Charades +part 3+

Feb 20, 2008 16:54

Charades* +part 3+
Fanfic by Mizuno
Rating about PG-15… still..?

-----ATTENTION------------------------------------
(*cha•rades [noun] guessing game: a game in which somebody provides a visual or acted clue for a word or phrase, often the title of a book, play, or movie, for others to guess)

minna-san, here Charades part 3… I tried so hard to keep nasty things in my mind while I wrote this fic… yeah, since I wanted to keep this chapter still in PG-15 fufufufu… I want to keep Jin’s character mysterious and angst as kame charmed by it…   In the next next next… *endless echo* chapter, I will leveling the rating UP… but not now :devilaugh:

For some hint, I use Charades as a title ‘coz you can see in the fic that Jin behaves as he always acts to hide his own personality. I found the word ‘charades’ explain his situation better than ‘poker face’ since it means ‘expressionless’. Jin showed many emotions even he is acting, right?
Well pardon my bad English and just enjoy this fic… I hope u all love it… I will wait for the comments… ^^
-------------------------------------------------------

CHAPTER THREE~SEDUCING CHARM

“ Okasan…? “
Dia masuk ke kamar yang gelap gulita itu. Seperti biasa, ibunya yang cantik sedang duduk di dekat jendela, menatap kosong langit malam. Sinar bulan keperakan jatuh menembus jendela, membentuk pola salib - salib yang berhubungan di lantai. Dan ibunya yang bermandikan cahaya bulan tampak rapuh dan memukau seperti biasa.

“ Okasan… “
Ibunya menoleh. Tanpa mengucapkan sesuatu, ibunya mengulurkan satu tangannya, sebagai isyarat agar dia datang mendekat. Seperti malam - malam sebelumnya, ibunya memeluknya sambil terus menatap langit malam. Mata ibunya selalu basah dengan air mata, berkilau bak kristal cair yang bergulir di pipinya yang pucat.

“ Okasan, daijobu…? “ Dia mengulurkan tangannya, menyeka air mata ibunya. Ibunya mengangguk, tapi dia tahu ibunya berbohong… Kondisi ibunya terus menurun tiap harinya. Penyakit itu mengerogoti tubuh ibunya tanpa ampun, menyisakan malam - malam lain yang tinggal sedikit untuk mereka berdua…

“ Otosan tidak mau membantu kita, okasan ? “ Dia sempat mendengar dokter berbicara pada ibunya, mungkin dia bisa sembuh jika menjalani operasi. Sayangnya, operasi itu masih beresiko dan biayanya sangat mahal. Ibunya langsung menggeleng kuat - kuat. Dia terdiam, mengingat ekspresi wajah ibunya ketika tidak sengaja bertemu dengan ayahnya di taman. Ibunya langsung membatu dengan wajah pucat, sementara pria itu malah membuang muka dan mengiring seorang wanita yang sedang menggendong balita umur empat atau lima  tahun pergi dari taman itu.

Dia tahu itu ayahnya, karena ibunya masih menyimpan fotonya. Pria itu terlihat sangat kaya dengan jas mahal dan gaya kelas atas, wanita yang bersama ayahnya tampak seperti putri kaya di film - film. Pria itu meliriknya sekilas sebelum membuang mukanya sekali lagi. Ibunya langsung terduduk dan terisak…

“ Jangan pernah menyebut tentang ayahmu lagi “ Ibunya bergumam dengan suara bergetar, “ Dia meninggalkan kita untuk menjual dirinya pada keluarga kaya wanita itu “

Dia terdiam. Ibunya menyibak helaian rambut yang menutupi dahinya, “ Ne, Jin… Berjanjilah satu hal padaku “
“ Nani ? “
“ Jadilah anak yang kuat, yang pintar, yang superior… Buat ayahmu menyesal telah meninggalkan kita “
“ Hai “

…………………………………………
…………………………………………
“ … ”
“ …n… ”
“ …in…”
“ Jin…? Jin ? “
Jin mengerjab, tersadar dari lamunannya. Di hadapannya, Kame menatapnya heran. “ Kau baik - baik saja ? Kau tidak menyahut saat kupanggil - panggil “

Dengan cepat Jin tersenyum, “ Tadi aku tertidur “
“ He? Kau tertidur dengan mata terbuka ? “
Jin hanya membalas pertanyaan Kame dengan senyum simpulnya yang menggoda, “ Jangan banyak tanya “
Kame spontan memekik pelan ketika Jin melayangkan sebuah jitakan ke dahinya. Pemuda itu memprotes, “ Ittai ! “
“ Just shut up and ask what you didn’t know “
Kame merengut dengan pipi menggembung. Jin tidak bisa menahan senyumnya melihat ekspresi kekanakkan yang dianggapnya imut itu, “ Stop that pout “ Dia menusuk pipi kame dengan jarinya.

