wai...my first fanfic here!<3

Oct 08, 2009 06:45

POV : Cloud centric…I know. He’s so damn fool and worn out by his own delusion. But he’s lovely by his own way. And a bit Tifa’s. (Ugh, okay, I have to warn you too, this is so much my interpretation so that you have to excuse my subjectivity).

Timeline : FF AC/C to Reminiscence.

Author’s note : Fanfic ini dibuat setelah melakukan riset (yang termasuk di dalamnya: membaca berbagai sumber artikel otentik, kompilasi FF VII selengkap yang bisa didapat, stalking forum-forum terkemuka yang bersedia menyediakan asupan paling masuk akal bagi rabid fangirl ini, dan masih belum mengucapkan terima kasih untuk komentar, pendapat dan perdebatan panas penuh intrik di antara mereka) dan penerawangan (yang termasuk di dalamnya: kejang otak non-permanen dalam proses tugas dan mimpi siang bolong di masa libur Lebaran). Sappy? Fluffy? Angsty?Flat? Semua komentar ditunggu dengan kerendahan hati. Bon appetite!


Lead to (My) Promise Land

Aerith Gainsborough,

Forgotten City

Cloud tidak mampu berkata apapun melihat patrian duka di wajah tersenyum Elmyra, duka yang akan membekas selamanya.

Pukulan, ringisan, kilatan mata pedang, kolam darah….

Ia mengibaskan kepalanya.

Menaikkan kecepatan, ia berkejaran dengan desau-desau suara dari masa lalu. Meskipun berada di tengah kota yang ramai dengan suara-suara heterogen, bagai tanda petaka, bayang-bayang gelap itu selalu menemukannya.

Ia terus memacu dirinya sampai akhirnya berhenti di sepetak padang luas. Kebisingan mati bersama Fenrir yang berhenti berlari. Keheningan membawanya ke dimensi yang tenang dan aman.

Tapi hanya sesaat.

Dimensi tenang dan amannya mulai bergolak, memercikkan liur lapar ingin menelannya.

Lari.

Sebaiknya ia melarikan diri. Ia tidak mampu melakukan ini. Ia tidak bisa pulang, maupun pergi ke Forgotten City. Maka ia harus lari ke tempat yang bisa menyembunyikannya.

---HF-Smile---

Ironis, tapi tidak terpikirkan yang lain.

Di sini, di tempat ini, waktu berhenti bagi Cloud. Ia hidup dalam ingatannya, kembali ke masa-masa semua terasa baik-baik saja. Dibalut jaringan sinar matahari yang terang dari dunia atas, ia berbaring, menengadah pada langit cerah. Dari warna putih kosong, samar, senyum bekunya terproyeksi di udara.

Tubuhnya spontan mengejang.

Apa yang sudah disimpan dalam kotak masa lalu kembali menghantui.

Nyawa orang yang dikasihinya direnggut di depan matanya.

Ia pergi tanpa ia sanggup melakukan apapun, bahkan mendengar kata-kata akhirnya, yang mungkin bila saja, bila saja ada sebaris kalimat terucap darinya, Cloud tidak akan mendekam dalam penjara penyesalan.

Cloud merana dalam kehilangan dan kemarahan karena tidak mampu menjaga jiwa-jiwa yang sangat penting bagi dirinya.

Telepon genggamnya berdering. Sudah kesekian kali hari ini. Bola matanya menggelinding pada tangannya yang terbalut kain.

Ia tidak lagi berani menghadapi siapapun, terutama keluarganya, Wajah-wajah cemas muncul sangat tajam, bergantian dalam kepalanya. Tidak ada senyum, tidak ada tawa.

Kenapa ketika ia berusaha memperbaiki sesuatu, malah terjadi sebaliknya? Bukan hanya tidak bisa menyelamatkan orang lain, ia bahkan tidak mampu menyelamatkan diri sendiri. Tidak siapapun.

Semua lepas dari kendalinya. Keningnya mengkerut bersama pandangannya yang semakin buram.

Teman-temannya, keluarganya, orang-orang yang berharga; semua lepas dari tangannya.

---HF-Smile---

Tifa.

Apa selama ini kau sekurus ini?

Atau hanya dalam beberapa hari kau kehilangan seluruh bobot tubuhmu?

Saat melihatnya terbujur kaku di lantai gereja, hatinya dicengkram kengerian. Ia kira ia akan kehilangan satu lagi orang yang sangat dikasihi hatinya. Tifa mampu bertahan, tapi ia tidak mampu menyingkirkan kegalauan yang bercokol dalam dirinya.

Ia ingin meninggalkan semua yang dimilikinya karena ia tidak pantas memilikinya.

Luka yang berat kembali tertoreh.

Dari daftar sekian orang yang disakitinya, Tifa ada dalam urutan pertama. Kenapa ia sempat memikirkan untuk hidup bersama dengannya, memintanya untuk membantu menata kembali kehidupan mereka hanya untuk mengecewakannya? Lagi. Membiarkannya menyelesaikan masalah-masalah dan tanggung jawab yang ditinggalkannya. Sementara ia melarikan diri dari kenyataan.

Memandangi wajahnya yang rentan, seluruh bagian dirinya terdorong keinginan untuk melindunginya. Kenapa ia mengabaikan orang seistimewa ini?

Serangan sakit dari geostigma mengubur semua jawaban yang belum sempat muncul.

---HF-Smile---

“Jangan lari!”

Tifa langsung menyergah ketika Cloud memutuskan untuk menarik diri ketika tahu tempat ia harus menuju. Forgotten City.

“Mungkin kau tidak bisa melakukan apapun meskipun kau pergi ke tempat Marlene dan Denzel, atau bahkan kau malah mengacaukan segalanya,” suaranya seperti mendesis ketika menambahkan, “kau takut karena itu, karena berat bagimu untuk kau tanggung sendiri?”

