Fanfic: Capture

May 01, 2009 19:47

title: Capture (sequel of Chain)
author: mesti
fandom/pairing: the Gazette/ ReitaxRuki
rating: R (for dark themes)
genre: angst
disclaimer: i do not own them

Dingin.

Ia menyentuh beku jari-jemari itu. Pucat, tak bergerak, begitu rapuh dalam sapaan kulitnya. Menjajari helai demi helai kalut yang berteriak bisu dalam kepalanya.

Merah matanya menelusuri sosok itu yang tengah terbaring diam, berlayar entah kemana di suatu ujung kesadaran. Begitu hening, tenang dalam kesunyian yang merisaukan. Bahkan naik-turun dada itu terlihat begitu lemah. Setipis harapan yang berusaha ia genggam seiring jatuhnya waktu.

Bangunlah, Ruki-chan…

Ia sudah terlalu lelah merapalkan doa itu, berkali dan berkali lagi. Suaranya telah mengering, begitu pun jerit hatinya. Ia hanya bisa berharap apa yang dikatakan para dokter itu benar. Bahwa mereka sudah melakukan yang terbaik. Bahwa Ruki hanya tinggal menunggu waktu untuk sadar.

Namun Ruki belum jua membuka matanya. Bahkan dengan bantuan selang-selang angkuh itu, Rukinya belum juga menunjukkan secercah gerak, perubahan, kerjapan mata, atau apapun itu untuk mengisyaratkan kembalinya kesadaran pada tubuh itu.

Sebegitu inginnya kau pergi dariku, Ruki-chan?

Ia tersenyum pahit. Menyeringai diam pada dirinya sendiri, pada situasi yang tengah mereka hadapi. Barangkali pekatnya aroma desinfektan dan obat-obatan telah meracuninya terlalu dalam. Mengeruhi sekelumit logika yang ia punya, jika itu memang ada.

Atau barangkali warna putih itu, yang memenjarakan setiap tanyanya. Membungkam tetes demi tetes asanya dengan kutukan ketiadaan yang melangkah semakin dan semakin dekat… Oh betapa ia bergidik tiap kali mendengar derap kehancuran itu dalam kepalanya.

Ruki-chan, kumohon…

Masih punyakah ia hak untuk memohon? Hak untuk meminta sedikit welas dari jiwa putih itu, yang telah ia cemari selama ini dengan penderitaan? Dengan tatapan mengancam, dengan kata-kata belati, dengan sentakan kasar di setiap sentuhnya? Bahkan di saat ia menyadari gigil pada pundak mungil itu, pun saat ia merengkuh dalam hangat, dalam erat?

Tak ada yang bisa menghentikannya saat itu… Tak ada.

Bahkan saat Ruki mulai menolak untuk bersosialisasi. Saat Ruki tak lagi peduli pada dirinya sendiri. Saat Ruki harus meminum sebutir obat penenang setiap malam, hanya untuk jatuh dalam pelukan lelap…

Karena senyapnya mimpi jauh lebih tentram daripada kepemilikan mutlak yang ia tetapkan.

Andai saja ia bisa berhenti saat itu…

Oh, tablet-tablet terkutuk! Merayu Rukinya tanpa henti dari malam ke malam… Merebut perlahan jiwa Ruki darinya, bahkan tatkala tubuh itu masih tersandar dengan rapi dalam sepasang lengannya. Ruki telah terbang jauh, jauh dari imaji ngilu bernama realita. Jauh dari neraka yang ia jejalkan paksa ke dalam hari-hari Ruki, ke dalam hari-hari mereka yang dulu pernah tanpa badai.

Ruki tak lagi gemetar. Tak lagi menangis. Tak lagi menerbitkan limbung di setiap lakunya. Ia hanya menatap kosong pada setiap derita yang harus ia telan. Karena ia tahu kemana harus mencari. Ruki tahu persis kemana ia harus melarikan diri.

Dan semakin erat ia berusaha menggenggam tiap carik eksistensi Ruki, semakin jauh Ruki tersesat dalam nirwana maya itu. Tenggelam. Larut semakin dalam.

Berapa banyak lagi kerusakan yang bisa ia pahatkan pada bumi Ruki?

