Bagian I : Melati yang Tak wangi
Gadis itu tidak pernah percaya cinta. Tentu saja cinta yang dimaksud di sini adalah cinta di antara laki-laki dan perempuan. Banyak lelaki yang pernah singgah dalam hidupnya. Tentu saja tak seorangpun yang mengisi relung hati. Tak lebih hanya untuk mendapatkan keuntungan saja. Para pecinta sejati boleh saja mengutuknya. Tapi toh dia punya alasan sendiri. Setiap orang punya hak untuk memiliki pendapat bukan? Dan uang adalah segalanya dalam kamus Melati.
..
.
“Mel!” sebuah tepukan di bahu
“Hmmm... ya?” Melati tak mengalihkan pandangannya. Tangannya masih asyik mencorat-coret selembar kertas dengan ujung pena. Barisan angka yang membuat kepala Dewi sahabatnya menjadi pusing.
“Itu apa sih Mel?”
“Ya?”
“Mel!” Melati setengah terpaksa mengalihkan pandangannya.
“Ya Dewi, ada apa?”
“Melati sahabatku tercinta, aku bertanya kepadamu apa yang sedang kamu lakukan?”
“Oh ini ya?” Melati mengangkat kertas berisi barisan angka itu.
“Apa lagi?”
“Ini adalah perencanaan keuangan selama satu bulan ke depan.” Melati bernapas sejenak sembari memperlihatkan beberapa baris angka, ada tagihan listrilk, PDAM, persediaan sembako, biaya kos, transportasi dan masih banyak lagi.“Aku juga membuat target perhasilan yang harus kudapatkan selama satu bulan.” Dewi melongo. Melati tak peduli mulutnya masih mencerocos menjelaskan pada sahabatnya rumus-rumus tepat yang digunakannya untuk mengatur keuangan. Setelah ceramah ekonomi yang berlangsung hampir sepuluh menit itu, Melati menutupnya dengan sebuah kalimat, “Dua hari yang lalu aku hampir semalaman merancang rencana anggaran untuk satu tahun.”
“Apa? Itu kan malam tahun baru”
“Ya? Memang kenapa?” Melati menaikkan sebelah alisnya heran.
“Kamu jahat!”
“Loh? Kok jadi sewot?”
“Kemarin waktu kuajak jalan kamu bilang sakit kepala. Si Edo, pacar kamu sampai kecewa berat gara-gara kamu tahu?”
“Aku memang akan sakit kepala kalau anggarannya belum selesai.” Melati kembali menekuri barisan angkanya.
“Kamu tuh kayak ibu-ibu.”
“Beginilah aku.”
“Kamu gak minta maaf ke Edo.”
“Tidak. Dia sudah bilang putus kok.”
“Argggggggggh!” Dewi menarik rambutnya sendiri untuk kemudian meringis, sakit. “Melati kamu!”
“Edo tak memberikanku keuntungan. Kamu tahu aku Dewi. Aku tak pernah melakukan sesuatu yang untung ruginya tidak jelas. ‘Keuntungan harus lebih tinggi dari resiko’ prinsip utama ilmu ekonomi.” Setelah itu, seperti biasanya Dewi akan bangkit berdiri, menghentakan kakinya dan berlalu meninggalkan Melati. Selama beberapa hari Dewi akan mengacuhkan sahabatnya. Namun, tak peduli seberapa hebat pertengkaran mereka, entah kenapa Dewi akan kembali dekat dengan Melati seperti ada sebuah magnet yang menghubungkan keduanya.
...
Dewi tersenyum-senyum sendiri mengingat kejadian di masa SMA. Kini dia dan Melati sudah duduk di bangku kuliah. Melati masih tak berubah. Dewi mengutak-atik ponselnya. Lama juga Melati di toilet, pikirnya.
Krieeettt!
Pintu berdecit. Dewi tersentak. Melati muncul dengan seulas senyum dari balik pintu. Dewi balas tersenyum, bangkit dari kursi yang semenjak tadi didudukinya. Keduanya berjalan gontai kembali ke ruang kuliah. Hening beberapa jenak hingga Dewi kembali angkat bicara.