“ Yamette yo… Tolong berhenti memperlakukan aku seperti anak kecil “
“ Kalau begitu, berhentilah bertingkah seperti anak kecil “ Jin menyahut, “ Mana soal yang mau kau tanyakan ? “
“ Mmm… semuanya “
“ Sebodoh itukah kau ? “ Jin pura - pura terkejut, “ Ini kan soal standart untuk ujian masuk perguruan tinggi H ? “
“ Iya, tapi ini sama sekali belum pernah kupelajari…! “ Kame menunjuk kumpulan soal yang diberikan Jin, “ Bahkan di tempat kursus, soal - soal ini baru akan diajarkan bulan depan…!! “
“ Kau harus maju selangkah dari orang lain kalau mau berhasil “ Jin meraih pensil mekaniknya dan mengeluarkan kertas coretan, “ Sebenarnya soal - soal ini tidak rumit… “ Dia menuliskan beberapa rumus, “ Semuanya bisa diselesaikan dengan rumus - rumus ini. Lihat persamaan yang biasa kau gunakan ini ? Sebenarnya ini bisa disederhanakan lagi menjadi rumus yang lebih gampang… Nah, sekarang kau coba “

Sementara Kame sibuk berkutat dengan soal - soal itu, Jin menerawang lagi. Dia menatap lekat sosok Kame yang tampak kesulitan memecahkan soal dengan raut datar. Pandangan matanya meredup, teringat pada ibunya.

“ Jadilah anak yang kuat, yang pintar, yang superior… Buat ayahmu menyesal telah meninggalkan kita “
Oleh karena itulah dia terus belajar seperti orang kesetanan… Sampai pada akhirnya dia menyadari semua pelajaran itu menjadi sangat mudah baginya, sampai dia tidak perlu lagi belajar untuk meraih nilai yang tertinggi. Dirinya sempat binggung, sampai mengira - ngira apakah otaknya mengalami evolusi karena dia begitu mudah menghafal semuanya dalam sekali lihat. Atau itu karena kemampuannya yang tertidur bangun karena dendam…?

Sosok Kame di hadapannya mengingatkan dirinya pada dirinya di masa lalu. Terbebani, tersiksa, dengan keputusasaan yang membelit kuat, menghisap bagaikan lumpur yang tak berdasar. Dan tentang syarat yang baru akan dikatakannya kelak…?

Sejujurnya, dirinya sendiri tidak pernah memikirkan syarat apa yang ingin diajukannya. Dia hanya menyimpan ‘satu cek kosong’ untuk berjaga - jaga. Syarat yang tidak dikatakannya seperti sebuah cek kosong yang bisa diisinya kelak setelah tahu apa yang dia inginkan.

Jin meraih bantalnya dan naik ke tempat tidur. Ruangan tempat mereka belajar memang merupakan kamar apartemen Jin. Apartemen itu cukup luas, walaupun agak bobrok. Tapi ruangan di dalamnya masih baik dan kokoh, tidak ada kerusakan berarti kecuali umur bangunan yang sudah tidak muda. Dengan ongkos sewa yang tidak terlalu mahal, lokasi apartemennya juga strategis; dua menit dari central park dan lima menit dari stasiun. Dia bahkan hanya berjarak satu menit dari minimarket terdekat. Jin menata apartemennya dengan gaya pemuda yang hidup sendirian. Agak berantakan, tapi tidak ada sampah dan cucian kotor bertebaran. Bila dia merasa malas membersihkan semuanya, kadang dia memanggil house keeper apartemen dengan bayaran per jam.

“ Aku tidur dulu. Bangunkan aku bila kau sudah selesai “ Gumam Jin dengan mata mulai tertutup. Sebelum Kame sempat mengatakan apa pun, dia sudah tertidur dengan pulas.

