Sep 05, 2013 16:58
Sebuah ruangan kelas VIP,
“Kakak mau langsung kuliah?”
“Ya masih ada satu mata kuliah yang harus kuikuti. Kamu istirahat ya biar cepat balik ke rumah.”
“Tentu saja. Nana sudah tidak sabar ingin berterima kasih.”
“Ya anak manis.” Melati mengelus kepala adiknya.
“Kamu sudah siap pergi?” wajah Alfa tiba-tiba muncul di balik pintu, Nana sedikit terkejut. Alfa masuk dan tersenyum pada Nana. “Bagaimana kabarmu hari ini, anak manis?”
“Alhamdulilah sudah agak baikan, Kak. Terima kasih sudah ada untuk Kak Melati.” Melati dan Alfa berpandangan untuk kemudian tersenyum.
“Iya... sekarang Kakak pinjam Kak Melatimu dulu ya. Nanti Mama akan menemani kamu di sini.” Nana mengangguk. Gadis 12 tahunan itu mencium punggung tangan kakaknya. Selanjutnya, dia hanya bisa menatap punggung dua orang itu hingga menghilang di balik pintu.
“Ya Allah... lindungilah mereka....” sebait do’a mengangkasa.
***
Melati merasakan tatapan-tatapan tajam menghunjam tubuh mungilnya. Dirinya cuek saja. Hal seperti ini biasa terjadi padanya. Sejak dulu dia akan selalu mengalaminya setiap kali seorang lelaki ditinggalkannya. Oleh karena itulah, semasa SMA dia tak punya kawan lain selain Dewi. Tapi kali ini Dewipun turut membencinya. Tak mengapa, melati tahu diirnya pantas dibenci. Apa boleh buat, terkadang hidup tak memberi banyak pilihan.
“Maaf ya Melati...” suara penuh keraguan. Melati sedikit kaget.
“Kenapa? Apa yang harus kumaafkan?”
“Gara-gara tawaranku kamu jadi berada dalam kondisi tak menyenangkan.” Sebenarnya Alfa tak mengerti kenapa dirinya menjadi begitu transparan. Bukankah dahulu dia selalu menjadi sosok misterius dan dingin? Mungkin karena terbawa sifat Melati yang begitu terus terang. Bagi sebagian wanita sifat Melati mungkin menjijikan. Namun, Alfa justru tertarik. Selama ini Alfa dikelilingi gadis-gadis yang menawarkan senyuman-senyuman menawan, manis dan tampak innnocent. Intuisi Alfa cukup tajam untuk mendeteksi hati mereka. Gadis itu begitu tergila-gila padanya. Mereka akan melakukan apa saja untuk Alfa. Bahkan rela melakukan tindakan yang tidak disukai. Alfa tak suka sikap seperti itu. Oleh karena itu, ketegasan Melati dalam membuat suatu keputusan, membuatnya spesial di mata Alfa.
“Tenang saja. Aku sudah sering mengalaminya.”
“Dewi juga....” Alfa merasa malu dengan sikapnya yang mendadak lembek. Tapi lidah tajamnya sedang tak bersahabat.
“Dewi akan baik-baik saja ada aku atau tidak. Dia pantas membenciku. Dia menyukaimu namun aku melakukan ini padanya. Kemarahannya adalah sesuatu yang wajar.” Melati tersenyum getir. “Terus terang aku sedih tapi hidup tak memberi banyak pilihan.” Melati menantap langit mendung. Dia berpikir ibunya juga tengah bersedih.
“Aku jadi....”
“Tidak enak bukan?” Alfa mengangguk polos seperti anak kecil. Melati ternseyum lembut. “Tak apa... harusnya aku berterimakasih padamu. Bila tak ada tawaranmu aku tak tahu apa aku masih bisa melihat senyuman Nana.” Alfa tersentak ketika Melati mengucek-ucek rambutnya. “Ternyata kamu seperti anak kecil. Mungkin aku lebih cocok menjadi kakakmu. Sudahlah jangan khawatir. Manusia harus kuat karena kehidupan tak selalu berjalan mulus. Kamu mengerti kan?” Alfa lagi-lagi bersikap seperti anak kecil. kepalanya mengangguk patuh. Keduanya pun berjalan menuju ruangan kuliah. Namun langkah Melati mendadak terhenti. “Aku mau ke toilet kamu duluan saja!”
