Alfa membolak-balikkan tubuhnya di atas tempat tidur. Kata-kata ibunya kembali terngiang di telinganya. Alfa berusaha memutar otak. Lelaki muda itu memejamkan matanya sejenak. Sekonyong-konyong kata-kata Ririn melintas,
‘Adik Bu guru sakit jantung. Masih menunggu biaya untuk operasi’
Berikutnya obrolan Melati dengan Dewi,
“Tapi kamu traktir ya?”
“Iya Melati.”
“Eh?”
“Kamu jangan kaget Fa, dia nih memang mata duitan.”
Mengingat sifat Melati yang opportunistik membuat ide gila melintas di benaknya.
“Apakah rencana ini akan berhasil? Apakah dia tidak akan tersinggung? Mungkin aku harus mencobanya...” Rasa kantuk membawanya ke alam mimpi.
***
Hari berjalan malas. Seperti biasa Melati sibuk dengan rencana keuangannya. Berkali-kali Dewi mengajaknya ke kantin bahkan sampai menawarkan diri untuk mentraktir. Namun, Melati tetap bergeming. Akhirnya, Dewi meninggalkan Melati sendirian di ruangan yang sepi. Melati merasa sedikit bersalah namun apa boleh buat. Masalah kali ini benar-benar serius. Biaya perawatan adiknya yang mendadak masuk rumah sakit membuat anggaran keuangan yang dibuatnya sedemikan rupa menjadi kocar-kacir. Melati harus memutar otak untuk menutupi pembengkakan biaya. Beberapa pengeluaran harus ditekan dan pekerjaan sambilan harus ditambah.
“Hhhh....” Melati menghembuskan napas lega. Akhirnya selesai juga rancangan keuangan yang baru. Melati menyandarkan pungggungnya di sandaran kursi. Dipejamkannya mata, berniat untuk tidur sejenak. Tubuhnya terasa remuk. Bagaimana tidak? Tubuh mungilnya bekerja terlalu keras.
“Ibu!” Melati kecil memeluk ibunya. Buliran bening menuruni pipi gembul. Wanita muda di hadapannya membelai rambut terkepang dua.
“Ssssshh sshhh sudah sudah cup cup sekarang Melati sudah sama ibu.” Melati masih mengenggam kain ibunya.
“Melati kamu di sini. Alhamdulillah.... Bapak nyari kamu kemana-mana.” Lelaki muda yang baru datang dengan ngos-ngosan juga turut membelai rambutnya.
“Bapak...” Serak suara Melati. Lelaki muda itu menjongkok untuk menggendong tubuh mungil putrinya. Jemari Melati perlahan terlepas dari kain ibunya.
“Nah sekarang Melati tersneyum ya?” suara isak tangis masih terdengar beberapa jenak. “Ayolah... nanti kalau Melati sedih adek bayi dalam perut ibu jadi ikut sedih.” Matanya bergerak-gerak mengamati perut ibunya yang semakin membuncit. Akhirnya pelangi terukir di sudut bibir Melati....
“Hei!” Sentuhan di bahu menarik paksa Melati dari alam mimpi. Melati membuka matanya perlahan. Alfa sendiri terhenyak. Masih ada senyuman di sudut bibir Melati. Namun begitu kesadarannya pulih dan matanya terbuka sepenunhya, senyuman yang indah itu raib. Kini berganti dengan ekspresi ‘bisnis apa yang anda tawarkan kepada saya?’ entah kenapa Alfa menjadi kecewa dan menyesal telah membangunkan gadis itu.
“Alfa? Ada apa?”
“Maaf menganggu tidurmu. Kamu sepertinya sangat lelah.”
“Tak apa. Sepertinya ada yang ingin kau bicarakan denganku?”
“Bisa kita mencari tempat lain?” Alfa nampak gelisah. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana. Melati nampak berpikir sejenak, mengangguk dan bangkit dari kursi. Tak ada suara hingga mereka berada di sudut sepi taman kampus.
“Ada apa Fa?”
“Hmm...Kudengar dari adikku, kamu sedang perlu banyak uang ya?”
“Begitulah... lalu?”
“Aku punya tawaran pekerjaan untukmu.”
“Oh ya. Apa itu?”
“Menjadi istriku....”
“Eh? Tolong jelaskan detailnya.”
“Mamaku sakit keras. Beliau sangat ingin melihatku menikah....”
