"Astaga aku pegal," keluh Hyukjae ketika akhirnya kami turun dari stasiun yang terdekat dari kebun binatang. Jelas dia pegal, 20 menit dia berdiri melindungiku dari himpitan orang-orang.
Jika ada bagian tubuh yang pegal dari aku mungkin itu jantungku yang berdetak begitu cepat selama 20 menit.
"Siapa suruh kau berdiri seperti itu," jawabku.
"Aku tidak mungkin kan membiarkanmu berdiri terhimpit orang-orang?" Balas Hyukjae. Aku tak menjawab. Hyukjae kembali menggenggam telapak tanganku dan kami berjalan menuju kebun binatang.
Hari itu hari Sabtu dan kebun binatang itu cukup ramai dipadati pengunjung. Hyukjae mendorongku kedepannya ketika kami berdiri di antrian pemeriksaan tiket dan ia meletakkan kedua tangannya di pinggangku. Jantungku kembali berdetak tak teratur. Aku menoleh memandang Hyukjae dari pundakku.
"Kenapa?" Tanyanya. Ia menangkap pandanganku yang tersirat antara bingung, dan kesal.
"Kau tidak biasanya semesra ini," jawabku.
"Memang tidak boleh?" Tanya Hyukjae lagi. "Kau kan pacarku."
"Bukannya tidak boleh..." Ujarku. 'Tapi kau membuat kerja jantungku lebih cepat dan jantungku lelah,' lanjutku dalam hati.
"Yasudah kalau tidak boleh begini, aku begini," jawab Hyukjae lagi. Ia melepas tangannya dari kiri-kanan pinggangku lalu malah melingkarkannya dengan erat di sekeliling pinggangku. Refleks, aku menepak tangannya.
"Aw," balas Hyukjae dan ia langsung melepas pelukan dari pinggangku. "Aku kan hanya menjadi pengganti sabuk keselamatanmu."
"Diam," ujarku kesal. Beruntunglah saat itu sudah giliran tiket kami yang diperiksa dan kami langsung masuk setelah tiket kami lolos pemeriksaan dan tangan kami di cap.
Kami berjalan menyusuri kebun binatang dari hewan kecil hingga hewan yang paling besar. Dari unggas hingga hewan liar. Aku berjalan di samping Hyukjae dan dia tidak pernah melepas tanganku. Aku begitu bahagia sehingga aku sama sekali lupa dengan sikap Hyukjae yang kemarin-kemarin.
"Lihat dia mirip kamu," ujarku sambil menunjuk sejenis monyet kecil lucu yang sedang duduk diam memandang pengunjung yang memandanginya.
Bibir Hyukjae mengerucut, "Kalau begitu kamu yang itu," balasnya. Ia menunjuk monyet yang begitu lincah pindah kesana-kemari.
"Kalau begitu kita keluarga monyet?" Tanyaku sambil tertawa.
"Aku tidak pernah bilang kita akan membuat keluarga," tiba-tiba suara Hyukjae kembali menjadi begitu dingin. Aku tertegun dan langsung menoleh. Tapi tidak ada yang berubah dari raut wajahnya. Ia tetap secerah sebelumnya.
Ia memandangku, "Aku tidak mau disamakan dengan monyet," jawabnya ringan. Matanya masih berbinar-binar dan belum berubah seperti sebelumnya.
Aku tersenyum. Mungkin tadi hanya perasaanku. Aku terlalu takut Hyukjae akan kembali dingin seperti kemarin-kemarin dan aku menjadi berhalusinasi.
Kami melanjutkan berjalan ke bagian binatang kuda-kudaan seperti rusa dan zebra. Aku memandangi hewan-hewan itu berlarian di dalam kandangnya yang dibentuk sedemikian rupa mirip dengan habitat aslinya. Hyukjae diam disebelahku, masih menggenggam tanganku.
"Eh, kau tunggu disini ya," ujar Hyukjae dan ia berlari mendekati kios eskrim. Beberapa saat kemudian ia kembali membawa dua cup eskrim di kedua tangannya. Ia menyerahkan yang satu kepadaku.
"Terimakasih," jawabku.
Kami kembali berjalan menyusuri kebun binatang itu. Tiba-tiba aku mendengar Hyukjae mendengus tertawa disebelahku.
"Kenapa?" Tanyaku.
