Bag. 24
Aku tidak bisa menyalahkan Nidi kalau ia sangat merindukan mamanya. Beberapa hari lagi ujian akhir semesternya selesai dan ia memiliki waktu libur kira-kira dua bulan penuh. Sudah hampir setengah setahun ia tidak bertemu mamanya, justru akan mengherankan kalau ia tidak rindu mamanya sama sekali. Aku memergokinya sedang murung di depan jendela di ruang televisi, di tempat favoritnya, duduk bersimpuh di lekukan jendela memandang ke lampu-lampu kota di luar.
Aku senang melihatnya ada di rumah saat pulang dari latihan vokal, tidak seperti beberapa bulan yang lalu. Walaupun ia berkata bahwa aku tidak perlu memberinya laptop, tapi aku perlu melihatnya lebih sering. Tugas-tugas kuliah yang harus diselesaikannya di kampus membuatku jarang melihatnya. Pekerjaanku sudah cukup membuatku tidak bisa sering bersamanya, dan aku tidak butuh hal lain untuk membuat jarak kami semakin jauh.
Selain jadwal laboratoriumnya yang membuatnya harus pulang larut, sekarang ia bisa berangkat dan pulang kuliah dengan jadwal normalnya tanpa harus bergantung pada komputer di perpustakaan kampusnya. Setidaknya aku masih bisa melihatnya sepagian sebelum berangkat ke studio.
Mungkin ini adalah tahun terberat baginya. Ulang tahunnya terlewatkan begitu saja karena kesibukan kami masing-masing. Saat ia ulang tahun, aku sedang melakukan tur bersama band-ku, mama tiriku dan papa tidak bisa datang kemari karena pekerjaan mereka dan terpaksa hanya memberikan ucapan selamat melalui telepon. Nidi cukup tabah, kurasa. Ia tidak menuntut macam-macam.
Cukup lama aku duduk diam di lengan sofa memperhatikannya melamun, hingga ia menyadari kehadiranku dan menoleh.
“Sejak kapan Kakak disitu?” tanyanya, terlihat kaget.
“Kira-kira 15 menit.”
“Aku tidak mendengar Kakak datang.”
“Aku masuk cukup berisik kok.”
“Oh… maaf, aku kelewat serius melamun.” Nidi menarik nafas, “Tadi sore mama menelepon, menanyakan kapan aku akan pulang. Besok lusa ujianku selesai… dan mama bertanya apakah Kakak akan ikut pulang atau tidak. Kalau tidak… lebih baik aku juga tidak pulang. Mama tidak mau aku bepergian sendiri.”
Entah mengapa aku tidak heran dengan apa yang dikatakan Nidi. Mama tiriku masih tidak berubah ternyata.
“Aku akan usahakan libur.” Walaupun itu hampir tidak mungkin karena kami sedang dalam proses pengerjaan proyek yang akan dirilis berikutnya, kemudian persiapan untuk konser di akhir tahun. Meta tidak akan mengijinkanku untuk libur, dan aku sendiri tidak yakin akan bisa membujuknya.
“Tidak mungkin… Kakak sedang rekaman.” Nidi ternyata tahu lebih banyak dari yang kuduga, aku bahkan melupakan kalau ia juga seorang penggemar. Ia masih mengikuti perjalanan LiViNG, hingga saat ini rupanya. “Aku bisa pulang sendiri, mama harus tahu kalau aku bisa melakukannya.” Lanjutnya.
Aku menggeleng. Masalahnya bukan pada ‘bisa’ atau ‘tidak bisa’-nya Nidi bepergian sendiri seperti itu, tapi lebih pada keinginan mama tiriku. Mungkin mama tiriku tahu Nidi bisa menjaga diri sendiri karena sekarang ia sudah bukan anak-anak lagi, tapi ia tidak ingin Nidi melakukannya karena ia tidak mau ada kata ‘sendiri’ yang mengiringinya. Tipikal orang tua yang punya anak gadis.
“Kau tahu masalahnya bukan disitu.” Ujarku. Nidi menarik nafas dan kembali menoleh keluar jendela.
“Mama tidak akan marah pada Kakak, jadi kupikir tidak apa-apa kalau kupaksakan sedikit.”
“Mungkin, tapi itu akan menyakiti harga diriku.”
“E-eh? Maksud Kakak?” Nidi menoleh lagi, akhirnya merubah posisi bersimpuhnya jadi menghadap ke arahku.
“Coba saja bayangkan apa yang akan dipikirkan mama. Dia menitipkanmu padaku, sudah bilang dengan jelas jika aku tidak bisa pulang, kau juga tidak perlu pulang. Apa katanya nanti kalau aku mengijinkanmu pulang sendirian?” Nidi terlihat berpikir, keningnya berkerut.
