BABAK I
Bag. 1
“Aku berangkat.” Ujarku pada mama dari meja makan. Mamaku yang sedang membuat teh menoleh dan melambai,
“Hati-hati.” Ujarnya, menyicipi tehnya dan mengangguk pada diri sendiri, menandakan kalau mama sudah puas dengan rasa tehnya. Aku bangkit dari tempat duduk, merapikan rok dan menarik tasku dari lantai. Sekolah tidak pernah menjadi hal yang menyenangkan bagiku. Kenapa? Oh, pasti aku akan ditanyai begitu. Bukan apa-apa sebenarnya.
Kalau saja aku tidak memakai kawat gigi lengkap dengan headgear-nya, sekolah pasti akan menjadi tempat yang baik-baik saja.
Sebenarnya aku tidak sudi menggunakan kawat gigi dan headgear macam begini, tapi dokter gigi mewajibkanku menggunakannya saat umurku 13 tahun, karena rahang atasku tumbuh terlalu cepat. Untuk menahan pertumbuhannya, pemakaian headgear sangat dibutuhkan agar rahang bawahku bisa sejajar dengan rahang atasku. Berawal dari kecemasan mama pada gigiku yang tumbuh seperti struktur pegunungan-tinggi-rendah-melesak-berbukit, mama membawaku ke dokter gigi. Kemudian dokter gigi itu memutuskan untuk menyiksaku dengan kawat gigi, lalu karena si dokter gigi mendapati rahang atasku terlalu maju, ia menyarankan pada ibuku agar aku dipasangi headgear.
Percayalah, aku bukan murid populer di sekolah. Aku murid biasa-biasa saja. Terlalu biasa hingga tidak dicap sebagai selebriti sekolah, terlalu biasa bahkan bulliers di sekolah tidak melirikku untuk jadi objek keusilan mereka.
Dan kedamaianku sebagai murid biasa-biasa saja berubah seketika saat aku menggunakan dua alat kesehatan gigi terkutuk itu. Perhatian mulai tertuju pada kawat gigiku dan aksesoris tambahannya. Lalu… yah, saat itu aku tahu bahwa aku harus membiasakan diri terhadap fenomena remaja culun kebanyakan, got bullied.
Aku berjalan menjauhi rumah menuju halte bus. Bus sekolah baru akan datang dalam 15 menit, jadi melangkah dengan pelan seperti ini tidak akan membuatku tertinggal. Aku tidak suka sekolah… maksudku, aku tidak suka suasananya. Dulu aku menyukainya-sebelum menggunakan dua monster penyiksa ini. Dulu aku memiliki teman sekelas yang oke, tidak terlalu banyak namun cukup akrab. Sekarang aku tidak punya teman selain teman dari klub fisika.
Aku bukan siswi penggemar fisika. Satu-satunya alasan mengapa aku masuk klub itu adalah: karena mereka yang menawarkan. Mereka, para anggota klub fisika, adalah para korban bully yang terjadi di sekolah, tidak ada murid populer yang mau masuk klub itu. Mereka mulai bersimpati padaku saat aku kewalahan di-bully. Satu-satunya komunitas yang tidak takut berdekatan denganku. Karena kalau ada yang mendekat, mereka akan jadi objek bully juga. Dimana adilnya dunia sekolah ini?
Halte bus kosong, dan aku memutuskan untuk duduk di kursi tunggu. Kemudian aku memikirkan mama. Akhir-akhir ini, kira-kira sebulan terakhir, mama menjadi aneh. Biasanya, mama hanya menggunakan pakaian kerja seadanya, menyanggul rambut seadanya dan tidak menggunakan make-up. Mama sangat menderita saat papa meninggal lima tahun lalu, dan karena merasa tidak perlu lagi berdandan cantik, termasuk saat pergi bekerja, mama membuang semua alat make-up-nya.
Mamaku bekerja di kantor pemasaran rumah, sebagai akuntan.
