Alunan suara penyanyi dari radio mobil meningkahi keheningan. Alfa mengemudikan mobilnya perlahan. Melati sudah jatuh tertidur di sebelahnya. Mereka baru saja mengantarkan Dewi ke rumahnya. Alfa masih mengingat tatapan curiga Dewi. Kini, mobil tengah menuju rumah sakit. Rencana pertemuan di rumah Alfa berubah total. Alfa menghubungi orang tuanya,
“Bagaimana? Kalian dimana? Kamu bisa menemukan Melati?
“Satu-satu, Ma.”
“Iya tapi kamu dimana sekarang?”
“Dalam perjalanan menuju rumah sakit. Sepertinya Melati tak bisa datang ke rumah hari ini.”
“Kami akan ke rumah sakit.”
“Eh?”
“Mama mau memastikan dia baik-baik saja. Sudah ya.”
Sambungan diputus. Alfa menghembuskan napas berat. Diparkirkannya mobilnya. Metati tersentak dan membuka matanya perlahan. Alfa keluar lebih dulu untuk membukakan pintu.
“Terima kasih.” Alfa mengangguk. Namun, Melati keheranan ketika Alfa tak kembali masuk ke dalam mobilnya. Lelaki itu justru mengikuti dirinya. Melati tak ambil pusing. Mungkin dia masih khawatir, pikirnya.
...
Ruang VIP,
“Melati kamu baik-baik saja kan?” Melati hanya bisa melongo. Pelukan hangat khas seorang ibu membuat hatinya terasa hangat. Dilihatnya wajah Bu Mariam nampak sangat cemas.
“Iya Ma. Aku baik-baik saja.” Namun, naluri seorang ibu tak bisa doibohongi. Bekas kemerahan di pipi Melati jelas tak mungkin lepas dari mata jeli beliau. Wanita paruh baya itu menjadi panik.
“Kenapa pipimu, Melati?”
“Tadi teman-teman memasukkanku ke gudang. Mereka menamparku.” Alfa melongo, tak menyangka Melati akan mengatakan hal sebenarnya. Dia tadinya mengira Melati akan mengarang-ngarang alasan untuk menenangkan ibunya. “Tapi Mama gak usah khawatir....”
“Tidak khawatir bagimana? Harusnya kamu melaporkan kejadian ini.”
“Hanya ortang-orag iri saja Ma. Masalahnya sudah selesai. Alfa sudah membuat merkea tak berkutik.”
“Alhamdulillah kalau begitu. Tapi....”
“Sudahlah Ma.”
“Kamu jangan ikut-ikutan! Kamu juga bagaimana kekasihmu tidak dijaga dengan baik.”
“Iya Ma mulai sekarang Alfa akan menemani Melati kemananpun.”
“Baguslah. Kalau begitu mama bisa tenang.” Alfa menghembuskan napas lega. Sementara itu, Melati mendelik ke arahnya. Lelaki itu tak peduli. Amukan ibunya jauh lebih menyeramkan.
“Ehmm”, sebuah deheman. Mereka berbalik ke arah Nana dan Ririn. “Ma, Nana punya hadiah untuk kita.”
“Oh ya? Mama mau lihat!” Bu Mariam menatap Nana lembut. Malu-malu gadis remaja itu menyerahkan lukisannya. Wah bagus sekali tapi boleh request sesuatu.”
“I-iya.”
“Tambahkan Melati dan Nana juga ya.” Wajah Nana bersemu merah.
“Iya.” Bu Mariam mengembalikan lukisannya. Sementara Nana asyik melukis mereka mengobrol kesana kemari. Namun, tiba-tiba Bu Mariam terdiam. Raut wajahnya nampak serius. Alfa membuang pandangan keluar jendela. Riirn tampak senyum-senyum sendiri sedangkan Nana terheran-heran.
“Melati... Alfa... aku dan papa sudah membicarakan ini selama beberapa hari ini.” Bu Mariam melirik suaminya.