“Benar juga…” ia menekuk kakinya dan memeluk lutut, meletakkan dagunya di salah satu lututnya. “Bisa-bisa mama tidak percaya pada Kakak lagi.” Itu dia maksudku, Nidi.
“Aku akan coba bicara pada manager-ku.”
“Kakak tahu pasti kemungkinan Kakak diizinkan libur itu hampir 0%, kan…” Ia benar. “Hhh… aku akan paksa mama kesini saja kalau begitu. Kalau aku merengek sedikit, mama pasti akan melakukan apa saja untuk kesini.” Idenya tidak buruk.
“Tapi mama tidak bisa kesini sendirian.” Aku ingat kalau mama tiriku itu tidak berani bepergian sendiri. Nidi tampaknya melupakan hal itu, karena ia langsung menepuk kening, menghela nafas panjang.
“Bisa-bisanya aku lupa. Dan papa tidak bisa cuti lama-lama…”
Hening.
Aku punya usul yang mungkin sangat bagus, tapi aku tidak mau mengutarakannya. Membayangkannya saja sudah membuat kepalaku berdenyut….
“Mungkin…” Nidi mengerutkan bibir, hal yang selalu dilakukannya kalau sedang ragu-ragu dengan pikirannya, “Mungkin… mama dan papa bisa kesini untuk menjemputku… lalu aku akan pulang bersama mereka. Saat liburan berakhir, mereka bisa mengantarku lagi kemari.”
Itulah ide yang kupikirkan. Dan mendengarkan ide itu ternyata juga keluar dari Nidi, aku merasa kepalaku semakin berdenyut.
Kalau ide itu terlaksana, berarti aku tidak bisa melihat Nidi selama dua bulan penuh, setelah sekian bulan aku terbiasa dengan kehadirannya di dalam jangkauanku. Terus terang aku keberatan, bagian egois dalam diriku mengharapkan terciptanya sebuah halangan yang membuatnya tidak perlu pergi selama itu dan meninggalkanku terlalu lama. Tapi akal sehatku menyadari kalau sisi egoisku sangat kekanakan. Aku tidak boleh mencegah Nidi untuk pulang kepada mamanya hanya karena rasa keberatanku. Lagipula, dua bulan itu sangat sebentar. Nidi masih akan ada disini bersamaku saat kuliahnya sudah dimulai.
“Ide bagus.” Komentarku. Nidi mendongak padaku dengan cepat, tampak terkejut.
“Sungguh?” tanyanya-walaupun bagiku itu tidak terdengar seperti sebuah pertanyaan, melainkan ungkapan tidak percaya… ada nada shock di dalamnya, setipis benang.
“Ya, mengingat aku belum pasti bisa libur.” Nidi mengangguk pelan.
“Oh… ya….” Gumamnya, menunduk dan mengetuk-ngetuk ibu jari kakinya dengan telunjuk. Dan mengapa ia malah terlihat lebih murung? Aku rasa aku sudah memiliki jawabannya.
“Kau tidak benar-benar ingin pulang.” Kataku. Nidi mendongak lagi, dan aku menangkap tatapannya-ia tidak perlu mengucapkan apa-apa.
Aku benar.
“Tapi… aku rindu mama. Sungguh.” Ujarnya setelah situasi hening yang cukup lama.
“Aku tahu.”
“Tidak bisakah… kita cari jalan keluar yang… mmm, yang lebih baik? Aku tidak mau jauh-jauh dari Kakak…” Nidi terlihat risau saat mengatakannya. Aku menarik nafas.
“Kita lihat nanti.” Kataku, dan Nidi mengangguk.
Aku HARUS bisa membujuk Meta.
~.~.~.~.~
“Kau tahu kalau aku tidak bisa bercanda, Hea.” Meta menatapku dengan sorot berbahaya saat aku menemuinya di kantor Pascal Music dan berkata padanya bahwa aku membutuhkan libur beberapa hari.
“Aku tidak bercanda.” Ujarku.
“Dan mengapa aku menganggap permintaanmu sangat konyol?” tukasnya kering.
“Memang konyol, dan aku tidak mengharapkan kau untuk tertawa.” Tapi Meta malah tertawa, walaupun bukan tawa yang ceria.
“Kau bukan orang yang bisa memohon, Hea. Bersikaplah lebih manis.” Senyum miringnya membuatku merasa sangat kecil dan ingusan.
“Aku sedang memohon.”
“Dengan wajah begitu? Ha! Mana bisa kau membujukku dengan tingkah macam begitu.”
“Kau kenal aku bukan dari kemarin sore,” aku mengangkat bahu. “Kau tahu kalau aku sungguh-sungguh memohon.”
“Ck,” Meta mengerutkan hidung. “Lalu kau berharap ada perpanjangan deadline?”
“Tidak.”
