Biarkan Hati Bicara Bagian VI : Rindu

Sep 13, 2013 12:27

Mobil berjalan perlahan di jalan tol. Melati menghitung pepohonan kiri kanan jalan. Dilakukannya hal gila itu untuk membunuh kebosanan. Nana sudah jatuh terlelap sedari tadi. Diliriknya arloji di pergelangan tangannya, 10.24 WIB. Ah! baru setengah jam dirinya meninggalkan rumah. Rasa-rasanya sudah berjam-jam. Mungkin karena suasana yang sepi. Pak Eman memang tak banyak bicara, hanya fokus pada kemudi.
Beda rasanya jika berjalan-jalan dengan Alfa, rasanya akan selalu ada yang dibicarakan, pikir Melati. Melati terhenyak. Apa yang kupikirkan? Apakah itu yang disebut kerinduan? Melati membatin lagi. Dipandanginya bayang wajahnya di kaca jendela mobil. Kamu tidak boleh jatuh cinta, Melati.
Beruntung, Melati tahu bagaimana cara menguasai perasaannya. Hanya perlu beberapa jenak memejamkan mata dan beberapa hembusan napas untuk menjauhkan perasaan pribadi yang dianggapnya tak perlu. Melati mulai mencoba berpikiran positif bahwa dia hanya ingin teman bicara. Tak ada hubungannya dengan Alfa. Namun, satu hal yang tidak diketahui Melati adalah Alfa sendiri bukanlah seseorang yang hobi mengobrol. Alfa termasuk makhluk pelit dalam urusan berbicara. Kebosanan akhirnya berubah menjadi rasa kantuk. Melati jatuh tertidur....
...
Melati membuka matanya perlahan ketika pergerakan mobil melambat dan akhirnya berhenti di depan rumah neneknya. Seperti kejadian yang sudah-sudah anak-anak bergerombol di sekitar mobil membuat Pak Eman harus mengusir-usir mereka. Melati segera membangunkan Nana. Gadis remaja itu mengucek-ucek matanya. Melati tersenyum lembut dan mengajaknya keluar. Tatapan yang tak mengenakkan dirasakannya begitu keluar dari mobil. Dia tak ambil pusing dan segera mengetuk pintu rumah setelah meminta Pak Eman kembali ke kota.
Tok! Tok! Tok!
“Assamua’laikum.”
Wa’alaikumusalam”, terdengar sahutan dari dalam sebelum beberapa saat kemudian pintu terbuka perlahan. Dua buliran bening menuruni pipi gadis manis di hadapannya. Tubuh subur milik Mayang menubruk tubuh mungilnya, memberikan sebuah pelukan hangat. “Kakak!” Diciumnya pungung tangan Melati. Gadis itu kini mengalihkan pandagannya pada Nana. Seulas senyum lembut terukir di sudut bibinya. Dielusnya kepala Nana. “Nana....”
“Raka masih di sawah?” Mayang mengangguk pelan. “Ayo kita masuk!” Mereka bertiga segera memasuki rumah. “Bagaimana kondisi, Nenek?” Melati bertanya sembari meletakkkan tasnya di sudut ruangan.
“Begitulah, Kak. Sudah dibawa ke puskesmas tapi masih tidak sembuh-sembuh.”
“Orang di sana bilang apa?”
“Katanya sih penyakit orang tua.” Mereka bertiga sudah memasuki kamar sang nenek. Wanita tua itu tampak tertidur. Sesekali batuknya terdengar. Melati menatap neneknya iba.
“Mungkin kita perlu membawa nenek ke rumah sakit.”
“Nenek tidak mau, Kak.” Melati menghembuskan napas berat. Dibelainya wajah neneknya dengan sayang dan penuh rasa hormat. Jika tidak ada beliau, mungkin dia sudah kehilangan arah sejak lama. Sebuah de javu berkelebatan,
PLAKKK
Buliran bening menuruni pipi Melati yang kemerahan. Tak disangkanya nenek akan sampai hati menampar wajahnya. Adik-adiknya meringkuk ketakutan di balik pintu. Melati tak bermaksud berbuat buruk. Dia  hanya ingin adiknya tak putus sekolah.
“Aku dan ibumu tidak pernah mengajari kamu menjadi pelacur!”
“Melati tidak menjadi pelacur, Nek.”