“Mungkin kurang tepat dibicarakan di sini tapi... begini, Nak... kami lihat kalian sudah cukup saling mengenal dan juga sudah sama-sama dewasa. Lagipula kalau lama-lama tak enak dilihat orang. Kemana-mana berdua-duaan. Bukannya kami hendak memaksakan kehendak, kami hanya....” Pak Pratama meringis karena dicubit istrinya.
“Papa terlalu panjang lebar. Langsung saja intinya! Jadi kami ingin bertemu dengan orang tuamu untuk mengadakan lamaran.”
“”Saya tidak punya orang tua, hanya ada nenek di desa.”
“Kalau begitu kita ke desa.”
“Mama tergesa-gesa kita bahkan belum menanyakan pendapat mereka.”
“Saya tak masalah dengan itu. Bagaimana denganmu, Fa?”
“Aku juga tak masalah.”
“Nah betul kan Pa. Mereka saja setuju. Pokoknya minggu depan kita ke desa, mumpung Ririn dan Nana juga liburan sekolah.”
“Nanti saya kirim telegram ke desa....”
“Iya betul itu.”
Selanjutnya, pembicaraan merambah lebih jauh. Bahkan Bu Mariam sudah mulai membicarakan gaun pengantin, gedung, penata rias, undangan. Alfa dan Melati berpandang sejenak, seolah mengirimkan sinyal rasa bersalah. Sementara itu, Ririn dan Nana juga asyik berbincang masalah seputar dunia remaja. Melati diam-diam tersenyum kecil. Sebuah keluarga hangat yang sudah dibuang jauh-jauh semenjak dahulu telah kembali. Melati seperti menjadi cinderella yang berjumpa ibu peri. Ketika jam berdendtang dua belas kali keajaiban itu akan musanah. Persis bukan dengan hidupnya kini?
***
Raka...
Minggu depan Kakak akan pulang ke desa. Keluarga kekasihku bermaksud datang mealamar. Persiapkan semuanya dan beritahukan pelan-pelan pada nenek agar beliau tidak kaget. Do’akan semoga lancar.
Melati
Melati kembali membaca barisan huruf di atas kertas telegram. Sempat dilihatnya sejenak Alfa yang tengah asyik mendengarkan musik di kursi tunggu. Setelah memastikan pesannya tersampaikan, Melati segera mengantri. Tak terlalu lama karena kantor pos tak ramai hari itu.
“Ada yang bisa saya bantu, Mbak?”
“Saya ingin mengirimkan telegram.”
“Silahkan tanda tangan di sini biayanya terlampir.” Melati mengeluarkan selembar uang lima puluh ribuan. Setelah memperoleh kembalian dirinya kembali ke kursi tunggu. Ditepuknya pundak Alfa perlahan.
“Eh? Ya? Sudah selesai?”
“Ya kita pulang?”
“Tunggu dulu aku agak lapar. Kita makan siang dulu ya?” Melati mengangguk dan mengikuti langkah Alfa. Biasanya Melati harus bekerja sambilan pada jam-jam segini. Tapi keluarga Alfa melarangnya bekerja terlalu keras. Terpaksalah dia melepas beberapa pekerjaan sebelahnya.
***
Seminggu berlalu,
Mobil tua bergoyang ke kiri dan ke kanan, bebatuan dan jalanan yang becek menyulitkan si mobil untuk melaju. Para penumpang juga ikut meliuk-liuk. Alfa mengemudikan mobil ayahnya dengan hati-hati. Beberapa kali dirinya harus menghindari lubang besar di tengah jalan. Sementara itu, Melati berperan sebagai penunjuk jalan.
Sebenarnya, panorama alam nan indah terpampang di kiri dan kanan jalan. Hamparan permadani hijau di bawah gumpalan kapas. Tiitk-titik kecil yang dibentuk tubuh-tubuh para pemetik teh nampak menyembul di antara permadani itu. Aliran sungai mengalir deras tepat di bawah tebing di kanan jalan. Ikan berwarna-warni tampak berenang-renang ke sana-kemari. Sebuah nostalgia bagi Melati.
