my first fanfic (second part)

Oct 08, 2009 06:48

Hari-hari yang lama telah kembali.

Waktu seolah diputar ulang ke masa-masa paling bahagia dalam hidupnya. Dunia yang dipenuhi dengan wajah-wajah dan suara-suara yang familiar. Meskipun dalam kesendiriannya, seperti ketika ia harus pergi ke seberang benua, membawa paket-paket berat di Fenrirnya, ia masih merasa terbang. Tidak ada yang dinantikannya lebih daripada kembali ke tanah perjanjian miliknya seorang.

Dalam perjalanan pulang, ia melewatkan rutenya ke padang penuh bunga. Tanpa sadar ia tersenyum ketika melihat dua sosok melambai padanya, menyambut kedatangannya.

Mereka semua, yang telah tiada, tidak pernah benar-benar meninggalkannya. Apa yang harus dilakukannya adalah menjaga kenangan-kenangan tentang mereka, tidak membiarkan waktu, usia, atau dalam kasusnya, ketakutan dirinya sendiri, mencurinya. Meskipun ia tidak bisa berbicara dengan mereka, namun mimpi, ingatan, restu mereka ada bersamanya. Mereka menjadi bagian dalam dirinya, hidup dalam dirinya; ia tidak kehilangan siapapun.

Dan yang terpenting sudah nampak di ujung jalan. Rumah mungil dari kayu dengan papan reklame Seventh Heaven. Seiring geraman Fenrir mereda, dua anak selalu siap menyambutnya, mengerubutinya, menanyakan cerita-cerita perjalanannya.

Simpan itu untuk cerita makan malam.

Karena sekarang hadir senyum yang meradiasikan kebahagiaan, senyum yang menghentak jantungnya lebih keras. Dalam ingatannya Tifa selalu cantik, tapi tidak pernah lebih memukau dari sekarang.

Setiap ia kembali, Tifa menuntunnya duduk di bar, menyiapkan minuman dingin dan kue yang baru selesai dipanggang untuknya seraya berkata, “Selamat datang dan terima kasih atas kerja kerasnya.”

Cloud memandangi siluet Tifa yang terus bergerak sibuk, penuh semangat; sangat hidup. Ia tidak ingin melewatkan apapun, bahkan untuk satu kedipan.

“Jadi,” Tifa meletakannya segelas bir besar bersama sepiring kue buah di meja counter, ekspresinya penasaran, “apa yang akan kita lakukan di hari libur besok?”

Benar, Cloud tadi menelepon dalam perjalanan pulang supaya Tifa menutup bar. Marlene dan Denzel telah mengambil posisi di sisi kiri-kanannya, sama-sama penasaran.

Cloud mengeluarkan bingkisan dari tas bepergiannya.

Sebuah tanda bertuliskan CLOSE, digrafir dalam pada sepotong papan kayu.

“Ini dari Yuffie. Katanya kita harus sekali-kali memasangnya di bar agar kita bisa pergi berlibur,” terang Cloud perlahan, malu pada dirinya tidak pernah berpikiran untuk mengajak keluarganya berlibur.

Selama beberapa detik tidak ada yang bereaksi. Namun akhirnya Denzel dan Marlene bersedekap, “Astaga!”

“Ke mana kita akan pergi, Cloud?”

“Entahlah, kurasa itu harus kita putuskan bersama.”

Marlene dan Denzel menyebutkan tempat-tempat yang sangat mereka ingin kunjungi. Cloud menghitung dalam hati waktu yang dibutuhkan untuk mencapai semua tempat, meskipun menggunakan rute jalan pintas, tetap saja membuatnya frustasi.

Tifa menyela, “Bagaimana kalau kita pergi piknik saja? Ke padang luas. Kebetulan sedang musim semi. Cuacanya akan sangat nyaman. Kita bisa menyiapkan bekal, membuat layangan, dan gelembung sabun.”

Kedua anak itu berpandangan, lalu saling mengangguk, “kedengarannya asyik!”

