Orphan

Aug 19, 2018 06:03

Salah satu cara hidup yang selama ini saya anut adalah jangan pernah membanding-bandingkan hidupmu dengan orang lain.

Karena saya sadar, dengan segala keterbatasan saya, akan sangat mudah bagi setan untuk mengembuskan rasa iri dengki saat melihat kehidupan orang lain, mostly teman-teman dan/atau keluarga besar saya sendiri.

Saya tumbuh di keluarga kelas menengah ke atas dengan lingkup pergaulan yang seperti itu juga. Kemudian ibu saya meninggal dan segalanya berubah. Saya berjuang sendirian. Segalanya tak lagi sama.

Sebenarnya dulu pun kehidupan kami cukup berat ketika Ibu masih ada. Kami termasuk financially struggling karena masalah ini dan itu. Apalagi saat Ibu sakit, semua uang terkuras. Lalu Bapak pergi dan tinggallah saya sendirian. Bertahun-tahun kemudian, saya berusaha menemukan pijakan agar bisa sekadar memenuhi kebutuhan hidup--sandang, pangan, papan, dan rekreasi. Tapi kemudian Bapak datang kembali, sakit parah, dan saya pun berjuang lagi.

Kehidupan yang berat itu cenderung membuat saya hanya fokus pada kehidupan diri sendiri. Tapi kan sekarang sudah ada media sosial. Saya bisa melihat teman-teman saya, sepupu-sepupu saya, dengan segala hal baik yang terjadi pada mereka. Suami/istri, anak, beasiswa, traveling, prestasi, karya, foto keluarga bersama, dsb. Saya bahagia melihatnya, sungguh. Lahir batin. Kuncinya itu tadi: tidak membandingkan.

Namun....

Melihat mereka membuat saya berkaca: betapa pada usia sekarang, ketiadaan orang tua ternyata memiliki dampak yang sangat besar. Saya kehilangan support system utama, terutama doa mereka. Saya harus berjuang sendiri untuk segala-galanya. Saya nggak bisa mengharapkan pernikahan mewah, sering jalan-jalan ke luar negeri, sepenuhnya fokus pada impian saya menulis, dan banyak sekali hal lain yang harus saya ikhlaskan karena tahun-tahun yang disibukkan dengan berjuang, berjuang dan berjuang. Hidup sendiri dari SMA, mempertahankan agar urusan-urusan rumah beres, menyelesaikan kuliah sambil mengejar deadline agar ada sedikit pemasukan tambahan, bekerja keras tanpa bisa menabung, pontang-panting mengurusi Bapak, lalu sekarang berusaha sekolah dengan beasiswa yang tetap mengharuskan untuk punya pekerjaan sampingan.

Mau tak mau kadang saya sedih. Mau tak mau kadang pikiran itu melintas: kok kehidupanku berat amat ya.

Seorang teman pernah bertanya, kenapa saya bisa bertahan tanpa menyalahkan Allah? Tanpa meninggalkan-Nya meskipun saya sudah diuji seberat itu?

Saya menjawab: karena masih banyak hal baik terjadi dalam hidupku.

Syukur adalah pegangan saya yang kedua. Saya berusaha sekuat tenaga untuk menyingkirkan segala kesedihan, kenegatifan, dan mengusir setan-setan yang berupaya membisikkan kedengkian. Saya memilih untuk fokus pada yang positif-positif saja. Melihat ke bawah dan sadar bahwa walaupun kehidupan saya seperti ini, saya masih jauh, jauh, jauuuuuh lebih beruntung dibandingkan kebanyakan orang. Setidaknya saya masih bisa tinggal di rumah layak, punya ijazah, sehat dan bisa bekerja, sekarang sedang melanjutkan sekolah demi harapan akan prospek kehidupan yang lebih baik.

Dan saya menjaga diri untuk nggak sering-sering melihat kehidupan orang lain demi membentengi diri dari bisikan negatif setan. Saya jarang scroll beranda Instagram; sebaliknya saya menenggelamkan diri di Explore untuk melihat berbagai postingan terkait fandom yang saya suka saja. Lebih baik saya mengalihkan pikiran saya kepada hal lain daripada lama-kelamaan saya berpotensi tergoda untuk merasa iri dan dengki pada teman-teman saya. Maka saya memilih untuk nggak memusingkan kehidupan orang lain dan menyibukkan diri pada dunia saya sendiri.

Keep the head low and the feet on the ground.

Barangkali pada titik ini, pada usia sekarang, saya belum mencapai apa-apa. Saya masih harus terus berjuang untuk steady life yang entah kapan akan bisa saya raih. Saya juga bukan orang visioner jangka panjang atau orang ambisius dengan target-target setinggi langit. Kehidupan memaksa saya menjadi realistis; satu-satunya tujuan saya saat ini hanyalah berusaha mencukupkan segala kebutuhan saya dan keluarga saya.

Still, I miss my parents sometimes. I miss being a normal person with a normal family without having to worry about everything everyday.

me

Previous post Next post
Up