Bag. 10
Stress menanti di depan mata. Minggu-minggu sebelum ujian akhir untuk anak kelas 3 membuat suasana di koridor-koridor kelas 3 menjadi lebih hening. Bahkan kelompok bully yang berasal dari kelas 3 menghentikan kegiatan rutin mereka mengganggu anak-anak yang biasa menjadi korban mereka. Agak aneh rasanya saat berpapasan dengan si tinggi di koridor dan ia hanya mengabaikanku seolah pem-bully-an terhadapku tidak pernah terjadi. Seolah sebelumnya ia tidak pernah mengunciku di kubikal toilet, seolah aku tidak menggunkan headgear.
Aku tidak pernah mengira efek ujian akhir akan sehebat ini.
Aku bersyukur, tentu saja. Penderitaanku sebagai korban bully di sekolah sudah lebih dari cukup, dan jika aku harus menghadapinya sambil ditimpa beban ujian akhir, aku bisa gila. Tekanan ujian akhir membuatku harus pulang lebih sore, karena sekolah mewajibkan kami semua, anak kelas 3, untuk ikut kelas tambahan. Jika diperlukan, kami akan ditahan di sekolah sampai malam, semua demi kepentingan nilai ujian akhir.
Awalnya, sekolah juga mewajibkan anak kelas 3 untuk masuk pada hari Sabtu hingga setengah hari untuk persiapan ujian. Tapi beberapa orang tua, yang memiliki pengaruh di departemen pendidikan, memprotes hal itu dengan alasan sekolah sudah keterlaluan memberatkan murid-murid kelas 3. Kami semua terselamatkan karena akhirnya kebijakan untuk sekolah di hari Sabtu dicabut, sehingga Sabtu tetap tidak ada jadwal sekolah seperti semula.
Klub fisika-yang semata-mata didirikan demi kelompok yang di-bully-yang tadinya hanya berisi dua orang dari kelas 1, dua orang kelas 2 dan empat orang dari kelas 3, mendadak penuh hingga mencapai 40 anak, semuanya dari kelas 3. Kami terpaksa membagi kelas menjadi dua, karena 40 anak terlalu banyak untuk ruangan klub fisika. Dan anggota inti klub dari kelas 3, termasuk aku, terpaksa menjadi pengajar, satu orang memegang 10 anak, semua demi ujian akhir. Aku tidak keberatan, tapi tentu saja aku menjadi dua kali lebih lelah dari yang seharusnya, karena setiap hari Senin, Rabu dan Jum’at, aku harus pulang lebih malam karena mengajar.
Aku menjadi lebih bersyukur karena mama sendiri yang menjemputku ke sekolah, bukan Yura.
Stress tidak hanya tampak di sekolah saja, di rumah pun-yang memang pada dasarnya hening karena hanya ada kami berempat-menjadi lebih hening. Aku menjadi lebih jarang nongkrong di depan televisi, Yura menjadi lebih jarang terlihat berkeliaran di rumah, hanya mengunci diri di kamar masing-masing bersama pelajaran-pelajaran. Mama sebisa mungkin membantu kami menjaga kesehatan, karena jujur saja, aku jadi sering lupa makan. Pada jam-jam tertentu di hari libur, mama selalu mengetuk pintu kamar, membawakan kami cemilan. Apa saja. Walau hanya biskuit. Dan setiap makan malam, selalu ada vitamin tambahan di samping gelas kami.
Tenagaku terforsir habis-habisan, setiap hari aku merasa lelah. Bahkan setiap bangun tidur. Efek persiapan ujian akhir yang sama terlihat juga pada Yura. Bagian bawah matanya lebih cekung dan kurasa Yura semakin kurus, tulang selangkanya terlihat semakin menonjol.