Nah, hal yang aneh pada mamaku adalah: mama mulai berdandan lagi. Mama membeli alat-alat kosmetik lengkap lagi seperti wanita dewasa normal, menggunakan parfum, menata rambutnya saat pergi bekerja, dan mengenakan pakaian kerja yang cantik. Dan senyumnya. Aku bisa melihat senyumnya sangat berbeda. Senyumnya terlalu cerah, terlalu sumringah… seperti orang yang sedang kasmaran.
Kemudian lamunanku dibuyarkan dengan suara bus sekolah. Aku menarik nafas lemas dan berjalan memasuki bus yang berwarna kuning itu. Bersiap menghadapi kekejaman sekolah.
~.~.~.~.~
Aku menghindari jalan ke kelas melewati koridor depan, koridor yang terdekat dengan gerbang sekolah, karena bara bulliers biasanya bergerombol disana, mengerjai objek-objek mereka yang lewat di depan mereka. Aku memperhatikan mereka dengan jijik. Mereka sama sekali tidak berperasaan, menyiksa orang-orang seperti itu, mempermalukan mereka dan tidak ada satupun guru yang mau melarang mereka. Karena apa?
Sederhananya, karena mereka juga berani mem-bully guru-guru yang ikut campur. Entah melucuti roda motor, mematahkan pengayuh sepeda, atau menggores mobil-mobil guru dengan paku. Atau yang lebih parah, menjebak guru yang akan masuk ke kelas dengan meletakkan ember berisi air kotor sisa mengepel lantai di atas pintu, guru yang masuk kelas akan tersiram dan dipermalukan di depan seisi kelas. Ketika ditanyai satu-persatu, tidak ada yang mengaku. Siapa yang mengadu, pastinya akan jadi objek baru mereka.
Kelas sepi ketika aku membuka pintunya. Maksudku dengan ‘membuka’ adalah, menendang pintunya. Aku bukan orang yang paranoid, tapi tidak ada salahnya waspada dengan keadaan sekitar saat hidup di bawah tekanan. Aku juga membiasakan diri untuk mengecek kursiku, apakah ada lem, atau paku, atau kotoran kucing.
Sungguh, aku tidak berlebihan.
Aku pernah menduduki kotoran anjing yang dioleskan di kursiku.
Beberapa orang pasti akan merasa sangat depresi dengan tekanan-tekanan konyol macam begini. Tapi aku tidak depresi. Aku sebal, ya. Tapi bukan berarti aku harus merasa menderita. Aku tidak bilang kalau aku menikmatinya. Aku hanya yakin bahwa suatu saat mereka akan bosan dan membiarkanku sendiri. Lagipula, aku tidak akan berada di sekolah ini selamanya. Aku sudah kelas 3, sebentar lagi lulus. Dua tahun di-bully habis-habisan membuatku kebal.
Awal-awal aku memang menderita. Aku sedih dan ketakutan. Tapi lama-lama aku bosan dengan perasaan seperti itu, maka aku tidak menangis lagi. Kalau memang rupaku tidak sesuai dengan selera mereka, itu bukan urusanku. Di mataku, mereka hanyalah sekelompok orang-orang menyedihkan yang senang mengolok kekurangan orang lain. Aku belajar hal ini secara otodidak, tidak ada yang mengajariku untuk bertahan sedemikian rupa.
Bukankah aku sangat jenius?
~.~.~.~.~
Tidak ada hal yang paling menyebalkan selain bertemu murid-murid perempuan kelompok bulliers yang sedang haus hiburan. Aku memasuki toilet tanpa memandang ke arah mereka, sebisa mungkin berkesan tembus pandang. Tapi aku tidak tembus pandang, dan mereka semua, bertiga, menoleh ke arahku. Menyeringai secantik singa betina.
Oh tuhan.
Aku berbalik, bermaksud melarikan diri. Tapi satu di antara mereka, yang paling tinggi, sudah menarik tanganku dan menguncinya di balik punggungku. Sakit, seperti terkilir, membuatku meringis. Tapi aku tidak mengaduh, aku sudah biasa menahan rintihan.
