[Fanfic] Seperti Kata Pepatah Lama (Aran , Reina , Kishi)

Jun 03, 2015 05:51

Title : Seperti Kata Pepatah Lama   [[Fanfic Request dari dek Margaretha]]
Cast :
  • Margaretha as Matsuyama Reina
  • Abe Aran as himself
  • Kishi Yuta as himself
Genre : Romance, Friendship, Fluff
Rating : PG-16
Summary : Pepatah lama mengatakan, tidak ada persahabatan antara laki-laki dan perempuan yang bisa bertahan begitu lama dan begitu dekat. Lalu, apakah semua akan berakhir sama? (Okay, I’m suck at summary *rolling*)

A/N 1 : Maaf ya, kalau ide ceritanya udah umum, terus ceritanya agak flat. Kepikirannya ini sih, tapi bingung mau nyeritainnya gimana :”)
A/N 2 : Buat dek Retha, maaf kalau ceritanya umum ya, dek. Ide-ide menguap gara-gara kebanyakan males-malesan di kos kaya ikan sarden *rolling*

▶▷▶▷▶▷▶▷▶▷▶▷▶▷▶▷▶▷▶▷▶▷▶▷▶▷▶▷▶▷▶▷▶▷▶▷▶▷▶▷▶▷▶▷▶▷▶▷▶▷▶▷▶▷▶▷▶▷▶▷▶▷▶▷▶▷▶▷▶▷▶▷▶▷▶▷▶▷▶▷▶▷


Matsuyama Reina, Abe Aran, dan Kishi Yuta adalah tiga orang sahabat yang saling menjaga sejak mereka masih berada di bangku TK. Hari itu adalah hari yang berangin. Reina kecil yang baru saja mengunjungi bibinya tengah berjalan menembus hujan angin di jalan di tepi sungai. Namun angin yang begitu kencang rupanya tak dapat dikendalikan oleh Reina sehingga payung yang dipegangnya dipermainkan oleh angin dan akhirnya membuat kaki Reina terpeleset dan ia jatuh ke bawah. Reina pun menangis karena badannya terasa sakit dan ia basah kuyup terguyur hujan. Tak lama kemudian, hujan di sekitar Reina berhenti membasahi dirinya. Reina mendongak dan mendapati dua anak laki-laki seusianya sudah berada di sampingnya dan salah satu dari mereka memayungi Reina dengan payungnya. Sejak itulah persahabatan mereka dimulai.

Tahun demi tahun berlalu. Ketiga sahabat itu selalu berada di sekolah yang sama, walaupun tidak selalu berada di kelas yang sama. Bukan hanya karena kebetulan semata. Mereka bersama-sama belajar dan mengikuti ujian masuk sekolah yang sama. Berkat kegigihan mereka, mereka pun akhirnya bisa bersekolah di tempat yang sama.

Mungkin kalian pada akhirnya teringat pada kisah tiga sahabat di cerita Harry Potter, benar kan? Sebuah pepatah lama mengatakan bahwa tidak ada persahabatan antara laki-laki dan perempuan yang bisa bertahan begitu lama dan begitu dekat. Dalam cerita Harry Potter, tokoh bernama Ron dan Hermione toh pada akhirnya jatuh cinta, sementara tersisa Harry sajalah yang memiliki hati murni sebagai seorang sahabat. Apakah cerita ini memiliki kisah yang seperti itu? Oh, tentu saja tidak. Kisah ini tidak sesimpel kisah si tiga sahabat penyihir tersebut. Kisah dalam cerita ini bermula ketika pada suatu hari Aran dan Kishi mengadakan taruhan yang menjebak hati mereka sendiri.

Pada suatu hari, ketika ketiga sahabat itu sudah mulai memasuki usia enam belas tahun, Aran dan Kishi yang selalu menyempatkan diri untuk bermain basket berdua di gedung olahraga sekolah tiba-tiba berdiskusi tentang satu hal.

