[ORIFIC] Ikatan yang Tak Berjalan [27]

Nov 07, 2012 04:06



Bag. 27


Piknik yang kuusulkan sebetulnya bukanlah betul-betul piknik, yang sebenarnya terjadi adalah semua kegiatan makan malam dipindahkan ke taman belakang, di taman bunga mini milik mamaku. Bunga-bunga tulip, lili dan rumpun mawar sedang bermekaran seluruhnya, lalu lampu taman yang kekuningan membuat taman itu kian indah di malam hari. Semua makanan yang dibuat tadi sore ditata di meja kayu yang biasa digunakan mama untuk menaruh bibit bunga, tapi karena saat ini sedang tidak ada bibit bunga, meja itu kosong. Meja bulat berpayung digunakan untuk meletakkan mocktail mint-tea-orange-lemon buatan mamaku serta gelas-gelas cocktail. Untuk menemani iga sapi, mamaku juga membuat kentang tumbuk dengan banyak seledri.

Papa tiriku bahkan membawa kamera DSLR-nya dan mengambil foto-foto kami secara random, walaupun ia lebih banyak meminta kami mengambil foto dirinya yang berpose seolah tidak tahu jika sedang difoto. Tingkah dan posenya sangat konyol, membuatku dan mama tertawa terpingkal-pingkal. Bahkan Yura pun tidak bisa menahan tawanya karena kelakuan papa tiriku.

Iga sapi buatan mamaku tidak ada tandingan, habis dengan cepat. Kami menghabiskan banyak tisu karena tidak ada yang mau menggunakan sendok dan garpu ketika memakan iga, semuanya menggunakan tangan, sendok hanya digunakan saat menyuap kentang tumbuk. Aku merasa perutku sangat penuh dan kusadari kalau cupcakes-nya belum tersentuh sama sekali. Tapi malam masih panjang, papa tiriku memutuskan untuk tetap mengambil foto kami dari berbagai sudut. Lalu mamaku mengeluarkan ponselnya dan menyetel sebuah lagu klasik, hanya suara dentingan piano, petikan harpa, biola dan seruling. Sungguh indah, membuatku merasa kalau suasana taman belakang itu berubah menjadi sebuah taman dansa di dongeng-dongeng, bukan lagi taman biasa di belakang rumah.

Papa tiriku meletakkan kameranya dan berjalan ke depanku yang sedang duduk mengistirahatkan perut, ia menekuk satu lutut di depan tubuhnya dan satu lutut lagi bertumpu di rumput taman, kemudian mengulurkan satu tangannya padaku,

“Maukah Princess Nidi berdansa dengan hamba?” pintanya, dengan nada seperti sedang membaca sajak. Aku terkikik, malu sekaligus geli.

“Aku tidak bisa dansa.” Kataku. Papa tiriku mengangkat bahu,

“Hamba juga tidak bisa, Princess.” Katanya, dengan wajah hampa. Aku tertawa melihat ekspresinya-Ia pandai sekali membuat ekspresi-ekspresi kocak macam begitu. Akhirnya aku berdiri, meletakkan gelasku sebelum meraih tangannya-yang seketika kusadari berjari panjang juga seperti Yura-dan menerima ajakan dansanya.

Aku belum pernah sedekat ini dengan papa tiriku. Dari jarak segini, bisa kulihat kemiripannya dengan Yura, padahal sebelum-sebelumnya aku tidak melihat kemiripan mereka berdua. Matanya mirip, hanya saja tidak berwarna abu-abu. Warna mata papa tiriku cokelat. Hidungnya juga mirip. Mungkin jika potongan rambut Yura disamakan dengan papanya, cepak, mereka akan jadi sangat mirip.

Normalnya orang yang tidak bisa berdansa, aku bergerak dengan sangat kaku. Ternyata papa tiriku bohong saat ia berkata kalau ia tidak bisa berdansa, karena jelas-jelas ia mengerti teknik-teknik berdansa, mengajariku dimana harus meletakkan tangan, posisi badan, dan cara melangkah.

Aku sedang diajari dasar-dasar waltz.

Setelah memposisikan kaki dan tanganku, papa tiriku menuntunku untuk melangkahkan kaki, menyesuaikan gerakan kakiku dengan kakinya. Karena kagok, beberapa kali aku menginjak unjung kaki papa tiriku dan ditertawakan dengan kejam oleh mama. Aku mengikuti gerakan papa tiriku sambil menggembungkan pipi, sebal.

