Feb 20, 2008 16:55
Charades* +part 4+
Fanfic by Mizuno
Rating about PG-15… constant huh?
-----ATTENTION------------------------------
(*cha•rades [noun] guessing game: a game in which somebody provides a visual or acted clue for a word or phrase, often the title of a book, play, or movie, for others to guess)
yosha, it’s chap 4 finally~ Me diburu banyak org “kpn u post lagi?” and me berakhir dgn mesem2 karena PR fic me buanyak jadiny!! Yosha, ganbatte!!
For some hint, I use Charades as a title ‘coz you can see in the fic that Jin behaves as he always acts to hide his own personality. I found the word ‘charades’ explain his situation better than ‘poker face’ since it means ‘expressionless’. Jin showed many emotions even he is acting, right?
Well pardon my bad English and just enjoy this fic… I hope u all love it… I will wait for the comments… ^^
------------------------------------------------
CHAPTER FOUR~BEGINNING OF THE STORM
Dia berlari…
Paru - parunya berteriak meminta udara, kakinya sudah mati rasa karena terlalu lelah. Nafasnya yang memburu membuat hidung dan kerongkongannya sakit, keringat dingin dan air matanya membanjir bersatu dalam curahan hujan dingin yang turun tanpa henti. Sesekali petir menyambar di kejauhan, membuatnya memekik kecil.
Tapi dia terus berlari.
Menyusuri jalan setapak dari aspal hitam mulus, dgn pola paving blok melingkar - lingkar berwarna cerah pada sisi jalannya. Komplek rumah - rumah mewah yang besar bagaikan istana itu tampak begitu kontras dengan baju pudarnya. Dia seperti pengemis yang terdampar, sementara hujan itu membuatnya lebih buruk karena dia terlihat begitu menyedihkan dalam harmoni itu.
Baju pudar, tubuh ringkih yang kurus, rambut acak - acakan, raut wajah lelah akan hidup yang tidak pantas dimiliki anak seusianya… Apa lagi yang bisa membuat nasib buruknya lebih buruk lagi ?
Akhirnya dia berhenti di depan sebuah rumah megah. Rumah terbesar dan tercantik yang pernah dilihatnya. Dinding putih dingin seperti pualam, dengan taman yang teduh, tembok yang tinggi, pagar berukir halus… Rumah itu tampak seperti rumah dalam dongeng, tapi aura rumah itu membuat hatinya ciut.
Dia berdiri di depan pagar tanpa suara. Semua suaranya tercekat, menggantung di ujung lidahnya tanpa bisa mengeluarkan isi hatinya. Dia hanya anak kecil usia tujuh tahun…
Dengan tangan gemetaran karena lapar dan kedinginan, Jin menekan tombol merah kecil di dekat pagar. Suara bel berdentang riang dan lembut, kontras dengan jantungnya yang berdebar gelisah.
Dia menggigit bibirnya ketika seorang pria keluar dengan memegang sebuah payung besar, menggerutu seraya mendekatinya di batas pagar, “ Siapa kamu ? “
Jin merasa begitu terluka mendapat tatapan dingin yang menghina itu. Ayahnya menatapnya jijik seperti melihat kecoak…atau mungkin lebih rendah daripada itu ?
“ Ano… “ Jin mengumpulkan seluruh keberaniannya dan mengangkat wajahnya, “ Namaku Akanishi Jin “
Raut wajah pria itu berubah. Bukan menjadi lebih lembut karena melihat putra yang ditinggalkannya saat masih berupa bayi merah. Alih - alih demikian, wajah pria itu mengeras dengan ekspresi terganggu yang tampak jelas.
“ Mau apa kau di sini ? “
Jin merasakan hatinya patah dan hancur berkeping - keping. Digigitnya bibirnya yang pucat. Dalam lubuk hatinya dia tahu ayahnya tidak akan pernah menyambutnya dengan gembira, dengan senyum di wajah, atau akan memeluknya dengan lembut. Dia sedikit berharap, tapi harapan itu padam ketika melihat ekspresi di wajah ayahnya. Tapi dia tidak punya alasan untuk kecewa berlama - lama. Ada alasan sebenarnya kenapa dia sampai mendatangi ayahnya malam - malam begini.
“ Okasan… sedang sekarat di rumah sakit “ Jin menatap pria itu dengan sayu.