Cloud tidak bisa melakukan pembelaan apapun.

“Meskipun kau tidak pernah menjawab panggilan, kau sebenarnya tidak ingin sendirian, bukan? Kalau kau ingin sendirian, kau akan membuang ponselmu!”

Pandangannya terlalu menyiratkan kesedihan, hingga Cloud memalingkan wajahnya.

“Apakah kita kalah pada ingatan-ingatan?” tanyanya galau.

Tapi bagaimana kalau ingatan-ingatan itu memang menakutkan?

Ia tidak mampu melakukan apapun untuk mencegah kematian Zack, teman-teman seperjuangan,…Aerith. Ingatannya adalah pembuktian betapa ia tidak bisa memegang kendali atas masalah. Masalah meliar, lalu mencabiknya, meninggalkan banyak luka dan rasa sakit.

Ia takut melangkah ataupun tidak, tidak akan membawa perubahan apapun.

Dalam perjalanan menuju Forgotten City, ia seperti tersangka berjalan di detik-detik akhir hidupnya, menuju podium penghukumannya. Ia risih dengan dahan-dahan kering yang menuduhnya. Udara bahkan terasa tak bersahabat. Atmosfer di sekitarnya terlalu menekan hingga sulit baginya untuk bernafas. Tidak satupun elemen yang ada di tempat ini dikenalnya hingga Cloud terlempar ke kekosongan. Perlahan kekosongan itu bertransformasi menjadi sesuatu yang sangat familiar baginya. Harum yang alami dari bunga-bunga di sekitarnya, seluruh inderanya menyesapi kenikmatan kembali berada di dunia yang amat dikenalnya sampai sosok itu menjadi sangat jelas bahkan tanpa ia melihatnya, hatinya merasakan kehadirannya.

“Kau seperti akan rusak,” nada suaranya selalu terdengar bermain-main. Tangannya dingin tapi menyejukkan, “Tapi sepertinya itu pertanda bagus.”

Apakah ini nyata?

“Jadi kenapa kau datang kemari?”

Nyata ataupun tidak, ini ‘penantian mustahilnya’. “Aku ingin dimaafkan.” Ucapnya getir. Ia bagai anak kecil yang datang ketakutan mengakui kesalahannya, “ya. Aku ingin dimaafkan.”

Ia mendengus menahan tawa, “Oleh siapa?”

Ia terlontar kembali ke dimensi realita sebelum sempat menjawab.

Entahlah, turbulensi emosi seperti menguap, menyisakan interpretasi. Mungkin ia tidak pernah menyalahkannya atas kematiannya. Ia tidak membencinya karena ia tidak mampu melakukan apapun untuk mencegahnya. Lalu ia tidak benar-benar kembali ke Gaia karena sentuhan tangannya masih terasa hangat.

Bolehkah, apakah ia diizinkan berpikir seperti itu?

---HF-Smile---

Bagilah bebanmu.

Itukah yang ingin kau katakan selama ini, Tifa?

Ia selama ini mencari cara untuk menyelesaikan pergumulan pribadinya. Ia pikir Denzel menjadi jawabannya. Pijar harapan mati begitu saja ketika ia sendiri sekarat akibat geostigma. Tak terpikirkan cara lain baginya.

Namun sesungguhnya mereka semua menanggung dosa yang sama, oleh karena itu mereka ada untuk yang lain. Tidak akan ada yang ditinggalkan, termasuk dirinya.

Cakrawala menjadi lebih jelas baginya ketika ia bisa meletakkan bebannya dan menengadah. Langit masih biru, matahari masih bersinar, dan awan masih berarak. Kehidupan masih ada. Menjadi tugasnya untuk melindunginya, sekaligus menjadi caranya untuk menebus dosa…Meneruskan mimpi orang-orang terkasih, sekaligus teman seperjuangan yang mendahuluinya.

“Aku,” Cloud berbisik pelan,  “sekarang merasa lebih ringan.”

Tifa mengangkat wajahnya untuk menatap Cloud.

“Kurasa aku terlalu banyak memikirkannya sampai terseret ke dalamnya.”

Senyum lega terangkai di wajah Tifa. Cloud merasakan kehangatan merambati punggungnya. Ia bisa membayangkan setiap tawaran yang disiratkan dalam senyuman itu.

Ia kembali berdiri di titik nadir. Di mana ia melihat kembali alasannya untuk memperbaharui hidupnya.

Seberapapun ia tersesat dalam dirinya, ia selalu memperoleh tuntunan pulang.

Ia meyakini itu, dan selalu percaya Tifa mampu menjaga dirinya. Butuh seluruh keberanian dalam dirinya untuk mengajaknya hidup bersama. Ketika ia mengutarakan melalui segala kegugupan, reaksi yang diterimanya jauh dari tolakan.

Pada saat itu Tifa tersenyum lembut. Senyuman paling penuh kasih sayang dari yang pernah ditunjukkannya, membasuhnya dalam hangatnya sambutan.

Ya, persis seperti itu.

Cloud membuka hatinya, menyerahkan kelemahan-kelemahannya, membiarkan keluarganya menyokongnya, ingin menjadi dirinya sendiri dalam membangun dirinya yang baru. Kala itu ia tidak malu bersandar pada keluarganya. Namun ia mulai lupa ketenangan dan kebahagiaan menjadi diri sendiri, itu adalah ketika ia kehilangan akal terbebani masalah.

Meskipun ia sempat berpaling, cahaya penuntunnya tidak memudar. Tetap tegar berpendar, mempermalukannya dengan kesetiaannya.

Apakah pernah ada cara membalasnya?

---TBC---

fanfiction

Previous post Next post
Up