Fanfic: This Invalid Door

Jun 21, 2009 19:11

title: This Invalid Door
author: mesti
fandom/pairing: the GazettE/ KaixRuki, mention of RukixOFC
rating: R
genre: angst
disclaimer: i do not own them

i.
Membuka.

Menutup.

Perlakuan yang sama. Objek yang sama. Pintu rapuh itu, yang menudungi ruangan hampa di baliknya, begitu pada dalam ketelanjangan citra. Tak lagi mengguratkan perlindungan, tak lagi membentengi penghuninya dari ketidaksiagaan.

Membuka.

Menutup.

Tak terkunci…

ii.
Apalagi yang bisa ia harapkan, selain sepasang mata sipit membelalak sejenak dalam pengharapan bisu, namun segera menjatuhkan pandang begitu menyadari ia-lah yang datang? Mulut mungil itu terkatup segera. Bibir yang sedianya akan melisankan sepatah sapa kembali membekap diri dengan rapi.

Memblokir setiap ramah asa yang ia ulurkan.

Bukan ia yang ditunggu di ruangan itu…

Sang pemilik ruangan kembali membenturkan pandang pada sesosok gadis berambut hitam sebahu dan berkulit pucat, dibingkai rapi oleh pigura hitam. Senyuman beku di wajah gadis itu menyiratkan keabadian.

Sama seperti biasanya…

Kau masih menunggu gadis itu, Ruki-chan?

iii.
“Kai, kenalkan…ini Reira.”

Apa yang membuat nafasnya tercekat sejenak bukanlah kecantikan gadis itu, yang begitu tak tertutupi. Melainkan pendar kebahagiaan dalam senyum Ruki dan dalam gelap bola mata gadis itu. Membuatnya sadar bahwa hubungan kedua orang itu bukanlah teman ataupun sahabat.

Kekasih…

Kata itu melukainya dalam pengertian yang terlalu membutakan.

Mengapa bukan aku?

Mengapa, Ruki-chan?

iv.
“Ayo buka mulutmu, Ruki…”

Ia menyumpit sepotong sosis dan mendekatkannya pada mulut itu, yang masih saja terkunci. Menghela nafas dengan sabar, ia menyentuh pelan pipi itu dengan sebelah tangannya yang satu lagi. Berusaha menyampaikan instruksi yang baru saja ia berikan.

“Ruki-chan…”

Sebuah tangan menampik kasar makanan itu adalah satu-satunya jawaban yang ia terima. Ia menatap sedih pada ceceran makanan di lantai. Hasil kerja kerasnya sepagi ini terbuang sia-sia, begitu saja. Begitu sederhana.

Aneh, kenapa setelah semua perlakuan buruk yang ia terima, ia masih saja berlutut di sini? Berusaha menyalakan selarik kasih, berusaha membalut sepotong luka yang ia tahu takkan pernah bisa ia sembuhkan?

Seseorang, adakah yang bisa memberitahunya definisi tentang seutas rasa tak berformula…

Bernama cinta?

v.
“Kai!”

Nada panik dalam suara Ruki menyulut kesiagaannya. Malam itu, pada jam yang tidak terduga, Ruki bertamu kepadanya dengan rona keruh di muka.

“Kai, aku tidak tahu lagi harus bagaimana… Aku tak tahu lagi apa yang harus kulakukan…”

Lalu semua kartu terbuka begitu saja. Dalam beberapa menit, ia mendengar fakta yang hampir-hampir ia kira tidak nyata. Gadis itu, Reira…

Trauma? Depresi? Pantaskah semua itu dijadikan alasan untuk melukai diri? Untuk mencoretkan secarik merah di pergelangan tangan, tak cukup untuk membunuh namun lebih dari cukup untuk menakuti seseorang yang peduli? Pantaskah melakukan kebodohan serupa itu, berkali dan berkali lagi?

