[ORIFIC] Ikatan yang Tak Berjalan [12]

Aug 13, 2012 00:43



Bag. 12


Telepon dari Rou cukup membuatku tertegun. Aku berpikir lama sekali tentang informasi yang diberikan Rou saat itu. Rou dan yang lainnya mengerti kalau menjadi anak band bukanlah cita-citaku. Itu hanya hobi. Sama seperti hal-hal lain di bidang seni yang kukerjakan.

Sejujurnya, aku sendiri tidak terobsesi menjadi dokter. Aku memilih dokter menjadi masa depanku karena aku tidak melihat pilihan lain yang kusukai. Aku bukan orang yang ngotot dalam hal cita-cita. Tidak ada obsesi apapun di bidang apapun. Karena kupikir, semua bidang itu sama saja, akan berhasil kalau kita menjalaninya dengan sungguh-sungguh.

Tapi tawaran rekaman dari sebuah perusahaan musik lokal yang cukup ternama adalah tawaran yang tidak mungkin datang dua kali. Ini adalah impian teman-teman band-ku. Saat kami menang lomba tempo hari, ternyata acara itu disaksikan oleh pemilik perusahaan itu, dan ia betul-betul suka dengan penampilan kami, terutama pada suaraku. Pemilik perusahaan itu menghubungi pihak penyelenggara lomba dan karena band kami tercatat atas nama Alph, pemilik perusahaan itu menelepon Alph.

Rou bilang Alph girang bukan kepalang dan segera menggedor pintu rumahnya. Rou juga senang, karena masuk dapur rekaman dan memiliki band terkenal juga merupakan impiannya. Saat mereka memberitahu Abel dan Evan, reaksi mereka berdua juga sama. Amat sangat senang, seperti mimpi yang sebentar lagi akan menjadi kenyataan.

Kemudian, mereka menyadari, yang membuat band kami menang, 60%-nya ada pada suaraku, dan tidak ada gunanya menerima tawaran rekaman itu kalau aku tidak ada di dalam band. Alph juga bilang, pemilik perusahaan musik itu menekankan bahwa ia sangat menyukai warna vokalku. Itu berarti, pemilik perusahaan itu tidak mengharapkan adanya penggantian vokalis.

Perusahaan ini, Pascal Music, adalah perusahaan lokal yang telah mencetak band-band legendaris dan terkenal hingga manca negara. Semua band yang tercatat di bawah nama Pascal Music adalah band-band dengan fandom terbesar, berdaya jual mahal dan semuanya berpengaruh pada dunia musik, sekalipun band tersebut sudah bubar. Pascal Music tidak pernah sembarangan menerima band untuk diorbitkan, maka dengan ditawarkannya band kami untuk rekaman di bawah nama mereka bukanlah tawaran main-main. Aku tidak boleh menganggap enteng tawaran ini dan menghancurkan impian teman-temanku.

Aku meminta waktu pada Rou untuk berpikir dan Rou memberiku waktu dua hari, karena ia bilang Alph juga meminta waktu pada Pascal Music untuk ‘berdiskusi’ dengan anggota band, dan Pascal Music memberinya waktu seminggu. Aku tahu arti ‘berdiskusi’ bagi Alph dan yang lainnya, yaitu berdoa agar aku juga mau menerima tawaran besar itu.

Kalau aku menerima tawaran itu, kami harus langsung terbang ke ibu kota-yang berbeda pulau dengan kota ini-tempat kantor Pascal Music berada, menandatangani kontrak dan menetap disana, memulai karir sebagai band indie di bawah nama mereka. Itu berarti aku tidak perlu menunggu hasil kelulusanku keluar, karena lulus atau tidak, itu tidak akan berpengaruh jika aku memutuskan untuk memilih band sebagai masa depanku.

Kami semua; aku, Rou, Alph, Abel dan Evan, harus melupakan universitas. Karena tidak akan ada waktu untuk itu.