“Ya.” Afa bersyukur sikap coolnya bisa kembali. Setelah tubuh mungil itu menghilang di balik pintu kamar mandi, Alfa melangkahkan kakinya menuju ruangan kuliah. Kedua tangan masuk ke dalam saku. Wajah dingin terpampang misterius. Langkah kaki tegap begitu mempesona. Berpasang mata menatapnya dengan berbinar-binar. Decak kagum dapat tertangkap daun telinganya. Rupanya kekerenannya tak memudar dengan perlakuan Melati tadi. Tak disadarinya semburat merah menggurat pipinya.
***
KLIK
Melati tersentak. Dirinya menghembuskan napas berat untuk kemudian mencuci tanganya di wastafel. Tak sengaja matanya menagkap bayang wajahnya di cermin. Melati tersenyum sinis pada bayangnya sendiri.
“Lihatlah apa yang kau perbuat! Mereka semakin membencimu. Sekarang kau terkunci di sini!”
“Apa boleh buat. Kita tidak punya pilihan bukan?” Bayang di cermin seolah menjawab. Melati kembali mengembuskan napas berat.
“Ya sudahlah. Terpaksa harus melakukan ini.” Melati merogoh isi tasnya. Dikeluarkannya sebuah kotak coklat yang lumayan besar. Jemari mungil membuka kotak perlahan. Di dalam kotak, nampak batangan besi dan kawat-kawat.
Melati meletakkan kotaknya di atas wastafel untuk kemudian mengamati lubang kunci. Beruntung, para pembully itu ceroboh dan mencabut kuncinya. Jika tidak, akan sulit utnuk menjatuhkan anak kuncinya. Setelah memperoleh analisa mengenai lubang kunci, Melati mulai bekerja. Jemari mungil dengan gesit melilitkan kawat-kawat pada batangan besi....
...
Alfa duduk tak tenang. Dosen sudah masuk hampir satu jam yang lalu. Namun, Melati belum jua kembali. Alfa mencoba berpikiran positif namun tak mampu. Akhirnya, diputuskannya untuk menyusl Melati. Ketika dirinya hampir berdiri....
“Maaf Pak saya terlambat.” Alfa dapat bernapas lega. Melati memasuki ruangan dengan tenang. Beberapa pasang mata diam-diam terperangah. Geraham bergemeretak, jemari terkepal.
“Darimana kamu? Baru bangun tidur?”
“Saya sedikit bermasalah dengan pintu kamar mandi, Pak.”
“Saya kira mahasiswi cerdas seperti kamu bisa memberikan alasan yang lebih logis lagi.”
“Alasan logis lebih penting daripada kebenaran?”
“Kamu....”
“Ada yang mengunci saya di kamar mandi.” Beberapa wajah pias.
“Itu bukan alasan yang logis?”
“Terserah Bapak ingin percaya atau tidak? Saya akan keluar jika memang tak diizinkan mengikuti perkuliahan.” Lelaki itu menatap Melati lekat. Melati tak bergeming. Akhirnya beliau menyerah.
“Duduklah sana!”
“Terima kasih, Pak!” Melati segera mengambil tempat duduk di pojok kanan. Beberapa pasang mata menatapnnya sinis. Melati dapat merasakan hal itu. Otak cerdasnnya bahkan dapat menerka pemilik beberapa pasang mata itulah pelaku kejadian di kamar mandi. Sepasang bola bening indah yang familiar membuat hatinya teriris. Namun, Melati bukanlah gadis lemah.
***
Alfa menyalakan mesin mobilnya setelah memastikan Melati sudah duduk nyaman di sebelahnya. Mobil mungil berjalan perlahan di tengah keramaian kota. Traffic light menyala merah. Alfa menghentikan laju mobilnya. Diliriknya tubuh mungil di sebelahnya, gadis itu tak banyak bicara sedari tadi. Alfa menjadi tak nyaman. Biasanya akan ada obrolan menarik. Entah kenapa Alfa bisa menceritakan banyak hal pada gadis itu dengan ceplas-ceplosa tak peduli pada image cool yang biasa diperlihatkannya. Melatilah gadis pertama yang membuatnya menunjukkan jati dirinya. Tidak ada kepura-puraan di hadapan Melati.
Seulas senyuman manis dan menawan terukir di sudut bibir yang mungil. Sebuah momen langka, membuat Alfa mengabadikannya dengan lensa matanya. Alfa mengikuti pandnagan Melati. Dirinya terhenyak ketika Melati membuka kaca mobil dan melungsurkan beberapa keping uang receh ke dalam genggaman jemari mungil dekil yang tengah bernyanyi riang.
Lampu menyala hijau. Alfa kembali fokus mengemudikan mobilnya. Sempat dilihatnya Melati melambai pada bocah jalanan tersebut. Kejadian yang timbulkan sepercik rasa penasaran.
