Bag. 9
Aku tidak menyukai keramaian, tidak begitu menyukai sosialisasi yang terlalu lama, dan acara pernikahan seperti ini mengharuskan aku berada di dalam kerumunan orang-orang untuk waktu yang sangat lama. Kalau bukan karena pernikahan papaku, aku tidak akan berada di tengah-tengah para tamu seperti ini. Aku akan berada di kamar, melihat keramaian dari jendela. Kakek dan nenekku datang, begitu juga kakek dan nenek Nidi. Semua keluarga dari kedua belah pihak datang.
Walaupun papa menyebut ini pesta sederhana, tamunya cukup banyak.
Pengucapan janji pernikahan berjalan dengan lancar. Mama tiriku terlihat amat cantik dengan gaun pengantinnya yang sederhana. Ia menggunakan tiara di atas rambutnya yang ditata seperti sekumpulan mawar. Dan kusadari bahwa taman belakang ini mendadak penuh mawar putih. Hiasan di gazebo, hiasan di meja-meja makanan, kue pernikahan mereka pun berhiaskan gula berbentuk mawar. Semuanya putih.
Aku melihat Nidi berdiri di samping mamanya, tidak bergerak kemana-mana. Ia mengenakan gaun pendek berwarna biru muda yang sangat manis, menurutku. Dan ia tetap tidak melepaskan benda besi yang ada di kepalanya. Mengapa ia tidak melepasnya saja, untuk sehari ini? Headgear itu betul-betul membanting segala dandanan manisnya. Aku tidak mengatainya jelek, tapi headgear itu memang merusak penampilannya.
Nidi selalu menggunakan baju-baju seperti itu, berpotongan manis penuh pita dan renda, memberi kesan kalau ia masih anak-anak. Tubuhnya yang ringkih juga mendukung kesan itu. Baju-baju yang ia kenakan sehari-hari juga seperti itu. Tidak pernah lepas dari hiasan pita, renda dan bunga-bunga. Kurasa seleranya memang yang manis-manis seperti itu.
Mereka; papaku, mama tiriku dan Nidi, sedang berbicara dengan nenek dan kakekku. Mereka tampak lebih renta sejak terakhir aku melihat mereka, entah sudah berapa lama aku tidak bertemu mereka. Tapi mereka terlihat sehat, itu bagus.
“Yura,” panggil papaku, aku mendekat. “Kakekmu ingin bertemu.” Aku membungkuk memberi salam.
“Ah, ini dia si Pelit kita! Apa kabarmu, Yura?” tanya kakekku. Aku hanya mengangkat bahu.
“Lihat dia, benar-benar sepertimu, Alan. Pelit suara.” Ujar nenekku, mengangkat tangannya untuk menggapai dan membelai pipiku. “Kau makin tampan saja, Sayang.” Sambungnya. Aku membungkuk dan mengecup pipinya. Nenekku menepuk punggungku dengan lembut.
“Nah, Elenor, kau harus memastikan Nidi sering mengunjungi kami. Pasti akan sangat menyenangkan punya cucu perempuan yang ceria dan penuh senyum, ya kan, Nidi?” kakekku menepuk kepala Nidi dan anak itu tersenyum. “Tidak seperti dia,” kakekku menunjuk padaku dengan jempolnya, “Ada atau tidak dia di rumah, tidak ada bedanya. Terlalu diam, seram.” Mereka tertawa, hanya Nidi yang meringis.
“Benar-benar jiplakan papanya.” Sambung nenekku. Papaku menggeleng.
“Mana mungkin aku pelit suara, aku kan dokter.” Bantahnya. Tapi nenekku menggeleng dengan keras kepala.
“Kalau kau ingin melihat Alan versi muda, Elenor, lihat saja Yura. Pendiam sekali, tidak ada suara.” Mama tiriku tertawa.
“Oh ya?” tanyanya, melihat pada papaku.
“Itu omong kosong, kan.” Tukas papaku.
“Tapi anakmu lebih parah, bukan hanya pelit suara, tapi juga pelit ekspresi. Seakan senyumnya itu terlalu mahal.” Kakekku merangkul pundakku, “Bagaimana kau akan menyanyi kalau mengeluarkan suara saja tidak mau?” aku meminum air mineral yang kubawa agar tidak perlu menjawab pertanyaan itu. “Ah, dasar kau! Penyanyi macam apa kau ini? Kau tidak akan mendapatkan fans yang loyal kalau tidak ramah begitu.”
“Aku tidak akan jadi penyanyi, dokter saja.” Akhirnya aku harus bicara, mau tidak mau.
“Tapi kau masih sering latihan band, kan?” aku mengangkat bahu.
“Hanya untuk persiapan lomba setelah ujian nasional.” Kakekku menggeleng kecewa.
