[fanfic] ViViD: Cause I’m A Vampire Episode One : First Day

Feb 08, 2011 16:11

TITLE : Cause I’m A Vampire (Chaptered)

Fandom : ViViD and Alice Nine (Tora and Shou)

Language : Bahasa Indonesia

Genre : General

Warning : AU, OOC, slight boy and boy, inspired by PV 69-II by ViViD, RH Plus tv series and Neo Genesis vol. 44 back cover.

[PROLOG]

[EPISODE ONE] Cause I’m a Vampire: First Day

Shin menggeliat. Dia tidak suka kalau matanya terkena cahaya. Maka dengan kesal dan bergumam-gumam tidak jelas, Shin menarik selimutnya lebih tinggi. Dia berguling dan bersiap tidur lagi ketika mendengar suara.

“Sudah siang. Ayo bangun. Nanti kau terlambat ke sekolah.”

Shin membuka matanya lebar-lebar di balik selimut. Dia kenal suara itu. Perlahan diturunkannya selimut dari wajahnya dan ditatapnya sesosok tinggi yang sedang berdiri di samping jendela, menyibakkan gorden dan membuat sinar mentari pagi menyeruak masuk.

“Jangan kira kau tinggal di sini hanya untuk tidur sepanjang waktu. Kau tetap harus berangkat ke sekolah,” Shou melipat tangan di dadanya. “Aku tahu kau tak menyukai sekolah. Dan aku tahu kau tak punya teman di sekolah. Tapi... kau tidak mengidap anti-social syndrome ataupun kelainan lain seperti empat bocah di rumah ini. Jadi... kau tetap pergi ke sekolah.”

Shin mengerjap-ngerjapkan matanya, sebagian karena silau sebagian lagi karena berusaha memahami situasi.

Shou mengulas senyum saat melihat ekspresi bengong Shin. “Ohayou...”

“Euh...” Akhirnya Shin menemukan suaranya. “Anooo... bukannya aku tidak mau sekolah tapi... seragamku... buku pelajaranku... dan semua perlengkapanku... tertinggal di-” Shin memutus kalimatnya saat dilihatnya mata kanan Shou-yang tidak tertutup patch-mengerling ke sudut kamar.

Dan Shin terkejut menemukan 2 tas berukuran sedang yang sangat dikenalnya.

“Eh? Kok? Ba-bagaim-”

“OHAYOU, SHINCHAN!!” Sebuah teriakan dan bunyi bedebum keras disertai hentakan di kasur membuat Shin menelan kalimatnya.

“Ko-ki! Berapa kali kubilang, jangan melompat ke atas kasur! Ingat, badanmu itu berat!” Shou berkata keras dan tegas.

Ko-ki-berlutut di ujung tempat tidur Shin-nyengir lebar. “Tidak apa-apa kok,” katanya polos. “Nanti Tora-sama yang akan memperbaikinya.”

“Dia tidak akan melakukannya lagi. Alih-alih membetulkan barang yang kaurusakkan, kurasa dia akan menggantung terbalik tubuhmu di kamar atas. Lagipula... sepertinya kau sudah membuat jantung Shin berhenti...”

Baik Shou maupun ko-ki, keduanya langsung menatap Shin yang tampak seperti manekin. Shin tampak sangat terkejut. Wajahnya kaku. Tubuhnya kaku.

“Shinchan?” panggil ko-ki khawatir. “Shinchan, daijoubu? Nyaaaaa..... gomen nasaaaaaiiiii...!!!! Shou-yaaaannn, bagaimana iniiiii??? Shinchan matiiiiii!!!”

Menanggapi kepanikan ko-ki, Shou cuma mengangkat bahunya lalu meleos pergi.

“Nyaaa.... Shou-yaaan, jangan pergiiiiiii!!!” ko-ki sudah bersiap melompat dari atas kasur dan menyusul Shou ketika tangan Shin mencengkeram lengannya. Spontan dia menjerit keras. Jeritan itu mengundang teriakan dari ruang lain.

“KO-KI, BERISIK!!!!” suara Tora.

“Shinchan kau masih hidup?” ko-ki bertanya takut-takut.

Shin menarik napas dalam. “Jangan... lakukan... itu... lagi...”

“Apa? Lakukan apa?” ko-ki bertanya polos.

Sekali lagi Shin menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. “Melompat ke kasurku sambil berteriak. Kau... membuatku hampir mati...”

Mendengar kalimat Shin, ko-ki nyengir lebar. Ia kembali nangkring di atas kasur, menatap Shin penuh minat. “Benarkah? Bagaimana rasanya?”

