Biarkan Hati Bicara Bagian V : Konspirasi

Sep 08, 2013 22:08

Melati asyik menulis di sebuah buku sementara televisi berkoar-koar sendiri. Sang penonton, Ririn dan Nana tertidur di sofa. Rumah menjadi sepi, terlebih karena Bu Mariam sedang pergi check up. Sedangkan Alfa pergi ke kantor. Libur semester Alfa memang harus kembali bekerja. Sementara Melati sudah selesai perkuliahan hanya mengerjakan skripsinya. Terkadang bosan juga tak ada kerjaan. Tapi toh sebentar lagi Alfa akan pulang.
Krieet
Pintu depan dibuka perlahan. Melati bangkit dari sofa, berjalan ke ruangan depan. Benar saja dugaannya, Alfa sudah datang dari kantor. Melati segera mencium punggung tangan suaminya untuk kemudian membawakan tasnya. Selanjutnya, keduanya duudk di sofa. Alfa membelai rambut Ririn dan Nana untuk kemudian melepas sepatunya. Hening sejenak hingga rasa lelah membuatnya menjatuhkan kepala di bahu Melati.
“Mel... aku benar-benar lelah. Mereka terus mendesakku. Aku menolak karena aku ingin karyawanku sejahtera. Apakah karena mereka menganggapku masih muda?”
“Mungkin... tapi begitulah kehidupan. Takkan selamanya indah kita harus menjadi kuat untuk menghadapinya. Jika untuk kebenaran kamu harus bertahan.”
“Terima kasih...”
“Sama-sama.” Tiba-tiba Alfa tertawa. “Kenapa Fa?”
“Rasa-rasanya kita sudah seperti suami istri beneran. Pertama kali kau mencium tanganku rasanya aneh sekali tapi lama-lama terbiasa ya?”
“Oh... itu karena kamu menikahiku dengan resmi maka aku akan berusaha menjadi istri yang baik,”
“Kalau begitu aku juga akan menjadi suami yang baik. Aku bahkan belum....”
“Kalau belum siap tidak usah memaksakan diri.”
“Iya Nyonya. Oh ya kamu tidak ada acara kan besok malam?”
“Tidak. Cuma sorenya mau pergi temani Dewi. Paling juga sebentar.” Hening beberapa jenak. “Kamu mau makan atau mandi dulu?”
“Makan saja aku sudah lapar.”
“Ayo ke dapur.” Kedua pengantin baru itupun menuju dapur. Sesekali terdengar guyonan mereka.
***
Melati hanya berdiri bersandar pada dinding butik sembari mengamati Dewi yang penuh semangat mematut-matut pakaian di tubuhnya. Sesekali matanya memandang keramaian di luar. Lalu lalang manusia tak henti di pusat perbelanjaan ini. Tiba-tiba saja matanya tertumbuk pada sesosok tubuh semampai di sudut lain. Melati yang memiliki intuisi tajam dapat merasakan kharisma yang luar biasa dari gadis di sudut lain itu. Selain memiliki paras cantik dan bentuk tubuh ideal, dia juga memiliki aura kuat yang membuat sebgaian besar kaum hawa lainnya terintimidasi dengan keberadaannya. Benar saja dugaan Melati, baru sebentar si Dewi sudah mencolek bahunya.
“Ya?”
“Lihat gadis yang di sana!”
“Kenapa?”
“Cantik banget Mel.Ya ampyuuun rasanya aku jadi minder deh. Lihat aja cowok-cowok yang udah punya pasangan pun melirik dia.” Melati hanya mengangguk-angguk. Kata-kata Dewi memang benar adanya. “Kecantikan yang sempurna....”
“Tidak ada manusia yang sempurna. Setiap orang memiliki kelebihan dan kekurangan. Jika kamu ingin menghadapi kehidupan yang keras ini jangan pernah sesali kekuranganmu. Karena masih banyak orang yang lebih menderita dari kita.”
“Iya iya cukup ceramahnya.”
“Kita makan Yuk. Aku lapar.”
“Kamu gak beli baju?”
“Tidak.”
“Ih, udah punya suami kaya masa masih pelit.”
“Ibu rumah tangga yang baik harus tahu saatnya menggunakan uang dengan tepat. Boros adalah musuh utama!”
“Baiklah Nyonya Alfa Pratama. Tunggu sahabatmu bayar dulu ke kasir.” Melati hanya mengangguk pelan. Tak diketahui mereka sepasang mata menyiratkan keterkejutan luar biasa diikuti sorot kekecewaan. Selanjutnya, sorot matanya menjadi tajam dan penuh kebencian.