“Jadi ini rencana sandiwara untuk membohongi mamamu.”
“Aku akan menikahimu secara resmi. Aku hanya ingin ibuku bahagia.... lagipula....”
“Ya?”
“Aku juga perlu menikah untuk memperoleh keturunan tetapi aku bukan seseorang yang suka terikat hubungan... jadi....”
“Dengan kata lain kau ingin aku melahirkan anak untukmu?” Alfa mengangguk dengan hati-hati. Sedikit khawatir gadis di hadapannya akan tersinggung. Melati hanya diam dengan ekspresi wajah yang tak bisa dibaca. Alfa menatap rerumputan yang bergoyang. Tak disangkanya beberapa jenak kemudian Melati tersenyum.
“Aku akan coba pikirkan tawaranmu.”
“Kau mau?”
“Aku tidak mengatakan aku mau.”
“Jadi?”
Tawaranmu lumayan bagus tapi aku juga harus mempertimbangkan rasio manfaat dan resikonya. Mungkin jika ibuku masih hidup beliau akan menentangnya dengan keras karena tawaranmu sama saja dengan mempermainkan pernikahan. Melati terdiam sejenak. “Beri aku waktu. Paling lama satu minggu aku akan berikan jawaban.”
“Jadi kau sudah tak masalah dengan mempermainkan pernikahan?”
”Orang yang menikah baik-baik saja bisa membuang pernikahan sucinya jauh-jauh hanya karena uang. Jadi, apa salahnya aku bermain-main juga demi uang. Tapi aku harus mempertimbangkan manfaat dan resikonya dulu, Ok?”
“Kalau maslah waktu itu hal gampang. Tapi kalau bisa lebih cepat karena mamaku terus mendesak.
“Baiklah akan kuusahakan.” Melati melirik arloji di pergelangan tangannya. “Sepertinya sudah hampir jam masuk. Aku duluan.” Alfa mengangguk. Melati berlalu dari hadapannya.
***
Melati memasukkan roti terakhir ke dalam pembungkusnya. Melati bangkit dari duduk dan melemaskan otot-ototnya. Setelah memperoleh gaji hariannya, gadis itu permisi pulang. Bu Lina, pemilik usaha roti kecil-kecilan menatapnya iba. Bu Lina sudah mengenal keluarga Melati sejak lama. Mereka memang bertetangga sebelum wanita itu merantau ke kota. Dia sebenarnya ingin menolong mereka tetapi dirinya sendiri juga hidup pas-pasan.
Melati melangkah gontai di bawah temaram lampu jalanan. Lalu lalang kendaraan bermotor meninggalkan asap yang menyesakkan napas, membuat gadis itu terbatuk. Jemarinya merapatkan jaket butut miliknya. Angin malam semakin dingin menusuk tulang. Melati menghentikan langkahnya di depan bangku sebuah halte untuk kemudian duduk perlahan. Dirogohnya tas dan diambilnya sebungkus roti pemberian Bu Lina. Segera saja disantapnya roti dengan lahap. Mungkin ada yang menganggap hal itu memalukan. Namun, tak ada istilah tata krama dalam makan bagi orang sepertinya. Lagipula perutnya memang belum terisi sedari siang tadi. Hari ini memang dirinya amat sibuk. Sepulang dari kampus Melati harus melihat kondisi adiknya. Setelah itu mesti ke kantor pos untuk mengirim wesel ke kampung. Sorenya, mengajar di bimbingan belajar. Setelah maghrib, mulai bekerja di tempat Bu Lina. Rasa-rasanya dia perlu tidur.
Ciiit!
Bunyi mobil direm membuat Melati segera bangkit dari duduk. Bus yang ditunggunya telah tiba. Tak menunggu waktu lama, gadis itu segera menaiki bus. Beruntung, masih ada tempat duduk kosong. Melati memejamkan mata, mencoba menenangkan pikiran.
...
Melati melangkah gontai di koridor rumah sakit. Beberapa bangsal telah dilaluinya. Kakinya berhenti di depan ruangan kelas tiga. Ruangan itu nampak senyap. Hanya ada beberapa penunggu pasien mengobrol tak jelas. Perlahan Melati memasuki kamar nomor 2 dan menuju bed nomor 3. Gadis 12 tahunan itu masih terbaring lemah. Setelah berterima kasih kepada penunggu lain yang mau menjagakan adiknya, Melati duduk di samping tempat tidur. Dielusnya rambut yang halus.