“Bakatmu bisa jadi sia-sia, Yura. Kau harus dengar dia menyanyi, Elenor, sungguh-sungguh suara malaikat.”
“Aku akan senang mendengarnya, tapi aku tahu Yura, dan aku tidak akan memaksanya.” Mama tiriku tersenyum menatapku. “Aku tidak pernah memaksakan apa-apa pada anak-anakku. Yah… kecuali untuk benda menyiksa ini. Iya kan, Nidi?” lanjutnya sambil mengusap punggung Nidi. Lagi-lagi Nidi hanya meringis.
“Nenek dulu juga menggunakan headgear, Sayang. Dan bentuknya lebih mengerikan dari itu, lebih berat. Tapi percayalah, kau tidak akan menyesal.” Nenekku memandang simpati pada Nidi.
“Iya, Nenek.” Nidi mengangguk patuh. Apa anak itu selalu patuh begitu? Kurasa mama tiriku mendidiknya dengan benar. Jarang sekali melihat anak remaja perempuan yang patuh pada mamanya, mengingat masa puber mereka yang membuat jiwa membangkang mereka lebih tinggi.
Kemudian sepasang lansia lagi mendekat ke kerumunan kecil kami, orang tua mama tiriku.
“Senang sekali bertemu semua kerabat hari ini, Elenor. Ah, besan… akhirnya kita bertatap muka.” Kakek Nidi-kakek tiriku-menjabat tangan kakekku.
“Nidi sudah menyapa Kakek dan Nenek?” tanya mama tiriku. Nidi mengangguk.
“Dia yang menyambut kami di pintu depan tadi.” Sang nenek-nenek tiriku-menjawab.
“Ini anakmu yang baru?” tanya kakek tiriku, menatapku. Mama tiriku tertawa.
“Jangan memanggilnya seperti barang, Papa. Tapi, ya, dia anakku sekarang.” Aku membungkuk memberi salam.
“Aku Yura.” Kakek dan nenek tiriku tersenyum padaku, balas membungkuk.
“Mata yang bertameng, ya…” nenek tiriku berkomentar, menatapku. Semua orang terdiam, menatap padaku dan nenek tiriku bergantian.
“Eh… Mama?” mama tiriku mewakili pertanyaanku. Mata bertameng? Apa maksudnya.
“Nenek suka matamu, Yura. Tapi suatu saat, kau harus membuka kuncinya, suka atau tidak suka.” Nenek tiriku tersenyum dan mengangguk. “Ah, maaf… tidak bisa dicegah.” Ia tertawa kecil.
“Kau bisa meramal, ya? Wah, aku ingin sekali diramal.” Nenekku berkata antusias, nenek tiriku tersenyum simpul. Kemudian mereka melanjutkan berbicara sambil berjalan menjauhi kami. Langsung akrab seketika.
“Tampaknya istri kita cocok satu sama lain. Istriku itu, dia senang dengan hal yang berbau-bau mistis.” Kakekku menggeleng-geleng. Kakek tiriku tertawa.
“Biarkan saja mereka, diet masa tua sudah cukup menyiksa mereka. Setidaknya mereka punya sesuatu yang lain yang menyenangkan tanpa melibatkan gula dan kolesterol.” Kedua lansia itu tertawa, setuju satu sama lain. Papa dan mama tiriku saling tatap, saling tersenyum dengan keakraban orang tua mereka. Kemudian mataku berpindah pada Nidi. Anak itu tampak melamun, sedang memperhatikan live music klasik yang sedang tampil di gazebo yang tadi dijadikan tempat pengucapan janji pernikahan.
“Mari kita coba piña colada-nya, dari jauh tampaknya enak. Mereka bahkan menyediakan bartendernya.” Ujar kakekku.
“Papa, jangan terlalu banyak alkohol.” Papaku memperingatkan. Kakekku mengibaskan tangan.
“Hanya segelas, hanya segelas.” Kemudian dua lansia itu pun beranjak pergi.
“Tidak mau dinasehati.” Keluh papaku. Mama tiriku tersenyum,
“Hanya untuk hari ini, tidak apa-apa. Ayo kita sapa tamu lain.” dan kedua orang tuaku juga beranjak dari tempat mereka berdiri, meninggalkanku bersama Nidi yang tampaknya tidak sadar kalau kelompok kecil kami sudah bubar.
Live music yang sedang tampil itu memainkan sebuah lagu klasik dengan nada yang mendayu-dayu. Mereka berjumlah tujuh orang; tiga biola, dua cello, satu piano dan satu gitar. Cukup mengagumkan. Alunan nada lagu itu seolah membuat gerakan-gerakan di sekitar mereka melambat, tenang dan inilah yang aku suka dari musik klasik. Mengingatkanku pada pentas mamaku dulu.