...
Melati menyantap hidangan perlahan. Dewi hanya memesan minuman rendah kalori, program diet lagi. Berat badannya meningkat beberapa kilo dalam 2 bulan terakhir. Beda dengan Melati yang masih tak bisa naik-naik berat badannya. Dua sahabat itu hanya mengobrol hal ringan. Dewi merasakan keceriaan dalam nada suara Melati. Dia mulai curiga Melati jatuh cinta dengan Alfa. Jika benar tentu saja sebagai sahabat Dewi akan menjauhkan mereka agar Melati tak sakit hati. Namun, Dewi takut untuk bertanya....
“Ehemm”, sebuah deheman. Melati dan Dewi menoleh ke samping. Tak disangka, si cantik di butik tadi sudah berdiri di samping mereka. “Maaf apa saya boleh ikut duduk di meja ini? Ummm tak ada meja yang kosong.” Dewi hampir saja menolak namun Melati sudah keburu mengangguk. Seperti halnya Dewi ternyata gadis itu hanya memesan minuman rendah kalori.
“Kenapa Anda memilih kami?”
“Karena kukira kita masih sebaya jadi akan lebih nyambung kalau ngobrol dan juga... saya tadi tidak sengaja mendengar pembicaraan Anda berdua tadi. Nyonya Alfa Pratama... Apakah Anda maksud Alfa Pratama pengusaha muda pemilik PT Aman Sentosa.” Melati dan Dewi hanya mengangguk. “Wah kalau begitu selamat.” Gadis itu menyalami Melati yang melongo. “Maaf ya aku tidak bisa datang pas resepsi. Aku sedang syuting di luar negeri. Tidak bisa ditinggalkan.” Melati dan Dewi makin melongo. “Oh ya Maaf kelupaan, perkenalkan dulu Nama aku Citra Ayundia, teman satu SMAnya Alfa.”
“Melati.”
“Aku Dewi.”
“Benar-benar tidak disangka-sangka ya. Suatu kebetulan sekali.” Melati merasakan kegetiran dalam suara itu.
“Oh ya. Bagaimana Alfa di waktu SMA?” Dewi tiba-tiba bertanya.
“Hmm.... ya tidak jauh beda. Selalu dikejar-kejar wanita. Aku beruntung sekali pernah menjadi kekasihnya. Eh  maaf aku tidak sengaja?”
“Tidak apa-apa", suara Melati terdengar lembut. Gadis itu menatap tak percaya. Dewi mendengus kesal. Terlihat sekali memang faktor kesengajaan dalam ucapan Citra. Melati tetap tenang. “Tentu saja tak ada masalah bagiku. Aku menikahi Alfa di masa kini, bukan masa lalu.” Citra gemas. Amarah memenuhi dadanya. Mengubah arah pembicaraan digunakannya untuk mengontrol emosinya.
Melati melihat Citra sebagai gadis yang pandai memperbaiki suasana. Beberapa saat yang lalu Dewi masih mendengus-dengus kesal namun kini dirinya terhanyut dalam percakapan yang mengasyikan. Melati tak terlalu tertarik. Jemarinya mengirim pesan melalui ponselnya,
Fa aku terjebak obrolan Dewi dan mantan kekasihmu, tak bisa pulang cepat.
Eh? Mantan apa?
Citra kata dia mantanmu...
Dimana kalian sekarang? Ku jemput
Mall Flower
Tunggu aku segera ke sana.
Melati sudah pada puncak kebosanannya ketika dilihatnya Alfa memasuki tempat makan itu. Melati bangit berdiri membuat kedua orang di hadapannya itu terhenyak.
“Maaf ya kalian lanjutkan saja obrolannya. Aku sudah janji pergi dengan Alfa malam ini. Itu Alfa sudah menjemput.” Keduanya berbalik dan menemukan Alfa persis di belakang mereka. Citra nampak gugup.
“Eh oh Alfa aku... anu... oh ya lama tidak ketemu, kebetulan ketemu istrimu.”
“Ya kebetulan.” Alfa meletakkan lenganya di bahu Melati. “Kubawa dia dulu.”
“Oh ya ya silahkan.” Dewi dan Citra menjawab gelagapan.
“Ayo sayang.” Alfa menarik Melati berlalu dari Dewi dan Citra. Dewi melongo dan Citra sudah seperti kepiting rebus. Tak menyangka Alfa yang begitu cool bisa berbuat begitu so sweet pada gadis biasa-biasa saja seperti Melati. Alfa dan Melati bergegas keluar dari pusat perbelanjaan dan segera menaiki motor yang dibawa Alfa. Tawa mereka pecah setelah berada jauh dari pusat perbelanjaan.