“Kakak...”, desisan lemah. Nana membuka matanya perlahan.
“Iya Nana....”
“Aku sayang kakak....”
“Ya... sekarang kamu istirahat ya....” Nana tampak mengerang. “Kamu kenapa, Dik?” Nana memegangi dadanya. Napasnya nampak tersengal. Melati berlari ke tempat oerawat jaga dengan panik. Selanjutnya, Melati tak mampu berkata apapun, hanay mengikuti kereta dorong yang membawa adiknya ke ICU. Langkah kakiknya terhenti ketika pintu ruang ICU tertutup. Diputuskannya duduk di sebuah bangku. Melati menatap langit-langit rumah sakit sembari meremas jemarinya.
***
“Keluarga Nona Nana!”
“Ya saya.” Melati segera bangkit dari duduknya dan mengikuti perawat. Sempat diliriknya, Nana yang tertidur tenang. Suatu keajaiban memang, sang adik berhasil terselamatkan semalam. Tak terasa Melati telah berada di depan ruangan dokter jaga. Melati hanya bisa memasuki ruangan dengan lemas. Dia sudah bisa menebak ke arah mana pembicaraan sang dokter.
“Silahkan duduk.” Melati duduk perlahan di hadapan dokter. “Anda sudah tahu kondisi adik Anda yang semakin parah bukan?” Melati mengangguk. “Operasi harus segera dilaksanakan, paling tidak dalam seminggu ini.”
“Saya akan usahakan, Dok.”
Melati melangkah gontai meninggalkan ruangan dokter jaga. Tubuhnya terasa lunglai, seolah-olah sudah terlepas tulang-tulangnya. Belum selesai satu masalah, muncul kembali masalah lainnya. Selalu masalah yang sama, keuangan. Saat-saat seperti itulah Melati kadang berharap waktu dapat diputar kembali, saat keluarganya masih utuh, saat dia tak perlu memikirkan masalah seperti ini sendirian. Melati menggelengkan kepalanya, dia harus kuat, demi adik-adiknya. Dia bisa saja meminta bantuan Dewi. Namun, Melati tak tega. Dia sudah banyak merepotkan gadis itu. Uang untuk biaya operasi tidaklah kecil. bagi gadis yang masih minta sama orangtua seperti Dewi rasanya akan sangat merepotkan dan menyusahkan. Andai saja Dewi sudah berpenghasilan sendiri mungkin....
“Aku ada tawaran untukmu....”
Sekonyong-konyong tawaran Alfa terngiang kembali di telinganya. Melati menatap langit biru tak berawan. Jemarinya mengenggam liontin pemberian ibunya.
“Ibu... apakah aku harus mempermainkan hal yang amat kau hormati dan junjungi tinggi?” Tak ada jawaban, hanya riuh rendah obrolan para pengunjung yang tak ada habisnya. Melati memutuskan keluar sejenak, mencoba mencari pencerahan.
Wussshhh, hembusan angin semilir mempermainkan helaian rambut sepinggang milik Melati. Sayangnya, hanya angin lesu beraroma kematian. Tak lama gadis itu hsrus menepi karena sebuah kereta dorong membawa jenazah hendak lewat. Keresahan menyergap pikiran Melati. Entah kenapa wajah Nana tba-tiba membayang. Perasaan menjadi tak karuan. Pikiran mendadak carut-marut. Melati hanya termangu di antara kesibukan orang rumah sakit. Matanya kembali menatap langit.
“Ibu.... maafkan aku... tak ada pilihan lain lagi.” Gadis itu menyerah.
***
Di suatu sudut taman kampus yang senyap, Alfa dan Melati kembali bertemu secara diam-diam. Alfa hanya menatap ujung dedaunan yang tengah berbunga. Entah kenapa dirinya menjadi gelisah ketika menunggu jawaban Melati. Dia bahkan terkaget-kaget ketika gadis bertubuh mungil itu memanggilnya tadi. Dirimu benar-benar memalukan, Alfa! pikir Alfa.
“Jadi?” Alfa masih berusaha tampil keren. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku. Sementara itu, pandangannya tajam menatap Melati.
“Aku terima tawaranmu.”
“Kau yakin?”
“Kau ingin aku merubah pikiranku?”
