Bag. 2
Mama berpesan padaku bahwa kami akan berangkat makan malam jam tujuh, maka sepulang sekolah, aku segera bersiap-siap. Saat mama pulang, ia menyapaku yang sedang duduk di depan televisi dan langsung melesat ke kamarnya, mandi dengan buru-buru, merias wajah dan menata rambutnya.
Mama sedang memasang antingnya saat ia menilai penampilanku.
“Nidi cantik.” Katanya. Aku tahu yang dimaksudnya ‘Nidi’ adalah bajuku, karena tampangku tak mungkin cantik dengan headgear yang membuatku terlihat sangat, sangat culun. Tapi aku tersenyum atas pujiannya.
“Aku beli ini saat pameran seni tempo hari. Mereka menjual baju-baju seperti ini.”
Mamaku mengangguk, “Manis, dengan banyak renda dan pita begitu, Nidi jadi terlihat seperti tokoh kartun. Siapa namanya? Chobits?”
“Ya, tapi renda bajuku tak sebanyak dia. Potongannya juga lebih normal. Aku tidak mungkin ber-cosplay untuk pergi makan malam dengan calon papa.” Mamaku tertawa.
“Begini juga sangat manis. Mereka pasti akan menyukaimu.” Mama berjalan ke pintu setelah meraih tas tangannya di konter dapur.
Mereka tidak akan menyukai headgear-ku. Tidak ada yang menyukai headgear di dunia ini.
Mama menyetir dengan kecepatan penuh karena sudah hampir jam 7. Kami tidak banyak bicara di dalam mobil. Aku tidak tahu perasaan mama, tapi aku pribadi, tidak merasa gugup. Seharusnya aku gugup, tapi aku malah mencemaskan wajahku. Sia-sia saja aku mencoba memakai lipgloss untuk pemanis, tidak akan terlihat karena headgear yang menutupi hampir seluruh bibirku. Aku hampir tidak berhias sama sekali, kecuali memakai bedak. Kuharap aku tidak terlihat seperti gembel. Tapi selera mamaku tentang pakaian sangat tinggi, dan dengan dipujinya bajuku olehnya, aku yakin aku tidak seperti gembel.
Kami tiba di sebuah restoran eksklusif, berjendela kaca yang besar, dengan penerangan kekuningan, membuat semua orang di dalamnya terlihat seperti sedang berada di film kuno dengan efek sephia. Aku ragu-ragu.
“Mama, apa aku tidak salah kostum?” mataku terpaku pada orang-orang di dalam restoran yang menggunakan jas dan gaun resmi. Seharusnya aku memakai gaun seperti mama atau apapun yang cocok dengan suasana di restoran itu. Bukan baju manis tanpa lengan berbahan sifon, berenda, berwarna putih gading dengan pita disana-sini, dan terkesan seperti bocah. Aku bersyukur baju ini tidak memiliki rok yang terlalu mengembang seperti baju Chi di Chobits. Mama memandangku dari jok setir,
“Tidak. Kau cantik, sungguh. Ayo turun.” Mama menepuk puncak kepalaku sambil tersenyum dan keluar dari mobil. Aku mengikuti di belakangnya. Saat kami masuk, lonceng di atas pintu restoran itu berdenting, membuat orang yang mendengarnya menoleh ke arah kami. Dan aku tahu mata mereka akan langsung jatuh padaku, gadis bertubuh pendek dengan kostum anime dan berkawat gigi lengkap dengan headgear. Tapi kemudian mereka melihat mamaku, yang langsing dan anggun dengan rambut hitam bergelombang sebahu dan berkilau ditimpa cahaya lembut keemasan. Mamaku jadi seperti hologram, kulitnya yang sewarna susu seperti terfusi dan berpendar. Gaun malamnya yang berwarna hijau gelap membuat kulitnya terlihat lebih terang.
Aku terlupakan. Oh, betapa aku memuja mamaku. Sangat cantik.
Seorang pelayan menghampiri kami, dan tersenyum padaku.
“Nona manis sekali,” ujarnya, aku tersenyum berterima kasih, dan pelayan itu tersenyum makin lebar. “Anda sudah pesan tempat sebelumnya?” ia bertanya pada mamaku. Mama menggeleng.
“Kami sudah ada janji dengan Tuan Alan.” Jawab mamaku.
“Oh, mari kalau begitu, Anda sudah ditunggu.” Lalu si pelayan baik hati berjalan terlebih dahulu dan kami mengikutinya. Tempat itu penuh orang, tapi tidak berisik. Mereka berbicara dengan nada rendah, terdengar seperti dengungan. Suara tawa yang sayup-sayup dan dentingan peralatan makan mereka. Dan karena bajuku berwarna putih gading, penerangan keemasan restoran itu membuatnya memantulkan cahaya. Bajuku seperti memiliki cahaya sendiri, dan menarik perhatian. Setiap orang yang menoleh padaku akan melihat ke bajuku dengan pandangan ingin tahu, kemudian saat melihat kepalaku, mereka akan tersenyum simpati.