Mereka mulai menulisi apa saja yang mereka inginkan untuk bekal, mendata bahan-bahan yang dibutuhkan untuk membuat layangan dan gelembung sabun. Antusias meledak menjadi euforia. Kehangatan melingkupinya mendengar komentar-komentar Tifa dan gelak tawa anak-anak.

Sederhana, gembira, nyata.

“Cloud, kau juga harus membantu!” Marlene menarik tangannya dan membuyarkan semua lamunan bahagianya. Tapi ini juga kenyataan yang membahagiakan. Jadi apa bedanya?

---HF-Smile---

Bekal tandas, perut penuh terisi, semangat berkobar. Marlene dan Denzel menerbangkan layang-layang mereka. Tawa puas bergelak ketika layangan itu terombang-ambing di antara awan-awan.

Cloud dan Tifa duduk berdampingan di tikar yang mereka gelar, menyaksikan keriangan anak-anak dari jarak jauh.

“Terima kasih sudah mengajak kami berlibur. Rasanya sudah lama sekali kita tidak berkumpul bersama,” ucap Tifa dengan wajah riang seraya melambai pada Marlene dan Denzel, "kau banyak menghabiskan waktumu di perjalanan sehingga tidak bisa ikut kami berlibur di akhir pekan."

Cloud mengangguk, "Aku ingin menebus segalanya.”

“Aku berterima kasih bukan untuk ini saja, tapi karena kau ada di sini bersama kami,” Tifa agak ragu mengatakannya, maka ia tercenung sejenak. “Kami semua selalu menunggumu pulang,” imbuhnya akhirnya.

Bertukar pandang dengan Tifa, Cloud seperti bisa mengerti isi pikirannya. Tifa masih cemas ia mendadak bisa mengepul lenyap seperti asap.

Ia dilingkupi perasaan bersalah dan seharusnya sekarang ia benar-benar serius menebusnya, “Maaf.”

“Yang penting kau sudah kembali,” balas Tifa murah hati.

“Tidak,” Cloud menggeleng, “Aku benar-benar menyesal. Membuatmu mengatasi kesulitan seorang diri…Dan aku tidak pernah benar-benar menepati janjiku. Aku tidak bisa-.”

“Itu tidak benar!” putus Tifa, “kau menepati janjimu. Kau selalu membantu saat aku dalam kesulitan.”

Datang terlambat tidak termasuk memenuhi janji.

“Aku tidak,” Cloud mengalihkan wajahnya, tidak sanggup membalas tatapan Tifa. Sebaiknya Tifa memarahinya, ia bisa menerimanya, malah akan lega karenanya.

“Dengar, Cloud,” suara Tifa mengalun prihatin, “Aku tidak butuh seorang ksatria, aku hanya butuh Cloud yang mau berusaha untuk menjaga keluarga kecil ini.” Ia tersenyum sejenak mendapati ekspresi heran Cloud, “dan aku tahu kau berusaha. Keras.”

Mereka kembali bertukar pandang. Tifa mulai mengerti, selama ini komunikasi adalah dinding di antara mereka. Cloud tidak suka menceritakan masalahnya, begitu pula dirinya. Dibanding membagi beban pikirannya kepada orang lain, dirinya dan Cloud menyimpannya sendiri sampai akhirnya membentuk simpul yang terlalu kusut untuk diuraikan.

Satu-satunya cara untuk menyelesaikannya adalah: duduk dan bicara. Seperti saat ini.

“Aku punya titik buta, yang membuatku tetap lengah seberapa waspadapun diriku. Tapi,” suara Tifa nyaris berbisik, namun cukup mantap di telinga Cloud, “aku merasa aman ketika kau bersamaku.”

Tifa menarik tangannya dengan canggung, menundukkan kepalanya; seolah ada yang disembunyikannya. Sepertinya ada semburat merah nyala di pipinya. “Dan sampai sejauh ini kau tidak pernah mengecewakanku,” ujarnya lagi, dengan suara semakin redam.

