Lutut

Oct 29, 2017 17:33

15 September 2017.

Hari ulang tahun ke-20 adik saya dan 38 hari si bapak pergi. Saya menjalani hari itu dengan senang, olahraga bareng teman-teman saya pada sore hari, makan seblak pada malam harinya, kemudian pulang berkendara dalam keadaan ngantuk. Sudah merem melek sejak dari Pramuka, tetapi dengan sombongnya saya terus lanjut menyetir tanpa berhenti karena berpikir, "Ini bukan pertama kalinya ngantuk, dan biasanya tetap sampai rumah dengan selamat."

Allah berkehendak lain. Di Pondok Kopi saya merem sedikit terlalu lama. Saat membuka mata, di depan sudah pohon. Tak ada waktu untuk menghindar.

Dengan keadaan motor yang cukup parah begitu, saya bersyukur secara umum saya tidak apa-apa. Benjol besar di pelipis dan pergelangan kaki kanan, memar di sebelas tempat, dan lutut kebaret. Kondisi itu sangat amat alhamdulillah karena tak ada yang patah, nyawa masih selamat.

Saya langsung ke IGD tapi cuma dikasih Mefinal dan Thrombopob. Keesokan hari dan seterusnya saya sudah bekerja keras lagi untuk mengurus motor dan melanjutkan hidup karena memang tidak ada waktu untuk istirahat.

Anyway.

Rupanya lutut saya bukan sekadar kebaret. Lutut itu memang sakit; saya sedikit pincang sekitar semingguan. Saat diurut pun saya minta supaya lutut itu tidak diurut karena masih ada luka baretnya yang belum kering. Lama kelamaan bekas luka baretnya hilang, hanya tinggal memar. Selama sakit itu saya gunakan lutut untuk senantiasa bekerja keras--saya berjalan ke sana kemari seperti biasa, digunakan untuk menopang tubuh saat berdesak-desakkan di kereta, kadang saya paksa lari naik tangga juga untuk mengejar kereta yang sudah datang.

Karena dituntut untuk tetap menjalani kehidupan seperti biasa ya saya biarkan saja lutut saya begitu. Yang tidak bisa saya lakukan adalah shalat secara normal (berdiri) karena saya tidak bisa duduk di antara dua sujud. Lutut saya tidak bisa ditekuk rapat begitu; terlalu sakit--saya tidak tahan. Jadilah saya shalat duduk terus meskipun dahi saya sangat merindukan bumi untuk bersujud. Meski demikian, saya tidak sempat periksa ke dokter karena jam kerja yang padat saat weekdays dan selalu ada agenda sosial saat weekend.

Dua minggu belakangan ini lutut saya mulai nyeri-nyeri lagi. Nyerinya memang bukan nyeri banget yang bikin nggak bisa ngapa-ngapain, tapi tetap saja saya jadi khawatir. Berbagai pikiran negatif melanda, gimana kalau begini-begitu? Saya takut. Dengan kondisi rumah sekarang, saya sangat takut untuk sakit yang serius. Saya tulang punggung di rumah, literally. Saya harus kerja. Saya harus beraktivitas mengurus banyak hal di rumah. Saya nggak bisa terbaring sakit karena akan ada banyak sekali hal yang nggak kepegang kalau saya sakit. Apalagi, nggak akan ada yang mengurus saya. Pada akhirnya saya bakal harus mengurus diri sendiri sebagaimana sehari setelah kecelakaan itu saya tetap mengurus motor saya, bukannya istirahat.

Saya tak punya orang lain untuk diandalkan secara fisik kecuali diri saya sendiri. Adik dan bude saya punya kehidupan masing-masing. Mereka telah mencurahkan terlalu banyak waktu dan tenaga untuk bapak kemarin, sekarang bukan saatnya lagi untuk melakukan hal yang sama jika ingin kehidupan bergerak maju. Sudah cukup mereka--kami--semua mengurusi orang sakit.

Namun, karena lutut semakin menjerit, saya harus ke dokter. Terutama karena postingan saya ini. Memang belum ada pengumuman, tapi saya harus mempersiapkan yang terbaik, kan? Jika lanjut ke tahap-tahap berikutnya, akan ada tes kesehatan. Saya bertekad harus memperbaiki lutut ini sebelum tes tersebut.

Singkat cerita, akhirnya saya ke poli orthopedi kemarin setelah--alhamdulillah--diberi kesempatan menikmati dulu liburan pelepas stres. Sayangnya stres itu langsung muncul lagi setelah mendengar diagnosis dokter.

Katanya ada kemungkinan bantalan sendi lutut saya robek. Beliau meminta saya MRI, baru setelah itu diputuskan bagaimana tindakan selanjutnya. Kata sepupu saya yang dokter, mungkin saja "tindakan selanjutnya" itu operasi.

Saya langsung panik dan lemas.

Bagaimana? Bagaimana? Segala "bagaimana" itu berputar di kepala saya. Operasinya mungkin bukan operasi besar, tapi tetap saja itu operasi. Terbayang tumpukan pekerjaan di kantor, potongan gaji kalau tidak masuk, belum lagi waktu yang entah berapa lama dibutuhkan untuk pemulihan ... lalu bagaimana dengan tes kesehatan? Dan biayanya. Saya periksa ke dokter ini tidak pakai BPJS. MRI tanpa BPJS bisa menghabiskan berapa?

Bla-bla-bla.

Untungnya, sisi rasional saya segera mengambil alih untuk mengeblok segala kekhawatiran dan melakukan satu-satunya yang bisa dilakukan: berdoa. Meminta agar Allah memberikan jalan keluar terbaik. Pasrah dan percaya bahwa Dia sudah mengatur segalanya. Berhenti memikirkan hal-hal buruk dan menjalani apa yang bisa dilakukan.

Berdoa yang banyak. Cuma itu.

Cuma itu....

Saya akan update lagi nanti.

me, dislike

Previous post Next post
Up