“Mel, kamu gak niat punya pacar lagi setelah kejadian Edo?” Melati hanya mengangkat bahu. Dewi tersenyum nakal. “Jangan-jangan kamu menyesal kan? Gara-gara kamu juga sih, makhluk setampan Edo disia-siakan.”
“Aku tidak menyesali hal sekecil itu”, ringan betul ucapan Melati membuat Dewi hanya bisa melongo. Namun, gadis itu tak semudah itu percaya.
“Aku tidak percaya. Kamu pasti masih cinta kan?”
“Cinta?” Dewi mengangguk antusias. Lekukan tak proporsional terbentuk di sudut bibir Melati, senyuman sinis. “Aku tak percaya cinta.”
“Heh? Apa? Tidak percaya.” Melati tak lagi menjawab hanya tersenyum penuh misteri, membiarkan Dewi bermain dengan pikirannya. Melati merogoh sebuah buku dalam tasnya dan mulai sibuk dengan bacaannya. Tetapi sebenarnya Melati tak benar-benar membaca. Di antara barisan huruf-huruf, pikirannya mulai berkelana,
“Ayahmu belum pulang, Melati?” lirih suara ibunya setelah sebelumnya beberapa kali terbatuk. Anak kelas 6 SD itu hanya menghembuskan napas berat. Sekilas diamatinya kondisi tubuh ibunya yang semakin memprihatinkan. Hanya tulang berbalut kulit yang kisut. Mata anggora itu sudah keruh. Lesung pipit milik wanita di hadapannya menghilang, terganti oleh tonjolan tulang pipi. Wajah ibunya nampak seperti tengkorak. Pneumonia, begitu yang dikatakan dokter. Sementara itu si bungsu Nana tertidur nyenyak di sebelah ibunya.
“Belum, Bu.” Ibunya menatap sendu langit-langit rumah.
Wanita itu ingin bicara lagi namun pintu terbuka dan dua adik Melati memasuki kamar, memeluk ibunda mereka dengan ceria dan mulai berceloteh tentang kejadian di sekolah. Wajah sendu yang tadinya menghiasi wajah ibunya telah terganti oleh seulas senyum manis. Melati tersenyum kecil. Dia tahu, meski kecantikan ibunya telah raib entah kemana, senyum itu akan selalu sama, senyum hangat tak tergantikan. Diam-diam Melati menyelinap keluar kamar. Tak sengaja matanya menangkap foto keluarga mereka. Seketika giginya bergemeretak, jemarinya terkepal, dua buliran bening menuruni pipinya. Matanya menatap tajam seulas wajah berjambang di foto itu.
“Kamu telah mengkhianati cinta ibuku. Kamu sudah menendang kami seperti sampah. Apakah karena kecantikan ibu yang selalu kau banggakan telah raib?” desisan gemetar keluar dari bibir Melati. Tadi siang ketika menemani anak majikan ibunya berbelanja ke kota, dia memang melihat ayahnya menggandeng lengan seorang wanita cantik memasuki sebuah mobil mewah. Melati memanggil-manggil ayahnya namun lelaki itu melengos dan berpura-pura tak kenal. Saat itu Melati hanya bisa menggigit bibirnya hingga berdarah. Kebencian menyeruak begitu saja. Melati menghembuskan napas berat, kembali menatap sosok berjambang. “Tapi aku takkan ceritakan semua itu pada ibu. Lebih baik ibu mengetahui kamu hilang karena kecelakaan kerja.” Seulas senyuman nyinyir. “selamat tinggal ayah....” Melati merasakan kelegaan yang aneh. Tanpa disadarinya, malam itu pikirnya menajdi matang sebelum waktunya. Melati kehilangan dunia anak-anak secara perlahan-lahan. Malam naas yang menjadi titik awal ketidakpercayaan gadis kecil Melati pada cinta. Bagi Melati ayahnya telah mengajarkannya tentang pelajaran berharga. Cinta tak lebih alat untuk mendapatkan sesuatu yang kau inginkan. Kau tidak boleh larut di dalamnya. Kau harus memegang kendali dan menggunakan cinta dengan sebaik-baiknya untuk memperoleh keuntungan.