“Halo, Nidi. Kabarmu baik hari ini? Kami merindukanmu, tahu.” Ujar si tinggi. Aku menggigit lidah, menahan sakit.
“Kawat gigimu bikin kau tak bisa ngomong ya?” ujar yang lain, si rambut gelombang.
“Lepasin.” Gumamku, antara sakit dan muak. Dan mereka tertawa.
“Kami juga merindukan suaramu.” Kemudian si tinggi menyeretku ke salah satu kubikal kosong dan mendorongku ke dalamnya. Aku terperosok di lantai dan tidak sempat menahan pintu yang mereka tutup di belakangku. Mereka tertawa-tawa, mengunciku dari luar, entah bagaimana caranya.
“Sampai ketemu, Nidi sayang~ kalau kau bisa keluar~! Hahaha!” dan suara mereka menjauh.
Aku tidak jenius ternyata. Kalau aku jenius, aku pasti sudah mematahkan tulang mereka.
Berjam-jam aku terkurung di toilet yang dengan anehnya tidak didatangi satu pengunjung pun. Aku melewatkan jam pelajaran yang berjalan sesudah jam istirahat. Kuharap guru-guruku sudah mengerti, kalau ada anak culun yang tidak kembali ke kelas setelah jam istirahat, mereka pasti terkunci di suatu tempat di sekolah ini. Toilet, lemari sapu, gudang bawah tanah….
Aku duduk diam di toilet. Bel pulang sudah berbunyi sejam yang lalu, dan tetap saja, tidak ada satupun yang masuk ke toilet. Aneh sekali. Apakah aku akan menginap di toilet sekolah malam ini? Kuharap mama menelepon polisi saat aku tidak pulang, maka aku akan ditemukan disini, dan terungkaplah kasus pem-bully-an yang tak berperasaan ini.
Sedetik setelah pikiran menyenangkan itu singgah di kepalaku, ada suara pintu dibuka. Seseorang akhirnya memasuki toilet. Aku diam menunggu, kalau itu adalah murid-murid perempuan pem-bully tadi, akan percuma kalau aku berseru meminta tolong.
“Nidi?” ah! Eria!
“Kenapa kau tahu kalau aku ada disini?” tanyaku dari dalam kubikal. Aku mendengar Eria menggeser sesuatu di depan pintu kubikal, lalu membuka pintunya. Wajahnya cemas, tapi juga terlihat lega.
“Aku tidak tahu, kok. Kami semua mencarimu saat kau tidak muncul di klub untuk belajar bersama. Kami langsung tahu kalau kau pasti sedang dalam masalah.” Jawab Eria sambil mengecek keadaanku. “Ada yang luka? Cidera? Kau diapakan sama mereka?”
Aku menggeleng, “Aku tidak apa-apa, hanya dikurung.”
“Baguslah tidak cidera… dan ban depan sepeda Alo hilang.”
Oh ya ampun.
~.~.~.~.~
Rumahku kosong, tentu saja. Mama belum akan pulang sebelum jam 6 sore. Aku mengganti baju dan mencuci muka. Berjam-jam di dalam kubikal toilet membuatku mual. Mungkin aku sudah menghirup terlalu banyak gas beracun.
Aku menemukan mie instan di lemari makanan. Kurasa aku akan menunggu mama pulang saja. Aku tidak mau makan mie instan.
Belajar bersama di klub fisika tadi membahas pelajaran minggu depan. Kami mengerjakan soal-soal latihan dan membahas subjek yang tidak dimengerti. Fisika itu tidak menyenangkan, aku tidak menyukainya sama sekali. Tapi bergaul dengan orang-orang di klub fisika membuatku merasa normal. Untuk sejenak aku bisa melupakan masalah sekolah yang sebenarnya.