“Kamu heran kenapa aku memberi anak itu uang?”
“Ya. Itu agak sedikit aneh megingat sifatmu... maaf jangan tersinggung.” Melati tergelak. Matanya tampak hanya sebagai garis melengkung. Kedua pipinya tonjolkan lesung pipit yang mempermanis wajah. Alfa mencoba menenangkan pikiran.
“Aku tak pernah tersinggung pada kebenaran. Toh memang benar aku mata duitan kenapa harus ditutup-tutupi ha ha ha.” Alfa Melongo. Namun, raut wajah Melati mendadak serius. Matanya menatap mobil-mobil di kejauhan. “Mereka seperti saudara bagiku.” Alfa hanya mengangguk-angguk sok paham kalimat Melati masih menimbulkan tanya, terasa seperti menggantung. Namun, Melati nampak tak ingin melanjutkan kalimatnya. Alfa masih punya harga diri sebagai lelaki. Hening mewarnai suasana dalam mobil. Alfa mulai bosan. Setelah berpikir beberapa jenak, Alfa mendapatkan topik pembicaraan,
“Aku sudah hampir menyusulmu ke kamar mandi tadi. Kenapa tak menghubungiku?”
“Kukira aku bisa mengatasinya.”
“Tapi kamu terlambat satu jam. Bagaimana bisa kamu keluar?” Melati menyengir lebar. Diperlihatkannya batangan besi berlilit kawat baja.
“Aku mencobanya berkali-kali. Rancnagan pintunya lumayan susah juga untuk ditiru.” Alfa mendadak tertawa lepas.
“Ha ha kamu seperti james bond saja.”
“he he jika aku menjadi istrimu mungkin aku akan membongkar lemari besimu.”
“Wah gawat., beratrti aku harus mengganti kodenya setiap hari.”
Keduanya tertawa leaps. Airmata mereka sampai keluar. Tak sengaja kedua pasang mata bersitatap. Keduanya seperti kehilangan kata-kata. Hening yang nyaman membuai pasangan kekasih palsu. Beruntung, Melati berhasil menguasai diirnya,
“Kenapa kita jadi diam?”
“Iya jadi aneh.”
“Oh ya kita sudah sampai.” Alfa mematikan mesin mobilnya, kelaur mobil untuk membukakan pintu untuk Melati. “Terima kasih.”
“Aku mau jemput Ririn dulu.” Melati mengangguk. Alfa kembali memasuki mobil. Tak lama derum mobil berlalu meninggalkan Melati di depan rumah sakit. Mealti sempat tersenyum kecil sebelum memasuki rumah sakit. Langkah-langkah kaki ringan di kroidor rumah sakit hingga akhirnya berhenti di depan ruangan VIP.
Sebenarnya, Melati masih tak percaya adiknya dipindahkan ke ruangan ekslusif. Tempo hari mama Alfa bersikeras memindahkan Nana. Kejadian ini benar-benar seperti mimpi indah. Namun, Melati tahu kapan harus terbangun. Melati memasuki sebuah kamar dengan seulas senyuman. Ditemukannya sang adik asyik menggores-goreskan pensil di atas buku sketsa. Melati melangkahkan kakinya dengan hati-hati higga dirinya berada tepat di samping Nana. Melati terenyuh. Sebuah keluarga kecil mulai terukir di atas buku sketsa, keluarga Alfa.
“Kakak? Sejak kapan kakak ada di sini?” Wajah itu memerah malu.
“Baru saja. Kamu sedang melukis keluarga Alfa?”
“Ya Kak. Aku akan”berikkan sebagai hadiah rasa terimakasihku.”
“Baguslah. Anak baik harus tahu berterima kasih.” Melati mengelus kepala adiknya. “Kamu sudah makan?” Nana mengangguk. “Lanjutkan saja melukisnya. Kakak mau tidur sebentar.” Melati duduk di kursi samping tempat tidur. Kepalanya ditelungkupkan ke atas tempat tidur. Tak lama hinga dengkurannya terdengar. Nana menatap kakaknya dengan mata sayu.
“Terima kasih Kakak... sudah banyak sekali kakak berkorban.” Buliran bening tak terasa menuruni pipinya. “Maaf kak...” Nana terdiam sejenak untuk kemudian melanjutkan lukisannya. Kali ini bingkai wajah Melati yang tertidur terukir perlahan di atas kertas putih....