“Bukan begitu.” Alfa cepat-cepat menggeleng. Tak mengerti juga dirinya mengapa gadis di hadapannya kini sangat mudah mematahkan kata-kata orang lain. “Aku hanya heran kemarin kamu ragu-ragu dan hari ini....”
“Adikku harus dioperasi dalam tiga hari ini. Aku tidak punya biaya. Kupikir menerima tawaranmu satu-satunya jalan.” Alfa berharap akan ada bermacam alasan yang akan dikemukakan Melati dengan canggung. Namun, lelaki itu kembali salah. Kalimat Melati jelas dan tegas mengemukakan apa yang sebenarnya diinginkan. Gadis yang sangat transparan.
“Oh ya aku mengerti. Nanti sepulang kuliah kita ke rumah sakit.”
“Baguslah. Oh ya satu lagi.”
“Apa itu?”
“Kita tidak akan langsung menikah. Kita berpura-pura menjadi sepasang kekasih.”
“Kenapa?”
“Adikku... dia satu-satunya waliku untuk melangsungkan pernikahan, seorang mualim kampung. Dia pasti akan mengamuk jika mengetahui kesepatan ini. Lagipula mamamu pasti akan curiga jika tiba-tiba kamu menikah denganku.” Alfa mengangguk-angguk. Gadis ini memang pintar. Tak salah aku memintanya menjadi ibu calon penerusku, batinnya.
“Kau benar juga. Jadi, mulai sekarang kamu adalah pacarku.”
“OK!”
“Mulai sekarang kita akan kemana-mana berdua.
“Ya.”
Keduanya berjabat tangan. Pertanda kesepakatan telah saling disetujui kedua belah pihak. Setelah pembicaraan yang serius itu keduanya meninggalkan taman dalam keheningan. Sementara itu, di suatu sudut, sesosok tubuh semampai gemetar. Giginya bergemeretak dipenuhi emosi. Buliran bening menuruni kedua belah pipi.
***
PLAKK
Tamparan keras timbulkan bekas kemerahan di pipi Melati. Melati terhenyak. Ditemukannya wajah Dewi dipenuhi amarah. Melati terdiam sejenak untuk kemudian menghembuskan napas berat. Pasti masalah Alfa, pikirnya. Seisi kantin telah membentuk lingkaran mengelilingi mereka berdua. Tentu saja penasaran mengapa dua sahabat kental itu bisa bertengkar hebat.
“Masalah Alfa?” Dewi mengenggam jemarinya kuat. Tak terima Melati seperti menganggap enteng sesuatu yang meluapkan amarahnya. Sementara itu, beberapa gadis lainnya langsung berdiri telinganya. Mungkin mereka juga penggemar Alfa. Mereka akan membunuhku jika mengetahui hal ini, pikir Melati lagi. “Kamu mendengar apa yang kami bicarakan semuanya.”
“Aku memang tidak di sana dari awal. Paling tidak aku mendengar kalian mulai menjadi sepasang kekasih. Ya walaupun aneh orang yang baru saja pacaran bukannya bergandengan tapi malah berjabat tangan”, kata-kata meluncur dari bibir Dewi. Suatu kesalahpahaman rupanya. Namun, jauh lebih baik ketimbang Dewi mengetahui yang sebenarnya.
‘anak-anak di ruangan juga bisa mengamuk ini, batin Melati.
Seperti prediksi Melati, belasan pasang mata mendapat shock therapy mendengar Alfa dan Melati menjalin hubungan. Bisisk-bisik tak sedap mulai riuh rendah terdengar. Melati kembali menghembuskan napas berat.
“Kamu bilang tidak akan mengganggu Alfa! Kamu hanya akan memanfaatkannya seperti cowok-cowokmu yang dulu kan?”
“Dia terlalu menggiurkan, Dewi. Maafkan aku.”
PLAKK
Tamparan kedua diterimanya. Melati tak berniat membela diri. Andaikan Dewi dan yang lainnya tak memaafkannya sekalipun dan menganggapnya sebagai cewek matre dia tak mempermasalahkan hal itu. Bagi Melati hal itu jauh lebih baik ketimbang anggapan sebagai seseorang yang mempermainkan pernikahan. Bukankah derajatnya akan jauh lebih rendah daripada pelacur?
“Aku benci kamu, Melati.” Dewi berlari keluar ruangan dengan dengan deraian airmata. Melati tak bergerak satu centipun. Jiwanya terasa lelah.