Cloud pikir, Tifa memandangnya terlalu tinggi. Ia merasa selama ini ia lah yang ditopang dan dibimbing, seberapa jauhpun ia merantau dalam labirin kesesatan dirinya, Tifa yang selalu berhasil menemukannya dan menuntunnya pulang

“Kau hanya menyemangatiku.”

“Tidak juga.”

Cloud menghimpun keberaniannya, sekali lagi ia perlu memperjelas kondisi perjanjian mereka dari sisinya, “aku akan berusaha menjaga…,”kata tunggal berhenti di ujung lidahnya, ia menggantinya dengan yang lebih netral, “Keluargaku…Aku akan ada untuk keluargaku.”

Cloud buru-buru menundukkan kepalanya. Tapi ia sempat menangkap binar yang terbit di wajah Tifa.

“Sangat fantastis…,” Tifa seperti berusaha menahan tawa. “kau semakin seperti seorang ‘ayah’ sekarang.”

Cloud memutar bola matanya salah tingkah. Ia mengarahkan pandangannya pada Marlene dan Denzel, “Demi anak-anak, kita harus.”

Bibirnya melengkung, membentuk senyum manis. Ia mengangguk dalam-dalam. Ia mengingat perkataan Marlene pada Barret sebelum pria itu melakukan perjalanan untuk mencari tambang minyak.

“Aku akan menjadi anak yang baik bagi keluarga ini.”

Walaupun bukan biologis, Marlene dan Denzel adalah anak-anaknya bersama Cloud. Di mata orang banyak mereka tampil seperti keluarga biasa, dengan ayah muda dan anak-anak penuh semangat.

Cloud memandangnya heran ketika Tifa terkekeh.

“Kita benar-benar belum pada usia untuk memiliki anak-anak seusia mereka, bukan?” Cloud mau tak mau tersenyum risih.

“Tapi meskipun suatu saat aku akan memiliki anak-anak yang lain, aku tidak yakin akan memiliki koneksi batin sedalam ini,” kali ini gumaman Tifa memaksa Cloud memikirkan makna ‘anak-anak yang lain’. Bukankah keluarga mereka sudah cukup anggota?

Apakah Tifa berpikir untuk pergi suatu saat? Apakah mereka bukan untuk selamanya?

Tifa menangkap ekspresi murungnya, “Ada yang mengganggu pikiranmu?”

Anak-anak yang lain. “Tidak.”

“Aku kenal wajah itu,” Tifa menyipitkan matanya pada Cloud, “Terakhir kulihat, kau memutuskan pergi sembunyi-sembunyi dari rumah.”

“Kurasa...Kita harus bertahan dalam keluarga ini.”

“Tepat seperti itu yang kupikirkan,” jawab Tifa apa adanya.

Ah, sudahlah.

Tifa berdehem, menyingkirkan keheningan ganjil yang mendadak mengembang di antara mereka, “Lihat layangan itu!” awalnya Cloud mengerutkan kening ke arahnya sebelum beralih pada dua burung kertas raksasa yang menggantung di angkasa. “Aku mengerjakannya semalaman.”

Mereka berpandangan, hanya ada sirat kebingungan dalam sorot mata Cloud.

Tifa meregangkan kedua tangannya “Aku sangat lelah mempersiapkan piknik hari ini.” Cloud masih bertanya-tanya sampai Tifa merebahkan kepala di bahunya, “Biarkan aku bersandar, oke?”

Cloud menerawang, melihat dirinya merasa rindu pada kedekatan ini, seperti ketika mereka berada di bawah Highwind. Tidak punya tempat untuk kembali.

Semalaman di bawah langit yang luas, hanya ada dirinya dan Tifa. Anehnya pada saat itu ia tidak merasa tersesat dan tanpa arti. Ia merasa nyaman seperti di rumahnya sendiri. Kehadiran Tifa cukup untuk entitasnya. Malam itu ia berharap tidak pernah berakhir walaupun mereka hanya berbincang-bincang. Membicarakan masa kecil, masa ketika Cloud pergi mengejar mimpinya dan Tifa menjalani hari-hari penuh penantian di kampung halaman mereka, perjalanan mereka, dan pencapaian mereka pada titik itu.