“Kau lihat muka gadis itu lucu sekali ha ha ha.”
“Ya dia begitu kaget.” Hening sejenak. “Tapi lain kali jangan seenaknya menjadikanku alat untuk membuat orang lain cemburu. Itu tidak gratis tau?”
“Aku tidak bermaksud seperti itu. Aku tidak ada perasaan apapun padanya jadi buat apa membuatnya cemburu? Aku hanya tak suka sikapnya padamu.”
“Oh...” Hening sejenak. “tumben hari ini pakai motor.”
“Biar bisa dipeluk olehmu”, goda Alfa.
“Seperti ini.” Melati tak mau kalah. Dipeluknya pinggang Alfa erat dengan posisi kepala bersandar di punggung suaminya. Wajah Alfa langsung memerah, nampak sekali dirinya menjadi grogi, traffic light menyala merah hampir dilanggarnya. Melati tertawa renyah. “Ha ha Alfa yang grogi seperti anak kecil.”
“Aku bukan anak kecil dan aku tidak grogi.” Ala cemberut. Melati melepaskan pelukannya. Entah kenapa Alfa merasa sedikit kecewa. “Kita sudah sampai.” Alfa menghentikan motornya di tempat parkir sebuah restoran.
“Restoran ini... jam segini kok sudah sepi.”
“Tentu saja aku sudah memboking tempat ini untuk kita berdua.”
Melati mengangguk-angguk paham. Alfa mengajak Melati masuk dan mempersilahkannya duduk. Setelah itu, Alfa malah permisi ke belakang. Lama Melati menunggu suaminya yang tak jua kembali. Melati mulai bosan. Akhirnya diputuskannya untuk mengamati ornamen restoran. Sebuah restoran yang sederhana namun ekslusif dan klasik, menawarkan hangatnya sebuah keluarga....
“Ehemm”, sebuah deheman. Melati berbalik dan menemukan Alfa dengan seragam pelayan restoran. Lelaki itu menyajikan sebuah kue tart dengan ukiran angka 22 dan hidangan makanan.”Selamat ulang tahun Nyonya Melati Pratama.” Melati awalnya terkejut namun kemudian tersenyum kecil, “Cicipilah hidangan buatanku.”
“Ha ha sepertinya kamu lebih cocok jadi koki darpda jadi direktur. Baiklah akan kucicipi.” Hening sejenak, Alfa tak sabar. “Hmm... enak tapi...tartnya agak terlalu manis mungkin gulanya perlu dikurangi sedikit. Kalau hidangannya perlu sedikit lagi garam.” Alfa duduk di hadapan Melati dengan merengut. “Loh kok jadi ngambek.”
“Kamu seperti emak-emak!” Melati mengerutkan keningnya, heran. “Kau tahu aku tak pernah bertindak so sweet kepada gadis manapun. Padahal gadis lain pasti sudah pingsan jika kuperlakukan seperti ini. Kamu malah berkomentar seperti emak-emak.” Alfa bersungut-sungut. Melati tersenyum lembut. dirinya semakin mirip seorang ibu.
“Ha ha maaf naluri seorang gadis yang kau maksud sudah lama mati dalam diriku. Aku sudah terbiasa menjadi ibu sekaligus ayah untuk adik-adikku.” Alfa menjadi prihatin. Melati tak suka kondisi sentimentil. Diapun segera mengalihkan pembicaraan sembari  mengajak Alfa makan. Seusai makan keduanya berjalan-jalan dulu di beberapa tempat tongkrongan anak muda. Sebelum pulang Alfa memberikan sebuah kado, seuntai liontin. Pulang ke rumah mereka diomeli karena membuat pesta kecil yang diadakan Bu Mariam menjadi sia-sia. Keduanya terpaksa menghabiskan kue tart dengan susah payah.
Ketika malam semakin larut  keduanya permisi ke kamar. Langkah-langkah kaki diseret menuju kamar di lantai dua. Begitu menyentuh tempat tidur suami istri itu langsung terlelap dengan posisi yang tak disangka. Melati meringkuk di dalam pelukan Alfa. Sementara itu di balik pintu kamar Bu Mariam tertawa-tawa senang.
***
Siang pengap menemani Alfa dan Melati yang tengah mendiskusikan permasalahan keuangan perusahaan. Memang ada sedikit masalah yang membuat Alfa pusing. Beberapa perdebatan sengit terjadi namun dapat diakhiri dengan tawa. Setelah selesai, mereka meluruskan kaki di atas lantai dengan kepala bersandar di bantalan sofa.
