalam pelajaran menembak,” ujarnya. Pupil matanya bergerak memandang pistol yang kujatuhkan beberapa saat yang lalu.
“Kau… Kenapa?” tanyaku. Aku memberanikan diri menatap matanya, dan dia balas menatapku.
Ia berjalan mengitariku sembari tetap mengacungkan pistolnya tepat ke kepalaku. Ia mengatakan banyak hal. Mulai dari orangtuaku yang telah membunuh orangtuanya saat ia masih kecil, ia yang kemudian bergabung dengan kelompok mafia lain dan mendedikasikan dirinya untuk menghancurkan keluargaku serta orang-orang yang berada di sekitarku, serta betapa ringan hatinya saat ini.
“Tapi aku masih harus membunuhmu. Sendirian. Tepat di depan mataku,” ucap Aran lirih. Aku menatapnya tajam.
“Kalau begitu, cepat tembak aku. Tunggu apa lagi? Cepat habisi aku!!” suaraku bergema di seluruh gereja. Air mataku menetes, mungkin untuk yang terakhir kalinya.
“Aku menyisakan dua peluru, dan…” Aran berhenti tepat di depanku. Ia menatapku lekat. “Peluru terakhir bukanlah milikmu,”
“Jangan buang-buang waktu, Aran. Jangan buat aku menderita lebih lama!”
“Kenapa?” Aran menurunkan pistolnya. Tangannya yang bebas pistol terangkat dan mengusap air mata di pipiku.
“Kenapa aku juga harus membunuhmu? Kenapa selama tujuh tahun menjadi penjagamu, kau menjadi begitu berharga di mataku?” Aran masih menghapus air mata di pipiku. Namun kini, ia yang justru menitikkan air mata.
“Bunuh aku, Aran, bunuh! Percuma aku hidup. Semua yang aku kenal sudah meninggal!” teriakku. Kurasakan tenggorokanku sakit karena terlalu memaksakan diri untuk berteriak.
Aran menggerakkan tangannya yang sedang memegang pistol dan berhenti tepat di depan jantungku. Salah satu sudut bibirnya tertarik dan samar-samar kudengar ia mendesis ‘tentu saja’.
DOR!
Tak ada yang lain yang kurasakan kecuali rasa nyeri di dadaku dan rasa sakit yang luar biasa di kepalaku saat timah panas tersebut menembus daging tubuhku dan bersarang di sana, mungkin ia tengah bersarang tepat di jantungku. Badanku terhempas akibat tekanan peluru hingga aku jatuh tergeletak di atas tubuh sepupuku yang sudah tak bernyawa lebih dahulu. Kepalaku terasa sangat sakit. Tampaknya Tuhan mulai mengambil semua kesadaranku, dan mungkin bahkan nyawaku.
“Tapi tembakan terakhir bukanlah milikmu, tuan putri,”
Pupil mataku bergerak menatap Aran. Pistol itu sudah berpindah ke samping kepalanya. Ujung pistol itu menekan kepalanya, mengarah tepat ke otaknya. Jari telunjuknya bersentuhan dengan pelatuk pistol, bersiap menariknya. Selama sepersekian detik, samar-samar kulihat air mata menetes di pipinya.
“Aran…”
DOR!