“Dansa itu mudah, asal percaya diri.” Kata papa tiriku, tertawa kecil, menuntunku bergerak seiring dengan musik klasik dari ponsel mamaku.

“Masalahnya,” kataku, kesulitan berbicara karena harus konsenterasi pada gerakan kaki, dan secara berulang menunduk untuk memastikan bahwa aku tidak menginjak kaki papa tiriku, “Masalahnya aku tidak pe-de.”

“Tapi Nidi cukup pintar. Lihat? Tidak menginjak kaki papa lagi, kan?” yah… itu karena gerakan yang dilakukan adalah gerakan yang sama dan berulang-ulang, hanya menyamakan langkah, bergerak ke kiri, ke belakang, ke kanan… kalau waltz segampang ini, tidak mungkin sampai kursus bertahun-tahun untuk menguasainya. Kemudian papa tiriku melepas tangannya yang berada di punggungku, dan membuatku berputar di tempat.

“Ini kan hanya gerakan yang sangat dasar, belum ada variasinya.” Aku mengangkat bahu. Papa tiriku tertawa,

“Kalau belajar memang harus menguasai dasar-dasarnya dulu. Padahal mama jago dansa, kan? Nidi tidak pernah belajar sebelumnya?”

Aku menggeleng, “Aku… tidak begitu suka seni.” Lagu di ponsel mamaku habis, berganti menjadi lagu lain, yang masih sama jenisnya.

“Nah, Yura, kemari temani Nidi~ papa ingin mengajak Princess lain berdansa.” Papa tiriku melepaskan rangkulannya dariku dan mendorongku ke kursi Yura.

“E-eh?” reaksiku tak berguna karena Yura sudah berdiri dan menyambut lenganku yang disodorkan papa tiriku padanya. Dan mendadak saja aku sudah berada di pelukan Yura.

Semoga saja pencahayaan taman belakang ini menyembunyikan semburat merah pipiku.

Di sampingku, papa tiri dan mamaku sudah berdansa layaknya sepasang pedansa profesional. Berputar, melangkah secara sinkron, luwes dan tanpa cacat, seperti Cinderella dan pangerannya, saling menatap dan tersenyum. Mamaku pintar berdansa karena ia memang menyukai seni tari, dan sering melakukan latihan bersama teman-teman kantornya.

Sekejap saja, kedua orang tuaku sudah berada di luar jangkauan, tidak mempedulikan lingkungan sekitar lagi. Hanya ada mereka berdua.

Aku melirik Yura, “Kakak bisa dansa seperti itu?” tanyaku. Ia mengangguk, “Hanya aku yang tidak bisa.” Keluhku akhirnya.

“Bisa belajar.” Ujarnya. Aku melihat lagi pada sepasang suami istri yang kini tengah berdansa dengan indahnya, seolah lupa kalau mereka masih di Bumi.

“Tampaknya susah….” Gumamku.

“Tidak. Ayo.” Yura mulai bergerak, memaksaku ikut melangkah bersamanya. Belum apa-apa aku sudah menginjak kakinya.

“Aduh, maaf….” Aku meringis. Yura memiringkan senyum,

“Kau tidak setegang ini saat dengan papaku.” Komentarnya.

“Jangan dibahas.” Kataku pendek, mencoba menyelaraskan gerakanku dengan langkah-langkah waltz Yura, tidak menatapnya sama sekali, melainkan menatap kakiku sepanjang waktu. Pembahasan seperti itu hanya akan berujung pada perasaanku padanya, dan itu membuatku tambah canggung.

Pada akhirnya aku menyerah belajar dansa dengan Yura-karena berbagai alasan-dan memutuskan untuk mulai menyentuh cupcakes yang terabaikan. Yura kembali duduk di kursinya, tanpa suara memotret kedua orang tuaku yang masih berdansa. Ia melakukannya selama beberapa menit, seperti mencoba mengambil beberapa gambar yang berbeda-beda. Kemudian ia mengarahkan kamera DSLR itu padaku.

“Ayo senyum.” Katanya. Aku tersenyum secara otomatis dan lampu kilat kamera segera menyerang mataku. “Lagi.” Aku merubah posisi, tetap dengan senyumku saat menghadapi kamera dan lampu kilat menyala lagi. “Lagi.” Lalu lampu kliat menyala lagi, lagi dan lagi.

