Menjilat Ludah Sendiri

Oct 21, 2017 20:51

Allah punya rencana-Nya sendiri yang seringkali tidak bisa dipahami hamba-Nya.

Jika Anda bertanya ke teman-teman kuliah saya, mereka semua akan mengiakan betapa dulu ketika kuliah saya selalu gembar-gembor "tidak mau menjadi PNS". Alasannya sederhana: saya bukan orang yang suka terikat. Betapa saya tak bisa membayangkan harus mengabdi di suatu tempat sampai usia 65 tahun melakukan pekerjaan yang itu-itu saja dalam himpitan birokrasi, sementara saya punya banyak ide untuk dituliskan menjadi cerita, tempat-tempat untuk dikunjungi dan difoto, bidang yang diminati untuk dipelajari, buku-buku untuk dibaca, film-film untuk ditonton, dan sebagainya. Saya mencintai dunia industri kreatif dan selalu ingin berkecimpung di sana. Saya punya jiwa Bohemian--bebas, tidak suka dikurung dalam sangkar rutinitas. Menjadi PNS--atau bahkan pegawai tetap di suatu perusahaan--serasa mimpi buruk bagi saya.

Akan tetapi.

Kehidupan tidak berjalan hanya sesuai keinginan. Idealisme, mimpi, cita-cita, kadang harus tergusur oleh realitas, kebutuhan, tuntutan sosial yang tak bisa dihindari. Saya tidak bisa--belum bisa--menjadi seperti para author YA itu, seperti Lauren Oliver yang menulis dalam balutan piamanya sepanjang hari, seperti JK Rowling yang punya kamar khusus untuk menulis di rumahnya, seperti Marie Lu dan Tahereh Mafi yang resign dari pekerjaannya untuk fokus menulis. Di Indonesia ini profesi sebagai full time writer sayangnya belum bisa menjadi pilihan untuk bertahan hidup. Bahkan Ika Natassa pun, yang bukunya sudah super-mega best seller, tetap bekerja di Mandiri. (Dan saya sungguh mengagumi dia karena hal itu.)

Kembali ke soal PNS. Terlepas dari ketidaksukaan saya pada profesi itu, Allah mengatur agar saya menjadi pegawai kontrak di sebuah instansi pemerintah: salah satu satker di lembaga eksekutif, yaitu Kementerian. Awal-awal bekerja, saya berulang kali mengatakan pada diri sendiri bahwa lingkungan birokrasi tidak cocok untuk saya. Jiwa bebas dan pandangan hidup saya soal kesetaraan manusia sempat sangat terganggu karena lingkungan birokrasi yang ... mendewakan pejabat. Kebiasaan tersebut membentuk pola pikir pegawai berpangkat lebih rendah--apalagi kami yang cuma pegawai tidak tetap--bahwa bapak-ibu Eselon itu harus diservis habis-habisan. Saya jengkel dengan hal itu, tapi saya bisa apa? Pada akhirnya saya mau tak mau terseret dengan budaya kantor yang seperti itu, meski dalam hati kecil saya masih merasa keberatan.

Namun, di sini saya juga belajar bahwa profesi PNS tidak seburuk yang selalu saya pikirkan. Stereotip saya akan profesi ini terbentuk karena dulu saya pernah magang di perpustakaan kota dan segala hal yang tidak ideal di sana membuat saya begitu kecewa dengan instansi pemerintah. Nah, di tempat saya sekarang, saya bertemu dengan PNS yang penuh integritas dan semangat untuk membangun Indonesia. Sepak terjang dan track record beliau yang mengagumkan membuat pandangan saya terhadap PNS membaik sedikit. Bukannya PNS pemalas tidak ada di Kementerian tempat saya bekerja, ya--tentu saja ada--tapi ternyata banyak juga PNS pekerja keras lain selain beliau yang saya kagumi di atas.

Rupanya benar bahwa kita baru bisa mengenal sesuatu dengan baik tanpa penghakiman yang tak adil jika kita sudah berkecimpung di dalamnya. Istilah teman saya, "Indahnya lautan baru bisa kita ketahui kalau kita sudah menyelam, bukan cuma mengintip dari permukaan."