Pagi itu, hari Minggu yang terang, aku memasuki ruang dalam setelah memutuskan untuk bangun lebih telat dari biasanya. Yura ternyata juga sudah bangun, ia duduk di meja makan, tangannya mengusap-usap pelipisnya, matanya terpejam. Mungkin ia sakit kepala, karena aku sendiri juga sering sakit kepala akhir-akhir ini. Aku duduk di kursi yang biasa kududuki saat makan malam.
“Pagi, Kakak.” sapaku. Yura hanya bersuara “hm” pelan sebagai respon, tidak membuka matanya. Aku meraih kotak sereal dan menuangkannya ke mangkuk. Saat aku menuangkan susu ke atasnya, mamaku muncul dari pintu belakang. Tangannya menggunakan sarung tangan karet yang besar dan membawa gunting tanaman.
“Ah, pagi anak-anak!” Sapanya cerah.
“Pagi…” aku dan Yura menjawab bersamaan, dengan nada lesu yang sama.
“Wah, kalian lemas sekali pagi ini.” Komentar mama, melepaskan sarung tangan karetnya dan meletakkan alat-alat berkebunnya di lemari di bawah bak cuci piring.
“Mama, aku butuh aspirin.” Ujar Yura. Mamaku mengerutkan kening, Yura tidak biasanya meminta obat. Ia mendekat dan meletakkan tangannya di kening Yura.
“Aduh, badanmu panas. Sebentar, mama minta ke papa dulu.” Mama beranjak ke kamarnya. Yura akhirnya menelungkup di meja makan, aku memperhatikannya diam-diam sambil mengunyah serealku. Pasti kepalanya sakit sekali, karena kalau tidak, Yura tidak akan seperti itu. Mamaku keluar dari kamar sambil membawa kotak obat, disusul papa tiriku.
“Ujian ya… jatuh sakit semua.” Komentarnya, duduk di kepala meja dan mengacak-acak kotak obat yang dibawakan mamaku. “Jum’at siang ada yang datang kesini karena anaknya pingsan di sekolah. Ah… sekolah akhir-akhir ini menjadi berat sekali ya?” papa tiriku mengeluarkan tiga macam obat, aku tidak tahu apa itu, dan menyerahkannya pada Yura. “Minum ini. Sudah isi perut?” tanyanya. Yura mengangkat kepalanya dan mengangguk, menelan tiga butir obat itu sekaligus dengan segelas air.
“Istirahat saja sekarang, jangan sentuh buku-bukumu dulu.” Mamaku memijat pundak Yura. Yura mengangguk lagi dan berdiri, berjalan ke ruang depan dan menutup pintu.
“Nidi minum ini ya, untuk menjaga stamina.” Papa tiriku menyodorkan sebutir tablet panjang berwarna kuning pucat yang lumayang besar, aku melihat tablet itu dengan cemas, “Hanya vitamin C, tapi tidak manis.” Papa tiriku tersenyum.
“Oh…” aku mengangguk dan melanjutkan menghabiskan serealku.
Mama duduk di kursi di sampingku dan berbicara pada papa tiriku, “Anak-anak pulang malam, kamar mereka berserakan buku-buku dan kertas-kertas, dan semuanya lunglai seperti manula. Aku jadi merasa merekalah yang mencari nafkah.” Papaku tertawa.
“Sekolah menuntut terlalu tinggi, kita sebagai orang tua tidak bisa protes kan? Kita hanya bisa seperti ini, membantu menjaga kondisi mereka.” Papa tiriku menghela nafas. Mamaku berdecak,
“Aku senang kebijakan masuk sekolah di hari Sabtu dibatalkan. Itu tidak masuk akal kan? Anak-anak bisa ubanan sebelum waktunya.”
“Ya, itu tidak wajar.”
Aku selesai sarapan dan meminum vitamin C yang diberi papa tiriku. Saat aku berdiri hendak beranjak ke kamar, mama berkata padaku, “Kalau Nidi merasa kurang sehat, sedikit saja, langsung bilang, ya. Jangan sampai pingsan seperti pasien papamu kemarin.” Aku mengangguk.