“Bukankah tidak ada yang berubah semenjak kita berjanji di Fountain Park?” Cloud berbisik lembut, “bahkan sampai saat ini.”

“Kau tidak pernah berubah.” Cloud mengatakan itu pada malam itu. “Tidak pernah ada yang berubah semenjak kita berjanji di Fountain Park.” Tifa mengingat hal yang sama dan membuatnya tersenyum, “Ada. Kita semakin dewasa, usia dan pikiran. Ada orang-orang baru muncul dalam kehidupan kita. Lalu pergi.”

Cloud diam membenarkan.

“Tapi memang ada yang tidak pernah berubah,” lanjut Tifa khidmat. Cloud ikut merenungkannya.

Cloud dan Tifa sama-sama menyadarinya. Sehingga tanpa suara pun perasaan meluap itu mempunyai tempat untuk mengalir. Mimik, ekspresi, gestur, cara pandang, sentuhan-sentuhan singkat dan sepele menjadi protokol mereka untuk menunjukkannya. Cloud yakin perasaan itu tidak akan berubah, malah terus bertambah kuat, membuatnya semakin peka dengan ikatan batin di antara mereka.

Mereka tidak bisa menghindari pertengkaran, tidak bisa menghindari perbedaan pendapat, tidak bisa menghindari kesalahpahaman, maupun kekecewaan. Mereka saling menyakiti, saling memarahi, saling menguras air mata, tapi mereka akan terus bertahan untuk saling menjaga, melindungi, menuntun, memahami, dan menjadi dewasa bersama.

Kesetiaan dan komitmen mereka telah melampaui ikatan pernikahan, jadi apalah artinya sehari berada di altar untuk saling mengumbar janji? Ia ingin mereka terus berbahasa dalam bahasa paling sederhana, paling jujur, dan dimengertinya dengan sempurna-intuitif maupun rasional-.

Cloud melihat sampai akhir perjalanan hidupnya, Tifa akan mendampinginya, dan ia tidak pernah membayangkan sebaliknya karena memang tidak terbayangkan.

Ia akan hidup dan mati di sisinya, cintanya dan segalanya.

Aku mencintaimu.

Itu yang tidak pernah dan tidak akan berubah.

---HF-Smile---

Marlene: “Ssssh! Denzel, pura-puralah tidak melihat!”

Denzel: “Tapi, Marlene-“

Marlene: “Tengok kemari-Tidak ke arah mereka!”

Denzel: “Tapi itu-Apa itu yang dilakukan Cloud?-“

Denzel: “Oh, dia…!”

Marlene: “Benar, hanya di dahi, tapi kujamin Cloud butuh sejuta tahun lagi lamanya untuk melakukan itu bila sampai terpergok.”

Denzel: “Sejujurnya, aku sempat berpikir mereka hidup selibat….”

Denzel : “Tunggu, maksudmu Cloud mencuri ciuman? Walau hanya di dahi?”

Marlene: “Ha ha. Cloud itu bukan cassanova. Tifa juga tidak membantu…Mereka parah.”

Denzel: “Serius, maksudku dulu ayah-ibuku pun tidak sekaku mereka.”

Marlene: “Mereka itu agak lain. Mungkin mereka dari zaman purba atau bagaimana. Tugas kita untuk mengkampanyekan bahwa mereka pasangan.”

Denzel: “Kita seperti main drama ya? Kita dapat peran anak.”

Marlene: “Kira-kira begitu. Kalau kita menghayati peran, mereka pun akan lebih berusaha menghayati peran mereka.”

Denzel: "...."

Marlene: "...."

Denzel: "Tapi aku mulai bosan."

Marlene: "... ...Oh, benar, peduli amat!"

---HF-Smile---

..

uh...i feel so degradated.

O iy, and this is birthday fic for Cloud. Happy belated b'day, Cloudie! Biarpun telat sangat publishnya, yang penting saya start bikin fic ini di bulan ulang taunmu*alesan kampring dan tak termaafkan*

fanfiction

Previous post Next post
Up