"Tidak," jawab Hyukjae. "Aku dulu sempat berpikir apakah aku akan mengalami kencan seperti di drama-drama di tv. Jalan-jalan, makan eskrim, bercanda-bercanda. Dan ternyata aku sekarang sedang mengalaminya,"
Aku ikut tersenyum. Ini memang kencan yang paling menyenangkan yang pernah kami alami.
"Lee Hyemin," panggil Hyukjae beberapa saat kemudian.
"Hmm?" Tanyaku sambil menjilati eskrimku.
"Apakah aku sudah pernah bilang aku sangat mencintaimu?"
Aku nyaris tersedak eskrimku. Aku hanya memandang Hyukjae dengan tatapan terkejut.
"Belum ya?" Sahutnya. "Kalau begitu, sekarang aku bilang, aku sangat sangat sangat sangat mencintaimu, Lee Hyemin."
Wajahku seketika memanas dan aku tahu warnanya pasti sudah seperti kepiting rebus.
Hyukjae tersenyum lebar padaku, "Aku lapar,"
Aku menghela nafas, "Ayo makan."
"Tapi aku mau makan mie ramen cup itu, lalu kita makannya sambil duduk di bangku itu sambil lihat burung-burung itu," pintanya persis seperti anak kecil. Ia menunjuk bangku yang terletak di depan kandang burung besar. Aku tidak tahu setan apa yang merasukinya hingga ia bisa semanja ini. Tapi aku suka.
"Iya, iya, ayo beli," jawabku.
Hyukjae berjalan bersemangat di sebelahku, tanganku kembali diayun-ayunkannya.
"Aku mau disuapi," ujar Hyukjae ketika kami sudah membeli mie ramen instant cup itu.
"Apa?" Balasku. "Tapi kan aku juga mau makan!"
"Kau kan bisa menyuapiku sambil makan sendiri punyamu juga," jawab Hyukjae. Ia sudah duduk di bangku yang ia maksud tadi.
Aku diam saja sambil mengaduk mie ramen cup yang ada di tanganku. Hyukjae menarik-narik samping bajuku. Aku tahu aku tidak akan bisa melawannya hari ini.
"Baiklah, baiklah," jawabku.
Hyukjae tersenyum girang. Aku lalu mengambil mie itu dengan sumpitku lalu menyodorkannya kepada Hyukjae. Hyukjae membuka mulutnya dan menyeruput mie itu. Ia tersenyum memandangku sambil mengunyah mie nya.
"Kau hari ini super sok imut sekali," ujarku.
"Memang tidak boleh?" Jawab Hyukjae sambil mengunyah mie yang merupakan suapanb kesekian dariku.
"Kau tidak ingat umur?" Balasku. "Lihat orang-orang memperhatikanmu!"
Aku tidak bohong. Orang-orang memang memperhatikan kami.
"Mereka itu iri," sahut Hyukjae santai.
Setelah diperhatikan, Hyukjae memang ada benarnya. Orang-orang yang memperhatikan kami sambil cekikikan dan bisik-bisik dengan ekspresi iri.
Hyukjae mengambil cup ramen dari tanganku, "Sudah, kau makan punyamu."
Aku mengambil cup yang belum tersentuh yang terletak diantara aku dan Hyukjae. Aku mengaduk mie-ku lalu mulai memakannya. Tapi ada yang aneh yang aku rasakan. Bukan dari mie-nya, tapi dari sebelahku. Aku menoleh dan mendapati Hyukjae sedang memandangku lekat-lekat.
"Yah...!" Ujarku.
"Kau tahu tidak?" Potong Hyukjae. Aku memandangnya bertanya. "Aku mencintaimu," lanjutnya.
Dan sekali lagi wajahku memanas. Aku berusaha tidak memperdulikannya dan kembali memakan mie-ku. Hyukjae tertawa sambil mengelus-elus kepalaku.
Kami menghabiskan waktu hingga hampir sore di kebun binatang itu. Akhirnya kami keluar dan berjalan kembali menuju stasiun terdekat.
"Sekarang kita kemana?" Tanyaku.
Hyukjae mengangkat bahunya. Ia menarikku mendekati rute subway lagi.
"Aku..." Ujarku pelan. "Masih ingin bersamamu."
Hyukjae tidak menjawab. Tapi sekilas aku melihat perubahan ekspresinya sehingga aku tahu dia mendengarkanku. Aku menghela nafas, merasa selalu gagal untuk bersikap manja di depan Hyukjae.