Di jok belakang, Bu Mariam asyik mengomeli suaminya, mengenai masalah mobil tuanya. Mobil itu sudah 20 tahun umurnya. Namun Pak Pratama tak berniat menjual ataupun menambah jumlah mobilnya. Bukan karena dia pelit. Tapi lebih karena rasa sayang dan penghormatan pada si mobil tua.
Sementara itu, Ririn asyik menyatakan kekagumananya pada panorama alam. Nana tak mau kalah, segera menceritakan kisah-kisah masa kecilnya dan kerinduannya pada desa kelahirannya. Nana merindukan permainan-permainan yang harus ditinggalkannya karena ikut ke kota.
...
Satu jam kemudian,
Mobil sudah memasuki daerah pedesaan. Kali ini Alfa lebih berhati-hati. Pasalnya, anak-Anak kecil nampak bergerombol di sekitar mobil. Melati tersenyum lembut melihat binat-binar kehidupan di mata bening Nana. Dia tahu gadis remajanya tengah menikmati aroma desa yang telah lama dirindu.
“Runah di depan sana.” Alfa mengangguk untuk kemudian menghentikan mobilnya di depan rumah mungil namun nyaman. Sebuah rumah model lama berdinding kayu. Begitu keluar mobil, Nana langsung menghambur ke arah neneknya. Tubuh yang mulai beranjak remaja tenggelam dalam pelukan sang nenek. Mayang, adik kedua Melati keluar dari pintu rumah untuk kemudian memeluk tubuh Nana. Melati mendekati keluarganya, mencium punggung tangan neneknya, dan mengelus kepala Mayang. Ah! Adiknya sudah hampir 15 tahun. Bu Mariam berkali-kali mengahpus buliran bening di pipnya. Sang nenek kemudai tersadar dan menatap lembut keluarga Alfa.
“Silahkan masuk.”
“Iya Bu.” Keluarga Pak Pratama mengikuti keluarga Melati memasuki rumah itu.
“Silahkan duduk. Maaf rumahnya kecil dan sempit.” Mereka semua duduk di atas tikar butut anyaman sendiri kecuali Melati yahg permisi ke dapur untuk sekedar membuatkan minuman dan menyiapkan penganan yang dibawa Bu Mariam dari kota. Sementara itu, Ririn, Nana dan Mayang sudah menghilang entah kemana. Tadi Ririn memang merengaek-rengek minta di antar keliling desa. Mayang bertugas mengawasi keduanya terutama Nana yang baru sembuh dari sakitnya.”
Obrolan masih berkutat dalam hal ringan ketika Melati kembali dengan senampan penganan dan beberapa gelas teh yang masih mengepulkan asap. Melati meletakkan jamuan di hadapan tamu. Melati duduk dengan sopan di samping kanan neneknya.
KRIEET “Assalamua’alaikum....”
Decit pintu dibuka diiringi dengan ucapan salam. Wajah bercahaya milik tubuh kekar dalam balutan kaos oblong dan celana panjang berlumpur lengkap dengan capingnya menyembul di balik pintu. Lelaki 18 tahunan itu menganggukan kepala sedikit.
“Wah tamunya sudah tiba. Maaf saya pemisi dulu mau membersihkan diri.”
“Iya silahkan.”
“Kita tidak usah membicarakan masalah serius dulu. Anda pasti masih capek. Sebaiknya santai-santai saja dulu.” Setelah Raka berlalu, obrolan ringan mengalir.
***
“Ehem...” beberapa kali deheman. Raka nampak terlalu berwibawa untuk usianya. “Sebelum memulai pembicaraan ini, marilah kita berdo’a bersama-sama, mudah-mudahan pembicaraan ini berjalan lancar.” Raka mempersilahkan Pak Pratama untuk memimpin doa. Segera saja do’a dalam lafadz arab terdengar. Hening beberapa jenak. “Marilah kita mulai pembicaran ini. Kami persilahkan kepada keluarga Pak Pratama untuk menyampaikan maksudnya....”