...
“Mel!” suara yang familiar.
“Ya?”
“Kudengar kamu bertengkar dengan Dewi gara-gara aku.”
“Dia suka padamu dan takut aku akan memanfaatkanmu.”
“Kau yakin akan melanjutkan semua ini.” Melati tersenyum.
“Kamu ragu? Bukankah kamu yang telah menawariku kesepakatan ini? Lagipula kamu sudah membiayai operasi adikku hingga berhasil. Aku sudah berjanji padamu. Aku tidak suka orang yang mengingkari janji.”
“Kalau begitu kita lanjutkan rencana berikutnya.”
“Ya?”
“Aku ingin mengenalkanmu pada mama.”
“Baiklah setelah aku mengajar.” Melati bangkit dari duduknya dan meninggalkan Alfa sendirian.
***
Alfa mengemudikan mobilnya dengan kecepatan sedang. Melati duduk tenang di sebelahnya. Sementara itu, Ririn bernyanyi riang di jok belakang. Sedikit rasa bersalah menganggu pikiran Alfa dan Melati. Khawatir keceriaan Ririn akan musnah. Tak banyak obrolan, Melati sibuk membca buku referensi untuk skripsinya.
“Assalamu’alaikum!” Ririn mengucapakan salam sambil membuka pintu lebar-ebar. Ditariknya tangan Melati ke dalam. Melati mengikuti langkah Ririn dnegan canggung. Maklum tak pernah memasuki rumah semewah itu. Sementara itu, Alfa memasukkan dahulu mobilnya ke garasi.
“Wa’alaikum salam...”, suara lembut. Wajah bersahaja menyambut keduanya dengan senyuman hangat. Melati mendadak gugup.
“Mama! Ini loh calonnya Kakak.” Melati menganggukkan kepala sopan. “Cantik kan, Ma. Ririn loh yang jodohin.” Wanita itu mengucek-ucek rambut putrinya.
“Maaf ya, Nak. Anak ini memang iseng. Kenapa kita berdiri di sini. Ayo silahkan duduk!” Mereka bertiga duduk di kursi tamu. Ah! banyak sekali kue-kue lezat terhidang di atas meja. Melati jadi teringat adik-adiknya yang sering kelaparan.
“Ayo dicicipi, Nak. Ini kue buatan tante khusus buat tamu spesial.”
“Tante jadi repot-repot.”
“Tidak. Kan dari kemaren-kemaren tante pengen ketemu kamu. Tapi bisanya hari ini.” Hening sejenak. “Rasanya tante sudah tenang kalau ada yang jagain si Alfa. Tapi jangan panggil tante.”
“Eh?”
“Nanti kan kamu juga jadi anak tante, panggil mama saja ya.”
“I-iya Tan... eh Mama.”
“Nah begitu kan manis.” Bu Mariam memeluk tubuh mungil Melati. Alfa baru saja tiba dan duduk di hadapan mereka. “Mama heran lo Fa, kamu yang tahunya bikin cewek nangis, bisa dapatkan gadis semanis ini.”
“Ih Mama kan Ririn yang jodohin kalau Kak Alfa sendiri sih gak bakal berhasil.”
Ya tapi kami juga sudah kenal di kampus.”
“Kalian satu kampus?”
“Iya, kaget juga pas dikenalkan Ririn. Setelah ngobrol-ngobrol ternyata kita cocok.”
“Assalamu’alaikum”, sebuah salam. Lelaki berwajah kebapakan memasuki rumah.
“Wa’alaikum salam”, jawab mereka hampir serempak.
“Itu Papa!” pekik Ririn. Gadis remaja itu bangkit dari duduknya, menyongosong papanya dan menarik lelaki paruh baya itu ke kursi tamu. “Papa Ini loh calonnya Kak, Alfa.” Lelaki itu tertawa untuk kemudian menyalami calon menantunya.
Tak lama hingga ruang tamu ramai oleh obrolan mereka. Berbagai macam hal diperbincangkan dalam suasana hangat. Berkali-kali kedua pasangan muda itu dicandai, guratkan semburat kemerahan di pipi. Dirasakannya hangatnya sebuah keluarga yang telah bertahun lamanya hilang. Bahkan Mereka terhenyak mendengar kondisi Nana dan ingin segera menjenguknya.
***