“ Aku tidak peduli “
“ Tapi…dia bisa mati ! “
“ Apa peduliku ? “ Pria itu mendesis dingin, “ Dengar Nak, jangan pernah berpikir aku akan menyayangimu walaupun kau memang putraku. Kau hanya masa laluku yang telah kutinggalkan, bersama dengan ibumu. Sekarang aku punya kehidupanku sendiri “
Jin mengerjab tidak percaya. Namun dia membuang seluruh sisa harga dirinya, “ Aku hanya butuh uang… Okasan perlu dioperasi “
Keheningan yang menyiksa tercipta sejenak di antara mereka sebelum akhirnya pria itu bertanya, “ Berapa ? “
Jin menyebutkan jumlahnya, dan pria itu membuka dompetnya dan mengambil buku cek kecil. Ditulisinya cek itu, lalu dilemparkannya ke wajah Jin. “ Jumlahnya tepat seperti yang kau minta. Mulai saat ini jangan pernah ganggu aku lagi “
Bersamaan dengan itu, pintu teras terbuka. Wanita yang dilihatnya bersama ayahnya di taman itu keluar, “ Anata ? Siapa yang datang ? “
“ Bukan siapa - siapa “ Ayahnya menjawab, “ Hanya anak kecil yang tersesat “
BUKAN SIAPA - SIAPA…
“ Di tengah hujan begini ? Suruh saja dia masuk “
“ Tidak perlu. Dia akan segera pergi. Lapipula dia hanya pengemis kotor “
ANAK KECIL YANG TERSESAT…
PENGEMIS KOTOR ?
“ Aku permisi “ Jin memungut cek itu dan segera berlari pergi. Air matanya kembali mengalir. Hatinya sakit, jiwanya terluka… Tapi setidaknya dia berhasil mendapatkan uang untuk operasi ibunya.
Dengan langkah gontai dia masuk ke lobi rumah sakit dan menuju meja administrasi. Suster Kyoko yang mengenalnya bergegas menghampirinya, “ Jin-kun ? Dari mana kau ? “
“ Ini “ Jin mengulurkan cek basah itu, “ Uang. Untuk operasi okasan “
Sejenak air muka Suster Kyoko berubah, tampak terpukul. “ Ne, Jin… Maaf “
Jin binggung ketika suster itu memeluk dan menangis, “ Suster Kyoko ? Kenapa ? “
“ Uang itu sudah tidak berarti lagi sekarang “
“ He ? Nande ? “
Sesaat kemudian, dia menangkap maksud perkataannya. Dengan wajah shock tidak percaya, dia melepaskan dirinya dan berlari ke kamar ibunya. Alih - alih mendapati ibunya duduk di tepi jendela dan tersenyum padanya, hanya ada tempat tidur kosong. Dengan karangan bunga di atasnya.
Jin merosot jatuh di lantai, “ Tidaaaaaakkkkk!!! “
Dengan air mata bercucuran dan hati penuh dendam, dirobeknya cek basah itu kecil - kecil sampai tidak berbentuk lagi.
“ Ne, Jin… Berjanjilah satu hal padaku “ Perkataan ibunya terngiang - ngiang, “ Jadilah anak yang kuat, yang pintar, yang superior… Buat ayahmu menyesal telah meninggalkan kita “
“ Jin ? “ Suster Kyoko yang berhasil mengejarnya memandangnya cemas. Dia terkejut mendapati wajah keras penuh dendam di sana, “ Jin… “
“ Aku akan membalas dendam “
***
Hujan turun dengan deras di luar sana. Bertumpu pada jendela, Jin duduk memandangi hujan yang turun. Hujan yang deras, sama seperti kejadian malam itu. Langit kelam tanpa bintang, hanya gelap dan gelap yang mewarnai langit seperti noda tinta hitam besar yang tidak bisa dihapus.
“ Jin ? “
Jin berpaling, mendapati Kame di dekatnya. Pemuda yang lebih muda itu mengenakan piyamanya yang kebesaran, beberapa sisinya tampak menggantung dan merosot. Wangi sabun dan aroma manis shampo tercium lembut, terpancar dari Kame yang baru saja selesai mandi.