“Ehem... terima kasih atas kesempatan yang diberikan. Kami sangat senang dengan sambutan yang hangat ini. Sebenarnya maksud kedatangan kami ke sini untuk meminang Nak Melati untuk putra kami, Alfa. Mereka sudah lama menjalin hubungan. Kami kira mereka sudah cukup dewasa untuk menikah. Bagaimana kiranya pendapat keluarga Melati.”
“Seperti Anda ketahui kami sudah tak punya orag tua. Kami sebagai adik dan juga nenek menyerahkan semuanya pada Kak Melati.”
“Aku setuju saja...”
“Karena Kak Melati sudah setuju restu kami menyertai.”
“Alhamdulillah....” hampir serentak suami istri itu menjawab.
Selanjutnya, pembicaraan mulai lebih terarah. Pembicaraan detail mengenai persiapan pernikahan. Keluarga Melati hanya mengangguk-angguk saja. Bu Mariam memang sudah merancang segalanya sejak lama. Nenek yang buta akan pernikahan modern hanya bisa membulatkan mulutnya. Sesekali tawa terdengar. Tanggalpun bahkan sudah ditetapkan, 27 febuari, sekitar 1 bulan lagi. Melati sempat melihat kegelisahan di mata Alfa. Gadis itu mengenggam jemari Alfa. Lelaki itu terhenyak. Namun, kegelisahannya mendadak raib begitu meliht senyum lembut keibuan di sudut bibir Melati.
***
Di bawah naungan akasia di tengah hutan,
“Terima kasih semalam telah menolongku.”
“Sama-sama. Anak baik sepertimu sukar untuk melakukan hal ini bukan?”
“aku bukan anak baik juga....” Melati tetap hening. Alfa menjadi penasaran. Diam-diam diliriknya gadis itu. Melati tersenyum kecil sembari memandangi burung-burung kecil yang tengah memberi makan anak-anaknya. Sementara itu, semburat cahaya mentari menerobos dedaunan menerpa tubuh mungil yang tengah dimabuk nostalgia. Sebuah pemandangan yang teramat indah di mata Alfa. Semburat merah tak dapat dicegah menggores pipinya. Alfa cepat-cepat meggelengkan kepalanya, mencoba mengalihkan perhatiananya dengan bangkit dari duduknya untuk melihat sekitar. Matanya tak snegaja menagkap keberadaan beberapa kuntum bunga asing. “Mel Bunga apa ini?”
“Ya?” Melati melihat arah yang ditunjuk Alfa. “Wah kamu menemukan bunga yang langka. Aku juga tak tahu namanya. Bunga ini jarang sekali mekar. Tapi sekali mekar akan menebarkan pesona yang indah.”
“Boleh kupetik satu?”
“Tentu saja.” Alfa memetik sekuntum dengan hati-hati dan menyodorkannya pada Melati.” Melati mengerutkan kening heran.
“Jangan salah paham dulu. Aku ingin mengucapkan terima kasih. Juga karena aku kagum padamu.”
“Eh?”
“Kamu satu-satunya wanita yang membuatku menujukkan sifatku yang sebenarnya.”
“Terima kasih.” Melati menerima bunga yang disodorkan Alfa dan memasukkannya ke dalam sakunya. “Ayo kita pulang!” Mereka berdua segera keluar hutan. Dikejauhan nampak keluarga Pratama tampak sudah menunggu mereka untuk kembali ke kota.
***
Janur kuning melengkung di halaman gedung. Musik mengalun lembut. Aneka hidangan tertata apik di atas meja. Tamu-tamu mulai berdatangan dan menempati tempat duduk yang disediakan. Sementara itu di ruangan dalam Melati menatap bayang waahnya yang terpantul di cermin. Gadis itu memejamkan matanya sejenak, menghembuskan napas berkali-kali, menoba menenangkan diirnya. Sulit dipercaya memang diirnya sudah berganti status dari single menjadi istri orang. Tak tanggung-tanggung pengusaha muda tampan pujaan para wanita. Melati tak boleh gugup karena dia tahu beban Alfa jauh lebih berat. Sebenarnya akad nikah sudah dilaksungan usai shalat subuh di masjid dekat rumah. Meskipun hanya resepsi, Melati harus mempersiapkan diri untuk menghadapi tamu keluarga Pratama yang notabene orang-orang berkelas.