“Nee, Aran,” panggil Kishi sembari mengoper bola basket ke arah Aran.
“Apa?” sahut Aran. Tangan lincahnya melempar bola basket yang dengan telak masuk ke ring basket.
“Reina. Kau pernah melihatnya menyukai seseorang?” tanya Kishi. Ia mengabaikan bola basket yang menggelinding ke arahnya dan memilih untuk duduk di lantai.
“Hah? Kenapa tiba-tiba tanya soal itu?” Aran memandang Kishi dengan heran dan Kishi balik menatapnya.
“Ayo taruhan,”
“Haah?” Aran menatap Kishi dengan terkejut. Ia tidak pernah mengerti jalan pikiran Kishi yang terkadang aneh itu.
“Ayolah, ini mudah. Seminggu lagi, kita minta penilaian Reina, siapa di antara kita yang lebih baik. Yang menang akan dinobatkan sebagai pangeran cinta. Tapi tidak boleh pakai perasaan. Ikut?” Kishi mengakhiri penjelasannya dengan pandangan seperti orang yang sedang menawarkan liburan ke Malibu.
“Apa Reina nggak apa-apa?” tanya Aran. Raut wajahnya menyiratkan kekhawatiran.
“Tenang aja, dia kan anaknya cuek. Yang menang boleh main playstation dan Pump It Up selama sebulan penuh,” sahut Kishi sembari mengacungkan ibu jarinya ke arah Aran. Sebuah senyuman pun muncul di wajah Aran.
“Aku terima,” ucap Aran kemudian. Ia menatap Kishi dengan pandangan antusias.

Aran dan Kishi kemudian berlari menuju kelas 1-E. Dari kejauhan mereka melihat Reina yang baru saja keluar dari kelas. Setiap Aran dan Kishi bermain basket berdua sepulang sekolah, Reina selalu menunggu di kelas entah untuk apa. Tapi setelah satu jam berlalu, Reina akan mengemasi barang-barangnya dan beranjak pulang ke rumah. Melihat Reina yang berjalan menjauh membuat Aran dan Kishi mempercepat langkahnya.

“Reina!” Aran dan Kishi sontak merangkul Reina dari kiri dan kanan. Reina yang terkejut hanya memberikan tatapan yang mengisyaratkan kata ‘Ada apa?’.
“Seminggu lagi, kamu harus jadi juri-“
“Untuk menentukan siapa yang layak jadi pemenang dan pantas dinobatkan sebagai pangeran cinta,” lanjut Aran.
“Haah? Kalian demam?” Reina memandang kedua sahabatnya itu seakan mereka baru saja mengajak Reina untuk bermain ski di pantai.
“Ayolah. Kami sedang saaaangat bosan,” ucap Kishi sembari menaik-turunkan nada bicaranya pada kata ‘sangat’.
“Mm…. Oke. Tapi sekarang, lepaskan aku. Kalian bau,” ujar Reina sembari menepis lengan Aran dan Kishi darinya. Ia lalu berlari seraya menjulurkan lidah.
“Enak aja dibilang bau. Reina!” Aran dan Kishi pun berlari mengejar Reina yang berlari menjauh sambil tertawa.

▶▷▶▷▶▷▶▷▶▷▶▷▶▷▶▷▶▷▶▷▶▷▶▷▶▷▶▷▶▷▶▷▶▷▶▷▶▷▶▷▶▷▶▷▶▷▶▷▶▷

  1. Hari Pertama

Aran mempercepat langkahnya ketika ia melihat Reina yang sudah berjalan lebih dulu beberapa meter di depannya. Begitu sudah berada di belakangnya, Aran langsung mengambil alih tas Reina. Reina menoleh dan memandang heran pada Aran. Tapi kemudian ia mengerti bahwa ini adalah salah satu cara Aran untuk bisa memenangkan lomba itu. Reina pun tertawa dan mempersilahkan Aran untuk membawakan tasnya.

Di sekolah, ternyata Kishi telah menunggu Reina di kelasnya, padahal Kishi adalah murid kelas 1-D. Kishi membungkukkan badannya ketika Reina sudah berdiri tepat di depannya. Reina tertawa, namun kemudian ia menghindar saat Kishi hendak merangkulnya. Reina memperbolehkan Kishi dan Aran untuk berkompetisi, tapi dengan syarat tidak boleh ada kontak fisik.  Kishi dan Aran saling berpandangan, lalu mengangguk setuju.