“ Ayo makan “
Jin menggandeng pemuda itu ke ruang tengah dan mendudukkannya di sofa. Dia beranjak ke dapur dan membawa makan malam mereka dalam nampan besar. Diletakkannya dua piring pasta, dua mangkuk pot-au-feu dan dan dua gelas jus jeruk. Aroma yang lezat memenuhi udara, menerbitkan air liur Kame.
“ Ini kau yang masak…? “
“ Tentu saja, memangnya siapa lagi ? “
“ Heeee… Oishiiii!!! “ Kame berbinar gembira. Mulutnya penuh dengan pasta itu, persis seperti anak kecil. Jin tersenyum, beban berat di hatinya lenyap melihat pemuda itu begitu ceria. Jin mengulurkan jarinya, “ Nempel tuh “
Disekanya sudut bibir Kame dengan ibu jarinya, membuat pemuda itu langsung tersipu dengan wajah memerah. Kame merasakan aliran listrik mengalir dengan sensasi meledak - ledak saat jemari Jin menyentuh wajahnya. Matanya lekat menatap Jin yang kemudian menjilat krim pasta di jarinya itu.
“ Aku bikin banyak ! Makanlah sepuasmu, Kazu-chan “
Kame mengangguk kaku, hatinya berdebar dengan sensasi yang tidak dikenalnya. Apakah karena mimpinya tadi ? Kame merasakan pipinya kembali memerah teringat akan mimpinya tadi.
“ Kazuya…”
Kame tercekat, mendapati Jin memeluknya dengan lembut. Perlahan - lahan pemuda yang lebih tua itu menyentuh bibirnya dengan jemarinya, bersamaan dengan mengangkat dagunya lembut, tapi penuh dengan aura yang mendominasi.
Lewat bola mata Jin, Kame dapat melihat bayangannya sendiri memandangi sosok di hadapannya dengan mata redup dan wajah yang meminta tindakan lebih jauh. Dan Jin menunduk, menciumnya dengan begitu lembut seperti elusan sayap kupu - kupu…
“ Mau tambah ? “ Ucapan Jin menyentakkannya dari lamunan. Kame cepat - cepat mengangguk. Dengan gembira Jin mengisi piring Kame, “ Aku senang bisa makan dengan seseorang seperti ini… Sudah lama sekali aku hanya makan sendirian “
“ Heee… nande ? “
“ Aku kan hidup sendiri “
“ Orang tuamu ? “
“ Aku hanya punya ibu. Dia sudah meninggal karena sakit saat aku berumur tujuh tahun “
“ Gomen… “ Kame mengigit bibirnya dengan rasa bersalah.
“ It’s ok ! Sudah lama sekali kok “ Jin menepuk Kazuya lembut, “ Sisi terangnya, aku jadi pandai memasak “
Kame tersenyum.
“ Oishi ? “ Jin bertanya. Kame mengangguk, “ Oishiii desu~ “
***
Selesai makan, Jin melanjutkan kembali pelajaran mereka. Kame sibuk menghitung angka - angka dengan kertas buram, bibirnya cemberut dengan kening berkerut.
“ Stop that expression “ Jin menekan kening Kame, “ Jangan stres begitu ! Ini hanya latihan, jadi jangan berwajah seperti mau mati begitu “
“ I hate this… “ Kame mengeluh dengan nada manja. Jin menjitaknya pelan, “ Latihan ! Jangan pakai alasan tidak suka untuk berhenti belajar “
“ Hidoi “
“ Daripada itu, kau yakin tidak mau menelepon rumahmu ? “
“ Tidak perlu “ Kame menjawab tanpa mengangkat wajahnya dari buku, “ Mereka tidak akan peduli “
“ Mereka ? “
“ Orang tuaku. Ayah yang selalu berada di kantor atau perjalanan bisnis… Sekalipun dia di rumah, dia akan menatapku seperti pecundang. Dengan ibu yang membaktikan seluruh hidupnya untuk ayah, tapi sama sekali tidak mau mengerti aku. Menyebalkan “ Kame mengeluarkan isi hatinya dengan nada terluka, “ Mereka memaksakan masa depanku tanpa meminta pendapatku sama sekali. Aku benci mereka “
“ That’s why you hate to study ? “
“ Kind of… Aku tidak tertarik pada kedokteran “ Kame menghela nafas, “ Aku selalu ingin menjadi seorang entertainer, tapi ayahku mengecamnya “
“ Entertainer ? “
“ Aku suka berakting “ Kame menjawab, lega bisa mengatakan hal itu pada seseorang, “ Aku juga suka bernyanyi. Aku senang tampil di depan banyak orang dan menghibur mereka. Tapi itu tidak akan diijinkan oleh ayahku “
“ Ne, Kazu-chan… “
“ Ya ? “
“ Nyanyikanlah satu lagu untukku “
Kame tersenyum gembira. Perlahan dia membasahi bibirnya dan mulai bernyanyi.