“Obat, konseling, terapi…semuanya nihil, Kai. Dia masih saja merasa jijik pada dirinya sendiri. Dia masih saja membenci dirinya sendiri, tak peduli betapa pun aku mengatakan aku mencintainya, aku masih tetap dan akan selalu mencintainya…”

Laki-laki itu tergugu dalam rengkuhannya. Terlalu cemas, terlalu lelah untuk memikirkan apapun lagi. Sebagai sahabat yang baik - mereka masih bersahabat, bukan?- ia hanya bisa membisikkan kata-kata penenangan.

“Aku tidak tahu…”

vi.
“Jangan sentuh aku, Kai!”

Lidah itu kini mendesiskan ancaman berbisa padanya. Ia tertegun, berusaha mencerna situasi itu. Alangkah menggelikan!

Ruki-chan, kau tahu seberapa rapuh kau terlihat sekarang?

Ia tertawa perlahan. Tawa perih yang disambut riang oleh kebekuan udara.

Selalu… Kau selalu berpikir hanya kau sendiri yang terluka, eh? Ruki…

Kau selalu saja begitu.

vii.
Bunga. Bebungaan putih menjubahi sekujur sosok gadis itu, membingkai seraut wajah putih dengan mata tertutup. Seulas senyum tipis terpahat di bibir mungil, mengguratkan kemenangan. Dulu ia tidak tahu apa, dan mengapa.

Tapi sekarang ia sudah paham.

Gadis itu telah menang, menang dalam pengertian yang tak terbantahkan. Dalam waktu yang tak lagi terbatasi. Gadis itu telah membawa serta separuh diri Ruki bersamanya.

Sekarang yang tinggal hanyalah selongsong kosong yang menghidupi diri dari hari ke hari dengan mimpi siang bolong.

Ruki tidak akan pernah kembali.

Sejak hari celaka itu.

viii.
“Andai saja aku tidak bersamamu malam itu, Kai…”

Klise. Sudah berapa kali ia mendengar kata-kata itu?

Apa jika malam itu Ruki tak bersamanya, gadis itu akan terselamatkan? Toh gadis itu hanya akan mencoba peruntungan di waktu lain, dengan cara yang lain pula. Gadis itu tak pernah cukup kuat untuk melindungi diri…dari dirinya sendiri.

“Andai saja kau tidak menahanku waktu itu, di tempatmu…”

Selalu. Semua kesalahan selalu berpulang ke pihaknya. Semua dosa selalu dilemparkan ke pundaknya dan pundaknya seorang.

Siapa yang peduli? Gadis itu? Ruki?

Tidak akan.

“Andai saja kau tidak memelukku…”

“Cukup, Ru!!!”

ix.
Gadis itu melukai Ruki. Ruki melukainya. Ia melukai gadis itu.

Lingkaran mobius yang terlalu sempurna.

x.
“Kai…”

Erangan pelan yang lepas dari bibir Ruki hanya semakin mendorongnya untuk menghasrati tiap inchi permukaan kulit itu. Menghormati kemilau ragawi itu dengan tiap kecupan dan belaian, terkadang lembut, terkadang terlalu hangat.

Titik nadir. Dalam kesamaran logika ia masih mengenali lima huruf yang diucapkan Ruki padanya. Aishiteru. Kata sakral milik sepasang kekasih yang saling mencintai. Aishiteru…ia tidak salah dengar, kan?

Ruki mencintainya. Ia percaya, Ruki mencintainya. Ruki benar-benar mencintainya!

“Aishiteru…”

Karena ia sungguh percaya. Saat itu.

xi.
Takdir. Istilah yang diciptakan manusia untuk menjelaskan yang tak terjabarkan. Yang tak terjangkau oleh kejernihan logika. Menegaskan ketidak mampuan dan ketidak berdayaan dari sosok bernama manusia itu sendiri.

Seperti…pertemuan, cinta, batas usia? Itu semua juga sering dikaitkan dengan takdir, bukan? Ia bertemu Ruki, lalu jatuh cinta. Ruki bertemu dengan gadis itu, dan saling menjatuhkan diri dalam perangkap cinta. Tersakiti oleh pesona elegi tak berujung. Ruki terluka oleh keputus asaan, lalu jatuh ke dalam pelukannya. Dan sejenak ia menganggap persahabatan mereka menjelma menjadi kastil baru bernama cinta.