"Kita nonton saja gimana?" Tanya Hyukjae. "Kita kan belum pernah nonton bareng. Kita ke Megabox saja."
Aku mengangguk. Hyukjae memimpinku masuk ke subway menuju COEX Mall, mall tempat dimana Megabox berada.
Beruntung subway yang kami naiki kali ini tidak penuh seperti sebelumnya. Aku dan Hyukjae duduk bersebelahan. Hyukjae tetap tidak melepaskan genggamannya dari tanganku. Sesekali ia memandang dan memain-mainkan tanganku seolah tanganku adalah benda begitu berharga baginya dan tidak akan dia lepaskan.
Aku memandangnya dengan bingung, "Ada yang salah ya dengan tanganku?"
Hyukjae tersenyum dan menggeleng, "Aku hanya terlalu bahagia bisa memilikimu sepenuhnya."
Wajahku memerah tapi aku berusaha mengendalikannya, "Kau tidak akan melepaskan aku?"
Hyukjae diam sejenak tetapi kemudian ia tersenyum tipis, "Iya."
"Sekalipun kau melepaskan aku, aku tidak akan melepaskanmu. Aku sudah berjanji pada IU eonni aku tidak akan meninggalkanmu dan selalu berjuang bersamamu," ujarku. Aku merasa wajahku semakin memanas setelah aku mengatakan itu.
Hyukjae tersenyum padaku, "Aku mencintaimu. Aku menyayangimu."
Aku hanya balas tersenyum.
Beberapa saat kemudian kami sampai di stasiun terdekat dari COEX Mall.
"Mau nonton apa?" Tanya Hyukjae ketika kami sudah sampai di Megabox, cinema terbesar di Seoul.
Aku memandang poster-poster film di hadapan kami dan mataku tertuju pada satu film drama yang sudah aku tunggu-tunggu, "Itu saja!"
Hyukjae mengikuti arah yang aku tunjuk, dan ekspresinya sedikit kecewa, "Drama?"
"Tidak suka ya?" Tanyaku.
"Ehm, suka kok," balas Hyukjae. Aku menyadari ia sedikit memaksakan senyumnya. "Ayo beli tiketnya."
Hyukjae memang tidak mengeluh karena pilihan film ku itu. Tapi setelah kami berada di dalam studio bioskop dan film sudah berjalan selama 45 menit, tiba-tiba kepala Hyukjae jatuh bersandar di bahuku.
Aku menoleh ke arahnya dan tersenyum tipis saat melihat dia sudah terlelap. Ia tertidur dengan masih memegang tanganku, walaupun tidak seerat sebelumnya. Aku menyadari tangan kami masing-masing sudah berkeringat karena berpegangan tangan seharian, tapi kami berdua seakan-akan sama-sama tidak perduli. Aku mempererat genggaman tangannya.
"Aku tidak tahu kau akan sebosan ini menonton film drama," bisikku. "Maaf ya."
Hyukjae tidak bereaksi. Aku tersenyum sambil kembali menonton film yang sedang diputar. Tentu saja dia tidak akan bereaksi. Dia terlihat sangat lelap.
"...tidak ingin pergi..."
Aku tertegun. Hyukjae bicara. Aku menoleh ke arah Hyukjae dan ia masih terlelap. Tetapi dalam cahaya remang-remang itu aku masih bisa melihat wajahnya yang gelisah. Bola matanya berputar kesana kemari di balik kelopaknya dan ia berkali-kali terlihat menelan ludah. Ia pasti sedang bermimpi buruk.
Aku mengusap-usap punggung tangannya, "Ssh... Ssh... Aku disini sayang," bisikku.
Untunglah ia menjadi sedikit lebih tenang.
Hyukjae terbangun 10 menit sebelum film habis. Ia minta maaf padaku tapi aku menolak ucapan maafnya karena akulah yang merasa bersalah.
"Kau tidak lapar?" Tanya Hyukjae setelah kami keluar dari Megabox. Ia melirik arlojinya. Sudah waktu makan malam.
"Lapar," jawabku. "Mau makan dimana?"
"Disitu saja yuk," ajak Hyukjae ke salah satu restoran sushi. Aku mengangguk.