“Mau sampai berapa kali?” protesku, merasa kalau mataku hampir buta karena kilatan lampu kamera itu, mengerjap-ngerjap. Yura tertawa.

“Wajahmu bagus di kamera.”

“Sungguh?” tanyaku, senang. Yura mengangguk.

“Ya.”

“Kakak juga.”

Yura menyunggingkan senyum, “Karena itu kau menyimpan posterku?” tanyanya, meletakkan kamera kembali ke meja dan meneguk mocktailnya. Aku mengerucutkan bibir,

“Ya… Kakak tampan.” Kataku pelan, hampir bergumam. Yura terkekeh pelan.

“Terima kasih.” Ujarnya.

Tampaknya papa tiri dan mamaku lelah berdansa karena mereka kembali ke bangku meja bulat dan duduk, menghabiskan mocktail di gelas masing-masing. Mamaku mengipasi diri dengan tangan,

“Sudah lama rasanya tidak berdansa selama itu, menyenangkan sekali.”

“Wah, foto-foto kita bagus sekali.” Komentar papa tiriku, sedang melihat-lihat hasil foto yang diambil Yura. “Siapa yang memotret ini?” tanyanya.

“Aku.” Jawab Yura.

“Hasilnya bagus… ah, Nidi manisnya~” papa tiriku menyodorkan kameranya ke mamaku, “Lihat.”

“Iya, cantik ya? Nidi selalu cantik kalau difoto.” Mamaku tersenyum saat melihat hasil fotoku. Mereka berdua melihat foto-foto yang lain selama beberapa waktu, berkomentar disana-sini, tertawa melihat hasil foto papa tiriku yang konyol.

“Aku jadi lapar lagi. Sini, kuhabiskan saja cupcake-cupcake itu.” Kata papa tiriku. Mama tertawa dan mengambil piring cupcakes dan meletakkannya di depan papa tiriku.

“Bukan sayuran kan?” tanya Yura. Mamaku tertawa lagi dan menggeleng.

“Bukan, Yura. Tenang saja.” Yura mengambil satu cupcake vanila ber-frosting biru dan menggigitnya. “Bagaimana?” tanya mamaku.

“Enak.”

“Itu bikinan Nidi.” Kata mamaku, menggigit cupcake choco-chip-nya. Yura melirikku, dan saat orang tuaku tidak melihat, ia mengedipkan sebelah matanya padaku sambil mengusap sudut bibirnya dengan ibu jari, menyingkirkan frosting yang melekat disana.

Tuhan menyayangiku karena aku berhasil menahan diri agar tidak terpekik layaknya fangirl depresi.

Yura keterlaluan!

~.~.~.~.~

Aku terbangun karena bunyi mesin pemotong rumput yang berisik di taman depan. Menggosok-gosok mata, aku berusaha bangun sambil menguap, menahan godaan untuk kembali lagi menggelung di dalam selimut. Semalam aku tidur sangat larut karena mama memutuskan agar semua peralatan makan yang digunakan langsung dicuci. Papa tiriku menyarankan agar kami tidur saja, tapi mamaku bersikeras karena tidak mau repot di pagi hari. Akhirnya papa tiriku dan Yura tidak jadi tidur, menunggui kami mencuci piring, yang berbuntut dengan kekacauan karena papa tiriku menganggap perang frosting cupcakes di tengah malam buta adalah hal yang seru untuk menutup ‘piknik’ kami.

Kami tertawa-tawa sepanjang malam, dengan wajah penuh frosting warna-warni dan busa sabun cuci piring.

Aku berdiri dari kasur, berjalan ke jendela dan melihat tukang pemotong rumput sewaan sedang mondar-mandir di taman depan, memotong rumput dengan mesinnya. Mamaku di sudut lain, sedang merapikan bonsai, membuatnya tetap berbentuk bulat-bulat. Beberapa tetangga terlihat melakukan aktifitas minggu pagi yang normal; menyiram tanaman, senam ringan, mengobrol, atau hanya duduk-duduk di teras rumah, membaca koran.

Sebaiknya aku menyibukkan diri juga, mengingat aku belum membereskan barang bawaanku yang akan kubawa kembali ke ibu kota sore ini.

