Bulan sabit datang dan pergi, aku menatapnya dari jalanan yang biasa kulalui hari demi hari. Apa yang bisa kudapatkan dari apa yg kumiliki sekarang? Aku tidak berguna, hanya seonggok sampah di tengah-tengah peradaban manusia yang bergerak secepat suara. Mereka berlalu lalang, tapi aku vakum disini, menghiasi ruang invalid yang kutata sendiri, yang paling suram dan termakan rayap-rayap berkaki debu, jauh di sudut pojok. Sungguh aku tidak bisa melihat apa gunanya diriku sekarang… setelah kepergiannya.
Memasuki ruanganku yang sendiri, aku tidak ingin hidup dalam rasa hampa. Aku berpikir, mungkinkah aku bisa selamat? Aku tidak punya kekuatan, bahkan untuk melawan diriku sendiri, aku tidak mampu. Aku hanya seonggok sampah, tidak lebih.
Maka kumainkan benda lama yang tersimpan di sudut laci meja belajarku. Sebuah benda cantik dengan kerlingan manjanya, dengan kelipan permukaannya yang mematikan. Kusayatkan permukaannya yang tipis di sekujur tubuhku yang telah dipenuhi dengan jejak-jejak panjangnya sebelum ini. Ahh… pisau kecil… untuk inikah kau diciptakan?
Aku menatap aliran merah yang membasahi lengan, paha dan perutku. Linanganya indah, seperti air mata yang kulepaskan saat aku menerima kenyataan kalau aku harus kehilangannya. Aku menyukai linangan air mataku sejak saat itu. Tapi akhirnya aku menyadari kalau hanya air mata, aku tidak akan puas. Maka si cantik metal ini menorehkan jejak demi jejak, memberiku pemandangan terindah… yang dapat mengalihkan perhatianku, walau hanya sebentar, dari sakit yang diciptakannya. Sungguh, sakit di dalam dada dan pikiranku, tidak sebanding dengan sakit dari luka-luka berdarah yang ada di tubuhku.
Tuhan… akan jadi apa aku nanti?
Dan kenyataan menghampiriku lagi. Sakit di dadaku muncul lagi. Aku tidak suka merasakannya, maka aku membuat torehan lain di perutku, torehan dalam yang menyakitkan untuk membuat rasa ngilu di dadaku pergi. Aku berhasil, nampaknya. Karena dadaku tidak lagi ngilu, melainkan sesak.
Lalu kupandangi jejak-jejak pisau yang terpahat pada tubuhku… jejak-jejak itu terlalu banyak, ada beberapa yang terlalu dalam. Mataku mengabur.
Tuhan… matikah aku?
Lalu kulihat dirinya di sudut ruangan. Menatapku dengan mata gelapnya yang terlihat sendu. Aku merangkak mendekatinya, tangan terulur berharap ia merengkuhku. Tapi ia hanya diam, tidak bergerak menyambutku. Matanya bergerak mengikuti gerak tubuhku yang terseret mendekatinya, yang meninggalkan jejak darah yang berkilau-kilau di lantai kamar nan dingin.
Akhirnya aku meraihnya, bayangannya. Tanganku hanya meraup sebuah ruang kosong, dan dari dekat sini, aku bisa melihat matanya yang sendu itu bergelinting sedih. Ada air mata yang mengancam jatuh dari sudut mata orang yang amat kucintai itu. Dan mataku makin mengabur, telapak tanganku pucat dan dadaku semakin sesak, membuat kepalaku berdenyut.
Tuhan… kumohon, biarkan ia mendekapku lagi…
Maka aku menatapnya dengan pandangan memohon, aku ingin ia memelukku karena ruangan ini semakin dingin… terutama tubuhku yang setiap detik berlalu, makin kehilangan darah, makin kisut dan pucat.
Aku mengulurkan tanganku dalam usaha terakhirku untuk membuatnya mengerti. Aku membutuhkannya.
Dan tubuhku tidak bisa lagi menahan nyawanya, mataku menggelap dan pada saat segenggam nyawaku sedang berusaha meninggalkanku, aku berbisik serak.
“Papa… selamatkan aku…”
=END=