Aku menghidupkan komputerku. Selagi menunggu komputerku menyala sempurna, aku beralan lagi ke dapur untuk mengambil segelas air. Aku berencana untuk menulis diary yang sangat panjang sambil menunggu mama pulang, dan segelas air sangat diperlukan.
Kegiatan menulis diary sudah lama rutin kulakukan. Tepatnya saat masuk kelas 1 SMP. Aku merasa memiliki banyak cerita yang ingin kubicarakan, tapi membicarakannya dengan mama adalah hal yang tidak mungkin. Dan aku tidak memiliki sahabat yang cukup dekat untuk membahas hal-hal pribadi. Oleh sebab itu, aku memutuskan untuk menulis diary.
Diary yang kutulis semakin bertambah panjang saat aku memakai kawat gigi dan ‘hiasannya’. Pem-bully-an demi pem-bully-an, penyiksaan demi penyiksaan, keusilan demi keusilan, semua kutulis dengan rinci. Kalau suatu saat aku mati karena di-bully, aku ingin diary-ku ditemukan dan dijadikan barang bukti untuk menghukum murid-murid itu.
Mengetik panjang lebar membuat otakku berdengung. Aku meneguk airku sedikit dan bangkit dari meja komputer, merebahkan diri di kasur. Aku berharap kawat gigi dan headgear ini segera dilepas. Sudah hampir tiga tahun aku memakainya. Aku tidak cemas terhadap pem-bully-an yang dilakukan berdasarkan kawat gigi ini, sungguh. Masa-masa kecemasan itu sudah lewat bertahun-tahun lalu. Aku menginginkan benda ini dilepas karena memang sangat tidak nyaman menggunakannya.
Suara mobil memberitahuku bahwa mama sudah pulang.
“Nidi, mama pulang!” seru mama saat memasuki rumah. Aku keluar dari kamar dan menemui mama di meja makan.
“Mama bawa apa? Tidak ada makanan apapun selain mie instan.” Ujarku, duduk di kursi meja makan.
“Mama tahu, makanya mama beli sup kepiting untukmu.” Mamaku tersenyum, dengan senyum yang 'itu' dan mengambil mangkuk di rak peralatan makan.
Selagi makan, aku memberanikan diri bertanya.
“Aku merasa Mama berubah.”
“Oh ya? Apakah mama terlihat lebih cantik?” mamaku masih tersenyum dengan senyum yang 'itu'.
“Ya.” Aku menjawab jujur. “Mama seperti teman-temanku saat memiliki pacar, bersolek dan banyak tersenyum.”
Mama berdehem, “Sebenarnya… mama merasa bersalah tidak cerita pada Nidi… bukannya mama tidak ingin, tapi waktunya belum terasa pas.”
“Jadi Mama benar-benar punya pacar?” tanyaku, tidak kaget.
Mama mengangguk pelan, “Ya… dia klien mama yang rutin datang ke kantor karena mengurus pembangunan rumahnya. Dia pria yang baik.”
“Aku senang melihat Mama gembira lagi.” Kataku. Mama menatapku,
“Nidi tidak keberatan?” tanyanya. Aku menggeleng.
“Tidak. Mama berhak punya pacar.”
Lalu mama terbatuk kecil, pertanda ada masalah yang lebih serius. “Nidi, sebenarnya hubungan mama dengan pria itu bukan sebatas pacaran lagi. Dia sudah melamar mama, tapi belum mama jawab karena mama masih harus bicara padamu…”
“Oh… lalu?”
“Lalu?”
“Lalu…?”
“Lalu… apakah Nidi tidak keberatan?” nada mamaku ragu-ragu.
“Apa Mama lihat aku marah?”
“Tidak…”
“Ya sudah, terima saja lamarannya. Aku tidak keberatan.” Mamaku tersenyum cerah,
“Kalau begitu, besok kita akan pergi makan malam. Mama akan kenalkan Nidi padanya. Dan pada calon kakak tirimu.”
-bersambung-