***
Hari berganti hari. Minggu berganti bulan. Tak terasa sudah tiga bulan 2 minggu 6 hari hubungan pura-pura berjalan. Sudah tak terhitung kejadian-kejadian tak menyenangkan dialami Melati. Setiap hari ada saja hal buruk terjadi padanya. Bahkan, pernah Melati diusir dari ruangan karena selembar kertas contekan yang tak jelas kepemilikannya tiba-tiba berada di saku celananya. Melati tahu benar siapa pelakunya. Namun, dirinya tak mau peduli. Melati percaya suatu peridoe dalam kehidupan akan ada batasnya. Seperti sebuah dinasti yang akan runtuh jika habis masanya. Kejadian buruk dalam hidupmu pun akan berlalu bagaikan angin semilir di perbukitan. Hari ini Melati sibuk mempelajari buku-buku di perpustakaan.
“Mel!” Melati menghentikan pekerjaannya sejenak. Ditatapnya Alfa dengan dahi berkedut. Alfa duduk di sebelah gadis itu. “Sepertinya mamaku sudah merencanakan pernikahan.”
“Eh?”
“Kemarin malam aku tak sengaja mendengar percakapan beliau dengan papa.”
“Jadi?”
“Kukira kita harus mempersiapkan diri.”
“Aku tidak masalah dengan hal itu.”
“Maaf biasanya seorang gadis akan gugup.”
“Aku bukan tipikal yang seperti itu.”
“Kamu tidak berpikir terlalu muda untuk menikah kan? Kita masih 21 tahun.”
“Gadis akan lebih cepat dewasa dari yang kau pikir. Aku bahkan sudah menjadi dewasa sejak 10 tahun lalu.” Alfa terdiam. “Atau kamu yang menjadi ragu?” Alfa tergeragap.
“Bukan begitu. Aku hanya tak ingin kau berubah pikiran.”
“Aku takkan mengingkari janji.”
“Kupegang janjimu. Kita akan menikah.” Sesosok tubuh semampai nampak terhenyak. Langkah kakinya terhenti di antara rak buku. Jemari mengepal. Sorot mata tajam mengiris. Desisan kemarahan menjadi melodi suram bersama gemeretak gigi-gigi geraham yang beradu. Tubuh semampai bergetar ketika Alfa merangkul bahu Melati sebelum lelaki itu menuju pintu keluar.
“Alfa!” Alfa berbalik. “Kamu pulang duluan. Aku masih perlu mengerjakan sesuatu tak usah mengantarku.” Alfa berlalu meninganggalkannya. Sebuah lekukan tak proporsional terukir di sudut bibir si pemilik tubuh semampai. Melati mengelus tengkuknya, sebuah firasat buruk.
...
Sang surya condong ke barat. Lembayung senja jingga kemerahan memayungi tubuh mungil Melati. Meski lelah menghias wajah, langkah kaki tetap tergesa. Dia harus segera bergegas. Banyak hal yang harus dilakukan hari iniu. Pertama meminta izin pada Bu lina. Selanjutnya, pulang ke rumah untuk mandi. Barulah ke rumah sakit untuk memastikan kondisi Nana sebelum pergi ke kediaman keluarga Alfa.
Deg! Inutisi tajam Melati mendeteksi adanya ketidakberesan. Melati menghembuskan napas berat. Dirinya bahkan tak melakukan perlawanan ketika beberapa pasang tangan memegangi tubuhnya. Pandangannya mendadak buram ketika saputangan familiar beraroma alkohol menutup hidungnya.
***
BYUURR!!
Semburan air dingin. Melati menggigil. Dibukanya matanya dengan malas. Dia sudah tahu siapa yang akan ditemuinya. Lima gadis cantik berdiri di hadapannya dengan seraut wajah sinis. Seperti firasatnya, wajah itu juga ada di sana, Dewi. Melati tersenyum mebuat kelima gadis di hadapan tersengat harga diirnya.
PLAK! Sebuah tamparan di wajah. Melati merasakan asinnya darah di sudut bibirnya. Perutnya mendadak mual. Anyir darah dan besi tua usang menciptakan aroma yang tak sedap.
“Kakak pasti kaget karena Sahabat Kakak ada bersama kami.”
“Tidak.”
“Ha ha.” Tawa dipaksakan. “Percuma saja berlagak tabah.”
“Aku tidak berlagak tabah.” Dewi tampak gemas. Melati menatapnya sayu. “Terus terang aku sedih karena kamu sahabatku semenjak SMU tapi... aku tidak kaget. Itu hal yang wajar.”
“Sepertinya dia mulai mengigau.”