“Ya, Mama.” Dan aku naik ke kamar.
~.~.~.~.~
Saat hari ujian akhir benar-benar datang, aku semakin merasa kacau balau. Aku melihat perubahan wajahku dari yang tidak sehat menjadi serupa zombie. Kulitku semakin terlihat seperti ikan mati, pucat seperti mayat, dan bagian mataku sudah seperti panda, menghitam di bagian bawahnya dan cekung. Anak SMP ujian lebih dulu dari anak SMA, jadi saat aku memasuki minggu kedua ujian, Yura mendapatkan minggu tenang, yaitu seminggu penuh libur sebelum ujian akhir dilakukan. Aku juga begitu seminggu sebelum ujian akhir.
Dua minggu ujian yang betul-betul mempertaruhkan masa depanku. Aku berjuang sekuat tenaga, dan sebisa mungkin mematuhi mamaku dalam hal menjaga kesehatan. Akhir minggu pertama, keadaanku sudah tidak beres. Kakiku mulai sering lemas dan saat aku mengeluhkan itu pada papa tiriku, papa tiriku hanya menarik nafas setelah memberiku setumpuk vitamin.
“Yang Nidi butuhkan sekarang adalah istirahat total di tempat tidur, tapi papa tidak bisa menyarankan itu karena Nidi masih ujian.” Jadi yang bisa kulakukan sekarang adalah: bertahan sekuat mungkin.
Minggu pagi, di akhir minggu pertama ujian, aku sedang menggosok gigi di depan cermin westafel. Yura muncul di pintu kamar mandi yang tidak tertutup dan bergabung denganku di rutinitas Minggu pagi.
“Kau kelihatan parah.” Komentarnya saat menjangkau sikat giginya di samping westafel. Aku meliriknya.
“Kakak juga.” Kataku. Tapi walaupun begitu, Yura, secara menakjubkan, malah bertambah tampan di mataku. Entah apa yang salah padaku, tapi Yura yang pucat dengan lingkaran hitam di matanya menjadi terlihat mengesankan. Ketampanannya menjadi semakin berbahaya dan menyeramkan, seperti vampir yang belum makan-maksudku menghisap darah-selama berbulan-bulan.
Oke, aku harus berhenti membaca komik-komik berjenis fantasi muluk-muluk macam begitu.
Selesai menggosok gigi dan berkumur, aku mengenakan headgear-ku kembali. Kepalaku berdenyut-denyut ngilu, membuatku mual, maka aku memutuskan untuk kembali ke kamar dan tidur lagi, tidak jadi sarapan. Aku akan melanjutkan belajar setelah kepalaku berhenti berdenyut. Saat aku melangkah ke pintu, tiba-tiba sakit kepalaku berubah dari denyutan menjadi dentaman, pandanganku menggelap dan kakiku seperti kehilangan pijakan.
Aku sudah pada batas pertahananku.
Aku menantikan rasa sakit karena benturan dengan lantai, tapi kemudian aku sadar kalau aku tidak jatuh. Ternyata Yura sudah menahanku agar tidak menggeletak; satu tangannya melingkari pingganku dan tangan lainnya memegangi lenganku, ia menyandarkan punggungku ke tubuhnya sehingga aku tidak melorot ke lantai. Kepalaku semakin berdentam-dentam menyakitkan hingga aku tidak bisa membuka mata, kecepatan detak jantungku juga meningkat di luar batas normal dan aku tidak bisa merasakan kakiku. Ada dua alasan, satu: karena aku memang hampir pingsan, dan dua: karena ini pertama kalinya, secara praktikal, aku dipeluk Yura.
“Kau kenapa?” suaranya, tidak sesuai harapanku, tetap tanpa nada apapun.
“A-” aku berusaha menjawab, setiap gerakan membuatku makin pening. Aku bahkan tidak mampu mengangkat tangan untuk memijat kepalaku yang serasa mau pecah.