Ketika Melati memasuki ruangan, tamu sudah banyak berdatangan. Kebanyakan relasi kerja dan kawan di kampus. Alfa nampak sibuk menyalami tamunya, lelaki itu sempat terhenyak begitu menyadari istrinya sudah berada disampingnya. Kekagetan yang bukan hanya karena kedatangan yang tiba-tiba namun wajah manis Melati secara mendadak membuat jantungnya berdetak dengan ritme tak beraturan. Alfa sempat melongo sejenak hingga akhirnya kembali pada aktivitas salam-salamannya dengan rikuh. Melati menyentuh bahunya lembut. Alfa menoleh gugup. Seulas senyuman lembut yang biasa diberikannya pada anak didiknya terukir manis di sudut bibir mungil. Alfa seolah mendapatkan setetes embun di tengah padang pasir. Kerikuhan raib seketika. Diam-diam Alfa mulai menjadi pengagum senyum itu. Sementara itu bisik-bisik tak sedap terdengar di beberapa sudut ruangan.
Sangat tidak sesuai
Bagaiman bisa Bu Mariam menyetujiuinya?
Pak Alfa sudah buta ya?gadis biasa-bisa saja kok bisa...
Atau ada apa-apanya....
***
Wajah Alfa memerah malu. Paman-paman dan bibi-bibinya tengah memberikan petuah-petuah pernikahan terutama masalah malam pengantin. Alfa menjadi serba salah dan menjadi bahan ledekan. Benar juga kata orang jika wanita lebih cepat dewasa daripada lelaki. Buktinya sekarang dirinya menjadi seperti anak kecil saja. Alfa berharap Melati disini bersamanya. Namun, ibunya sudah membawa sang istri entah kemana dengan senyuman mistreius.
Jam di dinding berdentang 10 kali. Para keluarga tersenyum aneh, seperti saling memberi sinyal. Alfa merasa tak enak. Dirinya memandang mereka dengan gugup.
“Ayo sana ke kamarmu!”
“Eh oh ya?”
“Ha ha ha...” Alfa merengut. “Ayo sana kasihan istrimu menunggu lama.” Wajah-wajah itu tersenyum aneh. Alfa menghembuskan napas berat, melangkah gontai ke kamarnya. Alfa menelan ludah sebelum mengetuk pintu kamar. Tak ada sahutan. Alfa membuka pintu denagn gugup. Kamar nampak hening. Dilihatnya Melati tengah asyik membaca majalah di atas tempat tidur. Tubuh mungil itu dibalut baju tidur tipis agak kebesaran. Begitu menyadari kehadiran Alfa, Melati menutup majalahnya. Alfa mendekat dan duduk di tepian tempat tidur dengan kikuk.
“Tidurlah kamu pasti lelah.” Alfa terkejut mendengar perkataan itu
“Tetapi mereka menyuruh kita....” wajahnya memerah. Tak mengerti kenapa dia mengatakan hal itu dengan wajah polos.
“Aku tahu kamu tidak siap, Fa. Tenang saja, tidurlah waktu yang akan menjawab semuanya.”
“Bagaiman kalau...”
“Jangan suka terlalu banyak berspekulasi. Kita bisa bersandiwara dengan baik selama ini bukan? Begitu juga dengan masalah ini he he. Aku sudah ngantuk ayo tidur.”
“Melati...” hening. Alfa melirik ke sebelahnya. Melati sudah jatuh tertidur. “Terima kasih”, bisiknya lembut. Alfa mengehmbuskan napas sebelum mengecup kening istrinya. Wajahnya seketika memerah tak mengerti apa yang tengah dilakukannya...
***