Lalu bagaimana dengan papa? Apakah ia akan setuju? Ia menginginkanku menjadi dokter, tapi selama ini papa tidak pernah menentang hobiku di dalam band. Aku tidak mau mengecewakan papaku, dalam hal apapun. Mau tidak mau, aku harus bicara serius dengan papa.

Kalau aku memilih band, papa mungkin akan kecewa, tapi aku bisa mengganti kekecewaannya dengan berkarir secara sungguh-sungguh, hingga sukses dan terus berkembang, berusaha menembus manca negara. Aku bisa berusaha membuatnya bangga dengan cara itu. Dan aku bukannya sedang muluk-muluk, tapi pandangan-pandangan positif seperti ini selalu bisa menjaga akal sehat.

Kalau aku memilih untuk tetap menjadi dokter, akan ada empat impian yang kuhancurkan tanpa mereka bisa mencoba. Kalaupun nantinya target tertinggi yang sudah dipersiapkan dalam menjalani band ini tidak tercapai, setidaknya teman-temanku sudah mencoba mewujudkan mimpi mereka. Mereka akan tahu kekurangan-kekurangan apa yang kami punya tanpa harus menyesal.

Kurasa aku sudah membuat keputusan.

Tinggal bagaimana caranya berbicara pada papa.

~.~.~.~.~

Saat papa pulang malam itu, aku menunggu hingga kami selesai makan malam. Papa dan mama tiriku memuji nilai-nilai Nidi dan membicarakan SMA mana yang bagus untuknya. Papaku langsung menyarankan agar Nidi masuk ke SMA-ku, dan tidak ada penolakan dari Nidi seolah ia sudah tahu kalau papaku akan menyarankan hal itu.

Aku ingat saat ujian akhir sekolah lalu, Nidi belajar terlalu keras dan aku tidak heran saat melihatnya hampir menyerupai mayat hidup. Minggu pagi saat aku memasuki minggu tenangku, aku tahu ada yang tidak beres pada Nidi saat ia menggosok gigi. Dahinya berkeringat dan entah ia sadar atau tidak, kakinya gemetar. Saat ia berkumur dan busa pasta gigi tidak lagi menutupi bibirnya, aku melihat kalau bibirnya sudah seputih kulit lain di tubuhnya. Bagian bawah matanya terlalu gelap dan saat ia berjalan melewatiku, langkahnya goyah.

Aku sedang mengoleskan pasta gigi ke sikat gigiku saat Nidi tiba-tiba melemas seperti kain. Aku menangkap tubuh ringkihnya tepat waktu, sebelum kepalanya membentur tembok, dan aku tidak bisa melupakan betapa dinginnya suhu badan Nidi saat itu. Aku menyadari kalau aku tidak lagi memegang sikat dan pasta gigi, pasti aku sudah melemparnya entah kemana saat aku menyambar badan Nidi. Aku menggendong badannya dengan mudah.

Setahuku, Nidi tidak sulit makan. Mamanya selalu memberinya porsi makan yang besar, dan Nidi tidak pernah menyisakan makanan yang diletakkan di piringnya. Aku heran, badan Nidi terlalu ringan dan kecil untuk ukuran anak yang banyak makan seperti dirinya.

Makan malam selesai dan ingatanku kembali pada keputusan yang kubuat. Saat papa beranjak dari meja makan, aku bersuara,

“Papa, aku ingin bicara.” Papaku mengangkat alis, dan duduk kembali.

“Kenapa, Yura?” tanyanya, punggungnya tegak, waspada. Atmosfer ruang makan yang sebelumnya hangat menjadi tegang. Aku merasa bersalah, tapi ini memang harus dibicarakan segera. Teman-temanku menanti.

“Tentang masa depanku. Kurasa aku sudah memutuskan akan meneruskan band-ku, Papa.” Papa mengerjap, terkejut. Mama tiriku dan Nidi tidak bersuara.

“Kenapa tiba-tiba berubah pikiran, Yura? Bukankah kau bilang tidak ingin menjadi penyanyi?” kupikir papa akan langsung meledak marah atau menentangku, ternyata aku hanya mendapatkan pertanyaan bernada heran.