“Lalu apa?”Batuk-batuk disertai mengi terdengar. Bengek neneknya kumat.
“Melati cuman diajak nyanyi sama Kak Sari.”
“Nyanyi terus badan kamu dicolek-colek sama lelaki hidung belang! Itu mau kamu?”
“Nek....”
“Biar sedikit asal halal.” Napas tua mulai tersengal.
“Maafkan aku, Nek. Aku janji takkan mengulanginya lagi.” Melati memeluk kaki neneknya. Mata itu melembut namun napasnya masih tersengal.
“Nenek sudah memaafkanmu bahkan sebelum kamu meminta maaf.” wanita tua itu mengajak Melati bangkit dari posisi bersimpuh.
“Sekarang nenek istirahat ya?” Wanita tua itu mengangguk. Dibelainya beberapa kali kepala cucunya.
Perasaan bersalah menyeruak begitu saja di benak Melati. Bukankah kini dia tengah melakukan hal yang lebih rendah dibandingkan bertahun lalu itu, mempermainkan sebuah pernikahan. Tak terasa buliran bening menuruni pipinya.
“Maafkan aku, Nek...”, desisnya pelan, sayup hampir tak terdengar.

***
Desa Suka Maju, malam tak berbintang,
Wanita tua itu tergolek lemah di atas dipan. Melati hanya bisa menatap nanar tubuh kisut mengkerut di bawah selimut butut. Terkadang batuk-batuk keras hingga menumpahkan cairan anyir merah kehitaman. Melati mengalihkan pandangannya pada Nana yang tergeletak begitu saja di atas tikar butut, berpelukan dengan Mayang. Melati mengelus kepala kedua adiknya. Adik-adiknya sudah beranjak dewasa, terutama Raka. Adiknya yang satu itu kini tengah menghadiri acara di kampung sebelah. Tiba-tiba Mata tua bergerak-gerak, membuka perlahan.
“Nek....”
“Melati... kamu tahu waktu nenek takkan lama lagi.”
“Jangan begitu, Nek.”
“Karena itu... Nenek ingin kamu mengatakan dengan jujur sesuatu yang kamu sembunyikan selama ini.”
“Tidak ada....”
“Nenek tahu Melati.... pernikahanmu dan Alfa...” Melati terdiam sejenak.
“Maafkan aku Nek. Nenek benar, aku menikah dengan Alfa untuk memperoleh uang dan Alfa bisa menyenangkan ibunya.”
“Nenek sudah tahu sejak awal.”
“Maafkan aku Nek.”
“Tak apa. Lagipula Nenek pikir kamu sudah jatuh cinta dengannya.”
“Aku tidak percaya cinta.”
“Melati.. ikuti kata hatimu. Nenek tahu kamu sedang berperang dengan nuranimu sendiri.”
“Sudahlah, Nek. Belum tentu juga Alfa akan mencintaiku. Nenek harus istirahat. Dan juga jangan sampai Raka tahu, Nek.” Melati menyelimuti tubuh renta di hadapannya. Mata yang keruh menatapnya sayu sebelum benar-benar terpejam.
...
Alfa membuka pintu rumahnya perlahan. Rasa lelah mendera tubuhnya. Namun, rasa kesal jauh lebih kuat. Bagaimana tidak? Selama dua hari ini dirinya harus bersama-sama Citra tanpa keberadaan Melati. Citra selalu berusaha keras menarik perhatiannya. Dia tak suka cara gadis itu. Bahkan dengan nekat Citra ingin ikut pulang ke rumah. Beruntung, Alfa dapat cepat-cepat mengelak.
Rumah nampak sepi. Alfa menghembuskan napas berat. Sekonyong-konyong dilihatnya Melati mendekat dengan senyum manis khas. Begitu istrinya akan mencium tangannya, sosok itu mendadak raib. Alfa segera teringat kepulangan Melati ke desa. Sosok Melati yang dilihatnya hanyalah halusinasi. Alfa menghempaskan tubuhnya di atas sofa. Lelah fisik dan psikis membuatnya jatuh tertidur.
“Tuan Alfa!”
“Eh ya ada apa?” Alfa gelagapan. Dia berharap dapat melihat senyum Melati. Namun, hanya ada Bi Minah di hadapanya.
“Tuan tertidur di sini sampai larut malam, nanti Tuan masuk angin.”