Selain dilatih menyanyi, aku juga sempat sekolah piano selama beberapa tahun, kemudian berhenti. Dan untuk gitar, aku belajar secara otodidak. Aku cukup mahir, tapi sudah bertahun-tahun pula rasanya aku tidak memainkan piano. Benda besar berwarna hitam itu berdiri di sudut kamarku tanpa pernah dimainkan. Kadang-kadang aku memainkan gitarku, menulis beberapa lagu. Seingatku, aku belum menyentuh alat-alat musikku itu sejak kami pindah ke rumah ini.
Teman-teman band-ku pernah menyarankan agar memakai salah satu lagu buatanku untuk dibawakan di festival-festival, tapi aku menolak, tidak cukup yakin apakah lagu-lagu itu layak diperdengarkan. Mereka tidak memaksa, dan akhirnya Evan-lah yang bertanggung jawab atas pembuatan lagu. Evan penulis lagu yang hebat, kuakui semua lagu-lagu buatannya sangat bagus, dan cocok dengan suaraku.
“Lho? Mama mana?” Nidi membuyarkan lamunanku. Aku menoleh ke arah dimana mamanya berdiri, Nidi mengikuti arah pandangku, kemudian menunduk perapikan rimpel gaunnya. “Aku kebanyakan melamun, musiknya bagus sekali.” Katanya. “Kakak tidak mengundang teman-teman Kakak?” tanyanya kemudian. Aku menggeleng.
“Kau juga tidak.” Kataku. Nidi mengangkat bahu.
“Aku tidak suka teman-temanku.” Gumamnya. Aku mengerti mengapa ia tidak menyukai teman-temannya-aku langsung tahu begitu aku melihatnya pulang berlumuran telur-tapi tidak adakah anak-anak lain, yang lebih waras, yang mau berteman dengannya? “Aku bisa saja mengundang teman-teman klub fisikaku, mereka baik… tapi lebih baik tidak ada yang tahu.” Oh, itu menjawab pertanyaanku. Nidi kembali menatap pemain musik di gazebo, melamun lagi.
Alasanku tidak mengundang teman-temanku tidak sama dengan Nidi. Alasanku lebih simpel, karena aku tidak mau. Bukannya aku tidak ingin teman-temanku tahu kalau papaku menikah lagi, aku tidak keberatan orang-orang tahu. Tapi aku tidak pernah membicarakan keluargaku dengan orang lain, mamaku meninggal saja mereka tidak tahu. Termasuk Rou. Ia memang sahabatku, tapi aku berani bertaruh, demi pita suaraku, ia bahkan tidak tahu kalau aku ini anak tunggal-yang sekarang punya saudara tiri.
“Aku lapar, kurasa aku akan mencoba dim sum-nya. Kakak mau?” aku menggeleng, dan kubiarkan anak itu berlalu.
Masih ada beberapa jam lagi sebelum pesta ini berakhir dan aku bisa kembali aman di dalam kamarku. Kesabaranku benar-benar sedang diuji.
~.~.~.~.~
Saat pesta akhirnya selesai, rumahku betul-betul kosong menjelang gelap. Semua peralatan katering, tenda-tenda, kursi-kursi, sampah-sampah dan hiasan-hiasan sudah dibersihkan. Hanya gazebo yang masih berdiri, karena tukang bangunan baru akan membongkarnya besok siang.
Kakiku pegal karena seharian berdiri, maka aku menghempaskan diri ke sofa di depan televisi, merenggangkan kakiku yang terasa kejang. Nidi sedang duduk di lantai di depanku, membereskan perlengkapan baju pengantin. Kotak-kotak berserakan di sekitarnya dan sebagian telah berisi gaun pengantin, setelan papaku, dan sepatu mamanya, sedagkan tiara yang tadi dipakai mama tiriku kini sedang terpasang di puncak kepalanya. Anak itu belum mengganti gaunnya, membuatnya terlihat seperti prom queen-dengan kawat gigi dan headgear.
Lalu pintu kamar orang tuaku terbuka, mama tiriku keluar, telah menggunakan baju rumahnya. Ia tersenyum, “Ah, terima kasih Nidi. Biar mama yang lanjutkan, Nidi ganti baju saja.” Katanya, menepuk puncak kepala Nidi yang bertiara. “Nidi seperti prom queen dengan tiara begini.” Lanjutnya, sepikiran denganku. Nidi melepas tiara itu dan meletakkan di dalam kotak yang berbantal, kemudian menutup kotak itu.
“Mana ada prom queen yang seperti aku.” Katanya, menggeleng. Mama tiriku tersenyum.