“Saat band kami menang kemarin, ternyata pemilik Pascal Music menyaksikan kami dan menawarkan rekaman.” Jelasku.

“Ah…” papaku mengangguk pelan, “Terus terang, papa kaget dengan keputusanmu.” Pernyataannya tidak menjawab keinginanku, apakah papa setuju atau tidak.

“Kalau aku setuju menerima tawaran itu, minggu ini aku harus langsung terbang ke ibu kota, Papa. Dan… menetap disana.”

“Secepat itu?”

“Ya, Pascal Music hanya memberi kami waktu berpikir selama seminggu. Teman-temanku sangat menantikan kesempatan ini, ini adalah mimpi mereka. Lalu… sedikit banyak, yang membuat kami ditawari rekaman adalah-”

“Suaramu. Papa sudah menduga.”

“Ya. Jadi… sekarang semuanya hanya tergantung padaku. Jika aku menolak, teman-temanku tidak bisa menerima tawaran rekaman itu.”

“Karena akan percuma, ya…” papa menarik nafas. “Papa kecewa karena kau tidak memilih kedokteran, tapi papa tidak mau melakukan hal yang sia-sia dengan menentang kemauanmu. Apakah ada gunanya kalau papa berkata ‘tidak boleh’?” Aku menggeleng, dan papa tersenyum. “Lakukan apa yang kau mau, Yura. Papa hanya bisa mendukungmu selama itu bukan tindak kriminal.”

Aku sangat lega, “Terima kasih, Papa.”

“Bekerjalah dengan giat.” Papa menepuk pundakku dan beranjak dari meja makan, masuk ke kamarnya. Mama tiriku dan Nidi masih di meja makan, menatapku.

“Keputusanmu adalah tanggung jawabmu, Yura. Mama juga akan mendukungmu.” Ujar mama tiriku, tersenyum tulus.

“Terima kasih, Mama.”

“Lalu bagaimana dengan pengambilan surat pengumuman kelulusan nanti? Apakah Yura akan pulang untuk mengikuti upacaranya?” pertanyaan yang aku sendiri tidak tahu jawabannya seperti apa.

“Aku tidak tahu, tergantung keadaan.”

“Kalau Yura tidak bisa, mama akan bicara pada gurumu saat mengambil surat pengumuman nanti.”

“Ya…”

“Semangat, ya!” mama tiriku mengepalkan tangannya, tersenyum menyemangati. Aku mengangguk. Kemudian ia berdiri, membereskan meja makan, dan meremas bahuku sebelum membawa piring-piring kotor ke dapur.

Mataku berpindah pada Nidi. Anak itu tidak berkata apa-apa, matanya yang besar dan berwarna cokelat itu hanya menatapku. Berbagai ekspresi berkecamuk di dalamnya, membuatku terhipnotis dengan keramaian yang terjadi di dalam dua bola mata itu.

“Kakak… akan pergi?” akhirnya Nidi bersuara. Aku mengangguk. “Tidak akan pulang?” itu pertanyaan konyol kan? Mana mungkin aku tidak akan pulang. Tapi aku hanya mengangkat bahu dan Nidi tidak berkata apa-apa lagi.

Kemudian aku ingat kalau aku harus mengabari Rou dan yang lainnya, mereka pasti akan lega setengah mati. Aku berdiri dari meja makan dan naik ke kamarku. Menelepon Rou dengan ponselku.

“Yura?” telepon segera diangkat pada nada sambung pertama.

“Aku ikut kalian.” Ujarku.

“YES!” Rou berseru, suaranya serak. “Aku akan bilang pada Alph, dan dia bisa menghubungi Regina Pascal malam ini.”

“Ya.”

“Aku akan hubungi kau lagi nanti.”

“Oke.”

“Oh, dan Yura,”

“Ya?”

“Terima kasih.”

“Tidak perlu, Rou.”