“Rasanya akhir-akhir ini aku lelah sekali. Kau juga pasti lelah dengan skripsimu kan? Mungkin kita perlu liburan.”
“Boleh saja... tapi Nana dan Ririn masih belum liburan sekolah.”
“Ummm maksudku hanya kita berdua saja.” Melati hampir bicara namun tertahan oleh keriuhan di ruang tamu. Keduanya saling berpandangan untuk kemudian bangkit, pergi ke ruang tamu. Tampak Bu Mariam sedang mengobrol dengan tamunya. Ibunda Alfa memang menjadi agak baikan setelah memiliki menantu. Melihat anak dan menantunya, beliau memanggil mereka.
“Alfa... Melati Ayo duduk di sini.” Mereka menurut dan segera disambut senyum malu-malu Citra. Aktris yang benar-benar hebat gadis itu. “Alfa ini Tante Lidya, cucu dari adiknya kakek buyutmu datang berkunjung dengan putrinya, Nak Citra dia aktris terkenal loh. Dan Ini Alfa putraku dan Melati menantuku.” Alfa dan Melati mencium tangan Tante Lidya dengan sopan dan juga menyalami Citra.
“Sayang putramu sudah menikah. Padahal serasi sama Citra. Mereka bahkan pernah pacaran.” Argumen tak berperasaan. Melati merasakan Bu Mariam agak kesal.
“Oh... wah si Alfa gak pernah cerita ke mamanya tuh. Mungkin memang bukan jodohnya.” Jawaban cerdas dan menohok.
“Ya ya. Tapi aku ke sini mau minta bantuannya Alfa.”
“Bantuan apa Lid?”
“Citra ini lo, Mar. Dia mau syuting di puncak. Aku kan khawatir. Alfa kan lagi libur kuliah jadi bisa temani dia.” Alfa serba-salah ingin menolak namun tak enak. Tak disangka Melati menyelamatkannya.
“Wah kebetulan sekali ya Fa. Kami juga berencana liburan tapi masih bingung mau kemana. Kenapa tidak sekalian saja menemani Citra?” Alfa melemparkan tatapan terima kasih.
“Betul itu kata Melati. Kalian bertiga bisa berangkat bersama-sama.” Bu Mariam ikut menanggapi dengan agak gemas. Tatapan belati nan tajam dirasakan Melati. Namun, Melati tak goyah, dibalasnya mereka dengan senyuman manis. Berikutnya, hanya ada obrolan-obrolan mengenang masa lalu antara Bu Mariam dan Tante Lidya.
***
“Kamu kenapa Citra?” Sutradara sudah frustasi. Berkali-kali Citra melakukan kesalahan. Tak biasa memang aktris yang satu ini bergini.
“Maaf Pak saya kurang sehat jadi agak susah berkonsentrasi.”
“Ok kita ulang lagi.”
Alfa dan Melati hanya menoleh sejenak ke arah lokasi syuting untuk kemudian kembali mengobrol sembari menyantap bekal mereka. Sesekali saling menggoda dengan maksud bercanda. Hal inilah yang merusak konsentrasi Citra. Sembari memejamkan mata sejenak, gadis cantik itu mencoba menenangkan pikiran. Akhirnya dirinya berhasil menguasai emosi dan dapat melanjutkan syuting dengan lancar.
“Aku bosan, mau jalan-jalan ke sana dulu.” Melati menunjuk ke arah hutan. “Mau ikut?” Alfa mengangguk. Setelah membereskan perlengkapan, mereka segera menuju hutan.
“T-tunggu!”
Tampak Citra tergopoh-gopoh menyusul mereka. Meskipun sebenaranya enggan bersama gadis itu, mereka terpaksa mengiyakan. Melati menikmati panorama hutan yang sudah lama tak ditemuinya, seperti sebuah nostalgia. wajahnya begitu sumringah. senyuman tak pernah lepas dari bibir mungilnya. Alfa diam-diam memotret istrinya.
Sementara itu, Citra selalu berusaha mencari perhatian Alfa. Berteriak histeris ketika melihat laba-laba atau binatang-binatang lainnya. Alfa benar-benar kesal dan berharap Melati juga kan melakukan hal sama. Namun, hutan wisata hanyalah taman bermain bagi seseorang yang dulu pernah hidup dengan mengandalkan hasil hutan. Jangankan berteriak histeris melihat laba-laba, seekor kelinci nyasar saja hampir ditangkap buat disate olehnya. Melati menghentikan langkahnya di pinggiran sebuah sungai. Citra mulai heboh lagi. Sementara itu, Melati malah menceburkan tubuhnya ke sungai, berenang ke sana keari, merasakan nikmatnya sungai yang masih alami. Alfa langsung meninggalkan Citra dan menyongsong Melati. Mereka berduapun kembali bercanda ria di bantaran sungai. Citra hanya bisa bersungut-sungut.