Benar. Itu salahnya! Salahnya!!!

Hujan hujatan terus menerus menikam benaknya, mencakar setiap sudut logikanya.

Seharusnya dari awal ia mengerti. Seharusnya ia tidak berpikir semua akan baik-baik saja selama Ruki ada dalam genggamannya. Selama Ruki berada di luar jangkauan orang lain. Naif! Bodoh! Bebal! Si egois Reita yang hanya menuruti hatinya sendiri!

Hingga suatu malam ia menemukan Ruki terlalu diam dalam tidurnya. Tak bereaksi betapa pun ia mengguncang tubuh mungil itu, lagi dan lagi berteriak memanggil nama yang telah begitu fasih di lidahnya.

Ruki tak kunjung membuka mata…

Kenapa ia tak pernah bisa sadar hingga kebenaran telak menghantamnya di kepala?

Ruki… Ruki-chan…

Tolong katakan semuanya belum terlambat… Tolong katakan kesempatan itu masih ada. Kesempatan untuk memperbaiki setiap lakunya. Kesempatan untuk sekali lagi menghidupkan kasih di antara mereka. Kesempatan untuk menebus semua kekejaman yang telah ia lakukan selama ini…

Apa saja… Apa pun…

Ia takkan sanggup menatap gerak tangan waktu tanpa Ruki di sisinya. Tanpa Ruki yang hidup, baik fisik maupun psikis…

Tuhan, berapa lama lagikah ia harus menunggu? Masih bisakah ia menunggu? Masih bolehkah ia menunggu?

“Ruki-chan, bangunlah… Kumohon…”
……………………………………………………..

Kabut.

Kabut-lah itu, yang pertama kali menyelami indranya saat ia membuka mata. Kabut-lah itu, mengambangi kepalanya dalam tanya demi menatap warna putih yang membungkusnya tanpa batas. Kabutlah itu, saat ia melihat sosok yang selama ini selalu berada dalam jarak pandang, namun yang selalu ia palingkan muka darinya.

Kabut tak berhenti merangkak dalam kepalanya, meneteskan setiap tanya dan kebingungan bisu. Perlahan mengendap, memutar adegan demi adegan dari hari-hari lalu. Hari-hari kekalahan. Hari-hari penghambaan.

Hanya kabut yang membelit sadarnya saat mendengar seuntai maaf dari bibir itu. Dari laki-laki yang telah memenjarakannya selama ini dalam kehampaan bernama cinta. Dalam penyerahan tanpa ujung, hingga ia sampai di suatu titik dimana ia tak sanggup lagi mencerna sekerat pun realita yang disodorkan padanya.

“Ruki-chan…”

Sosok di depannya menangis. Suara yang biasanya kukuh itu kini bergetar. Mungkin dalam kelegaan. Mungkin dalam penyesalan. Mungkin dalam pengharapan. Entahlah…

Kabut…

Lalu serombongan makhluk berbaju putih menerobos keheningan ruangan, melakukan apa yang perlu dilakukan. Pasien sudah sadar, kata mereka. Lalu pemeriksaan, atau entah apa… Pikirannya masih terperangkap dalam buaian kabut.

Lalu beningnya hening.

Perlahan larik demi larik kesadaran kembali ke dalam otaknya. Meniupkan sepatah apa dan bagaimana dan mengapa. Ia ada di sini. Terenggutkan dari ketenangan abadi yang seharusnya sudah ia dapatkan.

Padahal tinggal sedikit lagi… Sejengkal lagi, ia tak perlu kembali ke dalam pelukan tangan-tangan besi yang pernah ia panggil kekasih.

Orang yang sama dengan yang kini luruh di sampingnya, menggumamkan air mata maaf dan syukur. Terima kasih dan penyesalan.

Untuk apa?

Ketidak mengertian. Ia sudah terlalu jauh tersesat dalam kabut untuk bisa memahami kata-kata sesederhana itu.

Ya, benar. Mungkin saja ia masih terkubur dalam lelapnya, dalam surga hampa yang selalu ia kejar dan dapatkan lewat tablet-tablet putih itu. Jika tidak, bagaimana bisa laki-laki itu berlaku lembut padanya? Kecuali di hari dulu yang begitu jauh, terlalu jauh untuk bisa dikenang.