“Kau berharap aku mau memberimu izin dengan mudah?”
“Tidak, tapi aku memutuskan menguji keberuntunganku.”
“Dan kau berharap bisa mengganti waktu libur yang kau minta dengan tidak libur disaat teman-temanmu libur?”
“Ya.”
“Lalu kau berpikir kalau itu mungkin?”
“Mungkin… mungkin tidak, tapi aku berharap, ya.”
“Akan kupastikan kau lembur untuk mengganti waktu kerjamu yang bolong. Dan tidak ada libur bagimu sampai bulan depan.”
“Terima kasih.”
“Hanya dua hari, Hea. Jum’at dan Sabtu. Aku tidak mau ada alasan lain.”
“Ya.”
“Kau boleh keluar.”
Sulit, tapi aku berhasil. Walaupun hingga bulan depan aku hanya bisa libur pada hari Minggu, disaat kegiatan kantor memang tidak berjalan.
~.~.~.~.~
“Bagaimana mungkin kau libur di saat-saat begini?” protes Rou saat aku mengatakan bahwa aku tidak akan datang ke studio di akhir minggu ini.
“Mamaku tidak mengijinkan adikku pulang kalau aku tidak ikut pulang.” Ujarku, duduk bersidekap di sofa ruang kontrol. Alph sedang merekam permainan drum-nya sehingga aku belum kena omel olehnya karena bolos kerja.
“Adikmu kan bukan bocah lagi, masa harus diantar begitu? Dia bisa pulang sendiri.”
“Aku tahu, tapi mamaku tidak mau tahu.”
“Ck~ aku iri. Aku jadi ingin pulang juga.” Rou cemberut sambil menggembungkan pipi.
“Minta saja pada Meta.” Ujarku, mendenguskan tawa. Rou mencibir,
“Nanti aku didendeng oleh dia.”
Alph masuk ruangan kontrol sambil mengipasi diri dengan sebuah map, “Dasar curang.” Rutuknya, melemparkan map yang dibawanya ke arahku. Aku menghindar dan map melayang itu mendarat tepat di bahuku.
“Hanya dua hari, aku tidak akan lama-lama.” Ujarku.
“Untuk ukuran orang tua, mamamu ini terlalu paranoid.” Alph menggelengkan kepala, duduk di sampingku.
“Dia satu-satunya yang dimiliki mamaku.”
“Lalu kau? Kau tidak merasa diperlakukan tidak adil?”
Aku menggeleng, “Aku bukan perempuan.” Alph terkekeh,
“Yah, jangan sampai kau tidak masuk kerja hari Senin, Meta bisa mencopot hidungmu.” Ujarnya. Aku mengerutkan hidung dengan reflek-mendadak terasa gatal.
“Minggu sore aku sudah kembali kesini.” Kataku datar. Alph mengangkat bahu,
“Baiklah. Nah, kemarin ada bagian yang ingin kau ubah, kan? Yang mana?” topik liburku sudah berakhir.
~.~.~.~.~
Aku membanting pintu mobil hingga tertutup sambil merenggangkan pinggangku yang ngilu karena barjam-jam duduk menyetir di kemacetan. Hari ini Boo tidak bisa menjemput karena mobilnya masuk bengkel, dan karena ia menggunakan motor, ia hanya bisa menjemput Evan karena arah apartemen mereka yang sejalur. Aku mendongak menatap jendela apartemenku yang paling gelap dari jendela-jendela yang lain di gedung ini, bertanya-tanya apakah Nidi sudah tidur atau belum, mengingat jam di pergelangan tanganku sudah menunjukkan pukul 3 dini hari.
Aku memasuki gedung apartemen yang nyaris kosong, dan saat akan memasuki elevator, aku berpapasan dengan satpam gedung yang sedang bertugas. Ia tersenyum lebar ketika melihatku,
“Selamat pagi, pulang telat?” sapanya. Aku mengangguk dan petugas keamanan itu berlalu, meninggalkanku di dalam elevator. Terkadang aku memang harus pulang sangat malam karena pekerjaanku, entah itu saat pembuatan lagu, atau pembuatan video clip, atau karena acara radio dan acara televisi. Tidak jarang aku harus pulang pagi, sampai di apartemen dalam keadaan teler dan mengawang-awang karena terlalu lelah, mengantuk dan sakit kepala.
Elevator terbuka dengan bunyi ‘ding’ nyaring dan aku keluar, berjalan menuju pintu apartemen sambil mengeluarkan kunci dari tas ranselku. Apartemen gelap, dan dugaanku bahwa Nidi sudah tidur semakin kuat. Mungkin aku akan memberitahunya tentang cutiku saat ia sudah bangun nanti, sebelum ia berangkat kuliah.