Anyway, dua tahun di sini cukup melelahkan buat saya. Apalagi suasana kantor sudah berubah dan terlalu banyak drama tak penting yang membuat dosa ghibah terus bertambah setiap hari. Saya sadar ini adalah pertanda bagi saya untuk melompat--toh sejak awal masuk saya memang sudah membatin untuk maksimal berada di sini sampai akhir 2017 saja. Saya mulai melamar ke tempat-tempat lain yang bukan pemerintahan. Kantor penerbit masih menjadi tujuan utama saya.

Sayangnya belum ada panggilan, kecuali untuk bimbel Bintang Pelajar yang kisahnya pernah saya tuliskan di sini.

Kemudian, lowongan CPNS dibuka untuk 61 K/L.

Saya benar-benar berada dalam dilema waktu itu. Sungguh, saya masih tak ingin menjadi PNS. Ketakutan untuk terjebak dalam dunia birokrasi jangka panjang masih merupakan momok buat saya. Namun, karena saya sudah masuk ke dunia orang dewasa di mana kepentingan orang lain harus didahulukan, saya tidak bisa begitu saja mengenyahkan kesempatan ini dan melenggang kangkung tanpa beban. Saya bicara dengan bude saya, memikirkan baik-baik konsekuensi plus minusnya, lalu shalat istikhoroh: apakah saya harus mendaftar CPNS atau tidak?

Lalu saya melihat tweet ini. Ditambah lagi, asisten bos yang super baik hati di kantor (seorang PNS) memberi wejangan pada saya untuk ikut tes CPNS. Beliau tahu kondisi keluarga saya, beliau telah menyaksikan saya di titik rapuh yang tak pernah saya perlihatkan di kantor dalam keadaan biasa. Saya punya respek kepadanya dalam tingkatan yang ... jika beliau wafat sebelum saya dan disemayamkan di kota asalnya nun jauh di sana, saya akan berusaha sedapat mungkin datang ke sana untuk memberi penghormatan terakhir.

Kedua hal itu feel like an answer to me. Singkat cerita, akhirnya saya mendaftar juga. Toh saingannya ribuan orang, belum tentu lolos tes sampai tahap terakhir juga kan. Coba saja dulu.

Ketika saya mengobrol dengan beberapa teman dekat, mereka tertawa tak percaya waktu saya bilang saya mendaftar CPNS. Yah, sampai seminggu sebelum tes pun saya masih tidak percaya akhirnya saya menjilat ludah sendiri. Saya teringat Andrea Hirata yang di bukunya menulis bahwa waktu kecil dia tidak ingin menjadi pegawai PT Pos Indonesia, tapi ternyata ketika dewasa dia malah bekerja di sana. Sekarang saya mengalami nasib yang sama.

Teman saya Dinchan mengatakan dengan bijaknya, "Mungkin kamu mendaftar salah satunya karena you're surprisingly good at it (baca: cukup cocok dengan lingkungan kerja PNS). Soalnya seorang Pipi sampai bisa bertahan dua tahun...."

Saya tidak bisa menolak kata-katanya itu. Pekerjaan saya di kantor memang lumayan cocok dengan karakter saya. Dan setelah dua tahun di sana, saya merasakan bahwa lingkungan kerja PNS adalah lingkungan yang jauh lebih manusiawi daripada lingkungan kerja swasta seperti tempat kerja saya sebelumnya. Lingkungan kerja PNS yang saya rasakan lebih memiliki empati dan toleransi terhadap kesusahan sesama, serta pada umumnya tidak (terlalu) rasis.

Ya sudah. Saya hanya bisa menjalani. Maka saya berusaha menerima kenyataan, meluruskan niat, dan sebagaimana sifat saya, kalau sudah melakukan sesuatu, saya tidak bisa tanggung-tanggung. Saya belajar keras untuk tes CAT, walaupun alasan terbesar saya belajar adalah karena harga diri saya merasa tertantang dan saya tahu saya bakal kesal sendiri kalau tidak bisa mengerjakan.

Pada titik ini, saya sudah tidak memikirkan yang aneh-aneh. Perjalanan masih panjang dan saya tak tahu apakah yang akan terjadi di depan sana. Saya hanya bisa berusaha, berdoa, lalu bertawakal. Percaya kepada Allah.

like, me, dislike

Previous post Next post
Up