Aku memutuskan untuk mandi sebelum sarapan, rambutku terasa lengket karena sisa-sisa frosting yang belum sempat dicuci bersih. Karena semalam terlampau lelah, aku tidak mempedulikan rambutku dan membersihkannya sekenanya. Selesai mandi, aku turun ke lantai bawah untuk sarapan. Ruang makan kosong. Apakah semua orang sudah sarapan? Apakah aku yang paling telat bangun?

“Kau bangun juga, kupikir aku harus menginvasi kamarmu lagi.” Yura muncul dari ruang depan. Aku menoleh padanya dan meringis. Terakhir kali ia menginvasi kamarku, ia berhasil menguak rahasia hidupku yang terkelam.

“Aku sendiri yang belum sarapan, ya?” tanyaku. Yura mengangguk, meletakkan buku yang selama beberapa hari ini selalu dibawanya di meja makan, kemudian duduk.

“Kita berangkat ke bandara jam dua siang.”

“Oke.” Sahutku, membuka kulkas dan menemukan beberapa cupcakes yang belum sempat dimakan. Kurasa aku akan memakan cupcake itu untuk sarapan. Aku mengambil satu cupcake dan botol susu kemudian menuangkannya ke sebuah mug, lalu kembali ke meja makan.

Selagi menghabiskan sarapanku, aku melirik buku Yura yang menggeletak di atas meja.

“Itu buku apa?” tanyaku, kesulitan membaca judulnya karena posisi buku yang terbalik.

“Novel.”

“Kakak suka baca novel?”

“Untuk mengisi waktu, ya.”

“Boleh kulihat?” tanyaku lagi. Yura mengangguk dan menyorongkan novel itu ke arahku agar bisa kujangkau. Aku membuka-buka novel yang ternyata sebuah novel detektif itu dan membaca sinopsisnya. Tentang pembunuhan seorang gadis yang bernama Marry Gerrard. “Sad Cypress… bukankah ini buku lama?”

“Ya, belum sempat kubaca.”

“Nama tokoh utamanya ‘Elinor’…” gumamku, “Hampir mirip nama mama.” Yura memiringkan senyum.

“Dia tersangkanya.”

“Oh… dia yang membunuh Marry Gerrard?” tanyaku, agak tidak rela si tokoh utama menjadi pembunuh, karena memiliki nama yang hampir sama dengan mamaku. Yura mengangkat bahu.

“Belum tahu, tapi semua bukti mengarah padanya.”

“Kasihan…” gumamku lagi, mengembalikan buku itu pada Yura. “Itu sebabnya aku tidak menyukai buku-buku serius macam itu, kepalaku bisa sakit. Aku lebih memilih serial cantik.” aku mengerucutkan hidung. Yura mendengus tertawa,

“Cocok untukmu.”

Mamaku masuk, “Pagi ini gerah ya? Ah, Nidi sudah bangun? Sudah beres-beres?” tanyanya. Aku menggeleng,

“Belum.” Jawabku. Mama berdecak,

“Jangan sampai terlambat ke bandara. Selesai sarapan, langsung beres-beres, ya?”

“Ya, Mama.” Kataku.

Mama berjalan ke kulkas dan mengeluarkan sebotol air dingin, menuangkannya ke gelas, sambil terus mengipasi dirinya dengan topi berkebunnya. “Mama rasa akan hujan. Biasanya kalau gerah begini, akan turun hujan deras.” Ia meneguk airnya banyak-banyak, “Mandi saja, deh. Gerahnya minta ampun.” Mamaku berlalu, masuk ke kamarnya.

“Hujan deras, sudah lama aku tidak main hujan.” Aku mengingat-ingat kapan terakhir kali hujan-hujanan, kurasa saat SD.

“Pesawatnya bisa delay.” Yura berkomentar, meraih bukunya kembali dan membuka halamannya.

“Wah, benar juga. Semoga tidak terjadi.” Tidak ada hal yang lebih menjengkelkan dibanding menanti penerbangan yang ditunda. Ponsel Yura berbunyi dan ia menjawabnya, berjalan keluar ruangan dan naik ke lantai dua, meninggalkanku yang bertanya-tanya kenapa tidak ada seorang pun temanku yang meneleponku. Yura bisa dapat telepon tiga kali sehari, entah dari siapa, karena setiap menerima telepon, ia selalu menjauh dari siapapun.

-bersambung-

orific: ikatan yang tak berjalan

Previous post Next post
Up