Aku menghempaskan diri di sofa televisi, menyandarkan kepalaku yang berat ke bantalan sandarannya dan menutup mata. Mataku lumayan pedih, terasa panas saat memejamkannya. Mungkin sebaiknya aku segera tidur, maka aku memaksa diri bangkit dari sofa dan berjalan ke kamarku sambil membuka jaket, kemudian menyampirkannya ke gantungan baju di samping pintu, langsung masuk ke kamar mandi, mencopot lensa kontakku di westafel dan mandi dengan cepat.
Pulang selarut apapun, aku selalu menyempatkan diri untuk mandi. Aku tidak tahan dengan keadaan badanku yang lengket karena kegiatan seharian, apalagi dengan cuaca ibu kota yang pengap, berpolusi dan panas terik. Selesai mandi, aku segera membersihkan lensa kontakku dan memakainya kembali, kemudian mengenakan baju rumah dan membaringkan diri di kasur. Tidak butuh waktu lama hingga akhirnya aku tertidur.
Rasanya baru beberapa menit berlalu ketika alarmku berbunyi dengan bising. Aku membuka mata dan mendesah lelah, merasakan kalau mataku masih pedih. Bunyi alarm membuat kepalaku makin sakit, aku segera menjangkaunya dan mematikannya, menahan keinginan untuk melemparkan benda itu ke seberang ruangan. Aku duduk dengan mata berkunang-kunang, berusaha berkompromi dengan rasa kantukku dan ingin sekali kembali tidur. Tapi aku tahu aku tidak bisa melakukannya, maka aku berdiri dan keluar kamar.
Bau omelet menguar dari dalam dapur saat aku membuka pintu kamar. Bunyi denting alat masak dan wajan penggorengan yang mendesis-desis membuat apartemen yang senyap ini tidak terasa begitu hening. Aku memasuki dapur dan menduduki konter di depan jendela besar yang terbuka lebar, sehingga udara pagi yang dingin menerpa punggungku, membuatku bergidik. Nidi, yang sedang membelakangiku karena menghadapi kompor, mendadak berhenti bergerak seperti membeku. Dengan gerakan pelan, ia menoleh ke belakang, ke arahku. Ia mengusap dada ketika melihatku.
“Kakak…” gumamnya, “Bikin kaget.” Ia menutup matanya dan menarik nafas. “Aku selalu bertanya-tanya bagaimana cara Kakak melakukannya.” Ujarnya kemudian, berbalik lagi menghadapi kompor dan melanjutkan apa yang sedang dikerjakannya.
“Melakukan apa?”
“Bergerak tanpa suara begitu, nyaris seperti hantu.” Aku mendengus tertawa, aku bahkan tidak memperhatikan hal itu-tidak menyadarinya sampai Nidi mengatakannya.
“Aku tidak melakukannya dengan sengaja.”
Nidi mengangkat bahu, “Atau mungkin aku yang yang terlalu sibuk dengan pikiranku…”
“Kau langsung menyadari kalau aku ada disini.”
“Bau parfum Kakak diterbangkan angin…”
Oh… oke.
“Aku ada kabar baik.” Ujarku, teringat Meta. Nidi mematikan kompor dan meletakkan omelet yang dibuatnya di meja dapur kemudian menghampiriku, duduk di sampingku di atas konter.
“Apa?”
“Aku diizinkan libur dua hari.”
“Oh ya? Bagus sekali! Ah, tapi…” raut senang di wajah Nidi berubah menjadi resah dengan sangat cepat. Ia menunduk, mengayun-ayunkan kakinya.
Ia ingin pulang, ingin bisa lebih lama bersama mamanya. Tapi ia juga tidak ingin jauh dariku.
Nidi bisa ditebak. Gampang sekali.
“Dua bulan bukan waktu yang lama.” Kurasakan bagian egois di dalam diriku menertawai kalimatku dengan sangat kurang ajar.
Nidi menarik nafas, “Ya…” gumamnya. “Kurasa aku akan mulai packing nanti sore, saat pulang kuliah.” Kemudian ia turun dari konter dan membawa omelet ke luar dapur, meletakkannya di meja makan, lalu masuk lagi ke dapur.
“Besok kita berangkat dengan pesawat pagi.” Ujarku.
“Oke. Kakak ingin kubuatkan minum apa?” Nidi membuka kulkas.
Aku menggeleng, “Tidak usah, aku bikin sendiri saja.” Ujarku, turun dari konter.
Walaupun sepanjang sarapan Nidi bercerita tentang penelitiannya yang menurutnya sangat konyol dan bercerita sambil tertawa, tetap saja aku bisa menangkap kegelisahan di matanya saat ia berhenti berbicara.
-bersambung-
A/N: maap buat delay nya T^T otak gw tumpul muse melarikan diri karena.. yah.. karena pasca trauma skripshit ekekek~