Dan gadis itu tahu. Entah bagaimana, betapa pun rapat mereka menyembunyikan rahasia itu, gadis itu tahu. Lalu memutuskan cara balas dendam yang paling konyol.

Sekaligus paling efektif.

Lihatlah…betapa kreatifnya tangan-tangan takdir itu!

Betapa tidak adilnya!

xii.
“Berhentilah mempedulikanku, Kai.”

Bagaimana bisa?

Ia membereskan tumpahan makanan yang menodai lantai berkarpet biru itu. Sehabis ini, ia akan mengeluarkan vacuum cleaner dan membersihkan seluruh ruangan. Lalu mengurusi cucian dan piring-piring kotor. Pekerjaan sederhana yang sebenarnya tidak perlu ia lakukan.

“Berhentilah mengunjungiku, Kai!”

Benar. Apartemen ini adalah milik Ruki dan gadis itu. Dan akan selalu begitu. Tempatnya bukan di sini. Ia tidak pernah diharapkan di sini.

Kenapa?

Kenapa ia selalu kembali ke sana, hanya untuk memastikan kelayakan pola hidup Ruki? Hanya untuk memastikan logika dan kewarasan tidak beranjak dari kepala orang yang dikasihinya itu?

“Tentu…” Ia menghela nafas berat. “Dengan senang hati, Ru…asalkan kau bersedia memberi tahuku cara untuk berhenti memikirkanmu.”

xiii.
Hancur.

Sebuah jambangan pecah berantakan di lantai, meninggalkan rangkaian bunga yang mengering layu dalam kemurnian tiada. Tirai-tirai direnggutkan dengan paksa, rerupa barang berjumpalitan acak ke berbagai tempat, tak lagi tertata rapi dan utuh di tempatnya semula.

Ia mensyukuri keputusannya untuk menengok keadaan Ruki hari itu.

“Ruki-chan?”

Tak ada jawaban. Aneh. Namun tak sesuatu pun wajar, sebenarnya, sejak ia menemukan pintu apartemen itu dalam keadaan tak terkunci. Hingga ia leluasa masuk setelah tak jua mendapati sahutan meski telah menggedor dan memanggil berulang kali.

“Ru?”

Ia melanjutkan pencariannya ke ruang tidur. Dan di sanalah Ruki, telungkup dalam bisu, memandangi nanar seraut foto berpigura hitam. Ia tak perlu mendekat untuk memastikan foto siapa itu.

“Ruki-chan…”

Tak ada jawaban. Jemari Ruki kini bergerak perlahan menyusuri kaca pigura yang melindungi seraut wajah dalam foto itu.

Sejak saat itu, ia tahu ada sesuatu yang telah hancur dan takkan pernah bisa dipulihkan kembali…

Satu hari setelah pemakaman gadis itu, Ruki menjelma menjadi sosok yang tak lagi dikenalnya.

xiv.
“Aku akan kembali sore nanti…”

Hanya kebungkaman tatapan yang menjawab pernyataannya.

“Semuanya mengkhawatirkanmu, dan berharap kau cepat pulih.”

Tentu. Reita, Uruha, Aoi, bahkan Sakai-san, semuanya mencemaskan keadaan Ruki. Dalam pengertian dan intensitas yang berbeda-beda. Tapi tetap saja, ia-lah yang paling khawatir.

“Jaga diri, Ru…”

Sampai aku kembali.

xv.
Membuka.

Menutup.

Pintu itu tentunya masih akan tetap tak terkunci saat ia kembali sore nanti. Seolah tengah menunggu kedatangan seseorang… Seolah tengah menanti kehadiran seseorang untuk memenuhi apartemen itu kembali dengan rona kebahagiaan.

Namun bukan dirinya…

Bukan dirinya…

......................................................................
 

fanfic, kaixruki

Previous post
Up