“Ada, kok.” Nidi hanya mengangkat bahu dan berdiri, kemudian berjalan ke pintu ruang depan dan menghilang di balik pintu.
Mama tiriku mulai melanjutkan apa yang tadi dikerjakan Nidi, dan sebelum aku terlibat percakapan dengannya, aku memutuskan untuk naik ke kamarku juga. Saat aku membuka pintu ruang depan, ruang tamu gelap dan pintu depan terbuka. Nidi berdiri di ambang pintu, membelakangiku. Saat aku menutup pintu di belakangku, ruang tamu semakin gelap.
“Nidi? Kau ngapain?” tanyaku, heran karena anak itu hanya berdiri diam. Kemudian ia berjongkok pelan-pelan, tangannya terulur ke depan. Saat aku berjalan mendekatinya, ingin mengecek apakah ia baik-baik saja, ia bersuara,
“Pus~ kemari~” ia menjentikkan jarinya, “Sini sini~ kucing manis~~~” suaranya membujuk.
Oh.
Aku tiba di belakangnya, dan memang, ada seekor kucing angora putih yang luar biasa cantik di trotoar, sedang duduk memandang ke arah kami. Nidi tetap memanggil kucing tersebut, dengan suara yang paling membujuk. Setelah beberapa saat, kucing itu hanya melihat kepadanya tanpa bergerak, ekornya yang panjang bergerak-gerak pelan.
Ternyata Nidi memutuskan untuk menjemput kucing itu, namun saat ia melangkah keluar pintu, kucing itu lari.
“Yah… kabur…” keluhnya. Aku berpikir mungkin kucing itu milik orang dan lepas dari pengawasan, angora mustahil kucing liar. Lagipula kucing tadi jelas-jelas terawat dengan baik.
Karena Nidi tidak apa-apa, aku meninggalkannya dan naik ke lantai dua, berjalan menuju kamarku. Aku mendengar pintu depan ditutup kemudian dikunci, dan kurasakan langkah Nidi di belakangku. Kemudian aku teringat sesuatu.
“Kalau kau suka kucing, nenekku koleksi kucing. Isi rumahnya kucing semua.”
“Oh ya?” Nidi terdengar bersemangat.
“Ya, sampai-sampai aku tidak tahu harus tidur dimana.” Kemudian aku masuk ke kamarku dan menutup pintu.
Memang benar, nenekku memelihara terlalu banyak kucing, membuat rumahnya seperti tempat penampungan. Sebenarnya, kucing yang memang milik nenekku hanya dua ekor, tapi karena nenekku tidak pernah tega mengusir kucing liar yang mampir ke rumahnya, akhirnya, lambat laun, rumahnya dipenuhi kucing, beranak pinak. Terakhir aku mengunjunginya, kucingnya sudah mencapai dua lusin, dan itu bertahun-tahun yang lalu. Entah sekarang, apakah makin banyak atau berkurang.
Aku menyukai kucing. Salah satu hal yang membuatku senang berkunjung ke rumah nenekku adalah kucing-kucing itu. Kucing-kucing nenekku sangat sehat, beberapa ada yang terlalu gendut dan berat sekali untuk ukuran kucing. Biasanya kucing-kucing itu memenuhi satu sofa, tempat tidur dan rak-rak sepatu. Untuk kasusku, beberapa dari mereka akan memanjati kakiku dan berusaha duduk di bahuku. Entah mengapa mereka hanya melakukan itu padaku, seperti mereka tidak ingin meninggalkanku sendiri. Tapi biasanya aku tidak keberatan. Mereka hewan lembut, dan aku menyukai dengkuran mereka.
Tiba-tiba aku ingin memelihara kucing.
Ponselku berbunyi, membuatku keluar dari lamunanku. Aku meraih benda lipat itu dari meja lampu tidur dan melihat nama Rou terpampang di layar luarnya. Aku membuka ponselku,
“Ya?” sapaku.
“Hei hei, Alph bilang besok tidak bisa latihan. Dia harus ke resital piano mamanya.” Suara cempreng Rou terdengar semakin kekanak-kanakan di telepon.
“Oh, oke.”
“Kita ada PR tidak?”
“Tidak.”
“Hmm… aku sudah ganti model rambut, tapi aku belum ganti warnanya. Aku masih suka warna rambutku.”
“Sampai jumpa besok kalau begitu.” Kataku.
“Oke, bye bye~” sambungan diputus. Aku tidak penasaran dengan model rambut baru Rou, karena apapun model rambut yang digunakannya, tidak akan membuatnya tampak lebih dewasa. Yang bermasalah pada dirinya saat ini adalah wajahnya; wajahnya yang terlalu imut-imut seperti boneka-terlalu imut seperti tidak nyata.
-bersambung-