Malamnya, di grup LINE khusus Kishi, Aran, dan Reina , Kishi dan Aran berlomba mengucapkan selamat malam pada Reina. Reina yang tengah berguling-guling di tempat tidurnya hanya bisa menghela nafas. Ia pun mengakhiri bombardir suara ‘ting tung’ dari ponselnya itu dengan mengucapkan satu kalimat.

Reina 「Selamat malam, kalian berdua ٩(-̮̮̃-̃)۶」read

  1. Hari Kedua

Pada sabtu pagi, Reina terbangun karena mendengar suara keras yang berasal dari jendela kamarnya. Kaca jendelanya itu sedang dilempari sesuatu, mungkin batu, sehingga menimbulkan suara yang nyaring. Reina membuka mata dan berjalan menuju jendela. Ia membuka tirai dan mendapati Kishi dan Aran yang sudah berdiri di bawah jendelanya.

“Hei, putri tidur! Cepat bangun! Waktunya belajar!” seru Kishi dari bawah. Reina mendecakkan lidahnya, tapi pada akhirnya ia pun beranjak dari tempat tidurnya menuju kamar mandi.

Hari itu mereka bertiga menghabiskan waktu di rumah Reina untuk mengerjakan semua pekerjaan rumah mereka. Tiga kali ibu Reina menginterupsi mereka dan membawakan makanan ringan dan minuman untuk mereka. Di sela-sela belajar, Kishi dan Aran masih tetap berusaha untuk memenangkan kompetisi. Mulai dari Kishi yang menyuapi Reina dengan kentang goreng, Aran yang menggambar mawar-mawar kecil di buku Reina, sampai Aran dan Kishi yang berebut menyanyikan lagu milik Arashi untuk Reina.

Sebelum Kishi dan Aran pulang, mereka berpamitan dengan ibu Reina. Di pintu depan, begitu Kishi selesai memakai kembali sepatunya, ia berdiri dan membungkuk dan mengucapkan sampai jumpa pada Reina.

“Eh, Reina! Ada kucing!” seru Kishi sambil menunjuk ke belakang Reina. Reina sontak membalikkan badannya. Dengan cepat Kishi menepuk kedua pundak Reina dari belakang, lalu berlari menyusul Aran yang sudah berjalan pulang duluan.

  1. Hari Ketiga

Pada hari sebelum hari Senin, dua sahabat yang sedang terlibat kompetisi tersebut mengajak Reina untuk pergi ke Fuji-Q Highland. Hal pertama yang mereka lakukan di sana adalah mengambil foto di photobox, atau biasa disebut purikura. Berhubung ada peraturan yang melarang purikura yang hanya dilakukan oleh laki-laki, maka mereka bertiga berfoto beramai-ramai.

Selesai berfoto, mereka bertiga berjalan menuju tempat makan. Di sana mereka memesan kentang goreng dengan porsi besar untuk mereka makan bersama. Sembari memakan kentang goreng yang mereka pesan, mereka juga melihat-lihat foto yang tadi mereka ambil.

“Dih, Aran curang. Kan harusnya wajah jelek, kenapa kamu malah sok keren?” tanya Reina sembari menunjuk salah satu foto. Kishi mengambil kentang goreng dan menyuapkannya pada Reina.
“Tapi, dari semua foto ini, cuma aku yang paling keren,” ucap Kishi sambil tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Reina langsung melepas topinya dan memukul kepala Kishi dengan topi itu.
“Kishi, kamu lagi ngapain di foto ini? Serius banget,” Aran sontak tertawa saat melihat pose Aran di salah satu foto. Aran pun berdeham.
“Aku… Kalau perang ini berakhir, aku akan menikahi kekasihku. Dan kalau aku mati, akan kusuruh dia membuang abuku di laut di kota kelahiranku,”

Dua topi dengan telak menghantam kepala Kishi dengan lumayan keras. Reina tertawa seraya memakan kentang gorengnya, sementara Aran memandang Kishi dengan pandangan tidak percaya.

“Jangan bego deh. Perangnya aja belum mulai, terus kamu nggak punya pacar. Lagian, di Saitama nggak ada laut,” ujar Aran diakhiri helaan nafas yang panjang.

Selesai makan, mereka bertiga masuk ke rumah hantu. Lalu menaiki Fujiyama, Ee Janai ka, dan bianglala. Setelah puas bermain di Fuji-Q Highland, mereka bertiga pulang ke rumah Aran. Berhubung keluarga Aran sedang menghadiri pesta pernikahan teman ayah Aran, maka mereka memutuskan untuk bermain sebentar di rumah Aran.