“Aku mencintaimu, Kawan! Kau harus tahu!” pekiknya. Aku tertawa, spontan.

“Berdirilah di antrian.” Ujarku. Lalu sambungan diputus. Beberapa saat kemudian ponselku berbunyi lagi, nama Abel terpampang di layarnya.

“Aku senang kau memilih kami, Yura.” Ujarnya tanpa basa-basi.

“Aku tahu pilihanku benar.”

“Apakah sulit berbicara dengan orang tuamu?”

“Tidak juga.”

“Kau tidak sampai kabur dari rumah, kan?”

“Tidak.”

“Bagus. Nah aku harus mulai membereskan bawaanku. Kita akan hengkang dari sini.”

“Ya.”

“Sampai jumpa.”

“Oke.” Sambungan diputus. Belum semenit aku menutup ponsel lipatku, benda itu sudah berbunyi lagi. Kali ini Evan.

“Kalau kau ada disini, aku pasti sudah memelukmu erat-erat, Yura.”

“Aku lega tidak berada disana.”

“Nanti juga akan kulakukan.”

“Tidak usah.”

“Sampai jumpa, kalau begitu.”

“Oke.” Sambungan diputus-dan telepon dari Alph langsung masuk. “Ya?”

“Kita berangkat lusa. Regina akan pesankan tiketnya, dan kita akan berangkat bersamanya.”

“Lalu?”

“Lalu… selanjutnya tergantung peruntungan kita.” Diam sejurus, “Kurasa perjalanan kita ke depan tidak akan mudah ya…”

“Aku tahu.”

“Aku yakin padamu, Yura. Kau brilian.”

“Bukan aku, Alph, tapi ‘kita’.”

“Ya… sedikit lagi, kita akan berhasil bersama.” Suara Alph bergetar. Mendengarnya, aku yakin tidak ada yang bisa mengubah keputusanku sekarang; aku memang sudah mengambil langkah yang benar.

“Tentu.”

“Nah, karena kita pasti akan berangkat. Aku butuh diskusi tentang nasib kita disana dengan kalian. Besok ke rumahku, bagaimana?”

“Oke.”

“Sampai jumpa besok kalau begitu.”

“Ya.” Sambungan diputus. Aku menanti apakah ada lagi telepon yang akan masuk, dan setelah lewat lima menit tidak ada apapun, aku meletakkan ponselku di meja lampu tidur dan mulai mengepak barang-barang yang akan kubawa ke ibu kota.

~.~.~.~.~

“Masalah pertama, tempat tinggal. Kita akan tinggal dimana dulu untuk sementara? Sebelum keadaan kita stabil?” Alph tidak berbasa-basi, langsung ke poin utama saat kami semua sudah berkumpul di kamarnya. Aku bisa merasakan semangat teman-temanku yang menggebu-gebu, semuanya terlihat begitu optimis dan bersedia menempuh resiko apapun, siap tempur.

“Di ibu kota semuanya serba mahal, dua kali lipat dari biaya hidup di kota-kota biasa.” Evan menambahkan. “Padahal disini sudah kota besar, tapi biaya hidup disini jauh lebih murah. Jadi kita harus sangat hati-hati.”

“Kita cari apartemen yang murah dan tinggal bersama, mungkin untuk sebulan dua bulan… atau tiga bulan.” Abel mengusulkan, “Kita bisa gunakan uang yang kita dapat dari menang lomba kemarin untuk biaya awal apartemen. Dan untuk biaya sewa selanjutnya serta biaya hidup sehari-hari, kita bisa kerja paruh waktu.” Aku setuju dengan ide Abel.

“Ya, dan kita harus mendapatkan kerja paruh waktu secepatnya. Sebelum itu mungkin aku akan menggunakan tabunganku.” Ujar Evan.

“Nah! Tabungan! Aku sangat bersyukur karena papaku memaksa kami untuk selalu menabung. Oh, aku cinta papaku.” Rou menimpali. Mungkin aku juga akan menggunakan tabunganku dulu sebelum menemukan kerja paruh waktu.