“Dewi.” Tubuh semampai nampak bergetar. “Bencilah aku hingga kau puas. Kau pantas membenciku.” Dewi membuang pandangan. Lihatlah wajahku!” Dewi kembali menatap sahabatnya, berusaha bertampang jahat.
“Kak Dewi jangan dengarkan dia!”
“Iya kita para fans Kak Alfa tidak boleh terpengaruh.”
“Aku....”
“Mereka benar Dewi. Kau harus membenciku. Dengan begitu... rasa bersalahku dapat tertebus. Tampar saja lagi wajahku.” Gadis di hadapan Melati melongo, “Ingat aku telah mencoba mempermainkan Alfa. Aku bahkan berniat menikah dnegannya demi uang.” Tangan halus terangkat siap melancarkan satu tamparan lagi.
BRAKK!
Pintu jatuh berdebam menghempas lantai. Semua makhluk dalam ruangan terhenyak. Alfa memasuki gudang kampus dengan wajah merah padam. Lima gadis itu justru menatapnya kagum. Alfa nampak seperti jagoan-jagoan di layar kaca yang tengah menyelamatkan kekasihnya. Tak disangka Dewi keempat juniornya malah berlari memeluk lengan Alfa.
“Kak Alfa untung Kakak datang. Kami takut sekali” Dewi terhenyak.
“Iya Kak, Kami dipaksa Kak Dewi untuk menyakiti Kak Melati.” Dewi menggelengkan kepalanya.
“Kami tidak mau tapi dia mengancam.” Buliran bening menuruni pipi.
“Dia sudah sering melakukannya.” Dewi menggigit bibirnya.
“Dasar penjilat!” Keempat gadis itu menatap kaget pada Melati yang berdiri tanpa ikatan pada tangan dan kakinya.
“Bagaimana bisa....”
“Ikatan kalian tidak kuat begini. Aku sudah bisa lepas dari tadi. Aku hanya ingin Dewi menghukumku kok.” Melati memelototi Alfa. “Kenapa kamu datang? Tak bisakah aku menebus rasa bersalahku sebentar saja.” Alfa melongo. Sejenak kemudian dia mendelik pada gadis-gadis di lengannya, para gadis itu gemetar dan secepat kilat kabur dari pandnagan.
...
Hening, hanya suara binatang malam.
“Melati....” Melati menyapu buliran bening di pipi Dewi.
“Sudah jangan menangis. Wajahmu jelek jika menangis.” Dewi mendadak menepis tangan Melati.
“Kamu ingin memanfaatkan Alfa?”
“Dia tidak begitu.” Dewi tersentak. “Aku yang menawarkan kesepakatan.”
“Kesepakatan?”
“Jangan katakan apapun, Fa.!”
“Aku harus tahu!”
“Kumohon, Fa.”
“Aku mau tahu!” Melati akhirnya menyerah.
“Katakan saja Fa.” Melati membuang pandangan keluar gudang.
“Kesepakatan agar dia mau menikah denganku untuk menyenangkan hati mama. Sebagi gantinya aku memberinya uang termasuk membantu biaya operasi adiknya.”
PLAKK!
Tamparan keras timbulkan bekas kemerahan di pipi Alfa. Melati hanya mendengus. Dewi menarik Melati ke dalam pelukannya. Ditatapnya wajah Alfa penuh kebencian.
“Aku tidak akan membiarkanmu memiliki sahabatku lelaki jahat!” Alfa lumayan kaget dengan perubahan sikap Dewi. “Aku akan mengembalikan uangmu tapi perjanjiannya batal. Aku tidak mungkin membiarkan Melati menjual dirinya padamu!” Alfa hampir berbicara namun tak disangka Melati mengucek rambut Dewi.
“Jangan begitu Dewi... Aku takkan melanggar janjiku.”
“Tapi...”
Percayalah. Aku akan baik-baik saja. Jadi tolong rahasiakan ini dari siapapun.” Raut wajah Dewi masih khawatir. Melati menatap serius wajah sahabatnya hingga sang sahabat menyerah.
“Baiklah. Tapi awas kalau kamu berani-berani membuat Melati menangis!”
“Iya....”
“Ayo Melati!” Dewi menarik Melati meninggalkan Alfa sendirian. Alfa hanya bisa melongo sejenak untuk kemudain mengikuti keduanya. Hatinya penuh tanya. Sebenaranya dia merasa tak enak memberikan tawaran konyol itu pada Melati. Tadi dia hampir membatalkan kesepakatan bahkan tanpa harus mengembalikan uangnya. Namun, tak disangka Melati malah bertahan. Alfa hanya bisa mengangkat bahu.
***
novel