Aran dan Reina langsung menghambur pergi saat Kishi mulai menghitung. Mereka sedang bermain petak umpet, permainan favorit mereka sejak kecil. Aran dan Reina sama-sama menaiki tangga menuju kamar Kishi. Tujuan mereka sama, yaitu tempat favorit mereka untuk bersembunyi saat mereka masih kecil.

Kishi terus memanggil nama Reina dan Aran, sementara Reina dan Aran terkikik di bawah tempat tidur Kishi. Tempat itu adalah tempat favorit mereka saat kecil. Reina menoleh memandang Aran yang ada di sebelahnya lalu mengisyaratkan untuk diam dan kembali memandang pintu kamar Kishi. Aran juga memandang ke arah yang sama. Tapi secara tiba-tiba, ia merasa otaknya kosong. Ia memandang Reina dari belakang dalam diam.

Kishi berhasil menemukan Aran dan Reina tak lama setelahnya. Saat mereka sedang suit untuk menentukan siapa yang jaga, ayah Aran menelepon dan mengabarkan akan segera pulang. Reina dan Kishi pun pamit pulang, meninggalkan Aran yang bergulat dengan perasaannya.

  1. Hari Keempat

Hari Senin. Kelas 1-E, kelas Reina, tengah berada di lapangan untuk pelajaran olahraga. Mereka sedang sibuk dengan penilaian lari maraton. Sementara Reina dan teman-teman sekelasnya sibuk di lapangan, Aran yang berada di kelasnya justru tidak merasa terganggu sama sekali dengan guru matematika yang tengah mengoceh di depan dan memilih untuk memperhatikan lapangan dari balik jendela kelasnya.

Guru matematika yang tengah mengoceh di depan kelas akhirnya berhenti. Ia memandang Aran cukup lama sebelum akhirnya berjalan menuju bangku Aran. Miyachika yang duduk di belakang Aran langsung menendang kaki kursi Aran dan membuat Aran tersadar.

“Apa?” Aran menoleh pada Miyachika dan mendesis. Miyachika mengarahkan pandangannya pada guru matematika yang sudah berdiri di samping bangku Aran.
“Abe Aran! Berdiri di koridor!”

▶▷▶▷

Bel istirahat berbunyi dan Kishi langsung berlari ke kelas sebelah. Ia mengajak Reina untuk menjemput Aran masih berdiri di koridor, lalu pergi makan di kantin. Selama di kantin, Kishi terus saja berceloteh dan selalu berusaha menyuapi Reina dengan es krim. Di lain pihak, Aran justru diam. Reina menyadarinya dan bertanya apakah Aran sedang sakit. Kishi yang juga menyadarinya lalu pindah duduk di samping Aran.

“Apa perlu dicek dengan dahi?” tanya Kishi sembari mengerjap-erjapkan matanya. Ia lalu mendekatkan dahinya ke dahi Aran dan Aran langsung tertawa sembari menjauhkan wajah Kishi.
“Kimochi warui,”

  1. Hari Kelima

Sepulang sekolah, Aran dan Kishi masih memiliki jadwal latihan basket. Sebentar lagi sekolah mereka akan bertanding di pertandingan basket yang diadakan pihak kota sehingga mereka harus lebih sering berlatih.

Pelatih meniup peluitnya dan memberi lima belas menit waktu istirahat untuk anak-anak didiknya. Semua anggota basket sekolah langsung berlari menuju tepi lapangan dan merebahkan tubuhnya di sana, sementara Aran mengajak Kishi ke ruang ganti untuk mengambil air minum.

“Kishi, aku harus mengatakan sesuatu,” ucap Aran. Ia menutup lokernya lalu berbalik memandang Kishi.
“Apa? Mau menyerahkan posisi kapten ke aku? Wih, boleh banget tuh,” Kishi memukul bahu Aran pelan dan tertawa.
“Bukan. Ini tentang kompetisi kita,” ujar Aran. Ia menghindari pandangan Kishi yang tengah mengarah padanya.
“Aku berhenti,”

Kishi seketika memandang Aran tajam saat Aran mengatakan mau berhenti. Ia langsung bangkit dan berjalan menuju pintu keluar. Kishi berhenti tepat sebelum ia melangkahkan kakinya keluar ruang ganti.