“Rasa apa?”

“Rasanya hampir mati?”

“Eh? Itu...”

“Kalian tidak mau sarapan?” Shou muncul di ambang pintu sembari mengetuk-ngetukkan ujung tongkatnya dengan tidak sabar.

“Ah iyaaaa!! Aku kan ke sini mau mengajakmu sarapan!” ko-ki menggenggam kedua tangan Shin, menariknya turun dari kasur, membuat Shin hampir terjungkal karena belum siap berpindah tempat.

“Sarapan hari ini istimewa. Shou masak! Biasanya dia tidak mau masak. Kalau dia masak berarti ada yang spesial. Kau tahu? Katanya katanya untuk menyambutmu! Makanya...”

“ko-ki...”

“Ya?”

“Kau menyakitinya.” Shou mengerling pada Shin yang meringis kesakitan. Spontan ko-ki melepas genggamannya.

“Maaf! Aku selalu lupa kalau aku ini sangat kuat!” serunya.

Shin nyengir hambar. Dia kembali meragu. Benarkah keputusannya untuk tinggal di rumah ini? Bahagiakah ia nanti? Nyamankah? Rumah ini berisi makhluk-makhluk aneh.

Shin sedang mengelus pergelangan tangannya yang sakit saat pandangannya bertemu dengan mata Shou. Shou tak mengatakan apa-apa tapi Shin merasakan sesuatu di dadanya. Sesuatu yang ringan. Entah apa. Tanpa canggung, ia mengekor Shou menuju ruangan yang disebut ruang makan. Ko-ki sudah melesat ke sana sejak tadi.

“Kau duduk di sebelah Tora,” Shou menunjuk kursi kosong di antara Tora dan Iv.

Iv cuma ada satu. Shin mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan. Semuanya berkumpul mengelilingi meja bundar besar. Tapi Iv cuma satu. Sedikit ragu, Shin mendudukkan dirinya di kursi itu. Ia mengulas senyum, menyapa Tora yang dibalas dengan anggukan singkat. Melakukan hal yang sama pada Iv. Iv cuma mengerling datar lalu kembali asyik mengaduk scramble egg di piringnya sementara ko-ki mencubit pipi kanannya.

“Bagaimana rasanya?” ko-ki berbisik di telinga Shin. Ia menjulurkan tubuhnya melewati punggung Iv.

“Ra-rasa apa?” Shin balas berbisik.

“Tentu saja rasa makanannya!”

“E-enak...” Shin mengulas senyum sembari menggigit ujung garpunya. “Kau yakin Shou yang masak?”

Ko-ki mengangguk mantap. “Biasanya Tora-sama yang masak. Kenapa? Enak sekali ya? Euuhh... masakan Tora-sama juga enak kok...” Ko-ki buru-buru menambahkan saat sudut matanya menangkap kerlingan Tora yang duduk di sebelah Shin.

“Hmmm...” Shin masih mengulum ujung garpu. Daging panggang ini benar-benar enak. Dia tak pernah bermimpi akan sarapan dengan makanan seperti itu.

“Mukamu seperti belum pernah makan makanan enak,” komentar ko-ki sembari menatap wajah Shin dari berbagai sudut.

“Err...” Shin mengeluarkan garpu dari mulutnya. Tiba-tiba saja ia merasa sangat malu. “Sebenarnya aku jarang makan.”

Ko-ki sudah siap bicara lagi ketika suara Shou terdengar. “Ko-ki, duduk yang betul. Dan Shin, cepat habiskan makananmu. Kau akan terlambat ke sekolah.”

“Kenapa... dia harus sekolah?” Ryoga yang bicara. Dia mengangkat pisau makannya dan menunjuk Shin dengan benda itu.

“Karena dia memang masih sekolah,” jawab Shou tenang.

“Kau tidak khawatir dia akan mengacau? Atau merusakkan sesuatu?”

“Dia bukan kau. Atau ko-ki.”

“Kau menyinggungku,” Ryoga mengarahkan pisaunya pada Shou. Di seberangnya ko-ki cemberut.

Shou mengulas senyum. “Maaf,” katanya lembut. “Seperti apapun kalian, aku tetap menyayangi kalian.”

Kalimat Shou membentuk segaris seringai di wajah Ryoga dan cengiran lebar di wajah ko-ki. Shin mencoba tak terlalu memperhatikan. Ia berusaha menghabiskan sarapannya yang-yang SANGAT enak. Sementara baik Reno maupun Iv, tak seorang pun peduli, keduanya asyik dengan makanannya. Akh tidak, Iv asyik mengaduk scrambble egg-nya tanpa sedikit pun memakannya.