Setahun kemudian ibunya meninggal dunia. Melati harus menghidupi keluarganya. Melati bekerja siang malam. Saat itulah Melati benar-benar kehilangan dunia anak-anaknya. Melati tahu dirinya bukanlah manusia yang sama lagi. Dulu, dia bagaikan sekuntum bunga yang selalu membawa keharuman yang menyenangkan orang lain. Melati yang dikenal tetangganya adalah gadis kecil yang sangat ringan tangan. Tapi, Melati tak wangi lagi. Kebencian telah menumbuhkan sesuatu yang busuk di hatinya.
“Mel!” Hening. Dewi menggerak-gerakkan tangannya di depan muka Melati. “Melati!”
“Eh oh ya?”
“Kamu melamun lagi? Tuh kan benar kataku kamu pasti menyesal.”
“Aku hanya rindu mediang orang tuaku dan juga adik dan nenek di kampung.”
“Melati tidak seru!” Dewi menggembungkan kedua pipinya. Melati tertawa lepas. Dewi merajuk dan meninggalkan sahabatnya sendirian. Melati hanya menggeleng-gelengkan kepalanya sejenak untuk kemudian kembali menekuri bukunya. Kali ini dia benar-benar membaca.
***
“Melati!” suara ceria dan sebuah rangkulan dari belakang. Melati tahu pasti siapa pelakunya. Dewi sudah berhenti dari modus merajuknya. Dewi cepat marah tapi juga akan segera melupakan kemarahannya. Sifat unik Dewi inilah yang membuat Melati betah berkawan dengannya. “Aku dapat kabar bagus.”
“Pasti masalah cowok?”
“Iiiiiiiiih Melati! Kamu tidak seru!”
“Hi hi kamu ngambek lagi? Tapi kata-kataku benar kan?”
“Iya iya kamu benar detektif Melati.” Melati tertawa lepas sembari memegangi perutnya.
“Anaknya tampan kan?”
“Kok tahu?”
“Dari tadi junior kita di kelas membicarakan hal itu.” Mereka memang mengulang mata kuliah semester satu sehungga harus bersinggungan dengan anak baru. Seorang Dewi memang biasa mengulang mata kuliah. Tapi Melati terpaksa mengulang karena di awal-awal semester dia masih tak bisa menyesuaikan jadwal kerjanya dengan jadwal kuliah sehingga tak bisa mengikuti ujian akibat kebanyakan bolosnya.
“Curang!”
“Eh?”
“Harusnya kamu mendengarnya dariku! Ya sudahlah anak-anak itu kan hanya mendengar desas-desus. Beda dengan Dewi yang melihatnya secara langsung. Papaku kan berteman sama papa dia.”
“Oh....”
“Kok Cuma oh sih?”
“Lalu aku harus bagaimana?” Dewi mengoncang-goncangkan tubuh Melati ke kiri dan ke kanan.
“Please deh Mel, sumpah Alfa ganteng banget, si Edo sih lewat. Aku langsung kelepek-kelepek jatuh cinta dari hati yang terdalam. Aku mau deh jadi pacar keempat juga.” Melati menatap ngeri. Baru saja Melati ingin membuka mulutnya namun Dewi telah mencerocos. “Tapi dia belum punya pacar kok. Belum lagi ya Mel, rumahnya mewah banget. Semuda itu sudah mengelola beberapa perusahaan milik papanya. Makanya dia baru aja kuliah padahal dia sebaya dengan kita.”
“Wah pasti menguntungkan ya pacaran dengannya.”
“Di otakmu Cuma ada duit ya Mel.”
“Tepat sekali.” Dewi melotot. “ha ha karena Dewi sudah jatuh cinta dengan lelaki ini Melati tidak berani menganggunya.” Melati menyentil hidung Dewi. Keduanya tertawa bersama. Namun, tawa Dewi mendadak terhenti. Matanya tampak berbinar-binar. Dewi bangkit dari kursi. Mata Melati mengikuti gerak-gerik Dewi. Sahabatnya itu akhirnya berhenti di hadapan sesosok tubuh tegap. Ekor mata Melati tertangkap mata elang di hadapan Dewi. Melati menganggukkan kepalanya sedikit, tersenyum manis. Tak disangka lelaki itu balas tersenyum. Sepercik kehangatan membuat jantung Melati berdesir. Namun, gadis itu mengacuhkannya. Sepercik api takkan mungkin bisa melelehkan sebongkah gunung es bukan?