“Aku sudah kalah dari semenjak kompetisi ini dimulai,”

Kishi berjalan keluar ruang ganti, meninggalkan Aran yang terdiam dan berusaha mencerna kalimat yang diucapkan Kishi.

  1. Hari Keenam

Reina benar-benar pusing. Aran dan Kishi yang duduk di sampingnya sama sekali tidak bicara satu sama lain. Mereka bahkan menghindari saling memandang. Mereka masih bicara dengan Reina, tentu. Tapi ada yang lain dari nada bicara mereka. Terkesan dipaksakan.

Bel tanda istirahat berakhir berbunyi. Setelah sama-sama menggumamkan “Aku kembali ke kelas dulu,” , Kishi dan Aran berdiri dan pergi meninggalkan Reina dan tehnya yang masih tersisa setengah gelas. Reina menatap Aran dan Kishi dengan tajam. Ia menghabiskan tehnya dalam sekali teguk lalu pergi menuju kelasnya sendiri.

Setelah bel tanda pulang berbunyi, Reina bergegas membereskan barang-barangnya lalu pergi ke kelas sebelah untuk menghampiri Aran. Ia menunggu di depan kelas sampai Aran keluar. Namun begitu melihat Reina yang ada di depan kelas, Aran langsung meraih tangan Reina dan membawanya ke tangga menuju atap sekolah.

“Hei. Aran. Aran!” Reina menepis tangan Aran dengan keras, membuat Aran menghentikan langkahnya. Mereka berada di anak tangga paling atas di dekat pintu menuju atap sekolah. Reina menatap Aran dengan tajam, namun ada sorot kekhawatiran di dalamnya.
“Ada apa dengan kalian berdua?” tanya Reina. Aran mendecakkan lidahnya sebelum akhirnya meluruskan lengannya ke arah dinding dan membuat punggung Reina merasakan dinginnya dinding sekolah.
“Aku mengundurkan diri,” ujar Aran.
“H-Ha? Apa maksudmu?” Reina mendongak menatap Aran. Kedua tangannya meraih dinding, mencoba mencari pegangan. Namun sebelum Aran bisa bicara lebih jauh, tubuhnya sudah ditarik oleh seseorang.
“Apa yang kau pikir, hah? Mencoba mengambil kesempatan?” suara keras Kishi membuat Reina terkejut. Kishi tengah menekan kedua bahu Aran ke dinding sementara Aran hanya terdiam.
“Kalian berdua kenapa sih? Heh, cerita!”
“Kami berdua kalah dalam kompetisi karena kami menyukaimu, Reina,”

Jawaban dari Aran membuat Reina terhenyak. Ia tidak menyangka akan mendapatkan jawaban seperti itu. Ia memandang Aran dan Kishi bergantian. Aran tengah menatapnya, sementara Kishi masih memandang Aran dengan tatapan tajam.

“Kau… Bercanda kan?”
“Saat ini kami nggak sedang bercanda, Reina!” Kishi melepaskan tangannya dari Aran. Ia berbalik dan berjalan mendekati Reina. “Aku sudah lebih dulu menyukaimu. Aku menciptakan kompetisi ini sehingga aku bisa mendekatimu. Tapi… Aku nggak nyangka orang di belakangku ini juga ikut suka padamu,” Kishi menghentikan langkahnya. Hanya tinggal selangkah lagi dan ia bisa benar-benar memerangkap Reina.
“Kalian cuma kebawa suasana, itu aja. Jangan dibawa serius dong,” ujar Reina kesal. Ia berharap bisa mundur lebih jauh untuk memperluas jaraknya dengan Kishi.
“Buat keputusan sekarang, Reina. Aku atau Aran?” Kishi melangkahkan kakinya sekali lagi, membuatnya benar-benar dekat dengan Reina saat ini.
“Nggak mau!” Reina segera menghindar sebelum Kishi bisa memerangkapnya di antara kedua tangannya. Reina berlari secepat ia bisa, meninggalkan Aran dan Kishi yang masih berada di tempat mereka.