“Badanmu dingin.” Kemudian tangan di pinggangku menghilang, berpindah ke kakiku. Yura mengangkatku dengan mudah dan beberapa saat kemudian, aku dibaringkan di tempat tidur, selimut ditarik menutupi tubuhku, suara langkah kaki menjauh, kemudian hening.
Aku tahu aku sudah ada di kamarku, tidak perlu membuka mata untuk mengetahuinya. Kemudian ada suara langkah-langkah yang tergesa menaiki tangga.
“Astaga, Nidi…” suara mamaku terdengar cemas. Kemudian aku merasakan seseorang duduk di kasurku, kancing depan piamaku dilepas dengan cepat-aku tidak bisa mencegahnya-dan benda besi dingin ditempelkan ke dadaku. Yah, aku tahu kalau itu adalah stetoskop. Lalu ada tangan yang menekan pergelangan tanganku.
“Hmm…” suara papa tiriku.
“Dia tidak apa-apa, kan, Alan?” suara mama.
“Nidi? Bisa dengar papa?” aku menggumamkan “hu’um” pelan karena tidak sanggup mengangguk. “Apa yang sakit?”
“Aku…” aku mengerinyitkan kening menahan pusing, “P-pusing.” Lanjutku, susah payah. “Mual.” Apa lagi yang kurasakan? “Kaki dan j-jantungku l-lemas…” kurasa itu saja.
“Kondisinya menurun, sedikit buruk. Akibat stress berat. Aku akan berikan beberapa obat, dan tolong pakaikan Nidi baju hangat, Elenor.” Kasurku kehilangan beban saat papa tiriku berdiri, kemudian ada orang lain lagi yang duduk disana dan dengan pelan mengangkat bahuku, merangkulnya dari belakang, kemudian aku dipasangi sweater. Dari parfumnya, aku tahu yang merangkulku adalah mama.
“Ini, minumkan ini padanya. Akan meredakan sakit kepalanya dan membantunya tidur.”
“Tapi dia belum makan.”
“Apa boleh buat…” mama mencekoki mulutku dengan, aku tidak tahu berapa banyak, obat-obatan pahit dan membantuku minum. Aku tidak berdaya merasakan pahitnya yang tertinggal di mulutku-aku tidak bisa melakukan apapun, merintih pun tidak. Membuka mata saja tidak bisa.
“Nah, biarkan dia istirahat. Dan Yura, papa mohon jangan sampai pingsan juga.” Papa tiriku terdengar menghela nafas.
“Terima kasih, Yura, sudah menolong Nidi.” Suara mamaku. Tidak ada suara Yura yang terdengar. Kemudian pintu ditutup dan aku membiarkan obat-obatan yang diberikan padaku melakukan tugasnya, membuatku tertidur.
~.~.~.~.~
Kamarku gelap saat aku membuka mata. Badanku penuh keringat dan kepalaku terasa lebih baik. Aku duduk pelan-pelan dan bisa merasakan kakiku. Karena gerah, aku melepas sweaterku dan turun dari kasur. Sebelum keluar kamar, aku melirik jam dinding. Jam 8 malam.
Aku tidak jadi belajar sesiangan.
Aku menghela nafas pasrah dan membuka pintu. Koridor kosong, dan pintu kamar mandi terbuka. Aku berjalan ke kamar mandi dan mencuci muka. Mukaku masih tidak beres, tapi setidaknya, denyutan-denyutan menjengkelkan di kepalaku sudah tidak ada. Dan karena aku mengingat denyutan di kepalaku, aku jadi mengingat kejadian tadi pagi. Dan kurasakan jantungku mempercepat detaknya, wajahku memanas.
Ya tuhan….