Ah!
Aku mau pulang saja rasanya.
“Elenor.” Suara berat memanggil nama mamaku, dan aku menengadah, menyadari bahwa kami sudah sampai di meja tujuan dan sedang berhadapan dengan calon papa tiriku… dan kakak tiriku.
Sungguh, kupikir aku sedang melihat seorang pangeran.
Calon kakak tiriku adalah seorang pemuda jangkung dengan tinggi kira-kira 170-sekian cm, berpostur tubuh tipis dan semampai dengan rambut berwarna cokelat berpotongan seperti Lelouch Lamperogue di seri Code Geass, plus wajah tanpa ekspresi. Mukanya tak bercela, hidung mancung sempurna, bibir melengkung seperti busur panah, kulit terang dan matanya yang berwarna abu-abu itu memandangku tanpa minat. Begitu pula saat ia memandang mamaku, sama sekali tidak ada apa-apa di matanya. Datar.
Dan jas hitam yang melapisi kemeja putih yang tidak dikancingkan di bagian kerahnya membuat ia makin terlihat seperti pemuda-pemuda di dunia khayalan. Dunia khayalanku, tentu saja.
“Ini anakku, Nidi. Nidi, ayo beri salam.” Mama merangkul pundakku. Aku mencoba tersenyum pada dua orang asing itu dan membungkuk.
“Ha-halo… namaku Nidi, Nidi Milia…” tanpa kusadari, aku telah menggunakan nada anak TK. Calon papa tiriku tersenyum lebar.
“Ah, kau manis sekali!” calon papa tiriku menepuk puncak kepalaku dengan lembut, kemudian menoleh ke anaknya yang masih memandang kami tanpa ekspresi. Pemuda itu hanya mengangguk sekilas, tanpa bicara. Aku tidak tahu kalau orang bisa memiliki ekspresi sekosong itu. Tapi betapapun kosongnya, wajah calon kakak tiriku tampan.
Sangat. Sangat. Tampan.
Pelayan menarikkan kursi untukku dan mamaku, kemudian kami duduk saling berhadapan. Aku berhadapan dengan calon papa tiriku, dan mama dengan calon kakak tiriku.
“Bisa saya catat pesanannya sekarang?” tanyanya sambil meletakkan buku menu di hadapan kami.
“Tentu, tentu.” Calon papa tiriku mengangguk, “Nidi, mau pesan apa, Nak?” tanyanya padaku. Aku melirik daftar menu yang menggunakan tulisan mirip Monotype Corsiva itu sejenak, memutuskan untuk memesan makanan yang tidak akan membuatku kewalahan.
“Sup jagung kepiting.” Jawabku. Si pelayan mencatat pesananku. Mamaku memesan kaserol sapi dan teh ginseng, calon papa tiriku memesan yang sama. Kemudian giliran calon kakak tiriku.
“Sushi ramen dan soda kiwi.” Akhirnya calon kakak tiriku mengeluarkan suara.
Suaranya adalah perpaduan suara berat, lembut, dan parau. Contoh suara yang dipakaikan pada tokoh anime pangeran. Contoh suara yang amat sangat kusukai.
Aku menyukai apapun yang ada pada calon kakak tiriku ini, dan aku bahkan belum tahu namanya.
Si pelayan pergi, dan aku memiliki firasat kalau sesi perkenalan akan dimulai lebih dalam dari sini. Calon papa tiriku berdehem dan meletakkan tangannya di meja, seperti akan memulai rapat penting.
“Nah, aku senang karena akhirnya kita semua bertemu.” Ujarnya. “Bulan depan, kalau tidak ada halangan, kami akan menikah.”
Hening.
Aku tidak tahu harus bereaksi apa, sedangkan kakak tiriku tampaknya tidak ingin memberikan reaksi apapun. Meja kami adalah meja yang paling hening dan paling tidak banyak gerak dibandingkan meja-meja lainnya. Mama dan calon papa tiriku saling menatap, tersenyum satu sama lain. Kakak tiriku memandang ke vas bunga di tengah-tengah meja, besidekap sambil menyandar di kursi. Sedangkan aku menatap mereka bertiga secara bergantian.
Tidak adakah yang ingin berkomentar?
“Itu…” aku bersuara. Serentak, mereka bertiga mengalihkan tatapan padaku. “Aku… aku lupa pesan minum.”