...
Mentari telah sempurna kembali ke peraduannya. Angin malam berhembus lembut meningkahi dendang binatang malam. Hawa dingin semakin menusuk. Kobaran api unggun rupanya tak cukup mengahangatkan tubuh-tubuh yang mengelilinginya.
“Dingin sekali... Eh Fa aku jadi ingat waktu kita liburan semester di SMA. Waktu aku kedinginan kamu mengasih jaket kamu, So sweet sekali rasanya.” Alfa tak menanggapi hanya menyodorkan mantel miliknya. Setelah itu duduk berdempetan dengan Melati.
“Mel...”, bisiknya lembut.
“Ya?”
“Kamu tidak pakai mantel juga kamu tidak kedinginan.”
“Tidak. Aku baru saja minum wedang jahe dan juga tubuhku sudah terbiasa dengan hawa dingin.”
“Tapi aku yang kedinginan.”
“Mau kubuatkan wedang jahe?”
“Kamu tidak mengerti maksudku Mel?” Melati menatap Alfa heran. Akhirnya, Alfa melingkarkan lengannya di tubuh mungil istrinya itu. Tak lama hingga lelaki muda itu tertidur. Terpaksa Melati memapah tubuh atletis itu dengan susah payah ke dalam tenda. Sementara itu, Citra hanya bisa menatap tajam sepasang suami istri yang menghilang di balik tenda.
***
Semenjak syuting Citra di puncak, Citra semakin gencar mendekati Alfa. Sudah berbagai jalan ditempuhnya. Kini, akalnya adalah melakukan kongkalikong dengan salah satu divisi pemasaran perusahaan agar dia menjadi bintang iklan produk perusahaan. Benar saja, rencananya untuk lebih lama bersama Alfa terlaksana. Seperti dua hari ini mereka pergi keluar kota bersama. Sementara itu, keraguan menggayuti hati Melati. Mendadak dirinya ingin sekali menghubungi Dewi.
Biip biip
Dewi...
Ya Mel?
Apakah aku harus pergi dari kehidupan Alfa?
Ada apa Mel? Kok kamu tiba-tiba....
Aku tidak tahu kenapa aku menjadi ragu dengan kesepakatan ini.
Mel... kamu baik-baik saja.
Kami habis berlibur dengan mantannya Alfa. Dia tampak sangat mencintai Alfa. Kukira gadis itu lebih pantas bersamannya.
Mel kamu mulai jatuh cinta....
Dewi aku tidak percaya cinta.
Mel!
Eh pembicaraan kita sudah dulu sepertinya aku mendapat telegram.
Mel...
TUUUTTTTT
Melati memutuskan sambungan. Dirinya segera keluar rumah untuk mengambil telegram yang datang. Kecemasan menyesak begitu melihat nama Raka sebagai pengirim. Melati bergegas kembali ke dalam rumah untuk langsung menuju kamar. Dibukanya perlahan telegram tersebut,
Assamu’alaikum
Kak Melati... nenek nendadak jatuh dan sakit keras. Pulang segera
Raka
Jemari Melati gemetar. Pikirannya berkecamuk. Dipejamkannnya mata sejenak. Jemarinya segera memencet beberapa nomor.
BIIP
Halo, Alfa.
Halo Mel. Ada apa?”
Aku harus kembali ke desa hari ini. Nenekku sakit.
Eh? Aku pulang nanti malam. Kita berangkat ke sana bersama.
Tidak usah aku tahu kamu sangat sibuk akhir-akhir ini. Kamu urus saja pekerjaanmu. Lagipula aku di antar Pak Eman dan bersama dengan Nana kok.
Hmmm...
Sudahlah jangan khawatir.
Kalau ada apa-apa hubungi aku. Kususul segera setelah proyeknya selesai
OK!
Melati mematikan ponselnya. Beberapa helai pakaian segera berpindah tempat ke dalam tas besar. Segera dipanggilnya Nana untuk bersiap-siap sementara itu dirinya berpamitan kepada Bu Mariam dan Ririn.
***
catatan : terimakasih kepada Nana, Dewi dan Citra, teman2 ku yg kupinjam namanya he he

novel

Previous post Next post
Up