Sambi memakan sushi yang aku pesan, aku memperhatikan ada yang berbeda dari laki-laki di hadapanku. Wajah Hyukjae tidak secerah sebelum kami menonton di bioskop. Ia menunduk seolah menyembunyikan ekspresinya sambil memakan sushi nya.
"Ada apa?" Tanyaku tiba-tiba yang langsung membuat Hyukjae mengangkat kepalanya. Ia memandangku dengan senyum kembali menghiasi wajahnya.
"Hmm?" Sahutnya tak mengerti.
"Kelihatannya ada yang kau pikirkan," ujarku. Aku memandangnya dengan cemas.
Sejenak Hyukjae memandangku dengan sebuah pandangan penuh arti yang tidak dapat aku mengerti. Namun kemudian dia tersenyum, "Aku tidak apa-apa."
Aku memutuskan tidak bertanya apa-apa lagi karena aku berpikir dia memang sedang tidak bisa berbagi tentang masalahnya. Aku melanjutkan makanku sambil sesekali melirik cemas kearahnya. Beberapa saat kemudian ia pamit ke toilet. Aku berusaha tidak berpikir yang aneh-aneh tentangnya dan berusaha tetap menjaga nafsu makanku.
"Lee Hyemin," panggil Hyukjae setelah beberapa saat ia duduk kembali di hadapanku setelah kembali dari toilet. Ia memandangku yang masih memakan sushi ku. Ia sendiri sudah menghabiskan bagiannya. "Apa yang akan kau lakukan tanpaku?"
Aku nyaris tersedak sushi ku. Aku memandangnya, "Apa maksudmu?"
"Aku hanya bertanya," jawabnya sambil tersenyum. "Just in case, aku tidak akan ada di hidupmu lagi, apa yang akan kau lakukan?"
Aku terkesima, "Kau tidak akan benar-benar meninggalkanku kan?"
Hyukjae tersenyum lebar memandangku dan memegang tanganku menenangkanku, "Apa kau pikir aku bisa hidup tanpamu?"
"Aku..." Jawabku pelan. "Aku tidak tahu apa yang akan aku lakukan."
Aku menunduk. Kami berdua diam sesaat. Hyukjae masih menggenggam tanganku.
"Kau tidak akan meninggalkanku kan?" Tanyaku lagi. Tiba-tiba aku merasa sangat takut.
Hyukjae hanya tersenyum dengan senyumannya yang selalu berhasil menenangkan aku. Ia menggenggam tanganku lebih erat. Aku sedikit lebih tenang. Hyukjae tidak bicara lagi setelahnya. Aku melanjutkan makanku tanpa selera. Aku merasa sangat gelisah akibat pertanyaan Hyukjae tadi.
Bahkan setelah kami keluar dari restoran sushi tersebut, kami hanya berjalan bergandengan tanpa suara.
"Kita kesitu yuk," ujar Hyukjae akhirnya. Ia menunjuk ke pintu masuk sebuah akuarium raksasa yang terdapat di COEX mall itu. Aku hanya mengangguk.
Akuarium raksasa itu berbentuk sebuah terowongan panjang yang diselimuti kaca dan dari dalam terowongan itu kita bisa melihat seluruh penghuni akuarium air laut itu. Malam itu hanya ada kami berdua yang berada di dalamnya. Ini sedikit aneh, namun aku tidak terlalu memikirkannya. Hyukjae dan aku berjalan perlahan menyusuri terowongan akuarium itu. Entah hanya perasaanku saja atau tidak, aku merasa pegangan tangan Hyukjae ke tanganku melonggar. Secara refleks, aku mempererat genggamanku.
"Lee Hyemin," panggil Hyukjae. Ia berhenti di tengah terowongan itu. Ia berdiri memandang isi akuarium di sampingnya. Aku ikut berdiri di sebelahnya. Beberapa ikan berenang di balik kaca di depan kami.
"Hmmm?" Sahutku.
"Apa aku sudah pernah bilang kau cantik sekali?" Tanya Hyukjae.
Wajahku memerah, "Apa sih..."
Hyukjae tersenyum. Aku merasa ia kembali mempererat genggaman tangannya, "Apa aku sudah pernah bilang kau wanita paling cantik di mataku?"
"Hyukjae..." Rengekku. Wajahku pasti sudah sangat merah.
Hyukjae melepas genggaman tangannya. Sesaat aku memandangnya dengan bingung. Ia kembali memandangku dengan satu pandangan penuh arti yang tak aku pahami. Dan tiba-tiba ia memelukku.