“Ne, Tora, bisakah kau mengantar Shin sampai jalan raya? Dari sana biarkan ia berangkat sendiri,” kata Shou.

Shin menelan potongan daging terakhirnya secepatnya. Namun, ketika ia siap membuka mulut untuk memprotes Shou, ko-ki sudah mendahului.

“Aku ikut ya? Ya? Yayayayaya? Aku mau lihat sekolah Shin!” ko-ki bahkan berdiri dari duduknya untuk memberi Shou tatapan memohon yang sangat manis.

Shou mengarahkan mata kanannya pada ko-ki yang masih memasang tampak memohon. Dia mengulas senyum. “Di luar sangat panas, ko-ki...”

“Kan naik mobil Tora-sama...” kilah ko-ki. “Aku ikut yaaaaaa....”

“Kau sangat tertarik padanya ya?” Iv bicara dengan suara pelan namun cukup membuat semua mata-kecuali Reno-memandangnya. Iv sangat pendiam. Jadi mendengarnya bicara adalah hal yang langka.

Ko-ki mengalihkan tatapannya dari Shou ke Iv-yang masih mengaduk scramble egg-nya. “Tidak koookkk... Aku masih lebih suka Ipu.” Ko-ki memeluk leher Iv dengan riang. Iv sama sekali tak bereaksi.

“Aa~ aku berangkat sendiri saja...” Akhirnya Shin mampu mengucapkan pendapatnya. “Tidak terlalu jauh kok. Lagipula... aku suka jalan kaki...”

Shou melipat tangan di dada. “Tora akan mengantarmu,” katanya jelas dan tegas.

“Aku akan berangkat sendiri,” Shin bersikeras. “Kau bilang... aku mendapatkan kebebasanku di sini...”

Shou menarik satu ujung bibirnya. “Hahaha... aku hampir saja melupakannya. Baiklah. Kau boleh berangkat sendiri.”

^_^

Ko-ki menarik ujung dasi keemasan Shin. Matanya menatap penuh minat.

“Kau... masih menginginkannya?” tanya Shin.

Ko-ki mengangkat kepalanya. Mata magentanya menatap dengan rasa ingin tergambar jelas.

“Mau kubelikan?” tanya Shin lagi dan ko-ki mengangguk mantap. “Baiklah... Tunggu aku pulang sekolah ya... Eh, tapi... aku... tidak punya uang...”

Ko-ki menyipitkan matanya menatap Shin, tampak tak suka. Lalu... “Tora-sama... masa Shin tidak diberi uang saku? Kan kasihan kalau dia kelaparan di sekolah!”

Tora melipat tangan di dada, menatap ko-ki dengan malas lalu beralih pada Shin. “Ada di tasmu. Itu uang sakumu selama seminggu. Gunakan dengan baik. Jangan dibelanjakan untuk barang yang tak penting,” kata Tora.

Shin membuka tasnya dan menemukan sebuah dompet kulit berwarna hitam yang penuh oleh lembaran yen. Shin menatap takjub dengan tangan gemetar. Uangnya banyak. Terlalu banyak.

“I-ini... terlalu banyak...” katanya sembari menyodorkan dompet ke arah Tora.

“Itu untuk satu minggu,” kata Tora jelas.

“I-iya tapi...”

“Kau akan terlambat kalau tidak berangkat sekarang,” Shou berkata sembari mengambil dompet dari tangan Shin dan memasukkannya ke dalam tas Shin. Lalu membuka pintu depan, dan berdiri di sampingnya.

Shin melangkah dengan ragu. Ia merasa aneh dengan situasi ini. Seumur hidupnya belum pernah ia pergi ke sekolah dengan diantarkan sampai pintu depan. Matanya melirik Tora yang berdiri malas di samping pintu menuju ruang dalam. Samar, dilihatnya Iv bersandar ke selasar tangga. Reno duduk di kursi kebesarannya sembari topang kaki. Sementara Ryoga berdiri di samping kursi Reno, satu tangannya iseng menjawil rambut Reno yang langsung dibalas dengan kepalan tangan menuju wajah, sayang Ryoga keburu berpindah tempat. Ko-ki bergelayut di lengan Shou sembari nyengir lebar. “Jangan lupa. Dasinya,” katanya riang.

Shin mengulas senyum. “Aku tak akan lupa,” katanya. “Ittekimasu...”