Saki no koto dorehodo ni kangaete itemo
Hontou no koto nante dare ni mo mienai
Kuuhaku? Kokoro ni nanika ga tsumatte
Ayamachi bakari kurikaeshiteta
Ippo zutsu de ii sa kono te wo hanasazu ni
Tomo ni ayunda hibi ga ikitsuzuketeru kara
Boroboro ni naru made hikisakarete itemo
Ano toki no ano basho kienai kono kizuna
Nagare yuku toki no naka ushinawanu you ni
Surechigai butsukatta hontou no kimochi
Kokoro ni shimiteku aitsu no omoi ni
Deaeta koto ga motometa kiseki
Tachidomaru koto sae dekinai kurushisa no
Naka ni mieta hikari tsunagatte iru kara
Uso tsuita tte ii sa namida nagashite ii kara
Ano tokiAno toki no ano basho kienai kono kizuna
Ippo zutsu de ii sa kono te wo hanasazu ni
Tomo ni ayunda hibi ga ikitsuzuketeru kara
Boroboro ni naru made hikisakarete itemo
Ano toki no ano basho kienai kono kizuna
----------------------
No matter how much we consider the future,
No one can see the truth.
Something is blocking my blank mind,
It's just a mistake that I've been repeating.
It's okay for my steps to continue, these hands have seperated.
Walking away from where you continue to live,
Until I become worn out I keep prolonging it
That time, that place, it will never disappear - this bond.
In time that flows, I try not to lose anything.
Passing by, we collided - true emotion
permeated my heart, into warm desires
The miracle I requested came about by chance.
Even when things couldn't stand still, amidst the pain,
I saw the light, because we were bound together.
It's okay if you lied, and it's okay to cry
That time, that place, it will never disappear - this bond.
It's okay for my steps to continue, these hands have seperated.
Walking away from where you continue to live,
Until I become worn out I keep prolonging it
That time, that place, it will never disappear - this bond…
“ How is it ? “
“ That’s really good, Kazu-chan “ Jin menatap Kame dengan sangat lembut, “ Kau benar - benar berbakat “
“ Thanks “
PIP PIP PIP…
Jin menatap jam yang menunjukkan pukul dua pagi. “ Kita harus tidur… “ Jin bangkit, “ Kau harus ke sekolah besok, bukan ? “
Kame mengangguk.
Jin masuk ke kamar, diikuti Kame yang agak ragu di belakangnya.
“ Takut apa ? “ Jin menarik tangannya, “ Sudahlah, ayo tidur. Besok kita bisa terlambat jika bangun kesiangan “
Jin menarik selimut dan meraih bantalnya, kemudian menepuk sisi tempat tidurnya yang masih kosong. Tempat tidur single itu agak sempit bagi mereka berdua, tapi cukup bila mereka berdua berdempetan.
“ Kazu-chan, kochi “
Seperti terhipnotis, Kame mengagguk dan menyusup ke balik selimut. Di luar, hujan masih turun dengan derasnya. Kame berdebar ketika lengan Jin merengkuhnya, menariknya dalam dekapannya yang hangat. Wangi tubuh Jin yang berbau rempah segar dan maskulin menghanyutkan segalanya. Kame menyandarkan wajahnya di dada Jin, menutup matanya dan perlahan terjatuh dalam mimpi.
Jin tersenyum melihat Kame yang telah tertidur dalam dekapannya. Perlahan dia mencium kening pemuda itu, “ Oyasumi nasai, Kazu-chan… Sleep tight “
Di luar, hujan masih terus turun. Petir masih terus menyambar…
Tapi dalam hatinya, Jin tahu, bahwa badai dalam dirinya telah perlahan mereda.
Tergantikan dengan pelangi yang tidak pernah muncul selama ini…
“…aishiteru “
-to be continued-
fanfic: charades