“Oh ya, Bi terima kasih. Tapi aku mau mandi dulu. Aku agak lapar bibi bisa siapkan makanan.”
“Tentu Tuan.” Alfa melepas sepatunya dan bergegas mengambil handuk untuk kemudian menuju kamar mandi.
Suara air membentur ubin kamar mandi begitu gaduh namun entah kenapa benak Alfa masih merasa sunyi. Tubuh atletis itu gemetar. Airnya terlalu dingin. Biasanya Melati akan menyiapkan air hangat untuknya. Rasa dingin menyebabkan Alfa tak ingin berlama-lama di kamar mandi. Seusai mandi, dia segera berpakaian dan menuju ruang makan.
Beberapa hidangan yang menggoyang lidah tersaji di atas meja. Aroma sedap menguar ke udara. Alfa menarik kursi dan duduk. Diambilnya beberapa sendok hidangan untuk kemudian mulai menyantap makanan dengan malas.
“Ummm... Tuan maaf apakah masakan saya tidak enak.”
“Bukan begitu, Bi. Aku hanya lelah jadi agak tidak napsu makan.” Alfa setengah berbohong. Dia memang lelah namun napsu makannya memang hilang karena hidangan. Bukan karena tak lezat tetapi karena bukan Melati yang membuatkannya. “Aku sudah selesai, Bi. Terima kasih.” Alfa mengelap mulutnya untuk kemudian menuju kamarnya.
Kali ini Alfa menghempaskan tubuhnya di atas tempat tidur. Lelaki bermata elang mencoba memejamkan matanya namun tak berhasil. Seperti ada yang kurang malam ini. Alfa membolak-balikkan tubuhnya berkali-kali. Rasa lelah semakin menyiksanya. Ah! andai saja ada Melati. Kan ada yang mijitin, pikir Alfa tiba-tiba. Alfa segera menggelengkan kepalanya berkali-kali.
Tiga puluh menit berlalu, mata Alfa masih enggan terpejam. Akhirnya dirinya bangkit dari tempat tidur. Alfa menarik kursi belajar menghadap jendela. Dibukanya tirai abu-abu. Nampaklah lampu-lampu kecil jalanan berusaha menerangi malam tak berbintang. Begitu Indah mengingatkan Alfa pada sesuatu yang membuatnya mendadak kehilangan logika, senyuman lembut Melati.
“Kamu sedang apa sekarang Melati?” desisnya lemah.
...
Langit malam masih sama. Tak satupun permata malam berkerlipan di atas sana, hanya hamparan hitam kelam memayungi bumi. Malam merangkak dengan malas. Bahkan, binatang malam pun nampak enggan berdendang. Hanya sesekali terdengar kerikan jangkrik. Angin semilir pun turut berhembus dengan malas. Desauannya begitu perlahan hanya mampu menggerakkan beberapa lembar daun pohon asem di pekarangan. Namun, hawa dingin tetaplah menusuk kulit. Melati duduk merenung di teras rumah. tubuh mungilnya tenggelam dalam pelukan selimut tipis warisan ibunya. Matanya menatap bunga-bunga peliharaan nenek namun pikirannya jauh berkelana.
“Tak apa. Lagipula Nenek pikir kamu sudah jatuh cinta dengannya.”
“Aku tidak percaya cinta.”
“Mel.. ikuti kata hatimu. Nenek tahu kamu sedang berperang dengan nuranimu sendiri.”
Melati menghembuskan napas berat. Tak mengerti kenapa kata-kata sang nenek tiba-tiba terngiang di telinganya. Kegelisahan dengan cepat menguasai benak Melati. Melati memejamkan matanya, mencoba menenangkan pikiran, senyuman Alfa muncul begitu saja. Nampaknya cara yang biasanya jitu tak berguna. Pikirannya tak bisa diajak berkompromi malam ini.
“Jika tubuhmu sudah tidak sejalan dengan pikiranmu. Maka biarkanlah sekali-kali hati kecilmu mengambil alih....”
Kata-kata ibunya melesak ke dalam pikiran. Melati lagi-lagi menghenbuskan napas berat. Mungkin malam ini dia memang harus berhenti berperang dengan dirinya. Sekali-kali membiarkan diri larut dalam perasaan tak ada salahnya juga bukan? Melati menatap langit yang sama.
“Apa yang sedang kamu lakukan Alfa?” desisnya lemah.