Sementara itu, Alfa tak tahu kenapa dirinya yang sukar tersenyum bisa melakukannya dengan mudah untuk gadis yang asing. Atau karena memang Alfa tak merasa asing dengan gadis ini tapi kenapa? Pikirannya menjadi berkelana kemana-mana. Suara Dewi yang tengah menjelaskan tetek bengek perkampusan hanya masuk telinga kanan keluar telinga kiri. Beruntung, Dewi tak menyadarinya. Gadis itu terlalu senang dengan tatapan iri junior-juniornya atas kedekatannya dengan Alfa.
“Alfa, aku mau kenalin kamu sama sahabatku dari SMA.”
“Ya?” Dewi menarik tangan Alfa ke arah Melati.
“Kenalin, fa. Ini Melati. Dan Melati ini dia Alfa yang kuceritakan.” Keduanya bersalaman.
“Salam kenal ya.”
“Kenapa kita tidak pergi ke kantin untuk merayakan ini.”
“Tapi kamu traktir ya?”
“Iya Melati.”
“Eh?”
“Kamu jangan kaget Fa, dia nih memang mata duitan.” Melati nyengir kuda. Alfa hanya bisa melongo. Namun, tanpa disadarinya, ketertarikan yang aneh tumbuh perlahan di lubuk hatinya. Secara normal, seorang laki-laki harusnya illfeel dengan gadis seperti Melati tapi tidak dengan Alfa. Karakter Melati unik dan membuatnya penasaran.
***
Alfa melempar tasnya ke sudut kamar. Tubuh tegapnya segera menghempas tempat tidur. Mata elangnya menatap langit-langit kamar. Wajah mungil Melati membayang di sana, cara Melati tersenyum, tertawa, kaget. Sesuatu yang menarik karena ekspresi wajah Melati menyimpan banyak rahasia. Sukar dibedakan senyuman yang tulus maupun yang palsu. Rasa penasaran Alfa semakin kuat.
Tok! tok! tok!
“Masuk!” Alfa menatap malas ke arah pintu yang dibuka perlahan. Wajah adiknya menyembul di balik pintu. “Kenapa Rin?”
“Mama mau bicara, katanya penting!”
“Oh. Terima kasih anak manis.” Alfa bangkit dari tempat tidur dan mengucek-ucek rambut adiknya.
“Sama-sama, Kak.” Ririn tersenyum manja. Alfa tersenyum, meninggalkan adiknya untuk segera bergegas menuju kamar ibunya di lantai satu. Alfa selalu diliputi kecemasan semenjak ibunya sakit tiga tahun lalu, kanker rahim stadium 3.
...
Alfa mengetuk pintu perlahan. Setelah mendengar sahutan lemah dari dalam, dia masuk ke dalam kamar tersebut, sementara itu Ririn berjingkat-jingkat mendekati pintu untuk kemudian menempelkan kupingnya di daun pintu.
Di dalam kamar,
Alfa duduk perlahan di atas tempat tidur ibunya. Dibenahinya sebentar selimut yang menutupi sebagian kaki wanita yang telah melahirkannya itu. Sang ibu tersenyum lembut, mengelus wajah tampan milik Alfa.
“Anak mama sudah besar ya?”
“Aku bukan anak kecil lagi, Ma.”
“ha ha ha Mama tahu tapi... apa benar kamu belum punya kekasih?” Alfa menghembuskan napas berat. Dia paling tidak suka topik pembicaraan yang satu ini. Karirnya jauh lebih penting daripada hal kecil sekedar urusan dunia percintaan. Toh usianya masih muda, perjalanan hidupnya masih panjang bukan?
“Ma....”
“Mama tahu apa yang ada di pikiranmu. Kamu pasti berpikir kamu masih muda kan?” Alfa hanya terdiam untuk beberapa jenak.
“Masalah percintaan belum masuk dalam agendaku, Ma.”
“cinta bukan sebuah rapat atau pertemuan dengan klien. Menemukan cinta bukan hal mudah. Kamu harus berusaha.”
“Aku tahu Ma, aku hanya belum berpikir ke arah sana. Masih banyak hal yang harus kucapai sebelum terikat dalam belenggu suatu hubungan.” Wanita paruh baya itu merengut.