Aku tahu kalau aku senang, tapi akan lebih menyenangkan lagi kalau keadaannya tidak seperti itu. Tangan Yura di pinggangku, nafasnya di telingaku selama beberapa saat, dan radiasi panas tubuhnya yang masih demam di sekeliling tubuhku saat ia menggendongku ke kamar… aku membenamkan wajahku di telapak tangan, benar-benar kejadian yang mendebarkan. Seandainya… seandainya itu terjadi di kesempatan lain… di…
Oh ya, hentikan Nidi.
Tidak akan ada ‘keadaan lain’ yang kau inginkan, ujarku pada diriku sendiri. Cintamu akan terpendam selamanya, tidak akan ada jalan lain, karena itu akan menjadi skandal, aku masih mengomel pada bagian dalam otakku. Aku tahu kalau aku hanya bisa seperti ini, tidak akan pernah ada solusi lain selain menyerah dan melupakan perasaanku. Tapi apa gunanya melupakan perasaanku? Toh, melupakan ataupun menyimpannya untuk diri sendiri tidak akan ada efek apapun selama tidak ada yang tahu. Jadi kuputuskan untuk tidak melupakan perasaanku. Aku akan menyimpannya saja, tanpa harus memaksa apa-apa kepada siapapun.
Aku beranjak dari kamar mandi dan turun ke ruang makan, perutku kosong dan mulai berbunyi-bunyi. Saat aku membuka pintu ruang dalam, mamaku yang sedang menyusun piring berisi makan malam di baki menoleh dan tersenyum.
“Nidi sudah baikan? Mama baru saja akan mengantar makan malam ke kamarmu.” Katanya.
“Aku sudah tidak apa-apa, Mama. Aku lapar berat.” Kataku, duduk di tempatku. Mama menepuk kepalaku dan meletakkan makan malam di baki ke hadapanku.
“Mama membuatkan nasi lunak untukmu dan Yura, sup rempahnya berisi ayam cincang, ada muffin juga kalau Nidi mau.”
“Aku mau.” Kataku. Mama berjalan ke dapur dan kembali dengan sepiring muffin.
“Yura tidak mau makan ini, ketahuan kalau mama menggunakan wortel. Padahal wortelnya sengaja digiling halus dan mama sudah menggunakan vanilla yang banyak supaya tidak ketahuan. Hidungnya tajam sekali mengenali bau wortelnya.” Mama mengangkat bahu. “Dia bahkan belum menggigit muffin-nya.” Aku tertawa.
“Siapa yang akan menghabiskannya? Aku tidak kuat kalau makan sebanyak itu.” Kataku.
“Mama akan bawa ke kantor, sepertinya. Sayang sekali kalau harus dibuang.” Mama kembali ke dapur dan mencuci piring. Aku mulai makan malam.
Aku tidak melihat Yura, mungkin ia ada di kamarnya. Papaku juga tidak kelihatan. Televisi tidak menyala, dan mesin fax mama berdengung-dengung. Saat makan malamku habis, aku hanya sanggup memakan satu muffin wortel. Mama mengambil kotak pelastik bertutup dan menyusun muffin yang tersisa, kemudian memasukkannya ke kulkas.
“Aku akan belajar sebentar, lalu tidur lagi. Aku tidak mau gagal ujian gara-gara sakit.” Kataku. Mama mengangguk dan menyodorkan beberapa butir tablet.
“Papa menyuruhmu minum ini sampai ujianmu selesai.” Katanya. Aku menatap butiran warna-warni itu tanpa minat.
“Apa ini? Doping?” tanyaku masam. Mamaku tertawa.
“Anggap saja begitu. Tapi mama rasa itu hanya vitamin-vitamin, entahlah, itu urusan papamu.” Aku menelan tablet-tablet itu satu persatu, tidak mau ada pahit yang tertinggal di lidah seperti tadi pagi.
“Aku naik dulu, Mama.” Kataku saat semuanya habis kutelan, mama mengangguk.
“Selamat tidur, Nidi.”
-bersambung-