………………………………
………………………………

Jin membuka matanya perlahan. Sudah berapa lama aku tertidur ?
Diliriknya jam dinding, “ Hee, dua jam. Lama juga “

Ketika dia bangun dan menggosok matanya, dilihatnya Kame tertidur dengan wajah tertelungkup, menjadikan buku kumpulan soalnya sebagai bantal. Wajah tertidur Kame tampak damai, dengan nafas teratur dan tampak nyenyak.

“ Dia malah tertidur… “ Jin tersenyum dan mendekati pemuda yang lebih muda itu. Perlahan dia meraih tubuh Kame, menggendong pemuda itu dan membaringkannya di tempat tidur. Dia meraih selimut dan menyelimuti Kame.
“ Kamu bisa masuk angin jika tidur seperti tadi “ gumam Jin lembut. Tidak tahu apa lagi yang harus dilakukan, Jin duduk di sisi tempat tidur, menatap Kame yang masih tertidur. Pemuda itu tampak polos, tidak berdosa, rapuh dan kelelahan.

Disibakkannya rambut Kame yang menutupi matanya. Jin mengulurkan jemarinya, mengelus dahi Kame, turun ke pipi dan rahangnya… Kulit putih itu terasa sangat lembut seperti sutra, lebih terasa seperti kulit seorang gadis daripada kulit pemuda kebanyakkan.
“ Kazuya… “
Jin bergumam pelan. Matanya lekat memandangi wajah Kame sebelum akhirnya beralih pada bibir tipis kemerahan pemuda itu. Dengan sentuhan seringan sayap kupu - kupu, Jin mengusap bibir itu dengan jemarinya. Perlahan, Jin membungkuk dan menutup matanya…

Kame terbangun. Hal pertama yang terlintas dalam otaknya adalah di mana ini? Karena melihat langit - langit yang tidak dikenalnya. Setelah gelombang kebingungan itu mereda, perlahan - lahan dia ingat. Kame menepiskan selimutnya dan menggosok - gosok matanya yang masih terasa agak berat.

“ He ? Di mana Jin ? “
Kamar itu kosong, hanya ada dirinya. Buku - buku masih berada dalam kondisi semula di meja, tapi tidak ada tanda - tanda kehidupan di kamar itu. Kame bangkit dan membuka pintu, harum masakan mengelitik hidungnya. Dipandu bau lezat itu, Kame melangkah menuju dapur.

“ Jin ? “ Dia memanggil, tapi Jin juga tidak ada di sana. Sebagai gantinya, dia menemukan dua piring pasta di dekat counter, masih hangat dan mengepul. Di panci yang masih dinyalakan dengan api kecil, sup daging yang kemungkinan adalah pot-au-feu mengepulkan uap putih tipis yang menggiurkan.

“ Hei ! “
Kame terlonjak ketika bahunya ditepuk dari belakang. Dia berbalik, mendapati Jin yang hanya mengenakan jubah mandi sedang mengeringkan rambutnya dengan handuk. “ He? Jin…? “
Jin membuka kulkas dan mengambil botol jus, “ Apa ? Aku tidak boleh mandi ? “
Kame terdiam. Semuanya terlalu baru baginya, datang dengan kecepatan tinggi seperti meteor - meteor yang terus bergantian menghantam, sementara dia masih belum berada dalam keadaan benar - benar sadar.

Kame merasakan pipinya memerah ketika melihat garis tulang selangka Jin yang tampak menggoda mengintip dari belahan jubah yang rendah. Rambutnya yang masih separuh basah tampak mengundang dengan titik - titik air, sementara bau rempah yang maskulin terpancar kuat membius dari sosok di hadapannya itu.

“ Kau mau menginap ? “ Sekonyong - konyong Jin bertanya padanya. Kame yang tertegun mengerjab bingung, “ Hee ? “
“ Sekarang sudah jam sebelas malam, jadi kau mau menginap atau tidak ? “

Kame tampak ragu - ragu. Sebenarnya tidak ada alasan baginya untuk menginap malam ini. Besok dia masih ada sekolah. Dia belum bilang bahwa dia akan pulang larut apalagi sampai tidak pulang pada ibunya. Rumahnya juga tidak jauh dari apartemen Jin, hanya berjarak dua puluh menit berjalan kaki.

Tapi melihat Jin di hadapannya, menatapnya dengan mata yang meminta jawaban, Kame tercekat. Perlahan dia mengangguk, “ Aku akan menginap… “

-to be continued-

hohohohohohoho…
gimana kelanjutanny??? Nantikan next chapter okeee~~~

fanfic: charades

Previous post Next post
Up