~.~.~.~.~
Akhirnya aku hanya memesan teh hangat. Aku mengatakan ‘lupa pesan minum’ hanya agar keheningan aneh yang terjadi di meja kami berakhir. Air mineral sudah disediakan sejak awal kami duduk, dan biasanya aku tidak minum minuman lain selain air mineral. Aku tidak mungkin memesan air mineral lagi kan?
Sebetulnya tidak ada kesan kaku pada masing-masing sikap kami, kami hanya tidak banyak bicara… yah, walaupun mamaku dan calon papa tiriku banyak berbicara menggunakan telepati-maksudku, lewat tatapan mata. Tidak ada juga kesan masam atau apapun pada calon kakak tiriku, sepertinya ia memang begitu. Tidak senyum, tidak bicara, tidak menggunakan ekspresi, tidak memandang kemana-mana. Apatis.
Aku tidak bisa memastikan perasaannya saat itu. Apakah ia setuju atau tidak, apakah ia menyukai mamaku sebagai mama tirinya atau tidak, apakah ia menyukaiku atau tidak. Aku benar-benar tidak bisa membaca raut wajahnya. Seperti gurun, aku hanya melihat pasir datar. Tidak ada apapun. Kosong.
Makanan yang kami pesan akhirnya datang yang membuat mamaku serta calon suaminya sadar kalau mereka telah mengabaikan kami dan dunia luar selama mereka bertatapan.
“Sup jagung kepiting?” tanya si pelayan, aku mengangguk. “Silahkan, Nona.” Ia tersenyum dan meletakkan makanan pesanan yang lain di hadapan mamaku, calon papa dan kakak tiriku.
“Ayo, kita langsung makan saja.” Ujar calon papa tiriku.
“Nidi mau dipesankan roti? Untuk pelengkap sup?” tanya mamaku. Aku menggeleng.
Biasanya aku tidak akan menolak, tapi malam ini, untuk suatu alasan, perutku terasa penuh. Padahal sebelumnya aku sengaja tidak makan apapun di rumah karena kupikir aku akan kenyang malam ini. Dan semangkuk kecil sup jagung kepiting ini, normalnya, tidak akan membuat siapapun kenyang kalau tidak ada tambahan apapun. Tapi seperti yang kubilang tadi, perutku terasa penuh.
Semua ini karena calon kakak tiriku.
Aku melihatnya makan dalam diam, sesekali menyeka mulutnya yang cantik itu dengan serbet karena kuah ramen-nya.
“Nidi, bagaimana sekolahmu?” calon papa tiriku bertanya.
“Mmm… sekolahku oke. Tidak ada yang aneh.”
“Coba ceritakan.”
“Itu…” aku tidak mungkin menceritakan yang sebenarnya kan? Bahkan mama tidak pernah tahu kalau aku di-bully karena kawat gigiku. “Aku cukup pintar fisika, karena aku punya kelompok belajar yang menyenangkan di klub.”
“Ah, Nidi ikut klub fisika? Wah wah, Yura ini, dia ikut klub pelajaran juga selain klub basket. Kau masuk klub pelajaran mana, Yura?” calon papa tiriku menoleh ke anaknya.
Oh… jadi namanya Yura. Astaga… bahkan namanya saja sudah setampan itu.
“Matematik.”
“Nah, iya, matematika. Kalian pasti akan cocok nanti, bukankah menyenangkan memiliki adik perempuan, Yura?” ujar calon papa tiriku. Yang ditanyai melirikku tanpa bicara dan mengangguk, melanjutkan makan. “Nidi juga, pasti senang dapat kakak lelaki. Papa akhirnya mendapatkan anak perempuan. Anak ini,” calon papa tiriku menepuk pundak Yura, “Dia tidak pernah ada di rumah. Selalu sibuk dengan sekolah dan band nya. Apalagi dia sudah di tahun terakhirnya di SMA, sedang sibuk-sibuknya mempersiapkan ujian akhir sekolah.”
Aku tersenyum, “Aku juga, sedang sangat sibuk dengan persiapan ujian akhir.” Aku membayangkan terkunci di dalam kubikal toilet sekolah dan segala usaha yang kulakukan untuk menghindari bertemu dengan kelompok bulliers. Mungkin setelah lulus nanti, aku akan minta homeschooling?
Dari pembicaraan kami-maksudku, mama dan calon papa tiriku, karena aku dan Yura hanya berada disana untuk mendengarkan, dijelaskanlah rencana pernikahan mereka.
Bulan depan, mereka akan mengadakan pesta pernikahan di rumah calon papa tiriku dan tinggal disana. Itu berarti aku akan pindah dari rumah yang sudah bertahun-tahun kutempati setelah papa meninggal. Aku tidak keberatan. Kemudian para undangan yang akan datang adalah teman-teman mamaku, teman-teman papa tiriku, teman-teman Yura, dan kerabat-kerabat lain.