***
Alfa menggerakkan jemarinya gelisah di atas ponselnya. Pasalnya, Melati sampai sekarang belum juga menghubunginya. Meskipun Pak Eman sudah kembali, Alfa tetap saja tak tenang.
“Jangan terlalu gengsi!”
“Eh?” Alfa gelagapan. Ririn sudah nangkring di sebelahnya.
“Kalau kangen ya tinggal di telepon saja kan?”
“Aku...”
“Masalah begitu saja kok pakai malu-malu.” Sebenarnya Ririn tak ingin mencampuri masalah kakaknya. Namun, kelakuan Alfa yang uring-uringan sepeninggal Melati membuatnya kesal juga. Pelayan di rumah menjadi tak enak hati. Karyawan di kantornya juga protes.
Alfa merenung dahulu beberapa jenak. Tiba-tiba dia mendadak bangkit dari sofa pergi ke kamarnya di lantai dua. Setelah sendirian dalam kamar dengan perasaan berdebar dihubunginya juga nomor Melati.
...
Tubuh terbujur kaku berselimut kain putih. Aroma cendana dan kayu gaharu menguar ke udara. Surah Yaasin menggema di seluruh ruangan, begitu koor, begitu syahdu timbulkan nuansa sakral dan religius. Isak tangis sesekali menyusup di antara alunan surah yang merdu. Melatipun turut melantunkan surah Yasin. Matanya menatap hampa tubuh di hadapannya. Tak menyangka perdebatan dengan nenek tempo hari menjadi salam perpisahan. Neneknya memang tak pernah membuka mata setelah malam itu. Beliau hanya mengigau tak jelas, kebanyakan menyebut nama kakeknya.
Bip bip, Melati permisi ke pekarangan  untuk menerima telepon dari Alfa.
Halo, A-Alfa?
Umm... Ya Mel? Di sana ramai sekali ada apa?
Tidak apa-apa
Seperti surah yaasin. Tunggu Melati ada apa?
Baiklah... Nenek meninggal....
Apa? Kenapa tidak menghubungi dari kemarin. Aku ini suamimu harusnya kamu menghubungiku. Kami akan segera ke sana!”
Tapi....
Belum sempat Melati protes Alfa sudah memutuskan sambungan. Akhirnya, gadis itu hanya bisa menghembuskan napas berat.
...
“Ririn, mama, papa ayo kita segera pergi ke desa Melati!”
“Kenapa fa?” Bu Mariam terheran-heran melihat tingkah Alfa.
“Nenek Melati meninggal dunia.”
“Inalillah... kenapa baru memberi tahu?”
“Nanti saja kita tanyakan. Sekarang kita harus bergegas.” Suara langkah-langkah kaki tergesa mewarnai kediaman keluarga Pratama. Tak lama kemudian rumah mewah itu menjadi senyap.
Bu Mariam berdo’a dalam hati. Bagaimana tidak? Putranya mengemudikan mobil seperti kesetanan. Alfa memang tak bisa mengontrol emosinya saat itu. Pedal gas diinjaknya dalam-dalam. Beberapa kali klakson mobil lain berbunyi karena tindakan selip-menyelip yang dilakukannya. Beruntung mereka tak tertangkap polisi lalu lintas.
...
Bunyi berdecit terdengar ketika Alfa mengerem mendadak. Mereka memang sudah tiba di depan rumah duka. Pak Pratama, Bu Mariam dan Ririn segera masuk ke dalam rumah. Ririn segera bergabung dengan Mayang dan Nana. Bu Mariam terisak dalam pelukan suaminya.
Alfa justru tak langsung masuk ke rumah duka. Mata elangnya tak menangkap keberadaan Melati. Alfa berpikir keras. Tiba-tiba dia teringat tempat dimana dia pernah memberikan Melati bunga. Alfa bergegas menuju tempat itu tak peduli bisikan tak sedap para pelayat. Seperti dugaan Alfa, Melati memang ada di sana. Istrinya itu nampak duduk lesu di atas sebongkah batu sembari menatap nanar pepohanan yang tengah berbunga. Alfa melangkah perlahan agar tak mengusik Melati. Setelah berada tepat di belakang Melati, lengannya dengan refleks merangkul tubuh mungil itu. Diletakkannya dagunya di bahu Melati. sebenarnya sudah tak jelas apakah mereka benar-benar kawin kontrak.
“Alfa?”