Namun sentuhan hangat di ujung jemarinya manghantarkan realita. Begitu hidup, begitu nyata… Tak terbantahkan oleh suara-suara yang masih saja timbul tenggelam.

“Maafkan aku, Ruki-chan…”

Tangan itu menggenggam jemarinya takut-takut. Seolah khawatir akan mendobrak selapis cangkang tipis. Seolah ia kristal rapuh yang segera hancur bila disentuh.

Tapi ia memang sudah hancur, bukan? Bahkan jauh sebelum ini. Jadi apalagi yang perlu dikhawatirkan?

Ia tak perlu meletakkan pengharapan apa pun pada kata-kata yang meluncur dari bibir itu… Bibir yang dulu pernah mendesiskan kemarahan dan ancaman berbisa padanya. Mengukirkan luka yang saat ini pun masih menyimpan perih.

Ia hanya perlu melihat kabut. Membiarkan hari demi hari menuntunnya tanpa arah, tanpa perlawanan. Bahkan hingga ia sudah bisa meninggalkan ranjang putih itu… Bahkan saat ia sudah terbebas dari kungkungan rumah sakit, obat-obatan, terapis… sebut saja.

Ia masih senang menyesatkan diri dalam kabut yang sama.

Karena dengan begitu ia tak perlu terluka tiap kali merasakan sentuhan orang itu. Tiap kali mendengar suara yang paling ingin ia hindari. Tiap kali lengan itu berusaha merengkuhnya.

Dan tiap kali ia melihat kilatan luka dalam kedua bola mata itu di setiap penolakannya.

Bukan salahnya! Orang itulah yang telah lebih dulu menyakitinya! Bukan salahnya jika ia ingin mengguratkan rasa sakit yang sama pada orang itu!

Bahkan setelah semua perubahan yang terjadi… Setelah tak ada lagi kekerasan fisik dan psikis yang dilemparkan padanya.

Terlambat. Ia sudah terlanjur jatuh dalam ketidak pedulian. Betapa pun orang itu bersikap baik padanya. Batapa pun orang itu berusaha menyalakan cinta yang dahulu pernah ada di antara mereka.

Hatinya terlanjur terpikat pada bekuan kabut.

Lantas, kenapa ia harus merasa tercekat saat menemukan sosok itu bersimpuh di pojok kamar mereka, mendekap bingkai yang ia tahu menaungi foto mereka? Foto yang merekam masa tanpa badai, dulu, saat rasa mereka tak tercemari oleh setitik pun gamang. Sosok itu begitu larut dalam keputus asaan, hingga tak menyadari kedatangannya sama sekali.

“Apa lagi yang harus kulakukan, Ruki-chan? Apalagi yang bisa kulakukan agar kau mau memaafkanku?”

Pada akhirnya ia mendapatkan apa yang selama ini ia inginkan, bukan? Lihatlah, laki-laki itu mulai jatuh pada penderitaan, bergerak semakin mendekati kehancuran… Lantas kenapa ia merasa ingin menangis? Kenapa ia ingin merengkuh pundak itu, meredakan setiap getar yang ada di sana?

“Reita…” Begitu saja nama itu meluncur dari bibirnya.

Reita terkesiap. “Ruki-chan…” Tidak salahkah pendengarannya? Ruki barusan menyapanya? Memanggil namanya?

Selintas sunyi. Hanya selintas, sebelum lengan Ruki melingkari pundak Reita, memenjarakan dalam dekapan ragu. Reita menyandarkan kepala pada pundak itu, pada temperatur yang telah begitu lama ia rindukan. Hanya bersandar dengan tenang… Tanpa menekan. Tanpa menarik Ruki lebih jauh ke dalam dekapannya. Tanpa hukuman. Tanpa permintaan ataupun perintah.

Dan mungkin hanya itu yang mereka butuhkan. Hanya itu yang dibutuhkan Ruki dan dirinya untuk membangun jembatan baru bagi dua hati yang telah bersimpang jalan sejauh ini…

Dan membuka halaman bersih yang baru.
.............................................................................................. 

fanfic, reituki

Previous post Next post
Up