“Jadi? Kita lakukan seperti yang Abel bilang?” tanya Alph. Kami semua mengangguk.

“Kalau keadaan sudah terkendali, kita sudah punya kerja paruh waktu dan sudah ada cukup uang, kita bisa pindah dan mencari apartemen untuk masing-masing… atau berdua, terserah. Tergantung kemampuan kita nanti.” Tambah Abel, dan aku juga setuju dengan ide ini.

Hening.

“Oke, kita sudah sepakat untuk masalah tempat tinggal sementara. Satu lagi, Regina bilang, sesampainya disana, kita akan langsung ke kantor Pascal Music, membicarakan kontrak kerja, peraturan perusahaan, dan sebagainya. Dia mengharapkan kita sudah menunjuk leader, nama panggung dan… nama band. Dia bilang nama ‘the Living’ kurang menjual.” Alph berkata dengan nada hati-hati.

“Kurang menjual? Tapi… kita tumbuh dengan nama itu.” Bukan hanya Rou yang tidak setuju, Evan dan aku juga tidak, karena kami mengangguk bersamaan.

“Aku juga bilang begitu padanya semalam. Lalu dia menyarankan ‘the’-nya dihilangkan saja, jadi Living.” Alph menghela nafas, “Kupikir Living saja juga lebih baik, daripada kita harus menggantinya dengan nama lain.”

Karena kami memang tidak ingin melepas kata ‘living’, akhirnya kami setuju dengan saran yang diberikan Regina Pascal itu.

“Haruskah kita membuatnya, mmm… berbeda? Maksudku, kalau ada yang menyebut ‘living’, orang-orang akan langsung tahu kalau itu nama band kita.” Usul Rou.

“Jelaskan, Rou.” Kata Alph.

“Mungkin dengan penulisan yang berbeda, seperti huruf konsonan yang harus selalu ditulis dengan huruf besar, huruf vokal yang ditulis dengan huruf kecil, dan di belakangnya harus selalu menggunakan tanda koma, semacam itu. Jadi, kalau ada band lain, mungkin di luar negeri, yang juga bernama ‘living’, penulisan nama kita akan membedakan kita dari mereka.”

LiViNG, begitu?

“Nama band kita harus mempunya makna, Rou, jangan asal membuatnya berbeda.” Ujar Evan. Rou mengangguk cepat.

“Aku sudah memikirkanya. Makna ‘Living’ bagi kita adalah awal dari impian kita, kan? Lalu penulisannya menjadi ‘LiViNG’ karena kita mempunyai karakter yang unik, yang berbeda dari band-band lain, jati diri kita, ciri khas kita. Dan dengan tanda koma di belakang nama band kita, itu berarti kita tidak akan pernah berhenti. Terus lanjut apapun yang terjadi.”

Hening lagi, kali ini lebih lama.

“Aku setuju.” Evan akhirnya bersuara. Abel dan aku mengangguk. Karena semuanya setuju, Alph mengambil sehelai kertas dan menuliskan nama band kami yang baru: LiViNG,. Rou tersenyum lebar.

Di bawah tulisan LiViNG,, Alph menulis vokalis, bassist, gitaris I, gitaris II dan drummer secara bersusun ke bawah, “Nah, nama panggung?” tanyanya.

Semuanya kembali diam. Aku memikirkan nama panggung apa yang harus kugunakan, dan tidak ada satupun ide yang datang padaku.

“Aku akan tetap menggunakan namaku, apakah itu tidak apa-apa?” tanya Rou. Alph mengangguk.

“Tidak apa-apa.” jawabnya sambil menuliskan nama ‘Rou’ di sebelah tulisan bassist.

“Soul, aku akan pakai nama itu.” Ujar Evan.

“Soul? Jiwa?”

“Ya, karena band ini adalah jiwaku.” Evan mengangguk mantap.

“Oke…” Alph menyunggingkan senyum dan menulis ‘Soul’ di samping tulisan gitaris I.