  1. Hari Ketujuh

Di hari Kamis pagi, Reina mengintip dari balik tirai jendela rumahnya. Setelah memastikan tidak ada Aran maupun Kishi yang menunggunya di depan rumah, Reina baru melangkah keluar dari rumahnya untuk berangkat ke sekolah. Ia mulai menyanyi-nyanyi kecil saat sebuah tangan merangkulnya.

“Pagi, Reina,”
“Haa? Kishi?” Reina menatap Kishi dengan keheranan. Padahal ia sudah meyakinkan bahwa tidak ada siapapun di depan rumahnya. Kenapa sekarang Kishi ada di sebelahnya?
“Oi, Reina!”

Reina dan Kishi memandang jauh ke depan, tepatnya di sebelah halte. Aran melambai pada mereka, atau lebih tepatnya pada Reina. Reina memicingkan matanya yang menunjukkan kilatan tajam. Ia berlari menuju halte dengan disusul oleh Kishi yang juga berlari di belakangnya. Sesampainya di dekat halte, Reina segera mengulurkan kedua tangannya dan menarik telinga Aran dan Kishi.

“Ikut aku!” bentak Reina. Ia pergi menjauhi halte seraya menjewer telinga Aran dan Kishi. Kedua pemuda itu terus mengaduh di sepanjang jalan hingga akhirnya Reina melepaskan telinga mereka.
“Sakit tau. Kamu nggak romantis banget sih jadi cewek,” ujar Kishi sembari mengusap telinga kirinya yang terasa sakit setelah dijewer Reina. Reina memberikan tatapan membunuh pada Kishi, membuat Kishi langsung terdiam.
“Kalian itu ya. Kalian kira urusan hati itu semudah nawar harga ikan di pasar? Enggak. Persahabatan kita yang sudah berjalan lebih dari sepuluh tahun ini lebih berharga. Aku nggak mau persahabatan kita ini rusak hanya karena perasaan kalian yang mungkin cuma sesaat. Rasa sayang kalian, mungkin karena kalian sudah anggap aku seperti saudara sendiri. Jangan salah artikan dengan cinta dulu,” ujar Reina panjang. Aran memandang Kishi sebelum akhirnya bicara.
“Tapi, Reina. Aku yakin kalau ini beda-“
“Tahu darimana kalau beda? Pokoknya aku nggak mau milih di antara kalian. Kalian itu teman-temanku yang sangat berharga. Aku juga sayang kalian berdua,” Reina memberikan pandangan hangat kepada kedua sahabatnya itu setelah selesai menjelaskan semuanya.
“Jadi…”
“Jadi, Tuan Kishi yang tampan, aku nggak mau kalian terlalu larut dengan perasaan yang sesaat ini. Aku sungguh nggak bisa memilih. Yang perlu kita lakukan hanyalah menjaga persahabatan ini tetap abadi, oke?” ucap Reina. Ia mengangkat kelingking kanannya.

Kishi dan Aran saling berpandangan. Mereka menghela nafas panjang sebelum menyambut kelingking kanan Reina. Mereka saling mengaitkan kelingking mereka, membuat janji untuk kelangsungan persahabatan mereka yang hampir saja retak karena masalah kecil.

Decit ban terdengar di kejauhan. Reina menoleh dan melihat bis yang mereka tunggu telah datang. Reina lalu berlari menuju halte dengan diikuti dua sahabatnya di belakangnya.

“Hei, Aran,” panggil Kishi. Bis sudah dekat dan tersisa beberapa menit bagi mereka untuk bisa ikut di bis itu.
“Apa?” tanya Aran. Ia menoleh memandang Kishi yang sedang menyengir padanya.
“Saat waktunya tiba, bersiaplah untuk kalah dariku,” ucap Kishi dengan senyum kemenangan.
“Coba saja kalau berani,” balas Aran. Mereka tertawa bersama sebelum naik ke bis bersama Reina untuk pergi ke sekolah.

---------------------------------------------------------------------OWARI----------------------------------------------------------------------

fanfic : fluff, fanfic, johnny's entertainment, fanfiction, fanfic : romance, kishi yuta, johnny's jr fanfiction, abe aran, johnny's jr, fanfic : one-shot, fanfic : friendship, indonesian fanfiction, one-shot fanfic

Previous post Next post
Up