“Ma... aku masih 21 tahun kan? Nanti kalau ada jodohnya...”
“Tapi Mama tidak tahu sampai kapan Mama bisa melawan penyakit ini.” Alfa menjadi menyesal. “Apa mama sempat melihat cucu Mama ya?”
“Jangan berkata begitu Ma. Nanti kalau Alfa sudah ada seseorang langsung dikenalkan.” Mata ibunya berbinar-binar.
“Jadi kamu akan segera mengenalkan calonmu.”
“Tapi bukan sekarang Ma....” Nyonya Mariam, ibunda Alfa membalikkan tubuhnya, merajuk. Alfa lagi-lagi harus mengembuskan napas berat. Sejak mengetahui dirinya terkena kanker, ibunya memang lebih sensitif. Alfa sering tak harus bagaimana menyikapi ibunya. “Ma... maaf....” Hening. “Ma....”
“Pokoknya Mama baru memaafkanmu kalau kamu sudah memperkenalkan gadis itu pada Mama.”
“Tapi Ma.”
“Mama mengantuk sudah kembali ke kamarmu.” Alfa bangkit dari tempat tidur dengan perasaan tak nyaman untuk kemudian melangkah gontai ke kamarnya.
...
Mata elang itu masih enggan terpejam. Hangatnya selimut tak jua membantu. Kata-kata ibunya berulang kali menggema di telinganya. Detak jarum jam di dinding menjadi suara bom waktu yang siap meledakkan isi kepala Alfa kapan saja. Sebenarnya, separuh batin Alfa membenarkan kata-kata ibunya. Dia juga memerlukan keturunan untuk melanjutkan bisnisnya. Tapi hanya sebatas itu. Alfa tak terlalu suka terikat dalam suatu hubungan.
BUKK!
Alfa meringis. Berat yang tiba-tiba di bagian perut membuatnya kaget. Senyuman manis Ririn menyambutnya segera. Alfa tergelak melihat tingkah manja adiknya.
“Kakak pasti pusing memikirkan kata-kata ibu kan?”
“Iya.”
“Ririn punya usul!”
“Benarkah?”
“Suer disambar gledek.”
“Dasar kamu. Tunggu dulu, bagaimana kamu bisa tahu. Ririn menguping ya.” Ririn hanya cengengesan tak jelas sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. “Anak nakal.”Alfa mencubiti pipi adiknya.
“Tapi aku jadi tahu permasalahan Kakak kan dan sebagai adik yang baik Ririn siap membantu!”
“Ha ha ha memangnya kamu mau membantu apa?”
“Besok Kakak ada kuliah tidak?”
“Hmm....” Alfa membolak-balik catatannya. “Sepertinya tidak ada.”
“Ada urusan bisnis?”
“Tidak ada.”
“Yes!” Alfa mengerutkan keningnya. “Kalau begitu Kakak harus mengantarkanku ke tempat bimbel.”
“Tentu saja. Kenapa Ririn jadi senang sekali?”
“Karena... katakan gak ya?” Alfa berpura-pura merengut. Ririn berbisik di telinga kakaknya. “Ririn akan kenalkan Kakak, sama Bu guru.” Alfa melongo. Bisa-bisanya bocah kelas 6 SD jadi mak comblang. “Tenang saja Bu guru seusia Kakak kok. Bu guru mungkin tidak secantik cewek-cewek yang mengejar-ngejar Kakak tapi Bu guru sangat hebat.”
“Ririn....”
“Oahmmmm... Ririn sudah mengantuk. Ririn tidur duluan ya Kak. Kakak juga harus tidur ya.” Ririn turun dari tempat tidur. Sebelum menutup pintu kamar, Ririn kembali tersenyum nakal. “Kakak pasti akan suka.”
***
Alfa mengemudikan mobilnya dengan malas. Sementara itu, Ririn bernyanyi riang di sebelahnya. Begitu polos adik semata wayangnya itu, tak menyadari dirinya menambah mumet pikiran kakaknya. Tak lama hingga bangunan kokoh bimbingan belajar terlihat. Alfa memarkir mobilnya di tempat parkir sebuah taman tak jauh dari tempat itu. Begitu kakak beradik itu keluar dari mobil, beberapa pasang menatap mereka. Alfa mendengus kesal. Tak mengerti kenapa dia selalu menjadi pusat perhatian. Terkadang Alfa membenci ketampanannya.