"H-hyu-hyukjae..." Ujarku pelan.
Hyukjae diam saja. Ia masih memelukku. Aku merasa ini adalah pelukan paling erat yang pernah aku rasakan. Ragu-ragu aku mengangkat tanganku hendak mengusap punggungnya. Akhirnya aku melakukannya amat perlahan-lahan. Dan tiba-tiba aku merasakannya. Tubuh Hyukjae gemetar.
"Hyukjae...?" Panggilku. Aku berusaha melepaskan pelukan Hyukjae untuk melihat ekspresinya tapi ia malah mempererat pelukannya.
"Tetap begini," ujar Hyukjae parau. "Tetaplah begini."
Bingung, aku mengusap-usap kembali punggung Hyukjae. Beberapa menit kami berdua diam. Aku masih merasakan tubuh Hyukjae yang bergetar perlahan di pelukanku.
"Aku menyayangimu, Lee Hyemin," ujar Hyukjae.
"Aku tahu, tapi..."
Hyukjae melepas pelukannya lalu memandangku. Ada senyum di bibirnya tapi aku yakin ada sisa-sisa air mata yang baru dihapusnya, "Kalau aku meminta sesuatu padamu, apakah kau akan melakukannya?"
Aku bingung, "Apa? Minta apa?"
"Apapun. Kau akan melakukannya demi aku atau tidak?" Hyukjae mendesakku.
Dengan ragu-ragu aku mengangguk.
"Baik," Hyukjae menarik nafasnya. "Kalau begitu, berjanjilah untuk tetap berdiri disini setelah aku selesai bicara denganmu."
"A-apa?" Tanyaku bingung.
"Berjanjilah padaku kau tidak akan pergi kemana-mana, dan kau harus mempercayai ucapan orang yang akan kau temui pertama kali setelah ini. Apapun yang dia katakan kau harus mempercayainya dan kau harus menurutinya,"
"Hyukjae," kataku putus asa. "Ini permainan apa? Tidak lucu!"
"Berjanjilah untukku, Lee Hyemin," pinta Hyukjae lirih. Dan aku tidak sanggup menolaknya.
Aku memandangnya dengan bingung. Sangat bingung. Tapi toh akhirnya aku mengangguk.
"Terimakasih, Hyemin," Hyukjae mengecup keningku. "Tetaplah disini."
Aku terpaku melihat Hyukjae berjalan meninggalkanku. Menjauhiku.
"Lee Hyukjae...." Aku melangkahkan kakiku.
Hyukjae menoleh, "Hyemin, kau sudah berjanji."
Apa ini? Janji macam apa yang barusan aku lakukan? Hyukjae akan pergi kemana? Kenapa aku ditinggal disini sendiri? Kenapa aku harus tetap disini? Siapa orang yang akan aku temui yang Hyukjae bilang padaku? Kenapa aku harus melakukan semua ini?
Hyukjae memandangku dengan pandangan memohon dan aku tidak bisa melakukan apapun selain menyetujuinya. Perlahan Hyukjae membalikkan badannya dan berjalan pergi menjauhiku.
Aku terdiam. Apa yang harus aku lakukan? Aku ingin sekali mengejarnya tapi di sisi lain aku merasa sudah berjanji padanya dan aku tidak bisa mengingkarinya. Aku ingin sekali memanggil namanya tapi lidahku kelu saking bingungnya aku. Hyukjae menghilang keluar dari terowongan akuarium itu.
Satu menit... Dua menit... Tiga menit...
Tidak ada satu orangpun yang masuk ke dalam terowongan itu. Hingga 10 menit aku menunggu dan sama sekali tidak ada orang disana. Hyukjae juga tidak kembali. Aku mulai takut. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Aku tidak tahu apa tujuanku berdiri disini. Dadaku terasa mau meledak, kepalaku sakit akibat terlalu bingung dan terlalu banyak berpikir.
Aku berjongkok dan mulai tersedu sambil memeluk lututku, "Hyukjae apa yang kau lakukan padaku...?"
Tiba-tiba bahuku dipegang. Aku menoleh dan tertegun melihat orang yang ada disampingku. Ia meraih tanganku dan menarikku berdiri.
"Ayo pergi," ujar laki-laki itu. Nichkhun Horvejkul.
*****