“Ya aku di sini untukmu.”
“Ada-ada saja.” Meski senyumnya nampak ceria, Alfa dapat melihat butiran bening mengumpul di sudut bola yang bening.
“Menangislah. Aku tahu kamu ingin menangis Melati maka menangislah.”
“Aku harus kuat.”
“Ada saatnya kita perlu menangis.” Melati terdiam. Tubuh mungil itu mendadak jatuh di dada Alfa, berguncang-guncang dalam isakan.
“Aku cucu yang jahat....” ucapnya berkali-kali di antara isak tangisnya. Alfa tak mengerti. Namun, dia merasakan sedikit bangga. Seperti sebuah pencapaian yang luar biasa. Hari itu Alfa merasa telah benar-benar menjadi suami Melati, bukan anak kecil seperti biasa dirinya diperlakukan. Angin semilir berhembus lembut, membelai hati kedua insan dalam balutan kasih sayang yang hening.
***
Citra mondar-mandir tak karuan di kamar mewah miliknya. Adakalanya berguling-guling sendiri di atas tempat tidurnya. Hatinya gelisah, masih tak terima mantan kekasihnya menikah dengan gadis yang biasa-biasa saja. Masalahnya bukan karena pernikahannya saja namun juga karena perubahan sikap Alfa yang menjadi tak biasa. Ingatan tentang Alfa di masa lalu membuatnya semakin tak tenang.
“Alfa!”
“Ya?”
“Happy birthday!” sebuah kue tart disodorkannya di hadapan Alfa. Semua orang bersorak.. Namun, ada juga beberapa senyuman sinis.
“Terima kasih.”
“Kamu senang tidak.”
“Ya. Aku mau pergi dulu ada urusan.” Alfa meninggalkan Citra sendirian di koridor sekolah. Perih dan malu merayapi hati Citra....
Kilasan masa lalu itu hanya sebagian kecil dari sifat dingin Alfa yang justru menjadi daya tariknya. Mungkin karena menimbulkan rasa penasaran para gadis. Oleh karena itulah, Citra amat bangga waktu Alfa menerima pernyataan cintanya. Meskipun perlakuan yang diterimanya tak jauh berbeda dengan gadis lainnya. Hal inilah yang membuatnya mendapat shock therapy ketika melihat Alfa menjadi begitu romantis  pada Melati namun tetap dingin terhadap orang lain.
“Pasti ada alasannya kenapa Alfa mau dengan gadis jelek itu!” Citra tiba-tiba teringat dengan Dewi. Tak menunggu waktu, segera dihubunginya gadis itu.
***
Cafe Gloria,
Citra dan Dewi memesan dua gelas capuccino. Citra memulai dengan obrolan ringan. Pembicaraan mereka tak jauh-jauh dari masalah seputar fashion hingga gosip gosip terhot. Selanjutnya, wajah Citra mendadak serius.
“Dewi... aku heran deh....”
“Eh apa?”
“Maaf ya sebelumnya... Melati itu kan biasa-biasa saja kok bisa-bisanya Alfa mau menikah dengannya. Gadis-gadis yang 100 kali lebih cantik saja ditolaknya.” Hening, Dewi mulai tak suka arah pembicaraan yang satu ini. “Aneh banget deh. Jangan-jangan dia pakai guna-guna....”
“Melati tidak seperti itu! Mereka hanya melakukan kesepakatan. Mereka menikah untuk menyenangkan hati Tante Mariam! Alfa yang menawarkan kesepakatan ini. Dia bahkan memanfaatkan kondisi keuangan Melati!”
“Oh jadi hanya kawin kontrak.” Seulas raut wajah senang. “Sudah kuduga. Tidak mungkin Alfa...”
“Mereka akan saling jatuh cinta!”
“Tidak mungkinlah!”
“Aku yakin!”
“Ini bukan film, Dewi. Sahabatmu itu bukan cinderella. Tapi terima kasih atas infonya. Aku pulang duluan ya?” Citra meninggalkan Dewi sendirian. Dewi diliputi kecemasan yang luar biasa. Jemarinya meninju meja cafe.
“Kamu bodoh Dewi!” teriaknya untuk dirinya sendiri. Beberapa pengunjung menatapnya aneh. Dewi tak peduli. Ini benar-benar gawat. “Aku harus memberi tahu mereka.”
***

novel

Previous post Next post
Up