“Itterasshai...” Hanya Shou dan ko-ki yang membalas salamnya tapi itu cukup untuk membuat Shin melangkah dengan ringan dan bahagia.

Shin tidak menyukai sekolah. Sebenarnya ia ingin menolak pergi ke sekolah dan tetap berdiam di rumah bersama yang lain. Mungkin akan menyenangkan kalau bisa bermain dengan ko-ki seharian. Di mata Shin, ko-ki anak yang menyenangkan. Meskipun rasa ingin tahunya yang aneh sempat membuat Shin jengah. Tapi... berangkat ke sekolah dengan perut penuh dan perasaan senang adalah hal yang sangat langka.

Kejadian semalam terulang kembali di benak Shin. Ia masih tak paham kenapa ia memanggil Shou dengan sebutan ayah. Ia bahkan  tak tahu ayah itu yang seperti apa. Yang pasti, ia terpesona pada senyum Shou. Shou memperkenalkan pria yang duduk di tempat tidur bersamanya. Tora. Sahabatnya. Butlernya yang setia. Dan setelah mengangguk hormat pada Tora, tangannya ditarik ko-ki. Ko-ki memang mungil tapi tangannya penuh tenaga. Shin menarik lengan gakuran-nya, mengelus perlahan pergelangan tangannya. Kulitnya masih memerah. Dalam waktu kurang dari 24 jam, ko-ki sudah mencengkeramnya sebanyak tiga kali. Dia tahu ko-ki tak bermaksud buruk, hanya saja, genggamannya terlalu kuat.

Tapi, sekuat apapun ko-ki, bagi Shin dia masih anak-anak. Maka setelah mengantar Shin ke kamarnya-dan setelah Shin selesai terpana melihat betapa luas dan mewahnya ruangan yang akan menjadi kamar tidurnya itu-ko-ki menagih janji Shin untuk menceritakan tentang sekolahnya. Tak ada yang menarik dan menyenangkan dari kehidupan sekolahnya, tapi Shin memenuhi janjinya. Pada akhirnya, dia bahkan tidak cuma bercerita tentang sekolahnya, tapi juga tentang tawaran Shou, tentang betapa terpesonanya ia pada senyum Shou-yang dikomentari dengan “Senyum Shou memang magic! Aku juga suka!” secara antusias oleh ko-ki, dan perjalanannya menemui Shou. Ko-ki berdecak kagum saat Shin bilang Reno menyuruhnya duduk di kursinya. “Itu bisa berarti dua hal,” kata ko-ki sembari mengacungkan dua jarinya. “Satu, dia menyukaimu. Dua, dia sedang mencari celah untuk menyakitimu.”

Selanjutnya, ko-ki menceritakan tentang orang-orang di rumah ini. Tentang Shou, vampire bermata satu yang aneh, yang sering menghilang tiba-tiba dan kembali dengan seseorang bersamanya. Ko-ki adalah anak pertama yang dibawa Shou ke rumah besarnya, jadi dia tahu banyak hal. Ko-ki sering ribut dengan Tora karena karakter mereka yang bertolak belakang. Tapi Tora tak pernah benar-benar marah pada ko-ki dan ko-ki tak pernah benar-benar berniat mengisengi Tora.

Ko-ki bilang Reno sama pendiamnya dengan Iv. Tapi dia juga sama cerewetnya dengan ko-ki. Penjelasan ko-ki sempat membuat Shin bingung. Mana ada orang pendiam sekaligus cerewet? Tapi ko-ki cuma nyengir saat Shin bertanya heran. “Suatu saat nanti kau akan tahu,” katanya. Dan Ryoga sangat suka menjahili orang. Tapi ia lebih suka bermain dalam dunianya sendiri, dunia dengan kecepatan di atas normal. Dan Iv, ko-ki mengangkat bahu saat menyebut nama Iv. Dia bilang cuma dirinya yang memahami Iv.

Mereka mengobrol sampai jam dinding besar di ruang tengah berbunyi sebanyak tiga kali. Setelah itu ko-ki pergi ke kamarnya, entah di mana Shin tak tahu. Dan Shin berguling nyaman di tempat tidur barunya yang luar biasa empuk.

Gerbang sekolahnya sudah terlihat. Shin berhenti berjalan. Ditatapnya gerbang itu sesaat. “Hidupku akan berubah,” gumamnya. “Rumah itu berisi makhluk-makhluk aneh. Tapi... aku juga makhluk aneh... Maka dari itu...” Shin melangkah dengan mantap. Hari ini untuk pertama kalinya Shin bersyukur pernah hidup.

vivid fics, alice nine fics

Previous post Next post
Up