“Ayo Kak, nanti Ririn telat. Kakak sih bangunnya kesiangan!” Ririn menarik lengan kakaknya.
“Iya....”
Ketika memasuki bagunan bimbingan belajar Alfa kembali menjadi pusat perhatian. Alfa ingin sekali melarikan diri dari tempat ini. Tapi janjinya pada Ririn tak mungkin diingkari. Ririn memintanya menunggu hingga jam pulang. Beruntung, kedatangan mereka hampir bertepatan dengan bel masuk. Ruangan itu seketika menjadi sepi. Alfa menghembuskan napas lega. Diliriknya sebuah kursi yang menganggur di sudut ruangan. Alfa mulai asyik dengan selembar surat kabar.
Tiga puluh menit berlalu,
Alfa mulai bosan. Surat kabar ditangannya sudah habis terbaca. Alfa bangkit dari kursi dan menggerak-gerakkan tubuhnya sedikit. Entah kenapa tiba-tiba muncul ide iseng di pikirannya. Alfa berjalan perlahan ke depan ruang kelas adiknya, mencoba mengintip dari kaca seukuran 30 x 40 cm di daun pintu kelas. Namun, tak pernah disangkanya, tindakan itu akan membuatnya terhenyak.
Sesosok tubuh mungil menulis di papan tulis. Sosok itu berbalik dan mengatakan sesuatu pada muridnya. Anak-anak mengangkat tangan dengan antusias. Sosok itu tertawa kecil untuk kemudian tersenyum manis. Seulas senyum itulah yang membuat Alfa terhenyak. Tempo hari saat dia mengenal sahabat Dewi itu, berbagai ekspresi gadis itu menyulut rasa penasaran. Namun, hari ini Alfa menemukan sesuaru yang lain, seulas senyum yang alami, murni dari hati.
Yang mana dirimu yang sebenarnya? Kau semakin menarik Melati....
“Kak!”
“Eh oh? Ada apa Rin?”
“Kakak tuh yang kenapa berdiri depan pintu? Menghalangi jalan orang saja.”
“Oh ya maaf.”
“Wah Ririn hari ini bersama kakaknya ya?”
“Iya Bu guru.”
“Kakak yang baik ya...” kata-kata Melati terhenti ketika dia menemukan wajah Alfa di hadapannya. “Alfa?”
“Ya, Mel.”
“Jadi Kakak dan Bu guru sudah saling kenal?”
“Kami satu kampus”, ucap keduanya hapir bersamaan. Ririn tersenyum menyeringai. Melati menatap muridnya tak mengerti sementara Alfa memalingkan wajahnya.
“Kamu bekerja di sini?”
“Ya iyalah Kak, ngapain coba di sini? Mencari topik pembicaraan saja tidak logis. Kakak, Bu guru itu pekerja keras. Bu guru bukan hanya bekerja di sini.”
“Kamu benar-benar sedang memerlukan uang ya?”
“Ha ha ya tentu saja, biaya hidup semakin tinggi.” Melati melirik arojinya. “Hmm... Ririn Bu guru pulang duluan ya? Soalnya adik Bu guru lagi masuk rumah sakit.”
“Eh Nana sakit lagi? Ririn mau ikut!”
“Ririn kan masih ada pelajaran lain setelah ini. Ririn harus rajin belajar ya? Nanti kapan-kapan Bu guru ajak deh!”
“Janji ya?” Melati mengangguk. Gadis itu membungkukkan badan sedikit untuk kemudian menghilang di perempatan jalan.
“Rin, adiknya Bu guru sakit apa?”
“Jantungnya Nana sakit, kasihan sekali, kata Bu guru setelah di operasi mungkin akan membaik. Bu guru lagi mencari biayanya. Mudah-mudahan saja.... eh kakak kok jadi tanya-tanya. Tuh kan pasti ada hati sama Bu guru.” Sementara Ririn asyik menggodanya, Alfa sibuk dengan pikirannya sendiri.
***