“Ryu. Karena aku suka Street Fighter.” Abel berkata kemudian. Alph tertawa,

“Kau serius, Abel?” tanyanya. Abel mengangguk, wajahnya yakin.

“Ya-ah, aku akan gunakan dua ‘u’.”

“Baiklah…” Alph menuliskan ‘Ryuu’ di samping tulisan gitaris II. Kemudian Alph melihat padaku, “Yura?”

“Sedang kupikirkan.” Jawabku, belum menemukan nama yang kuinginkan.

“Kau sendiri? Siapa namamu?” tanya Evan pada Alph.

“Aku akan menggunakan Alfa.” Alph menuliskan ‘Alfa’ di samping tulisan drummer. Tinggal aku yang belum menentukan nama, dan berpikir akan menggunakan nama sendiri seperti Rou. Tapi kemudian, aku teringat papa, dan keinginannya agar aku menjadi dokter. Dokter dan pasien. Pasien datang berobat karena sakit. Sakit disembuhkan… sembuh… healing… heal…. Heal.

“Hea.” Kataku.

“Hn? Hea?” Alph memastian. Aku mengangguk.

“H. E. A. Hea.”

“Oke.” Ia menulis nama panggungku di samping kata vokalis. “Hea, Rou, Soul, Ryuu dan Alfa. Tidak buruk.” Alph mengangguk-angguk. “Bagus, sekarang leader, siapa kira-kira yang mau?” Alph memandang kami satu persatu.

“Hmm… kita butuh orang yang mau repot-repot mengurusi segala hal.” Ujar Evan.

“Yang pintar bicara.” Sambung Rou.

“Yang bisa menarik simpati.” Abel mengangguk-angguk. Sedangkan aku, aku hanya punya satu nama di kepalaku saat ini.

“Nah? Siapa dari kalian yang mau?” tanya Alph. Tidak ada yang menjawab, semuanya memandang kepada Alph. “Ehhh?? Aku??” ternyata Alph mengerti arti tatapan kami. “Kenapa aku?” protesnya.

“Sejak awal, kan, memang kau yang mau repot. Band tercatat atas namamu, kita latihan di rumahmu, kau yang dihubungi Regina, kau yang mengumpulkan kami disini…” Rou bertopang dagu menatap Alph.

“Kau juga baik hati.” Tambah Evan. Abel mengangguk-angguk setuju.

“Orang-orang selalu gampang bersimpati padamu.” Ujarnya. Alph melihat kami dengan pandangan bimbang. Akhirnya karena kalah suara, ia menyerah.

“Oke… kalian yang mau.” Katanya, menarik nafas dan menuliskan ‘leader : Alfa’ di bagian bawah nama panggung.

“Lihat, saat kau memilih nama saja sudah menunjukkan kalau kau seorang leader.” Ujar Rou. Alph memutar bola matanya.

“Aku memilih ‘Alfa’ karena terdengar mirip dengan namaku.” Tukasnya. Rou mengangkat bahu,

“Itu namanya takdir, Alph.” Katanya dengan wajah sok bijak. Alph tertawa melihatnya.

“Apapun maumu lah.” Ia menggeleng-geleng kemudian memandang kertas di tangannya. “Sudah jadi. Inilah jati diri kita mulai sekarang.” Lalu ia menuliskan tanggal di pojok kanan atas.

11-11-xxxx. LiViNG, terbentuk di kota ini, beranggotakan 5 orang remaja yang semuanya baru saja lepas dari SMA. Aku, Hea, di vokal. Rou di bass. Soul di lead guitar. Ryuu di rhythm guitar. Dan Alfa, leader, di drum.

Dari sinilah masa depan kami dimulai.

-bersambung-

A/N: selesai babak pertama XD klo diibaratkan rumah, ini adalah fondasinya~ semoga teman2 sekalian menikmati ending dari babak I Yura-Nidi~ terima kasih sudah rela membacanya hingga chapter ini ^___^

orific: ikatan yang tak berjalan

Previous post Next post
Up