Teman-temanku?
Mereka tidak perlu tahu.
Mama ingin aku menjadi pengiring pengantin. Aku menolak dengan alasan aku lebih suka menjadi yang membawa cincin. Menjadi pengiring pengantin berarti harus berjalan pelan melewati para undangan dan pastinya aku tidak akan menyukainya. Mama setuju.
Pestanya tidak akan diadakan besar-besaran, hanya pesta pernikahan sederhana karena menurut mama dan calon papa tiriku, mereka tidak lagi cocok untuk mengadakan pesta pernikahan yang megah.
“Itu untuk kalian saja nanti.” Kata calon papa tiriku.
Makan malam selesai sekitar jam sembilan, dan aku sudah mulai mengantuk. Penerangan restoran yang keemasan juga membuat mataku berkunang-kunang, sedikit pedih sebab lensa kontak yang kupakai terasa kering karena ruangan restoran ini berpendingin. Aku menggunakan lensa kontak setiap saat, karena pengelihatanku yang -4 ini membuatku tak bisa melihat apa-apa. Aku menolak menggunakan kacamata. Kepalaku sudah penuh dengan aksesoris, dan tambahan kacamata bisa-bisa membuatku tak sanggup mengangkat kepala karena terlalu berat.
Akhirnya kami keluar dari restoran.
“Makan malamnya menyenangkan sekali, Alan.” Ujar mamaku, menggandeng lengan calon papa tiriku. Calon kakak tiriku langsung berjalan ke arah mobil di samping mobilku, kedua tangan di saku celana, tidak mengucapkan apa-apa. Aku berdiri diam di samping mamaku.
“Ah, si Yura ini, sepertinya tidak akan pernah berubah.” Desah calon papa tiriku.
“Tidak apa, Alan. Kalau anaknya memang begitu, kau tidak perlu cemas. Setidaknya, dia mau datang dan makan malam bersama kita.”
“Dia tidak menolak, hanya mengangguk. Dan waktu aku bilang aku akan menikahimu, dia juga hanya mengangguk. Aku ini ayahnya, tapi bisa dibilang aku tidak tahu apa-apa tentang anak itu.”
Aku menyimak pembicaraan itu dengan seksama. Agar tidak berkesan menguping, aku megarahkan pandanganku ke jalan raya yang belum terlalu sepi, bersidekap karena angin malam yang cukup dingin menyerangku yang berpakaian tanpa lengan.
“Mungkin dia memang tidak ingin banyak komentar…”
“Bukan, dia itu kelewat pelit dengan suaranya. Terlalu diam. Orang-orang bisa menyangkanya sombong.”
“Sombong dan pendiam itu kentara sekali bedanya, Alan.”
“Ya… kuharap dengan punya adik, dia akan lebih baik hati mengeluarkan suaranya yang berharga itu. Bicara segan, tapi jadi vokalis di band-nya. Heran…”
“Ahaha~ sudahlah. Aku harus pulang, anakku besok masih harus sekolah.” Mama merangkul pundakku. Calon papa tiriku tersenyum padaku,
“Ah, ya, benar.” Calon papa tiriku mengecup pipi mamaku dan kami bersama berjalan ke arah mobil masing-masing. Yura masih di luar mobil, bersandar di pintu jok supir, tangan masih di dalam saku celana. Angin menerpa wajahnya, membuat poninya bergerak-gerak lebut.
Oh tuhan. Makhluk apa orang itu? Mengapa bisa setampan itu?
Ketika calon papa tiriku masuk ke mobil, Yura masuk juga dan menyalakan mobil. Mama juga menyuruhku untuk segera masuk ke mobil karena cemas aku akan masuk angin. Aku menurutinya.
Mama menyalakan mobil dan menyetir keluar parkiran. Yura menyetir di belakang kami, mengikuti kami sampai akhirnya harus berpisah jalan karena arah rumah kami berbeda. Yura mengedipkan lampu jauh mobilnya, membuatku dan mama menoleh ke kaca spion. Ternyata calon papa tiriku melambaikan tangan sebelum mereka berbelok. Kaca mobil kami gelap, jadi percuma saja membalas lambaiannya.
“Bagaimana pendapatmu, Nidi?”
“Apanya?”
“Calon papamu.”
“Dia baik. Aku setuju mama menikah dengannya.” Ujarku jujur. Mamaku tersenyum dan menepuk pelan puncak kepalaku. Tapi aku tidak perlu mengungkapkan alasan lain mengapa aku setuju.
Aku jatuh cinta pada calon kakak tiriku.
-bersambung-